Pink!
Sedan putih itu melaju perlahan. Ken tahu ibunya tak perlu terburu-buru untuk menekan pedal gas. Di kursi belakang, cowok itu hanya terdiam saat menyaksikan pohon dan gedung-gedung bergerak melewati mereka.
Hingga akhirnya mobil berhenti. Sedikit lebih dekat dengan tulisan besar berbahan keramik yang terbaca Ischar Highschool daripada bus sekolah yang sudah mengosongkan kerumunan remaja-remaja lainnya dengan tas di punggung masing-masing.
Ken dan ibunya keluar bersamaan. Mereka tidak langsung masuk, melainkan terdiam saling menatap.
Wanita itu bisa menemukan iris yang datar, tanpa menunjukkan ekspresi yang cukup berarti. Tak lama dia tersenyum, dan segera menaruh sesuatu di kepala putranya.
Ken tersentak dan segera menariknya. Matanya membelalak, berusaha menyembunyikan benda itu agar tak dilihat siapapun. "Ibu? Kenapa?"
Ibunya hanya tertawa kecil. "Sudah kuduga ada sesuatu yang kurang. Kau melupakan topimu."
Setengah berbisik, Ken membalas, "aku sudah tidak menggunakan ini selama berbulan-bulan, aku sudah tidak mau memakainya lagi."
"Kau harus. Sekolah baru, dan kehidupan baru. Kau harus siap, Ken." Wanita itu mengedipkan matanya, dan merebut kembali topi yang masih berusaha disembunyikan putranya. Hanya sebuah topi polos tanpa ada bordir atau jahitan berlebih dengan warna merah muda gelap. Sebenarnya dia sulit menyimpulkan mengapa Ken tak lagi mau memakai topi ini. Dulu dia selalu mengenakannya dan tak sedikitpun merasa malu.
Karena tak ingin berdebat, dengan pasrah Ken mengenakannya kembali. Sudut bibirnya naik dengan terpaksa. Ibunya sudah cukup puas, karena putranya tersenyum. Mereka lalu menoleh bersamaan ke gedung sekolah yang mulai dimasuki murid-muridnya.
"Masuklah. Kau tidak perlu gugup," ucap wanita itu berusaha memberi semangat, tetapi yang ditemukannya malah wajah perlahan menjadi murung. Membuatnya lantas menghela napas pendek.
Hal kedua yang terjadi membuat Ken kembali terkejut. Ibunya memberi pelukan yang tiba-tiba.
"Ibu? Ada apa denganmu? Kau benar-benar membuatku malu."
"Apa? Kau malu dipeluk ibumu sendiri?" Kembali dia tertawa kecil. Pelukan itu tak dilepaskan sampai Ken benar-benar membalasnya, jadi cowok itu akhirnya mengangkat tangan. Wanita itu kembali bertanya, "sudah merasa baikan?"
"Aku baik-baik saja sejak tadi," protes Ken.
"Yah, terserah kau saja. Jangan sampai kau melepaskan topi itu."
Ken akhirnya pergi. Berlari kecil masuk ke dalam sana hingga kemudian mencapai gedung utama dan tiba di lorong loker. Tujuan utamanya sekarang adalah kantor kepala sekolah. Dia cukup kesulitan karena ternyata sekolah itu sangat besar, tetapi setelah melihat denah yang rumit dia bisa menemukannya, dan Ken mendapatkan jadwal untuk seluruh kelasnya, termasuk kata sandi untuk lokernya.
"Aku Mr. Isaac. Selamat datang di sekolah ini."
Kelas paginya adalah Kimia. Kepala sekolah mengatakan dia bisa masuk bersama guru yang akan mengajar. Setidaknya dengan begitu Ken tidak perlu mencari kelasnya.
"Panggil aku Mrs. Lisa. Kuharap kau bisa menyukai sekolah ini." Begitulah perkenalan singkat mereka dalam perjalanan menuju kelas. Wanita itu hampir setinggi murid-muridnya, Ken bahkan lebih tinggi. Dengan kacamata dan blouse putih membuatnya sedikit lebih modis daripada guru perempuan lainnya yang Ken sempat temui.
Hingga akhirnya tiba di kelas yang dimaksud. Ken menemukan orang-orang di dalam sana masih sibuk sendiri sampai seluruhnya hening saat mendapati guru mereka diekori seorang murid baru. "Ambil saja salah satu kursi di sana."
