Affection!
Menarik napas yang kasar, Shiro berjalan menuju tempat Alisha yang tengah asik berbicara dengan Lucy. Tanpa mengatakan apapun untuk memotong obrolan mereka, Shiro menyerahkan sebuah kotak plastik tepat ke depan wajah mereka.
Alisha mengambilnya sedikit kasar, membuka kotak tersebut dengan wajah cemberut, dan tidak lama menyimpannya ke dalam loker.
"Terima kasih, Shiro," ucap cewek itu dengan senyum yang seakan terpaksa, karena setelahnya langsung berubah menjadi tatapan sinis.
"Aku minta maaf, okey. Aku benar-benar tidak sengaja menghancurkannya. Yah, tapi ternyata benda itu sangat sulit ditemukan." Shiro mendesau kembali. "Dan menghabiskan setengah uang jajan bulananku."
"Akhirnya kau mengerti," balas Alisha, kini giliran Shiro yang cemberut. Lucy yang memperhatikan hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah kedua sahabatnya itu.
"Yo." Kemudian di belakang mereka, Rick muncul bersama Cyan. "Kalian mau makan? Aku lapar."
Shiro mengangguk pelan, tetapi cowok kepala plontos itu menyadari ada sikap yang berbeda. "Biasanya kau selalu bersemangat kalau soal makan."
"Dia kehabisan uang jajannya untuk mengganti CD Alisha yang patah," jelas Lucy.
"Kau mematahkan CD Alisha? Kapan?" Cyan yang tadi hanya memperhatikan ponselnya langsung mengangkat sebelah alis.
"Tidak bukan itu. Maksudku bukan sepenuhnya. Sebelum keluar kelas Mr. Stan memanggilku," jawab Shiro menyinggung salah satu konselor di sekolah mereka.
"Kau mendapatkan masalah?" Cyan bertanya kembali, kali ini suaranya lebih tinggi.
"Tentu saja bukan. Ini soal murid baru yang kita bicarakan semalam."
"Ken? Si Topi Pink itu?" ucap Alisha memastikan, Shiro mengangguk lagi untuk menjawabnya.
"Yah. Kami ternyata punya konselor yang sama, dan dia tidak masuk sekolah pagi ini. Lalu karena Mr. Stan tahu aku sudah mendapatkan nomor ponselnya, dia memintaku untuk menghubunginya."
"Kau sudah punya nomor ponselnya?" tanya Lucy terdengar tertarik. Shiro mengangguk.
"Ya, memangnya kenapa kalau dia tidak masuk sekolah sekali? Kita semua pernah melakukannya," sambung Rick memberikan pendapatnya.
"Kupikir juga begitu, tetapi Mr. Stan berpikir mungkin ada masalah, karena dia murid baru yang belum sampai seminggu di sekolah ini. Lagi pula, kalian ingat kan tadi malam aku mengatakan kalau tidak sengaja kulihat anak itu menangis di kamar mandi. Menurutku memang ada sesuatu yang terjadi padanya."
Mereka semua sempat terdiam selama beberapa detik, sampai Alisha tiba-tiba saja berceletuk, "menurutku ini tentang sesuatu di sekolah lamanya."
Lucy segera menyela. "Tidak sopan mengatakan itu. Lebih baik tunggu saja besok. Mungkin dia hanya sedang sakit, atau ada sesuatu yang lain."
***
Ken sontak berdiri dengan geram, sambil memukul meja di hadapannya yang menjadi pembatas antara dirinya dan seorang detektif yang baru saja mengatakan kalau Ibu Ken dinyatakan tewas bunuh diri. "Kau pasti bercanda!"
Detektif tersebut berusaha menjelaskan dengan perlahan-lahan agar Ken setidaknya lebih tenang. "Itu hasil penyelidikan kami. Mayat di dalam bak mandi, pisau dapur di bawah mayat, dan terlebih hasil forensik juga mengatakan hal yang sama. Tak ada tanda-tanda kekerasan dari mayat ibumu."
