Satu

Ini cerita repost, ya. Masih berantakan dan kaku, karena ini termasuk tulisan pertama banget yang aku kerjakan saat mulai belajar nulis lagi. Semoga suka.

**

PERCAKAPAN dengan Papa kali ini berlangsung lama. Jauh lebih lama dari biasa. Aku tidak keberatan sih, senang malah karena Papa masih menyempatkan menghubungiku di sela-sela kesibukannya yang padat. Yang membuatku tidak nyaman adalah isi permintaannya setelah percakapan tentang hal-hal remeh selesai.

"Papa sudah tua, Nay," kata Papa, seolah aku tidak tahu berapa umurnya, sehingga dia harus mengingatkan. "Dan Papa ingin melihat anak-anak Papa tinggal di dekat Papa di hari tua."

Aku sudah bisa menduga arah percakapan kami. "Nay rencananya mau tes untuk mengambil pendidikan spesialis di Makassar, Pa," aku mencoba menawar. Itu alasan paling masuk akal supaya tetap berada jauh dari rumah. Bulan depan aku akan menyelesaikan kontrak Program Nusantara Sehat yang aku ikuti selama dua tahun. Kalau tidak menggunakan alasan mengikuti PPDS, aku harus segera pulang ke rumah. Aku tidak punya alasan untuk bertahan di Makassar, tempat aku kuliah, sebelum pergi ke Papua Barat, di mana aku ditempatkan selama Program Nusantara Sehat.

"Bisa juga di UI kan, Nay?" Nada Papa yang membujuk terdengar lagi. "Pilih yang dekat rumah saja. Sekolah lagi nggak mesti jauh-jauh, kan? Kamu sudah hampir sepuluh tahun pergi dari rumah. Papa bahkan sudah hampir lupa wajah kamu."

Aku mencoba tertawa. Papa ada-ada saja. Aku memang meninggalkan rumah setamat SMU, tetapi beberapa bulan sekali, Papa pasti menyempatkan diri menjengukku, meskipun hanya satu atau dua hari, kecuali dua tahun terakhir, saat aku berada di Papua Barat. "Tapi kemungkinan lulusnya lebih besar di Unhas, Pa."

"Berarti kemungkinan untuk lulus tetap ada, kan?" Papa seperti menutup jalanku. "Coba saja dulu. Kalau nggak di Jakarta, masih ada tempat lain untuk sekolah spesialis di pulau Jawa, kan? Biar lebih dekat sama papamu yang sudah tua ini."

"Makassar nggak jauh, Pa. Hanya dua jam dari Jakarta. Nay bisa pulang kapan saja." Aku masih terus mencoba. Papa mungkin saja mengalah kalau aku berkeras. Biasanya Papa selalu mengikuti keinginanku. Dulu dia tidak setuju aku memilih kuliah di Makassar, tetapi kemudian mengangguk setelah aku memohon. Papa juga awalnya tidak mengizinkan aku ikut Program Nusantara Sehat, setelah menyelesaikan internship, tetapi lagi-lagi tak mendebatku setelah aku mengemukakan alasan yang memang masuk akal. Kali ini pasti tidak berbeda. Aku hanya perlu terdengar lebih tegas.

"Tidak di Makassar lagi, Nay," suara Papa terdengar lagi. "Kamu harus pulang setelah dari Papua. Jangan mampir ke Makassar lagi. Rumah kamu bukan di sana."

"Tapi, Pa—"

"Pulang saja dulu, Nay," potong Papa. Dia hampir tidak pernah memotong kalimatku. Biasanya dia mendengarkan sampai aku selesai bicara. "Kita akan bicarakan lagi kalau kamu sudah di rumah. Belum langsung mendaftar juga, kan?"

Aku tidak mungkin berbohong. "Belum, Pa. Tahun depan Nay baru akan daftar. Periode tahun ini sudah lewat." Aku tahu akan sulit mendebat Papa kali ini. Seandainya izin Papa untuk mengikuti PPDS di Unhas tetap turun, dia jelas tidak akan mengabulkan permintaanku untuk tinggal di Makassar sambil menunggu.

"Ya, apalagi begitu. Langsung pulang ke rumah."

Aku menarik napas panjang berulang-ulang. Kalau sudah begini, mustahil menolak lagi. "Iya, Pa. Nay langsung pulang."

"Papa akan suruh kakakmu supaya jemput kamu di situ." Papa terdengar lebih tegas lagi sekarang.

"Nggak usah, Pa," tolakku cepat. Aku tidak mau menyusahkan Kak Elwan. Perjalanan dari Jakarta ke Papua Barat itu lumayan melelahkan. "Nay bisa pulang sendiri. Nay belum lupa jalan pulang." Aku mencoba bercanda.

"Benarkah? Kadang-kadang Papa nggak yakin. Kamu sudah terlalu lama meninggalkan rumah, Nay." Papa terdengar seperti mengeluh. "Papa jadi merasa bersalah sama Mama kamu. Dia pasti marah kalau tahu Papa mengabaikanmu seperti ini."

Ini bukan percakapan yang kusukai. Membawa-bawa Mama selalu membuatku ikut merasa bersalah. Aku tahu pilihanku pergi dari rumah tidak akan pernah disetujui Mama seandainya dia bisa memberikan pendapat. "Papa nggak mengabaikan Nay. Kuliah dan kerja jauh dari rumah itu pilihan Nay sendiri."

