Pink! (3)
Sekolah jadi semakin sepi saat mereka berdua tiba di lorong loker. Beberapa murid sudah pulang seperti yang disampaikan di pengumuman. Lucy sudah siap untuk pulang, tetapi Ken masih dalam dunianya sendiri. Dunia yang berkecamuk dan menyakitkan.
Di lokernya, Ken hanya terdiam. Hari ini benar-benar mengganggunya, terlalu banyak yang terjadi di dalam kepalanya. Ayahnya, ibunya, kenangannya tentang teman di masa lalu, dan sekarang teman barunya.
Kedua tangannya meremas pintu loker, seluruh darahnya berdesir dengan sangat cepat, setiap detik sesuatu di dalam pikirannya selalu berganti dengan masalah yang semuanya sama kacau.
"Ken?" Lalu suara itu membuatnya tersentak. Seakan jiwanya baru saja kembali ke dalam tubuhnya setelah berteriak tanpa henti, dan selama beberapa detik berikutnya Ken masih juga belum benar-benar sadar kalau Lucy berada di hadapannya, tengah mengayunkan tangan coba menarik perhatian Ken.
"Y--Ya?"
"Ayo pulang. Kau tidak mau jadi yang terakhir di sini, kan?"
Ken menoleh ke sekitar. Sudah hampir kosong. Dia berjalan begitu saja, dan Lucy dengan segera mengikut. Gadis itu paham kalau Ken tengah memikirkan sesuatu, dan sekali lagi tidak bisa bertanya apa itu.
Maka dari itu, dia mengajukan pertanyaan yang lain. "Ada apa dengan topi pink?"
"Topi? Maksudmu ini?" Ken mengambilnya. Topi itu. Langkahnya berhenti seketika. Wajahnya berubah kaku saat menyadari satu hal. "Ini ... pemberian ibuku."
Pemberian terakhir ibunya. Topi itu adalah hal terakhir yang Ken dapatkan dari ibunya. Ken tidak tahan lagi. Matanya benar-benar terasa penuh, dia tak bisa menahan diri.
"Aku ... maaf aku ketinggalan sesuatu. Kau pergi saja lebih dulu." Dia berlari lagi ke dalam sekolah. Meninggalkan Lucy dengan mulut terbuka. Gadis itu khawatir, tetapi juga tidak mengerti.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Ken hanya terus berlari. Pergi ke kamar mandi dan menyalakan kran basin. Tangannya gemetar saat ingin membasuh wajah, dia bahkan tak mampu menatap cermin, melainkan langsung membenamkan diri.
Isaknya tumpah, Ken hanya menangis keras. Setidaknya tak ada siapapun yang akan menemukannya di dalam sana.
***
Pagi itu lorong sedikit lebih sesak, beberapa murid nampaknya berkerumun di satu titik. Ken memperhatikan sejak dari lorong masuk, dan mereka berkumpul di sekitar lokernya.
Energinya menipis untuk mencari tahu apa itu. Namun, dia masih harus menuju lokernya. Jadi dengan susah payah Ken coba untuk melewati murid-murid itu. Hingga bisa sedikit lebih dekat barulah cowok itu tahu mereka tengah mengerumuni seseorang.
"Kau sungguh baik-baik saja? Kudengar lenganmu patah saat pertandingan."
"Hanya bergeser, tetapi aku akan baik-baik saja. Yah ... mungkin akan meninggalkan bekas."
Ken hanya mendengarkan, dan tanpa perlu melihat dia bisa tahu sepertinya orang ini baru saja mengikuti pertandingan besar. Apa mungkin yang dikatakan Lucy kemarin?
"Lang. Kawan. Kulihat kau akhirnya menjadi selebriti hari ini." Lalu terdengar lagi seseorang yang berteriak tidak jauh. Membenarkan dugaan Ken kalau dia adalah Lang Fisher yang Lucy sudah ceritakan.
"Yo, Shiro. Lama tidak ketemu," sahut Lang.
Shiro lalu menyadari ada Ken di dekatnya yang masih coba untuk menutup pintu loker. "Hei, Ken. Aku ingin kau bertemu dengan Lang Fisher."
"Hei, Shiro," balas Ken dengan suara lesu. Namun, seakan tidak peduli ataupun sadar Shiro justru membalikkan paksa remaja itu agar bisa saling bertatapan dengan Lang.
"Lang, ini Ken, murid baru di sekolah ini. Ken, ini Lang, dia baru saja kembali dari turnamen yang hebat," lanjut Shiro memperkenalkan mereka.
Lang memperhatikannya dari atas sampai bawah, sebelum akhirnya mengacungkan tangan. "Topi pink. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Shiro banyak berbicara soal kau."
