Professional Or Plain?
Sudah lewat tengah malam ketika badai akhirnya mereda, walau hujan belum sepenuhnya berhenti. Ken berdiri dengan tatapan yang menghitam saat mengamati kembali ayahnya, seolah bukan dia yang baru saja membunuhnya. Sementara tamunya bersiul pendek, tanda terkesan.
"Sepertinya kau benar-benar membenci ayahmu," kata Nen. "Atau kau hanya ingin memastikan dia benar-benar tewas."
Ken tak membalas. Ada terlalu banyak pertanyaan. Siapa sebenarnya pria berambut kuning dengan senyuman ramah ini? Bagaimana dia bisa tahu di mana Ken berada? Atau pertanyaan yang sejak awal sudah Ken ingin ketahui, mengapa Nen ingin membantunya dengan cara seperti ini?
"Ugh, kau menusuk matanya. Padahal aku mungkin bisa menjualnya."
Kali ini dia benar-benar bertanya. "Menjual? Jadi aku membunuh ayahku agar kau bisa menjual matanya?"
"Organnya," sanggah Nen. "Semua organ tubuh yang mungkin masih hidup bisa aku simpan dan jual untuk bisnis transplantasi. Untuk menyelamatkan nyawa para orang kaya."
"Jadi kau seorang dokter bedah atau apa?"
Lesung pipinya muncul lagi saat menyeringai, dari dalam tas kopernya Nen mengambil sepasang lateks bersih dan sebuah pisau scalpel. "Anggap saja begitu."
Ujung pisau mulai mengiris perut Jack, membedahnya hingga terbuka lebar. Ken hanya bisa menahan napas, menyaksikan bagaimana Nen dan matanya yang terus berputar ke sana kemari saat memeriksa setiap susunan organ. Mengingatkannya pada pelajaran biologi, tetapi kali ini lebih menjijikkan. Dalam beberapa menit Nen berpindah untuk membedah bagian dada.
"Kenapa kau melakukan ini?" Tak lagi bisa menahan diri, Ken bertanya kembali.
"Semua orang punya pilihan," ucap Nen tanpa menatap lawan bicaranya. "Aku memilih untuk bekerja seperti ini, lalu memutuskan membantu anak muda tersesat sepertimu. Sementara kau memilih untuk menerima tawaranku."
"Bekerja? Kau bekerja untuk siapa?"
"Sebuah organisasi. Dark Soul, kami menyebutnya begitu." Bagi Ken kedengaran seperti lelucon karena namanya mungkin terinspirasi dari sebuah video game. Namun, dia juga tahu kalau itu sungguhan karena Nen terdengar serius saat mengucapkannya, lagi pula saat ini pria itu tengah membedah tubuh seseorang.
Ken tak benar-benar paham apa yang terjadi setelahnya, perhatiannya banyak teralihkan karena mual—dia juga tak tahu mengapa harus merasa mual. Hingga Nen mengambil sebuah benang dan jarum lalu menutup kembali bagian-bagian yang telah dibukanya. Proses ini berlangsung sangat lama sampai-sampai Ken merasa dirinya sudah setengah tertidur saat Nen selesai.
Entah apa yang Nen masukkan ke dalam tas kopernya, tetapi Ken tahu pria itu juga berusaha mengambil sesuatu. Sebuah amplop kemudian disodorkan pada Ken.
"Tidak ada yang bisa kuselamatkan. Kau menghancurkan seluruh organnya. Mungkin juga karena aku datang terlambat. Tapi ... sesuai janjiku." Dia mengayunkan amplop kertas itu agar Ken segera mengambilnya. Saat dibuka, mata Ken membulat dengan sempurna, menemukan pecahan uang kertas tertinggi yang tersimpan tebal.
"Itu seratus juta," jawab Nen sebelum Ken bahkan sempat bertanya.