"Tapi ibuku tidak mungkin bunuh diri! Dia menghubungiku sejam sebelum dia tewas. Bisa saja pembunuhnya yang melakukan semua itu agar tampak seperti bunuh diri," teriak Ken dengan putus asa.
"Aku minta maaf, Nak. Namun, aku mengatakan yang harus dikatakan, tetapi kesaksianmu akan tetap digunakan untuk penyelidikan lebih lanjut, dan jika kami menemukan sesuatu yang baru, kau akan jadi orang pertama yang mengetahuinya," terang detektif tersebut. Mengakhiri ucapan Ken dengan segera, remaja itu duduk sembari berusaha menahan air matanya.
Hatinya benar-benar berkecamuk. Ken menyesal, penyesalan yang sangat besar. Jika saja dia tidak meladeni Gina semalam, jika saja dia mendengarkan ibunya dan berhenti bekerja, mungkin saja ibunya masih hidup.
"Nak, aku sungguh menyesal atas yang terjadi, dan aku juga sudah tahu tentang keluargamu."
Ken mengangguk pelan. "Orangtuaku sudah bercerai ...," ucapnya hampir berbisik
"Kami sudah mengabari ayahmu. Dia dalam perjalanan kemari."
Ken terperanjat, mengangkat kepalanya dengan tatapan yang membelalak kepada detektif itu. "Apa kau bilang?"
"Ayahmu. Sebenarnya kukira kalian akan datang bersama. Mungkin dia sudah dekat, entahlah. Apa kalian belum berbicara?"
Ken tiba-tiba saja berdiri, mengagetkan petugas tersebut "Di mana dia sekarang? Kapan dia tiba--"
Pintu tiba-tiba terbuka di belakangnya. Seorang pria dengan seragam biru tua muncul di sana, bersama pria lain dengan kemeja putih berdasi hitam. Di dekatnya juga ada seorang anak kecil yang langsung membelalak saat melihat Ken.
"Kakak."
Namun, Ken bereaksi apapun. Senyum pun tidak. Pandangannya dengan segera berganti ke pria yang mengenakan kemeja itu. Hanya dalam beberapa detik Ken merasakan seluruh tubuhnya tegang, hingga tak mampu meneguk ludahnya sendiri.
"Mr. Jack. Senang akhirnya kau muncul, kami baru saja membicarakanmu," ucap si Detektif.
Pria itu lalu tersenyum. "Kuharap pembicaraan yang baik," ucapnya ramah, lalu berjalan masuk dan berhenti tepat di samping Ken. Sementara anak kecil itu berdiri di belakang Ken. "Aku sungguh menyesal atas yang terjadi pada istri--maksudku mantan istri Anda."
"Ah ... ya. Kami semua terkejut." Pria itu menoleh, melirik Ken yang membuang muka, tak sedikitpun ingin menatapnya. "Setidaknya putraku baik-baik saja."
"Sebaiknya Anda segera ke pengadilan. Hukum yuridis yang berlaku menyatakan hak asuh Ken masih dipegang ibunya."
"Apa?" Lagi-lagi Ken terkesiap. "Aku akan tinggal dengannya?!"
"Ya. Kau masih 17 tahun." Si Detektif hanya mengedikkan bahu. Sementara pria tadi langsung melepas tawa.
"Anak-anak memang dewasa terlalu cepat." Sekali lagi dia menoleh, kali ini mereka benar-benar saling menatap. Ken menemukan wajah dengan senyuman yang sangat lebar. "Terima kasih sudah menjaga putraku, tapi sebenarnya aku masih harus ke rumah sakit sekarang, katanya mereka membutuhkanku di sana, maksudku untuk mantan istriku. Jadi bisa bantu aku mengantar kedua putraku pulang? Mereka akan menunjukkan jalannya."
