Lima
Nomor kontak Enzi sudah tersimpan di dalam memori ponsel saya. Saya bisa melihat sosoknya yang melambaikan tangan dari kaca spion. Anak ini sungguh ajaib. Dengan tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi dan tanpa basa-basi, Enzi berani bersikap out of the box. Saya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis mengingat kelakuan Enzi yang aneh.
Ketika saya kembali ke kantor, terlihat meja Laksmi sudah bersih. Tampaknya tadi dia langsung berkemas-kemas. Segera saya mencari informasi dari HRD dan mendapat konfirmasi bahwa Laksmi memang meninggalkan perusahaan selang beberapa saat setelah saya pulang ke rumah untuk mengambil ponsel yang tertinggal. Wanita ini sungguh tidak memiliki etika dan sopan santun.
"Laksmi bilang sudah minta izin sama Bapak. Saya kira masih satu bulan lagi, eh malah orangnya sudah hilang waktu saya samperin di meja kerjanya. Yah, baru kali ini ada karyawan yang nyelonong pergi nggak punya adat. Bahkan dia nggak minta surat keterangan kerja, loh," jelas Andini—staf HRD perusahaan.
"Coba kamu pasang iklan lowongan pekerjaan sekarang," perintah saya sambil memijat pelipis. Bisa-bisanya Laksmi kabur di saat volume pekerjaan sedang melimpah. Mendadak pula. "Oh ya, cari yang pria saja, Din."
"Baik, Pak."
Dalam waktu hitungan hari, saya harus segera mendapat kandidat pengganti Laksmi. Saya menyesalkan sikapnya yang begitu sembrono. Tidak ada alasan yang dapat diterima akal sehat saya mengenai alasan Laksmi meninggalkan pekerjaannya. Dengan sangat terpaksa, saya mengambil alih pekerjaan sekretaris untuk sementara waktu sembari menanti kandidat terpilih.
Ketidakbiasaan saya membuat berkas administrasi membuat saya harus mendekam di kantor lebih lama. Sampai tidak terasa sudah pukul sembilan malam saja. Biasanya kalau saya lembur, Laksmi selalu menemani. Di baru pulang setelah saya selesai dengan urusan saya.
Jam segini biasanya anak-anak masih asyik menonton televisi atau main game. Atau bahkan mereka sudah ketiduran di kamar masing-masing karena suasana begitu sepi saat saya memasuki rumah. Samar-samar suara televisi di ruang tengah masih terdengar. Tidak ada siapa pun. Langkah saya berlanjut, suara gemericik air di dapur membuat saya waspada.
"Enzi?" Saya berseru, terbengong heran.
"Eh, Pak Garen sudah pulang," cetus Enzi sambil mengelap kedua tangan yang basah di celananya.
Berdiri di ambang pintu dapur, saya menatapnya tajam. Siapa yang memberi dia kebebasan akses masuk ke rumah saya?
"Maaf, Pak Garen. Saya nggak sopan banget, ya. Tadi Dheka minta tolong ajarin PR Matematika. Resaka, kan, ada kegiatan di sekolahnya makanya tadi agak sempat bingung juga, sih. Tapi, sekarang sudah beres semua, kok. Oh ya, saya masak juga, Pak. Masih saya sisain di meja buat Bapak. Pasti Bapak lapar, kan, habis pulang kerja," celoteh Enzi seraya membuka tudung saji meja makan. Ada semangkuk kecil soto daging di sana.
"Iya, kamu nggak sopan banget," ucap saya, melangkah mendekati Enzi sambil mengintip meja makan. Enzi menunduk, seolah tahu setelah ini bakal mendapat teguran beruntun. Namun, saya hanya menghela napas begitu melihat gelagat Enzi yang tampak ketakutan. Wajah tidak berdayanya mencegah saya menyemburkan kata-kata emosional.
"Katanya nggak bisa masak. Ini yakin kamu yang bikin?" lanjut saya, menunjuk soto daging di atas meja.
Perlahan Enzi mendongak. Dia menatap saya dan soto daging di atas meja bergantian. Kemudian senyumnya mengembang lagi.
"Itu masakan percobaan, sih. Tadi saya makan rasanya enak-enak saja. Semoga cocok di lidah Bapak, tapi kalau masih terasa aneh tolong dimaklumi saja, ya."
Sebenarnya saya tidak berminat mencicipi masakan Enzi yang kelihatan meragukan. Kuah sotonya sangat keruh dan irisan dagingnya terlalu kecil. Kecambahnya juga banyak banget.
"Kalau begitu, saya permisi ya, Pak. Maaf, saya mengganggu Bapak terus. Selamat istirahat, Pak Garen. Kalau nggak suka sama sotonya nggak usah dimakan. Dibuang saja nggak apa-apa." Enzi menganggukkan kepala, hendak pamit. Namun, saya tidak akan membiarkan dia pergi begitu saja. Dia sudah berulah terlalu banyak di rumah saya. Anak ini harus diberi pelajaran supaya tidak sembarangan mengusik privasi orang lain.
"Tunggu dulu."
Enzi tidak jadi melangkah, tumitnya memutar ke arah saya.
"Kamu bisa bikin kopi?" tanya saya sembari menarik kursi. Lantas saya duduk bersandar, meregangkan punggung yang pegal.
"Bisa. Bapak mau saya buatin kopi? Mau yang pahit atau manis?"