"Ini sangat ... banyak. Aku hanya butuh tiga puluh, dan--"
"Ya, sama-sama." Nen melepaskan sarung tangan dan pisau bedahnya yang sudah kotor, menyimpannya kembali di dalam tas koper. Lalu mengambil jas hujannya yang tergantung. "Senang bisa berbisnis denganmu, anak muda. Aku permisi."
Ken sibuk menghitung uang untuk memastikan jumlahnya, dan seketika terkejut. Buru-buru berbalik dan menahan Nen yang sudah akan melewati pintu. "Tunggu, kau mau ke mana?"
"Tentu saja pergi dari sini."
"Maksudku, kau tidak membawanya?"
"Hell, Tentu saja tidak. Aku tidak mau orang-orang melihatku membawa mayat dengan puluhan luka tusuk di sekujur tubuhnya," jawab Nen tertawa kecil, lalu menatap Ken dari atas ke bawah. "Atau melihatku bersamamu yang penuh darah kering."
"Tapi aku tidak mungkin menyimpan mayat ayahku di sini, atau menguburkannya sendirian entah di mana. Polisi akan menangkapku. Kukira kau akan—"
"Woah, woah, Ken. Kesepakatan kita adalah kau membunuh ayahmu dan aku membayar uang rumah sakit adikmu, bukan kau membunuh ayahmu dan aku menyembunyikan mayatnya," potong Nen seolah tahu apa yang akan Ken ucapkan.
"T–Tapi, aku ... aku ... aku tidak—" Ken kehabisan kata-kata. Nen tak sedikitpun membuang waktu dan akhirnya keluar dari dalam sana. Ken kembali mengejar dan menahannya sebelum bisa mencapai pintu mobil tanpa peduli tubuhnya yang segera basah kuyup.
"Aku mohon. Kau harus membantuku. Aku hanya—aku tak tahu lagi harus bagaimana. Aku melakukannya karena aku harus menyembuhkan adikku. Kau membantuku dan aku sangat berterima kasih soal itu, tetapi aku tidak mau polisi menangkapku karena menemukan mayat ayahku. Ambillah kembali sebagian uangmu kalau memang harus," tawar lagi Ken dengan putus asa.
"Tawaranmu sangat berat," jawab Nen langsung. "Kalau memang begitu, aku juga punya syaratnya."
Ken mengangguk seakan siap akan apapun yang akan Nen minta. Namun, yang dia katakan justru malah membuatnya menggeleng kepala. "Kau harus bergabung dengan Dark Soul, bekerja untuk organisasi."
"Maksudmu ... menjadi dokter bedah yang menjual organ tubuh manusia?"
"Tidak, tetapi membunuh," jawab Nen.
Sejenak Ken terdiam, tak bergerak meski hujan terus mengguyur hingga darah yang menempel di seluruh tubuhnya kembali mencair dan mengalir turun. Dengan gugup Ken berkata, "t–tapi, aku tidak bisa. Tidak lagi. Aku tidak bisa lagi membunuh seseorang. Aku berani membunuh ayahku hanya karena dia juga akan membunuhku."
"Kalau begitu kita selesai. Aku hanya menawarkan sekali." Ken segera menaikkan kedua tangannya menahan Nen untuk pergi lagi.
"Akan kulakukan apapun, tolonglah. Aku akan bekerja untukmu, maksudku ... apapun selain membunuh seseorang." Namun, Nen tak lagi mendengarkan. Dia hanya berusaha untuk menyingkir dari Ken agar dapat segera pergi.
"Aku mohon, bantulah aku ...." Sampai Ken mulai menangis, lalu menurunkan tubuhnya hingga hanya setinggi paha Nen agar dapat berlutut pada pria tersebut. "Aku mohon ...."
Nen mengusap wajahnya yang ikut basah. Kemudian mendesah pendek dan meminta Ken itu berdiri. "Baiklah, tapi dengarkan aku."
***
Nen harus merelakan kursi mobilnya basah. Dia mungkin mengenakan jas hujan, tetapi Ken tidak. Remaja itu juga hanya bisa memeluk dirinya sendiri, menahan dingin karena AC dari mobil derek Nen sudah rusak, tak bisa dimatikan.
