Silly, How It Feel!

Shiro berusaha membuat dadanya tidak panas saat meninggalkan kelas. Bukan karena Kimia yang memang tidak pernah menjadi keahliannya—Shiro lebih percaya diri dengan fisiknya dan karena itu pula dia ditunjuk sebagai kapten sepak bola yang baru, berbeda dengan kembarannya yang sedikit lebih pintar dan membanggakan bagi ayahnya—tetapi karena Clay sudah kembali ke sekolah setelah skorsing-nya dicabut.

Tentu saja Shiro tak pernah bermasalah dengan Clay atau siapapun. Shiro ingin mempertahankan dirinya sebagai sosok yang damai meski di rumah dia adalah pemuda temperamen yang siap berkelahi dengan Cyan setiap kali kakaknya itu mempermasalahkan segala sesuatu. Hanya saja Clay datang sendirian, dan dia tidak sendirian di skorsing saat itu.

Ken belum kembali ke sekolah. Selama dua minggu ke belakang Shiro masih berusaha untuk menghubungi remaja itu, hanya ingin menghiburnya, tetapi Ken memutuskan kontak, dan tak ada satupun dari mereka yang tahu di mana dia tinggal.

"Mungkin Ken tinggal di Utara. Karena dia selalu mengambil bus saat pulang," kata Cyan di satu makan siang. Setidaknya Shiro tahu kakaknya yang menyebalkan masih cukup peduli pada Ken, tetapi teman-temannya yang lain tidak terlalu, dan Shiro merasa darahnya selalu berdesir cepat setiap saat.

Andy dan Sera tidak ingin terlalu peduli karena pikir mereka Ken butuh waktu sendirian. Alisha dan Rick selalu berusaha menghindari topik tentang Ken setiap kali mereka melakukan panggilan video di malam hari. "Mari membicarakan hal lain."

Lang bahkan tak bisa menyembunyikan dirinya untuk tak lagi ingin tahu, dan Shiro tak bisa menyalahkannya. Bagi Lang video yang sudah tersebar itu benar. "Ken masih temanku, tetapi kau tahu maksudku." Hanya itu yang dia katakan.

Namun, Shiro tahu tak ada yang lebih peduli daripada dirinya selain Lucy. Gadis itu satu-satunya yang mengejar Ken keluar sekolah setelah hukuman skorsing-nya dan Shiro masih belum tahu apa yang terjadi saat itu. Lucy kemudian jadi selalu ingin sendirian. Tak pernah lagi mengikuti panggilan video rutin mereka meski Rick bergabung.

Setidaknya semua itu berlalu tiga hari lalu. Ketika sebuah video rekaman dari remaja berambut hitam-biru tersebar di sekolah mereka. Mengakui tindakan jahatnya yang selama ini ditimpakan pada Ken. Sebuah pengakuan singkat yang Shiro tahu tidak hanya akan membuat Lang menarik kata-katanya, tetapi Clay pasti akan meminta maaf.

"Sudah kubilang, kan? Ken tidak mungkin melakukan itu semua. Terlalu menjijikkan," pungkas Shiro bangga di meja kantin sekolah. "Sekarang yang jadi masalah adalah Ken masih belum kembali."

"Ya, tapi harus kau akui kalau hasil editing-nya luar biasa. Tidak kusangka dia bisa membuat video palsu seperti itu menjadi tampak sangat nyata," ucap Lang.

"Bisa bahas yang lain saja? Kita sedang makan," protes Cyan masih berusaha menikmati nampannya.

Sayangnya tak ada yang mendengarkan. "Kalian sadar kalau anak itu yang mengajak Ken berkelahi tempo hari, kan?" sahut Rick.

"Yap, aku sudah menduganya sejak awal." Kembali Shiro berkata dengan kepala yang tinggi, lalu melirik Lang dan Sera di hadapannya dengan seringai kecil. Mereka berdua lantas memutar mata.

"Tapi kalian juga tahu kan kalau anak itu sudah tewas?" tambah Lang, dan berhasil menghentikan aktivitas makan teman-temannya. Lang baru menyadari sedetik kemudian. "Sungguh? Kalian tidak tahu? Maksudku. Apa kalian tidak pernah cukup penasaran dengan gosip di kelas olahraga."