Seperti yang Ken sudah duga, Shiro banyak berbicara tentang dirinya. "Hei, Lang."
"Kawan, kau baik-baik saja? Kau terdengar lemas," tanya Lang, sebenarnya sejak awal dia sudah menyadari kantung mata Ken yang tebal dan hitam.
"Aku baik-baik saja." Ken beranjak pergi setelahnya. "Dan ... senang bisa bertemu juga denganmu, Lang."
"Ken, aku lupa memberitahumu. Kau harus bertemu dengan ...." Shiro yang baru saja teringat sesuatu langsung memanggilnya, tetapi Ken tak mendengarnya.
Kenyataannya remaja itu tidak sedang baik-baik saja. Ken hampir tak bisa tidur sejak meninggalkan sekolah kemarin. Sepanjang malam kepalanya tak berhenti untuk berputar, berdetak, dan menjadi sakit. Dia banyak meremas dahinya, menutupi diri dengan selimut, dan menangis dalam diam agar adiknya tidak mendengarkan.
Pagi ini kesadarannya jadi semakin setengah mengambang, seakan tidak sedang berada pada dunia di sekitarnya. "Aku harus apa sekarang?"
Sampai-sampai Ken tanpa sengaja menabrak seseorang yang juga tidak memperhatikan. dirinya sampai jatuh tersungkur sementara orang tadi hanya menjatuhkan tasnya. "Nak, kau baik-baik saja?"
Ternyata itu guru. "Aku ... aku baik-baik saja, Pak." Ken sama sekali tidak memperhatikan. Dia bangkit, sembari mengambil tas itu dan kemudian menyerahkannya. "Maaf karena sudah menabrak Anda."
"Ken Jackson? Kebetulan sekali bisa bertemu denganmu di sini. Aku sebenarnya mencarimu. Stan Thomas, konselormu di sekolah ini."
Ken menjabat tangannya tanpa semangat. Guru itu juga merasakan dingin. Mungkin dia sedang demam. "Kau sungguh baik-baik saja?"
"Ya, Pak, tapi kenapa Anda mencariku?"
"Sebaiknya kita bicara saja di ruanganku. Masih ada lima belas menit sebelum kelas pertama di mulai, kukira itu waktu yang cukup," ajak guru tersebut. Ken hanya bisa mengikutinya, menuju salah satu ruangan di gedung B dan begitu baru saja membuka pintu dia bertemu dengan Lucy.
"Ken. Sudah kuduga kau juga akan kemari," kata gadis itu.
"Hei, Lucy. Apa maksudnya kau duga aku akan ke sini?"
"Kita terlambat kemarin ...." Bahu Lucy terangkat. "Kurasa karena itu."
"Tuan Jackson. Di sini." Guru itu memanggilnya lagi ke salah satu pintu. Mungkin dia akan diomeli karena terlambat, dan Ken sama sekali tidak ingin mendapatkan lebih banyak tekanan apapun sekarang.
"Tenanglah, Mr. Stan orang yang baik. Yah ... setidaknya itu yang pernah Shiro katakan," ucap Lucy sebelum itu. Ken berharap semoga itu benar.
Begitu di dalam sana, dia disuruh duduk. Kursinya bahkan lebih keras daripada yang Ken kira. "Akhirnya kita bisa berbicara di sini, Ken. Jadi aku langsung saja, sebagai konselormu, aku ingin kau merasakan pengalaman yang bagus di sekolah ini sebagai murid baru, dan kuharap kau sudah merasakannya."
"Tentu, Mr. Stan, aku sedang mencoba," ujar Ken dengan suara hampir serak.
"Bagus kalau begitu, tetapi ... dalam lima hari kau di sekolah ini aku sudah mendapatkan beberapa catatan. Kau tidak datang sekolah di hari Rabu, dan kau terlambat kemarin. Bisa jelaskan apapun soal itu?"
"Tidak datang sekolah? Aku ...." Mata Ken membelalak, dia sontak menunduk dan kembali teringat di malam itu. Tidak lagi, kenapa malah jadi seperti ini?
"Aku ...." Tangannya mengepal dengan erat, napasnya seketika menjadi sesak. Mr. Stan segera menyadari perubahan yang tiba-tiba itu dan langsung merasa khawatir.
"Ken? Apa kau baik--" Lalu remaja itu mengangkat kepalanya. Mulut Mr. Stan sampai terbuka sedikit saat mendapati muridnya dengan seringai aneh, tetapi mata yang menangis.