Ken mengangguk kecil dan pergi ke salah satu kursi kosong di bagian belakang. Semua mata masih mengikutinya, Ken benar-benar merasa tidak nyaman.
"Baiklah. Seperti yang kalian semua sudah lihat. Sekolah kita punya satu murid baru, dan secara kebetulan bergabung dengan kelas ini di hari pertama. Mungkin kau bisa memperkenalkan dirimu, anak muda?"
Ken berdiri, lalu berdehem pendek. "Aku Ken Jackson. Um ...." Matanya ikut menjalar ke sana kemari. "Senang bertemu dengan kalian ... kurasa." Beberapa murid tersenyum padanya, sebagian tertawa kecil dan mulai berbisik-bisik tetapi dengan mudah di dengar Ken.
"Dia tampan."
"Benarkah? Kurasa dia hanya tebar pesona."
Alis Ken berkedut. Entah orang-orang itu tak sadar kalau suara mereka sebenarnya terdengar ke seluruh kelas. Ken hanya langsung duduk tanpa menunggu siapapun untuk bertanya atau mengatakan apapun soal dirinya.
"Ini baru seminggu sejak acara penerimaan. Jadi aku harap kalian semangat kalian masih bertahan. Untuk saat ini aku ingin kalian membuka kembali bab awal yang tidak kita selesaikan Minggu lalu."
Ken menarik napas pelan sebelum membuka bukunya. Matanya bolak-balik berganti menatap buku dan papan tulis di hadapannya. Namun, tanpa alasan yang jelas kepalanya malah tidak terarah ke sana. Melainkan suara-suara kemarahan dan pukulan benda tumpul yang beradu seakan melengking di telinganya.
Tangannya bergetar, tulisan di atas buku catatannya mulai menghasilkan huruf yang bergoyang. Memaksa Ken harus menggunakan tangan kirinya untuk menahan pergelangan tangan yang satu.
"Tenanglah, Ken. Kau harus tenang. Ini hidupmu yang baru, kau tidak usah memikirkan itu lagi," batinnya. Degup jantungnya perlahan menjadi cepat, napas Ken berubah patah-patah, tetapi tak ada satupun yang menyadari.
***
Hingga akhirnya kelas selesai, dan benar-benar berjalan begitu lambat bagi Ken. Beruntung Mrs. Lisa tak pernah memanggil namanya pagi ini. Jiwanya seakan entah berada di mana. Cowok itu bahkan tak menyadari saat bel pengumuman berbunyi sampai suara seorang pria terdengar di balik pengeras.
"Selamat pagi, Ischar High. Kami ingin mengumumkan kalau sekolah harus segera dikosongkan dalam satu jam ke depan. Silakan keluar dengan tertib dan langsung pulang ke rumah."
Pengumuman terus berlanjut. Ken tak membuang waktu untuk segera mengemasi barang-barangnya, dan langsung berdiri begitu pengumuman akhirnya selesai.
"Kalian dengar itu, langsung pulang. Aku tidak ingin satupun dari kelas ini mengisi gedung C dalam satu jam ke depan." Mrs. Lisa menyambung pengumuman itu sebelum keluar meninggalkan kelas terlebih dahulu.
Ken baru saja akan mengikuti sebelum kemudian terhenti karena mendapati seluruh kelas bersorak kencang.
"Yeeeeeeeyyy! Pulang ke rumah!"
"Akhirnya! Waktu sekolah yang singkat!"
"Aku mencintaimu hari Senin!"
Ken hanya menggelengkan kepalanya pelan saat melihat yang terjadi, dan tanpa ingin membuang lebih banyak waktu dia lanjut melangkah.
Namun, sekali lagi dia terhenti. Seseorang tetiba saja menyentuh pundaknya. Ken menemukan dua murid perempuan saat berbalik.
"Hei ... Ken," ucap salah satunya ramah. Gadis berambut pendek dicat merah muda, mengenakan hoodie putih dan celana jeans ketat.
"Um ... hei?"
"Aku Alisha, dan ini Lucy," lanjutnya, menunjuk gadis lain yang berdiri di sampingnya. Pakaiannya lebih longgar dengan rok dan cardigan hijau.
"Um ... hei," ulang Ken merasa gugup.