"Gosip macam apa yang kau dapatkan di kelasmu?" Alis Rick berkedut.

Lang lantas menarik ponselnya. Menggulir layar dengan cepat dan kemudian menunjukkannya pada mereka bergantian. Sebuah laman berita tentang pembunuhan di kota Ischar yang secara kebetulan ditemukannya semalam. "Maksudku kalian pasti pernah melihat berita ini?"

Sera sontak menjentikkan jari. "Itu dia! Berita itu! Tengah malam aku pernah menonton berita tentang mayat yang ditemukan di belakang bar."

"Perkelahian di belakang bar?" Shiro menelan minumannya sebelum melanjutkan. "Dia mabuk atau semacamnya?"

Lang hanya mengedikkan bahu. "Entahlah, tapi satu hal, dia tidak mati dengan tenang."

"Kau tahu lagi hal lain? Aku sudah kehilangan nafsu makan," ujar Cyan mendorong maju makanannya yang masih setengah. "Bisa kita membicarakan hal lain sekarang?"

***

Nen tidak terlihat keesokan harinya. Ken mencari ke seluruh tempat, bahkan termasuk White Chamber, dan tak menemukan pria itu di manapun. Awalnya Ken berpikir kalau Nen ingin mencari orang lagi; menjebak orang putus asa lainnya, tetapi kemudian Furler berkata, "Dia pergi dengan Aster."

"Ke mana?"

"Tempat yang paling dia benci, pusat Dark Soul." Wanita itu tersenyum jahil, sebelum kembali pada urusannya untuk membaca buku. Ken sebenarnya ingin pulang ke rumah dan berharap Nen yang mengantarnya. Menggunakan taksi mungkin adalah pilihan terakhir.

Namun, remaja itu justru mengambil duduk di hadapan Furler. Berakhir penasaran dengan ucapannya. Nen tidak menyukai pusat organisasi ini, tetapi kenapa? Ken berpikir lebih jauh lagi, dan kembali teringat hari di mana Nen mabuk dan meracau.

"Memangnya apa yang ada di pusat organisasi?"

"Kau tidak akan mau tahu," ucap wanita itu lalu tertawa singkat.

"Ya, aku mau tahu. Nen bilang hari itu kalau kalian bertiga mungkin saja dibunuh Mr. Lam, dan Nen akan kembali ke pusat. Maksudku kalian—apa yang ada di sana?"

Furler menurunkan bukunya, melirik Ken yang nampak serius. Setelah mendesau, wanita itu meletakkannya, dan sebelum Ken dapat berkedip, dia sudah melesat maju, menjatuhkan Ken dan mengacungkan sebuah pisau lipat.

"Apa yang kau lakukan?!" protes Ken, tetapi pisau itu bergerak semakin dekat dengan ujung matanya.

"Apa kau takut mati, Ken?" tanya Furler dengan nada datar. Ken yang masih bingung sekaligus panik memilih untuk mengangguk saja. "Bagus. Karena kau bahkan tidak akan sanggup bernapas di detik berikutnya jika yang menyerangmu adalah Lam. Walaupun aku ragu dia akan membunuhmu begitu saja. Lam adalah Initiator terbaik, dia dapat akan mulai dengan gigi-gigimu, menarik satu per satu sarafnya sampai kau mati rasa di wajah, lalu mencabut ginjal atau limpamu dengan mudah, dan kau masih dapat hidup sampai dua hari ke depan."

Furler melepaskannya, lalu kembali duduk di sofa seolah tak terjadi apa-apa. Ken masih terdiam di lantai, mengusap lehernya.

"Berhenti menanyakan hal-hal konyol, Ken. Sadarilah kalau sekarang kau adalah Dark Soul, dan sebenci apapun kau dengan fakta itu, kau akan menghabiskan sisa hidupmu yang menyedihkan itu di sini. Maka cobalah untuk membuatnya jadi menyenangkan."