"Ah, ya. Mereka memang membutuhkanmu di sana. Jangan khawatir, Mr. Jack. Kedua putramu akan pulang dengan selamat."
"Senang mendengarnya. Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu." Pria itu tersenyum kembali, dan menggosok kepala Ken untuk mengacak-acak rambutnya, sebelum kemudian pergi tanpa mengatakan apapun.
Sementara anak kecil tadi segera berpindah ke sebelah Ken, memeluknya walau hanya sampai pinggang. Dia merasakan tubuh Ken bergetar dengan hebat, dan anak itu tahu apa alasannya. Bahkan mungkin hanya dia saja dan Ken yang tahu kenapa.
***
Mobil polisi itu tiba di halaman sebuah rumah yang ternyata cukup jauh dari rumah-rumah lainnya di lingkungan tersebut. Setelah berterima kasih, Ken dan adiknya keluar. Namun, petugas polisi itu ternyata mau mengantar mereka masuk meski Ken menolak.
Begitu mereka tiba di dalam, Ken menatap sekitar. Keadaannya tidak banyak berubah sejak dia meninggalkannya terakhir kali. Masih ada sofa panjang dan televisi besar, bersama jam dinding analog bertuliskan 17:42. Namun, dia tidak sedikitpun merasa bernostalgia, malah ingin segera meninggalkan tempat itu.
"Kau baik-baik saja, Nak?" tanya petugas itu mendapati Ken dengan napas memburu.
"Hanya terguncang," jawab Ken tidak sepenuhnya berbohong.
"Sebaiknya kau beristirahat. Hubungi kami kalau kau mendapatkan masalah."
Ken mengangguk dan memberi senyum kaku. Ken terdiam di tempatnya, memastikan polisi tersebut benar-benar telah pergi. Lalu secara tiba-tiba Ken mengangkat kembali tas kopernya dan bergegas menuju pintu depan.
"Kakak mau ke mana?" tanya adiknya.
"Tentu saja pergi dari sini, Sean. Aku tidak mau berada di sini!"
Baru saja dia akan menyentuh gagang dan pintu depan sudah terbuka, dengan ayahnya yang masih mengenakan kemeja putih bersama dasi hitam itu. Ken sontak mundur dengan wajah yang penuh kengerian.
"Kau pikir kau mau ke mana?"
Ken merasakan tenggorokannya sakit saat dia meneguk ludah, kakinya seakan membeku karena tak bisa lagi bergerak. Hanya menatap wajah ayahnya yang mengerut. Tak menunjukkan sedikitpun senyum seperti saat di kantor polisi.
"Ayah." Sean dapat merasakan ketakutan yang Ken pancarkan di sana. Namun, dia tidak bisa mendekat.
"Sean. Naik ke kamarmu," perintah ayahnya.
"Tapi--"
"Naik ke kamarmu!" Teriakan itu sangat kencang. Ken bahkan ikut terkejut. Sean buru-buru naik ke atas, masuk ke kamarnya dan menutup pintu.
Ken sendirian sekarang, dipenuhi perasaan cemas, takut, dan marah.
"Bunuh diri, huh? Apa itu bahkan benar? Apa Daisy bunuh diri? Tidak. Kau pasti membunuhnya."
Rahang Ken menegang. "Aku tidak membunuh ibuku," ucapnya penuh penekanan.
"Kalau begitu siapa? Atau ... kau menuduhku? Sangat jelas kau lah pelakunya di sini. Kau adalah penjahat dan itu tidak akan berubah. Apa kau lupa dengan yang sudah kau lakukan?"
"Aku bukan penjahat!" teriak Ken bersama isak tangis yang tak bisa lagi dia tahan. "Itu bukan kesalahanku. Aku tidak pernah melakukannya! Aku tidak pernah memperkosa Gina!"
Di saat itu juga tangan ayahnya mencengkeram leher Ken. Udara jadi tipis di dadanya, terlebih saat tubuhnya diangkat hingga tak lagi menyentuh lantai. Remaja itu meronta, berusaha mencakar ayahnya, tetapi tenaganya benar-benar tak sebanding.