"Sikap ragu-ragu, kemudian menghemat bicara, dan kaki yang ingin segera meninggalkan sekolah. Memang perilaku murid baru seperti yang aku lihat di film-film."
"Alisha, kau membuatnya takut," daripada Alisha yang sepertinya terlalu bersemangat, suara Lucy lebih halus.
"Kalian ... mau apa?" tanya Ken dengan seringai yang bergetar.
"Mau pulang bersama kami? Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi sepertinya ada masalah. Lagi pula kami punya kendaraan, dan kami mau berkenalan dengan murid baru sepertimu," sambung Alisha sembari memakai ranselnya di pundak.
"Oh, kalian sangat baik, tapi--"
"Omong-omong senang berkenalan denganmu, Ken si Topi Pink."
Ken baru saja akan menolak tawaran mereka, tetapi mendengar Alisha mengatakan 'Topi Pink' membuatnya refleks menyentuh kepala. Dia benar-benar baru ingat dengan benda tersebut.
"Ouh ... ini ...." Ken baru saja akan melepas topi dan Lucy segera menahannya.
"Tidak usah melepasnya, kau keren," sambungnya memuji, dengan suara lembut yang sama.
"Uh ... terima kasih." Sedikit tersipu, Ken menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dibandingkan murid laki-laki lain, gayanya tidak lah lebih baik. Hanya kaos oblong putih berlengan jingga. Topi itu pasti telah menarik perhatian banyak orang. "Dengar, aku hargai tawaran kalian, tetapi aku sebenarnya harus ke tempat lain sekarang."
"Kalau begitu kita bisa berjalan bersama ke loker. Yah ... apapun, terserah kau saja." Ken menyadari kalau Alisha sepertinya tipe memaksa. Hatinya masih semak, tetapi Ken juga tak ingin membuat kesan yang buruk di hari pertama. Jadi dia akhirnya mengangguk tanda setuju, dan bersama-sama mereka berjalan menuju pintu keluar, sebelum lagi-lagi dihentikan oleh seseorang. Murid laki-laki yang baru saja keluar dari kelas sebelah.
"A--Alisha, kebetulan sekali bertemu denganmu di sini ...." Berbeda dari yang dicuapkan, gerak-geriknya lebih terlihat seperti dia sudah menunggu Alisha sejak tadi.
"Shiro? Ada apa?" tanya Alisha yang namanya disebut.
"Aku ... ingin mengembalikan ini padamu." Cowok itu memberikan Alisha sebuah kotak kaset CD. Lalu berbalik dengan cepat.
"Apapun itu, terima kasih dan aku minta maaf. Sampai jumpa besok!" Lanjutnya dan melangkah pergi dengan cepat.
"Ada apa dengannya?" tanya Lucy heran.
"Dia meminjam film dari--ha?! Rusak?" Ucapan Alisha terpotong saat ingin mengecek kasetnya, yang ternyata patah menjadi dua.
"Shiro! Kembali kau kemari!" Alisha seketika berlari kencang lalu menarik punggung Shiro dan menendang selangkangannya. Shiro refleks melompat-lompat menahan sakit, membuatnya menjadi pusat perhatian singkat oleh mereka yang masih ada di lorong.
"Alisha! I--Itu sakit tau!" raung Shiro. "Kau tidak tau kalau rasa sakitnya sama seperti 20.000 tulang patah secara bersamaan?!"
"Siapa suruh kau merusak ini!" tukas Alisha sembari mengacungkan CD-nya. "Pokoknya ganti!"
Sembari masih melompat-lompat kesakitan memegang alat vitalnya. Alisha meninggalkannya dan bergegas menuju lokernya dengan rasa geram. Ken yang melihat pemandangan barusan benar-benar terkejut dan ikut membayangkan rasa sakitnya.
"Dah, Shiro!" Lucy berhenti sebentar, lalu melanjutkan langkahnya. Ken juga berhenti sejenak, tetapi tanpa berbicara sedikitpun ia segera menyusul dan menemukan kedua perempuan itu sudah tiba di lorong loker.
Mulut Alisha masih komat-kamit saat dia menyimpan barang-barangnya. Ken sungguh tak menduga penampilan manis dari gadis tersebut ternyata berbanding terbalik dengan tindakan-tindakannya. Namun, dia cepat-cepat abai dan secara tidak sadar mulai memperhatikan sekelilingnya.