Sementara mobil itu tak bisa bergerak lebih dari 80 km/jam karena tengah menderek mobil lainnya. Ken tak mungkin mengeluh, Nen sudah bersedia membantunya tanpa syarat apapun. Hanya terdiam menggigil tanpa tahu ke mana mereka sebenarnya akan pergi, sampai mobil ternyata telah melintas cukup jauh hingga mencapai perbatasan kota.
"Kenapa kita di sini?"
"Berhenti bertanya dan bantu aku sebelum ada polisi yang lewat," ucap Nen dan segera keluar. Masih hujan, tetapi Nen sudah terlalu malas mengenakan kembali jasnya.
Saat Ken menyusul, Nen sudah di belakang, sedang melepaskan kait dereknya. Mobil yang diangkut adalah milik ayahnya, dan pria itu juga ada di dalam sana, duduk di kursi kemudi. Ken belum tahu apa sebenarnya rencana Nen, tetapi sepertinya dia mulai paham saat mobil itu didorong.
"Ayolah? Apa yang kau tunggu? Interogasi pihak berwajib?" tukas lagi Nen.
"Kita akan mendorong mobil ayahku ke jurang?"
"Ya. Memangnya kau mau mobil derekku yang dibuang? Aku mencintai mobil itu. Sekarang bantu aku sebelum ada orang yang lewat."
Ken bergegas menyandarkan pundaknya di mobil, lalu mendorongnya sekuat tenaga. Perlahan-lahan bergerak semakin mendekati ujung jurang, hingga mereka merasakan dua roda di depan tidak lagi menyentuh jalan, dan akhirnya membiarkan gravitasi menarik sisa badan mobil.
Suara mobil yang mendarat dengan bebas di tanah terdengar dengan keras. Ken memberanikan diri untuk mendekati ujung jalan tanpa pembatas tersebut dan memastikan apa yang terjadi di bawah sana. Mobil itu penyok, dan kaca jendelanya hancur lebur.
"Baiklah. Kita pergi sekarang."
Ken menoleh dan menemukan Nen sudah membereskan kait juga kabel dereknya. Mereka segera masuk ke mobil dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Sekali lagi perjalanan panjang harus dilewati. Ken beberapa kali menoleh ke arah spion, seakan melihat ke belakang dan membayangkan kembali apa yang baru saja dilakukannya. Nen justru bersikap biasa saja, berkendara dalam kecepatan yang tidak begitu cepat daripada sebelumnya, mungkin sudah terlalu sering melakukan ini.
Kesunyian itu mengantar Ken pada waktu yang cepat. Tanpa sadar mereka sudah sampai. Ken melepaskan sabuk pengamannya, lalu menarik pintu. Namun, belum sempat melangkah keluar, Nen kembali berbicara.
"Kau harus siap, kau tahu itu, kan?"
Sekali lagi Ken menemukan pria itu tersenyum ramah saat menoleh. Ken juga tak benar-benar mengerti apa yang Nen katakan. Dia tak membalasnya dan keluar. Mobil Nen juga pergi begitu saja.
***
Ken melucuti pakaiannya yang masih beraroma darah, memasukkannya ke dalam mesin cuci. Lalu masuk ke kamar mandi dan membiarkan pancuran air mengguyurnya seperti hujan di luar sana.
Dia kelelahan, sangat lelah. Sudah hampir pukul empat pagi, tetapi Ken merasa dia belum benar-benar dapat tertidur karena merasa ada sesuatu yang belum selesai. Dia sudah membersihkan seluruh jejak perbuatannya di ruang tamu. Darah di lantai dan meja yang rusak. Namun, Ken masih merasa ada sesuatu.
Mungkin inilah rasanya setelah tanganmu membunuh seseorang. Ken yakin polisi tak akan mencurigainya lagi, bahkan ragu jasad ayahnya akan ditemukan. Ken berpikir dirinya belum merasa tenang karena Sean masih di rumah sakit. Tak sadarkan diri.
Yah, mungkin itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top