"Aku muak denganmu, dasar sialan!" Tubuh Ken dibanting di atas meja kayu yang keras. Membuatnya langsung batuk dan mengeluarkan darah segar. Topinya terlepas, Ken merasakan rasa sakit yang luar biasa di belakang kepalanya, dan saat meraba, telapaknya sudah dipenuhi warna merah.
"Setelah membuatku kehilangan pekerjaan yang bagus, sekarang kau malah membunuh ibumu! Apa kau tidak puas menjadi seorang penjahat?!"
Masih berusaha mengambil napas, Ken balas berteriak dengan suara yang serak. "Percayalah padaku, ayah ... aku tidak berbohong."
Ayahnya semakin murka, tanpa sedikitpun peduli dia langsung menarik kerah baju Ken dan menyeretnya ke garasi yang hanya berisi balok dan papan kayu. Tubuh Ken dilemparkan dengan mudah ke dalam sana.
Ken tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ayahnya berjalan mengambil salah satu kayu tersebut. Dia harus berlari atau melawan balik, tetapi kondisinya tak memungkinkan untuk melakukan apapun.
Jadi pilihannya adalah memohon. "T–Tidak. Jangan! Berhenti! Ayah, jangan pukul aku!"
Bukannya menunjukkan belas kasih, kayu itu malah diangkat tinggi, siap memukul Ken keras. "Kau bahkan masih berani memanggilku ayah?" ucapnya geram.
Ken menangis keras. Sementara kayu itu berayun dengan cepat ke bawah. "Kau bukan putraku!"
Lalu teriakan yang kuat mengakhiri kesadaran Ken.
***
Gina mulai gelisah menunggu di halte bis. Ini sudah hampir malam dan ponselnya juga kehabisan daya.
Bibi Gina seharusnya datang tiga puluh menit yang lalu, tetapi tak terlihat sedikitpun tanda-tanda mobil berwarna kuning mendekat.
"Ayolah ... Bibi di mana kau?"
Justru terlihat mobil lain yang menyalakan lampu sein, lalu berhenti tepat di depan halte. Dengan gugup Gina menunggu siapa itu, dan saat kaca mobil akhirnya terlihat kalau itu temannya yang selalu mengenakan topi berwarna merah muda.
"Gina? Kenapa kau di sini sendirian? Di mana Neal?"
Gadis itu mendesau kasar. "Aku menunggu bibiku," jelasnya, dan melanjutkan kalau Neal sudah pulang dan tadi Neal menawarinya tumpangan.
"Sangat disayangkan. Hei, kenapa tidak naik mobilku saja?"
"Mobilmu?" Mata Gina menyorot kaku. Sebenarnya bukan soal mobil itu yang punya model lama, tetapi dia belum sedekat itu dengan temannya. Mereka memang sering bertemu di sekolah dan juga kegiatan klub musik, tetapi hanya itu. Namun, Gina juga tidak lagi mau menunggu lebih lama. Lagi pula dia tahu temannya adalah orang yang baik.
"Apa aku tidak akan merepotkanmu?" tanya Gina memastikan.
"Apa maksudmu? Kita teman, untuk apa aku merasa repot? Naiklah. Kau akan selamat sampai rumah," balas cowok itu. Gina akhirnya tersenyum ramah dan naik ke mobil.
"Hei, benar juga. Ini pertama kalinya aku akan ke rumahmu," ucap laki-laki itu bersemangat.
Gina juga baru sadar, tetapi dia sebenarnya tidak mau temannya mengantar sampai rumah. "Ehm ... kau tidak perlu sampai rumahku. Ada jembatan tidak jauh dari sana, cukup sampai di situ saja, aku akan berjalan kaki untuk sisanya."
"Ah, sayang sekali ... tapi tidak masalah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top