Satu

"Kamu bisa keluar dari ruangan saya sekarang nggak?"

Bibir Laksmi mengatup dengan kening mengerut. Matanya menatap saya lurus dan agak berkaca-kaca. Jemarinya meremas kertas berisi rancangan perjanjian kerja sama dengan kolega yang barusan kami bahas. Baru kali ini Laksmi berkonsultasi mengenai poin-poin yang diatur di dalam surat perjanjian kerja sama di ruangan saya. Konsultasi berlangsung singkat, selebihnya dia malah berkonsultasi tentang perkara pribadi. Saya tidak salah, dong, kalau segera menyuruh Laksmi kembali ke meja kerjanya.

"Bapak nggak mau kasih saya kesempatan?" tanyanya agak merajuk.

Saya menggeleng. "Saya sibuk, Laksmi."

Seperti biasa, Laksmi keluar dari ruangan saya dengan wajah cemberut. Saya menarik napas dalam-dalam saat Laksmi menutup pintu dari luar. Sebetulnya saya tidak mempermasalahkan sikap Laksmi yang begitu gencar. Mengapa tidak? Lima dari tujuh hari dalam seminggu kami beraktivitas bersama. Apa lagi Laksmi adalah sekretaris perusahaan merangkap sekretaris pribadi saya. Interaksi yang terjalin di antara kami bisa dikatakan sangat sering. Laksmi wanita baik cenderung sempurna, tapi hati saya tidak bisa terpaut kepadanya. Sekeras apa pun Laksmi dan saya berusaha, tampaknya sia-sia. Lantas saya tersadar, ini sangat omong kosong. Pria setua saya tidak layak memikirkan drama percintaan yang sudah melewati masa kejayaan. Memikirkannya membuat waktu saya terbuang percuma.

Dari balik dinding kaca ruangan saya, terlihat wajah Laksmi tampak tidak berdaya. Bagaimanapun wanita itu sudah menyumbang banyak kebaikan untuk keluarga saya, terutama untuk Resaka dan Dheka. Sayangnya, saya tidak bisa menikmati interaksi manis mereka seperti saat saya sangat terpesona dengan tindakan Vara untuk kedua anak saya. Ah, saya tidak tahu harus pakai cara apa lagi untuk membuang namanya yang sudah telanjur melekat di hati ini.

Ya Tuhan, sebuah dosa besar bagi saya masih juga memikirkan wanita yang sudah bahagia bersama prianya. Lama-lama saya bisa gila.

"Astaga, sudah empat bulan. Seharusnya aku sudah nggak memikirkannya." Saya bergumam sambil meraup wajah. Empat bulan telah berlalu sejak Vara menikah dengan Naga lantas mereka pindah ke Surabaya. Di sana mereka sudah berbahagia sedangkan saya masih saja menyalahkan keadaan. Jika saja Naga tahu apa yang saya rasakan, dia pasti berteriak kegirangan. Ah, sudah lupakan.

Pukul tiga sore. Hari ini saya ingin pulang lebih awal. Mendadak kepala saya terasa pening. Biarlah sisa-sisa pekerjaan ini saya lanjutkan di rumah. Yah, kalau bisa, sih. Soalnya kalau sudah sampai rumah biasanya saya jarang memegang pekerjaan kantor kecuali di atas pukul sepuluh malam. Pekerjaan rumah tangga lebih menyita perhatian ketimbang berkas-berkas hasil meeting dengan para kolega.

"Bapak mau ke mana?" Laksmi bertanya ketika saya keluar ruangan dengan tas ransel memeluk punggung.

"Pulang. Kepala saya pusing. Kamu urus kontraknya sampai beres, ya. Besok pagi taruh saja di meja saya."

"Bapak sakit? Bisa nyetir nggak, Pak? Saya setirin, deh. Entar kalau Bapak pingsan gimana?"

Saya menggeleng. Menahan tangan Laksmi yang hendak menyentuh dahi saya. "Saya nggak apa-apa." Lalu, saya melangkah melewatinya. Dari ekor mata, bisa saya lihat air muka kecewa menghiasi wajah manisnya.

Laksmi masih muda, masa depannya masih panjang. Bahkan dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi sekretaris saya dengan gaji yang ala kadarnya (yang penting UMR). Beberapa kali saya mencoba memancing Laksmi tentang pekerjaan, dia tetap keukeuh tidak mau mencari karier baru. Dan, saya sangat terkejut alasannya bertahan adalah karena keberadaan saya. Kepala saya semakin pusing memikirkannya.

Melajukan mobil perlahan di sepanjang jalan yang padat kendaraan, membuat memori saya berputar. Ketika melewati beberapa tempat yang pernah menyumbang kenangan, ingatan saya menajam. Menarik napas panjang, saya bersyukur dalam hati. Tuhan masih berbaik hati mengingatkan saya lewat luka-luka yang tertoreh dalam.

"Papa!" Dheka berseru begitu mobil saya memasuki pekarangan.

Menurunkan kaca mobil, saya membalasnya, "Halo, anak Papa."