"Aku ... aku tidak tahu ...." Dia terisak pelan, dan ketika dia berdiri begitu saja guru tersebut hanya bisa terperanjat. "Ibuku tewas ... mereka bilang karena dia bunuh diri. Ibuku ... aku seharusnya pulang ke rumah, tetapi aku malah pergi bekerja dan sekarang ...."
Setelahnya hanya ada suara tangisan Ken, dia tidak lagi bisa melanjutkan. Mr. Stan juga sama, kehabisan kata-kata dengan cepat. Dia tak tahu akan mengatakan apa.
Lalu Ken berlari keluar. "Ken!" Mr. Stan memanggilnya dengan panik, tetapi anak itu ternyata lebih cepat.
Lucy yang baru saja keluar dari pintu lainnya masih sempat menemukan Ken, dan matanya yang jeli juga melihat dia menangis. Kemudian Mr. Stan keluar dari ruangannya, gadis itu benar-benar yakin ada yang salah dengan Ken. Di pintu keluar juga terdapat Shiro yang kebetulan, dan mendapati Ken dengan mata basah.
"Ken?"
Sementara Ken hanya berlari, dia berlari menuju belakang sekolah tepat di mana rumah kaca berada. Tak ada seorang pun di sana. Ken bersandar di tembok dan membenamkan wajahnya. Hanya punggungnya yang bergetar, tetapi hatinya sedang berserakan di dalam sana.
"Apa kau benar-benar bunuh diri?! Apa kau bunuh diri karena aku?! Apa kau membenciku, ibu?!" Ken berteriak serak, menatap ke atas seolah sedang berbicara dengan ibunya. "Apa kau juga membenci sama seperti ayah?! Jika iya katakan padaku!"
Tentu saja tak ada siapapun yang akan menjawabnya. Tak ada yang akan mendengarkan. Ken hanya sendirian. Sama seperti dulu.
***
Senin selalu berakhir dengan lambat. Shiro langsung meregangkan tubuhnya dengan mengangkat tangan ke atas. "Kukira hari ini kita juga akan pulang cepat. Hei, Lucy, soal proyek seni kita, kau mau membuatnya di rumahku saja?"
Shiro memanggil cewek itu yang kebetulan sedang duduk di sampingnya. Namun, mata Lucy justru menatap kosong sesuatu di belakang sana. "Hei? Apa kau mendengarku?"
Lucy baru tersadar saat Shiro menepuk pundaknya. "Oh, yah ... maaf." Hanya saja kepalanya kembali menghadap ke belakang. Penasaran, Shiro ikut berbalik. Hanya ada Ken yang masih mengemasi barang-barangnya, lalu meninggalkan kelas sedetik kemudian.
"Wow, Lucy ... kau tertarik pada topi pink itu?"
"Apa? Tidak. Kau tidak tahu apa-apa. Jumat kemarin kami berada di kantor konseling, dan Ken meninggalkan tempat itu dengan menangis," jelas Lucy dengan suara cemas.
"Oh itu ... yah aku melihatnya, dan sepertinya dia bolos setelah itu."
"Kau melihatnya? Ya ... kalau begitu kau seharusnya mengerti. Ada sesuatu yang terjadi pada anak itu."
"Ya, aku mengerti," balas Shiro cepat. "Sejak hari kedua dia di sini pun aku sudah melihatnya menangis di kamar mandi. Aku juga ingin bertanya padanya, tetapi ...."
Keduanya berakhir terdiam dengan pikiran masing-masing, setidaknya mereka sepakat soal khawatir dan penasaran tentang apapun yang terjadi dengan Ken.
"Lucy! Shiro! Kalian belum mau pulang?" Lalu seseorang memanggil mereka di pintu kelas. Shiro menoleh dan menemukan kakak kembarnya di sana bersama dengan Alisha.
"Yah, tentu. Lucy, ayo," ajak Shiro sembari mengambil tasnya. Namun, Lucy masih terdiam di tempat saat Shiro telah mengambil beberapa langkah. "Hei, kita sama-sama khawatir, tetapi--"
"Kalian pulang saja lebih dulu, aku harus pergi," potong Lucy dan bergegas keluar dengan cepat, meninggalkan ketiga temannya dalam kebingungan.
"Hei, bagaimana dengan proyek seni kita?" teriak Shiro, tetapi Lucy sudah benar-benar jauh. Hanya bisa pasrah, dia ikut keluar dan langsung mengedikkan bahunya saat mendekati Alisha.
"Ada apa dengannya?"
"Ini soal Ken," jawab Shiro langsung.
"Ken? Maksudnya topi pink itu?" tanya Cyan.
"Apa Lucy menyukainya?" sambung Alisha.
"Yah ... sudahlah, lupakan saja. Aku ingin pulang sekarang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top