Lucy yang sebelumnya hanya terfokus pada temannya seketika berpindah begitu mendapati Ken yang masih memutar kepala. Dengan mudah dia menyimpulkan. "Kau butuh tur sekolah?"
Ken menoleh terkejut. "Apa?"
"Kau tahu, sekolah ini cukup luas. Mungkin saja kau akan tersesat." Cewek itu terkikik. "Aku bisa membantumu berkeliling kapan-kapan."
"Uh ... tentu. Terima kasih, Lucy," balas Ken, lalu tersenyum kikuk. Kepalanya kembali bergerak ke atas dan menemukan jam dinding di sana. Masih cukup siang, tetapi dia ingin segera pergi sekarang.
"Hei, maaf. Aku harus benar-benar pergi sekarang. Sampai jumpa, Lucy. Sampai ketemu besok."
Gadis itu hanya melambai saat Ken berusaha melewati kerumunan yang juga ingin meninggalkan sekolah.
"Baiklah. Jadi Ken, aku mau tanya, kenapa kau--" Alisha yang akhirnya selesai ingin bertanya, tetapi kemudian menyadari murid baru itu telah menghilang. "Hei, ke mana dia?"
***
Ken mengusap dahinya yang dipenuhi keringat. Fyuh! Malam ini berjalan dengan lancar. Seluruh meja sudah dibersihkan. Ken memilih untuk duduk sebentar sebelum meninggalkan tempat itu.
"Yo! Sampai jumpa Rabu nanti."
Ken hanya melambai pada temannya itu, dan akhirnya ikut pergi. Di tengah jalan dia mengecek ponselnya. Tertulis angka yang menunjukkan sudah pukul sebelas malam. Hari ini kedai kopi tutup lebih cepat.
Pakaiannya masih sama saat dia ke sekolah. Tasnya bahkan masih ada di punggung. Ken tidak pulang ke rumahnya seperti yang diumumkan, melainkan singgah ke sebuah kedai kopi untuk bekerja sampingan. Dia sudah melakukannya sejak beberapa bulan belakangan.
Topinya dilepaskan, membiarkan angin malam melambaikan rambutnya yang mulai tumbuh lebat. Ken berpikir akan memotongnya kalau sudah tak mampu ditutup topi. Meski sedikit lelah, dia memilih untuk berjalan kaki saja, jaraknya juga tidak terlalu jauh.
Tiba di sebuah lingkungan apartemen kecil, Ken bergegas naik, tetapi langkahnya memelan saat mencapai sebuah pintu. Dengan hati-hati tangannya memutar gagang. Kepalanya menjulur dan matanya was-was melirik sekitar. Tak ada lampu yang menyala.
Pelan-pelan Ken menutup pintu dan menguncinya. Begitu hati-hati agar tidak ada suara yang dihasilkan.
"Jam berapa sekarang?"
Ken terperanjat ketika nada tak menyenangkan terdengar di belakangnya. Diikuti dengan lampu yang akhirnya menyala. Sambil menenggak ludah, Ken berbalik.
"I--Ibu belum tidur?" tanya Ken gagap, tetapi wanita di hadapannya sudah berkacak pinggang. Ken hanya bisa bernapas kasar. "Maafkan aku, tapi aku hanya--"
"Ini hari pertamamu sekolah, dan kau sudah pulang selarut ini. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?" tegas ibunya yang membuat Ken seketika menunduk.
"Tapi ... aku hanya pergi membantu Arthur." Jawaban itu membuat suasana hening sementara. Ibu Ken tertegun mendengarnya. Tak lama dia mendesau dan memegang kedua pundak putranya.
"Sudah kubilang untuk tidak usah bekerja lagi. Kau sudah sekolah, Ken."
"Tapi ibu masih harus membayar sewa tempat ini. Aku ... aku hanya mau membantu--" Sekali lagi kalimat Ken terpotong. Saat dekapan yang erat tiba-tiba diberikan. Perasaannya campur aduk untuk beberapa saat.
"Apa kau meragukan pekerjaan ibu? Aku punya gaji yang besar untuk menghidupimu. Berhentilah bekerja, fokus saja untuk sekolahmu. Bukankah kau mau masuk universitas?"
Perlahan Ken membalas pelukan itu, dia sampai membenamkan wajah di pundak ibunya demi menahan air mata.
"Terima kasih, Ibu," batinnya, dilanjutkan dengan senyum yang tersembunyi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top