Furler kembali membuka bukunya, dan terpaku di sana seolah tak ada Ken atau siapapun. Remaja itu juga sudah tidak berniat menanyakan apapun.

James kemudian muncul, baru keluar dari kamarnya dan terdiam di depan pintu. Dengan segera menyadari kalau ada sesuatu yang terjadi, tetapi Ken akhirnya menyingkir dari sana untuk menghindari pertanyaan apapun.

Meski begitu, serangan mendadak tadi masih membuatnya terguncang. Tatapan Furler yang tanpa keraguan sedikitpun sungguh membekas di dalam kepalanya. Ken sungguh berpikir nyawanya akan habis saat itu.

Mungkin bukan hanya Furler. Bagaimana dengan Nen? Atau mungkin Lam? Karena jika ucapan Furler tadi benar, maka sekali lagi Ken telah menyadari satu hal. Dark Soul adalah monster, dan betapa tidak beruntungnya Ken juga bagian dari mereka.

***

Pada akhirnya Ken benar-benar mengambil taksi untuk pergi dari sana, lalu mengambil bus yang justru berakhir di stasiun berbeda karena tak memperhatikan rutenya. Sudah pukul sebelas malam, dia terpaksa berjalan kaki untuk sisanya.

Ken menyadari angin terasa lebih cepat, mengingatkannya kembali pada badai yang pernah menerjang kota beberapa minggu lalu, tepat di hari yang sama Ken membunuh ayahnya. Korban pertamanya.

Dia mempercepat langkah untuk menghindari hujan yang mungkin saja akan datang. Sesekali masih berpapasan dengan orang-orang yang juga terburu-buru untuk segera pulang. Namun, dia tak akan pernah menyangka untuk menemukan gadis dengan jas hujan bertudung dalam warna kuning terang.

Langkahnya terhenti untuk memperhatikan lebih jelas, berharap dirinya dapat salah lihat, tetapi gadis itu juga berhenti berjalan. Mereka lalu saling menatap. "Gina ...."

Bayangan di hari pemakaman Neal merasuki ingatannya lagi. Ketika untuk pertama kalinya, keadaan benar-benar berputar bagi Ken. Saat sebelumnya remaja itu yang selalu memohon agar Gina percaya padanya, tetapi gadis itu yang sekarang berlutut.

"Hei, Ken ...," sahut Gina. Awalnya dia tersenyum, tetapi kemudian diturunkan.

Ken merasa bersalah atas tindakannya hari itu, Gina pasti sangat kebingungan dan harus mencerna semuanya, tetapi di satu sisi juga harus dilakukan. Ken sendiri sudah pernah merasakannya, dan dia bertahan.

Dia melangkah pergi, merasa tak ada yang perlu mereka bicarakan, tetapi saat melewati Gina, gadis itu langsung berkata, "aku menggugurkannya."

Sontak membuat Ken berhenti, dan membeliak pada Gina di belakangnya. "Ayahku berhasil mendapatkan obat aborsi. Aku menelannya sekitar seminggu lalu. Kupikir kau harus mengetahuinya," sambung Gina.

"Apa dia—Apa Neal juga tahu?" tanya Ken, dan Gina mengangguk.

"Dia ada di sana saat aku menggunakannya." Ken bisa mendengar gadis itu mulai terisak. "Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun di hari itu? Kenapa aku bisa tidak tahu kalau selama ini Neal lah yang melakukannya?"

Ken hanya terdiam. Pelakunya bukan Neal, tetapi juga bukan Ken. Entah siapapun yang melakukannya. Melihat Gina menangis sungguh membuatnya iba, tetapi dia juga tak tahu harus melakukan apa.

"Aku tidak tahu apa ini akan membuatmu senang, tetapi Gina akan pergi dari kota, jauh bersama ayahnya untuk memulai hidup yang baru," lanjut gadis itu, masih memunggungi Ken. "Kuharap kau mau memaafkannya ...."

Barulah saat Gina berbalik, dia menyadari Ken sudah tak ada di sana. Hanya melihatnya berjalan menjauh, dan kemudian menghilang dalam dinginnya malam.

Sekali lagi, Gina sendirian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top