Dheka—meskipun berusia tiga belas tahun—dia sangat manja dan begitu kekanakan, apa lagi bila bersama saya. Usia di mana seharusnya dia bercengkerama dengan teman-teman seusianya, tapi Dheka lebih senang berada di rumah. Tidak terlalu suka berbaur. Bermain game, menonton film, dan melukis. Dheka tidak suka berada di antara banyak orang. Saya sampai membawanya menemui psikolog untuk memeriksakan kondisinya. Seorang anak yang menarik diri dari lingkungan, bagi saya cukup mengkhawatirkan untuk perkembangan pribadinya. Tapi, syukurlah, sedikit demi sedikit Dheka mulai membuka diri dengan lingkungan sekitar.

"Pa, ulangan matematika Dheka dapat tujuh," lapor Dheka begitu saya menutup pintu mobil. Dheka berlari kecil mendekati saya, seragam sekolah masih melekat di tubuh tambunnya. Dia mengangsurkan kertas yang menunjukkan angka tujuh berukuran besar di sisi kanannya.

Saya tersenyum sambil menepuk puncak kepala Dheka. Nilai tujuh pada mata pelajaran matematika adalah pencapaian terbesarnya selama ini.

"Hebat, dong. Pinter banget anak Papa," ucap saya seraya merangkul pundaknya.

"Tapi ... teman-teman Dheka banyak yang dapat nilai sepuluh, Pa." Dheka menundukkan kepala.

"Sepuluh?" Sambil merangkul bahu Dheka, saya membawanya masuk ke dalam rumah. "Nggak ada yang salah antara tujuh atau sepuluh, kok. Kan, mereka sama-sama angka. Kecuali kalau teman-teman Dheka dapat sepuluh sedangkan Dheka nggak dapat apa-apa, baru Dheka boleh panik."

Dheka meremas ujung kausnya. Pelajaran berhitung memang sulit dipahami putra bungsu saya ini. Padahal dia sudah rutin mengikuti les privat secara offline maupun online, melalui media aplikasi pendidikan terkenal dan guru les paling recommended se-kota Jogja, sudah dijalani. Tetapi, bila pada dasarnya kemampuan Dheka memang segitu, saya tidak akan memaksa.

"Nggak apa-apa, yang penting Dheka dapat nilai angka. Sama kayak teman-teman Dheka. Ayo, sekarang Dheka bantuin Papa masak, ya. Mau nggak?"

"Mau." Dheka mengangguk cepat.

Bukannya pelit atau gimana, tapi saya memang sengaja tidak menyewa asisten rumah tangga. Semua pekerjaan rumah tangga ini kami kerjakan bertiga. Baik saya, Resaka, dan Dheka sama-sama memiliki tanggung jawab mengelola rumah yang kami tinggali dengan pembagian tugas masing-masing. Semua ini saya lakukan agar mereka terbiasa belajar tanggung jawab sejak dini, bagaimana cara menghargai waktu, untuk bekal hidup kelak.

"Kita mau masak apa, Pa?" tanya Dheka sambil mengekori saya meletakkan tas ransel ke dalam kamar.

Melihat wajah semringahnya membuat pening di kepala saya menghilang. Apa lagi kalau mendengar kata-kata 'memasak', Dheka sangat bersemangat. Dari situ saya jadi paham passion Dheka mengarah ke mana.

"Cumi asam manis sama cap cay. Kesukaan kamu, kan?"

"Iya, Pa. Tapi, Mas Resaka nggak suka cumi. Nanti dia ngambek lagi kita masaknya nggak sesuai selera Mas Resaka."

"Ya ... nanti kita juga masak ikan bakar buat Mas Resaka. Oke?"

"Siap, Pa." Dheka mengangkat dua jempol tangannya yang bulat-bulat.

Sembari menunggu Resaka pulang karena dia langsung melanjutkan aktivitas ekstrakurikuler basket, saya bersama Dheka beratraksi di dapur. Menyajikan hidangan untuk kami bertiga.

Nah, semua makanan sudah matang. Siap disantap. Saya meminta Dheka menaruh makanan di atas meja makan sementara saya merapikan dapur. Mungkin bagi sebagian orang, kegiatan saya tidak lazim. Bekerja selama delapan jam di kantor—belum lagi kalau ada overtime bisa lebih dari itu, kemudian mengurus dua anak remaja, dan mengelola rumah tanpa asisten rumah tangga.

Bahkan para tetangga, terutama ibu-ibu seolah takjub bila bertemu dengan saya. Entah apakah mereka prihatin dengan kondisi saya atau bagaimana, yang jelas ibu-ibu itu selalu menatap saya dengan tatapan sulit diartikan setiap kali berpapasan. Tampaknya seorang pria seperti saya masih dipandang aneh karena mengerjakan sepaket rutinitas seperti layaknya ibu rumah tangga.

"Cap caynya pakai mangkuk yang besar saja, Dhek. Papa mau buang sampah dulu."

Memasukkan semua sampah ke dalam plastik, saya bergegas membuangnya ke dalam tong sampah yang terletak di depan rumah. Namun—bayangan seorang wanita terlihat baru saja memasuki rumah kosong yang berada persis di samping kiri rumah saya—membuat kepala saya otomatis menoleh ke arahnya. Rumah itu sudah tidak dihuni selama setahun. Selama ini saya juga tidak pernah tahu ada tanda-tanda rumah itu akan dihuni. Tidak mungkin saya berhalusinasi. Kehadiran wanita itu sangat jelas dan pintunya terdengar baru saja ditutup. Lantas, siapa dia? Tetangga baru, kah?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top