Tak disangka reaksi Enzi tak seperti yang dibayangkan. Anak itu justru semangat kembali ke dapur, mengambil cangkir dan menjerang air. Padahal saya belum menjawab sama sekali. Pak Awang bilang Enzi kurang mandiri, tapi saya lihat pada saat-saat tertentu dia bisa memosisikan diri. Yah, meskipun pada beberapa situasi dia masih harus dibimbing.
"Gulanya berapa sendok, Pak? Mau manis, sedang, manis banget, pahit atau mau ambil gula sendiri? Hm, kayaknya sedang saja, ya. Nanti Bapak bisa diabetes kalau kebanyakan gula. Umur-umur kayak Bapak itu harus mulai mengatur asupan makanan. Biar tetap bugar sampai tua."
Berlagak menceramahi saya soal asupan gizi, apa dia tidak tahu kalau saya sudah punya konsultan gizi pribadi. Apa dia tidak tahu kalau saya sudah menerapkan makanan sehat untuk Resaka dan Dheka juga? Apa dia tidak tahu kalau saya ini masih rutin olahraga? Dia bilang biar saya tetap bugar sampai tua, apa dia tidak bisa melihat struktur otot lengan, perut, dada, dan seluruh badan saya masih kencang dan padat? Masih anak kemarin sore, tapi berlagak menasihati orang yang punya pengalaman lebih mumpuni.
Sengaja saya tidak merespon pertanyaannya. Sebab, Enzi sudah asyik sendiri. Saya hanya mengawasi gerakannya dari sini. Menengok penunjuk waktu di dinding, tak terasa sudah mendekati pukul sepuluh. Hanya basa-basi semacam ini saja memakan waktu hampir satu jam. Ngomong-ngomong Dheka sama Resaka tidak kelihatan. Apa mereka sudah tidur, ya?
"Tadaaa .... Sudah jadi, deh," seru Enzi sambil meletakkan cangkir kopi di depan saya. Kursi kosong di samping saya, kini dia duduki. "Minumnya pelan-pelan, Pak. Masih panas."
"Jadi, kamu itu kerjaannya ngapain? Kok, kayaknya saya lihat sering santai-santai di rumah. Sudah lulus kuliah, kan? Kenapa nggak cari pekerjaan? Usia produktif seperti kamu itu rugi kalau cuma nganggur. Apa lagi kamu lulusan luar negeri," sahut saya sambil menyeruput kopi buatan Enzi. Saya manggut-manggut. Lumayan juga.
Enzi mengamati saya dengan bola mata bersinar. Melihat saya cukup puas dengan hasil kreasinya, dia tersenyum lebar.
"Saya masih usaha mencari pekerjaan, kok, Pak. Selama belum dapat pekerjaan tetap, saya punya pekerjaan sampingan. Yah, memang nggak seberapa, tapi daripada nggak ada sama sekali, kan?" ucap Enzi.
"Freelance?"
"Iya. Penerjemah artikel Indonesia – Inggris dan sebaliknya. Dibayar pakai dolar, loh. Kalau di sini cari kerjaan susah, ya. Standarnya terlalu tinggi. Padahal kerjaannya biasa-biasa saja."
Terlintas di pikiran saya untuk menawarkan posisi sekretaris yang kosong di perusahaan untuk Enzi, tapi saya pikir-pikir ulang. Kejadian seperti Laksmi kemarin tidak boleh terulang. Apa lagi Enzi tetangga samping rumah saya. Mempekerjakan dia akan menimbulkan risiko besar. Belum tentu juga Enzi paham soal administrasi. Sudahlah, biarkan Enzi mandiri mencari sendiri. Lagi pula yang saya cari itu kandidat laki-laki.
"Nggak harus sesuai jurusan. Kalau kamu suka sama sesuatu, passion, tekuni saja," tambah saya seraya menandaskan kopi hingga tersisa ampasnya saja. Seketika saya tercenung, kenapa bisa selahap ini meminum kopi hasil racikan orang asing?
"Ayah saya juga bilang gitu, Pak. Akhirnya ada lagi yang paham kalau ijazah bukan segala-galanya." Tiba-tiba Enzi bersorak, saya terhenyak saking heboh sorakannya. Lalu, Enzi terkekeh kecil. "Bapak persis kayak ayah saya. Makanya saya ...."
Kemudian senyuman Enzi memudar. Dia menunduk sebentar kemudian meringis sambil memandang saya.
"Sudah waktunya saya pulang. Maaf, kalau saya sudah merepotkan," ujar Enzi sembari beranjak. Namun, dia menyempatkan mengambil cangkir kosong di depan saya kemudian mencucinya sampai bersih.
"Kamu kebanyakan minta maaf." Saya menyambar cangkir yang akan ditaruh Enzi ke rak piring. Enzi masih mematung sehingga saya mendekatinya. Kami berdiri berhadapan. "Iya, kamu memang merepotkan. Lebih merepotkan daripada kedua anak saya."
Saya mengantar Enzi sampai teras. Sebelum kembali ke rumah di sebelah, Enzi meraih tangan kanan lantas mencium punggung tangan saya. Saya terkejut luar biasa.
"Selamat malam, Pak Garen," ucap Enzi sambil melempar senyum tipis.
Astaga, saya berasa bapak-bapak yang sedang melepas kepergian anaknya di bandara. Menggelengkan kepala, tanpa sadar mata saya mengikuti pergerakan Enzi kembali ke rumah. Lagi-lagi, wanita muda itu tersenyum dan melambaikan tangan sebelum memasuki rumahnya. Sementara saya masih bengong menatapnya, bahkan hingga sosoknya tidak lagi tampak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top