"Entahlah, Nay." Embusan napas Papa yang berat terdengar jelas di ujung sambungan telepon. Aku merasa jalan napasku ikut tersumbat. "Papa tetap merasa nggak enak membiarkan kamu terlalu lama jauh dari rumah. Jadi, bulan depan kamu sudah harus pulang, ya?" Itu lebih terdengar seperti perintah daripada permintaan.

Aku menutup telepon dengan dada sesak. Separuh hatiku merasa bersalah kepada Papa, tetapi sebagian hatiku yang lain yakin bahwa langkah yang kupilih beberapa tahun lalu saat meninggalkan rumah adalah keputusan terbaik yang pernah kuambil.

Laki-laki yang kupanggil Papa tadi sebenarnya bukanlah ayah kandungku. Aku memanggilnya dengan sebutan Papa setelah dia menikah dengan Mama ketika aku duduk di kelas X. Dan saat Mama berpulang karena kecelakaan lalu lintas lebih dari setahun kemudian, papalah yang mengasuh dan membiayai seluruh kebutuhanku.

Mama meninggalkan warisan yang cukup untukku karena punya bisnis kuliner yang lumayan besar. Hanya saja, waktu itu aku tidak mungkin mengurus restoran karena masih sekolah. Aku juga tidak mengerti apa-apa soal restoran, jadi Papa kemudian menugaskan seseorang mengurus usaha Mama. Papa sudah cukup sibuk dengan perusahaannya sendiri.

Papa menyayangiku. Itu pasti. Aku tidak pernah ragu. Perlakuan Papa kepadaku tidak berbeda dengan caranya bersikap kepada kedua anak kandung yang Papa miliki dari pernikahan sebelumnya. Kurasa aku malah lebih diperhatikan karena aku perempuan, sedangkan kedua kakakku –anak Papa – laki-laki.

Keenggananku pulang berhubungan dengan salah seorang kakakku. Aku tidak punya masalah dengan Kak Elwan karena dia sudah menerimaku sejak hari pertama kami bertemu.

Masalahku adalah Vino, adik Kak Elwan yang seumuran denganku. Itu ironi, karena aku lebih dulu mengenalnya. Kami sekolah di tempat yang sama. Lumayan sering bertemu meskipun tidak sekelas, karena kami berlatih bersama untuk tim olimpiade matematika sekolah kami.

Vino masuk dalam daftar satu persen orang paling populer di sekolah. Dia memang punya semua hal yang dibutuhkan untuk itu. Aktif di organisasi sekolah, pemain basket yang andal, otak yang encer, dan tentu saja, tampang yang keren.

Aku cewek normal, meskipun lebih sibuk dengan buku-buku pelajaran dan tidak ikut kegiatan ekskul apa pun, aku punya telinga yang secara sengaja maupun tidak, mendengar berbagai rumpian teman-teman sekelasku tentang cowok-cowok satu persen di sekolah. Itu topik yang tidak pernah kehilangan daya tarik.

Meskipun sudah sering mendengar nama Vino disebut dalam hot gossip of the day oleh teman-teman cewek di kelasku, aku tidak terlalu tertarik. Aku tahu siapa itu Vino. Maksudku, siapa yang tidak? Namun hanya sebatas itu saja. Aku tidak berminat untuk bergabung menjadi groupies pemujanya. Astaga!

Aku bukan tipe cewek yang akan menghabiskan sore hari nongkrong di lapangan basket sebagai objek pelengkap penderita yang menyiksa pita suara berteriak-teriak tidak jelas untuk menyemangati orang yang aku tidak kenal.

Waktu luang aku habiskan untuk mengikuti bimbingan belajar. Aku berusaha menjadi anak baik yang akan membuat Mama bangga punya anak seperti aku. Aku hanya peduli pada nilai akademis yang kudapat, bertekad untuk selalu menjadi yang terbaik di sekolah. Hanya itu cara yang aku tahu dan bisa untuk menyenangkan hati Mama. Mama tidak pernah meminta itu dariku. Aku yang merasa perlu melakukannya untuk membalas jasanya sudah membesarkanku. Aku tahu persis, menjadi orangtua tunggal itu tidak mudah, meskipun Mama tidak pernah mengeluh.

Aku memang menjadi peringkat pertama saat hasil semester I diumumkan. Membuat gelarku –yang diberikan teman sekelasku yang kemudian menyebar luas dan lantas menjadi ejekan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi— si sombong Nayla menjadi si sombong tapi pintar, Nayla.

Aku sama sekali tidak sombong. Aku hanya punya masalah dengan kemampuan bersosialisasi. Aku cenderung pendiam. Tipe introvert. Aku tidak gampang berbaur dan bergaul dengan orang baru. Satu-satunya sahabatku hanyalah Dian, yang telah kukenal dari SD. Kami tinggal di kompleks yang sama. Sayangnya, meskipun selalu bersekolah di tempat yang sama, kami tidak sekelas saat SMU, sehingga aku memang terkesan semakin diam. Sikap yang diartikan sebagai kesombongan oleh kebanyakan teman-teman sekelasku.

Kembali ke Vino, aku baru mengenalnya secara pribadi setelah kami dan beberapa teman lain ditunjuk untuk mengikuti seleksi tim olimpiade matematika yang akan mewakili sekolah. Hanya kami berdua yang berasal dari kelas X karena selebihnya adalah siswa kelas XI.

Vino segera menarik perhatianku dalam beberapa pertemuan pertama. Dia sangat pintar. Aku jarang memuji kapasitas otak orang lain, tetapi Vino adalah pengecualian. Meskipun sedikit berat hati, aku harus mengakui jika kemampuannya bermain rumus dan logika bahkan berada di atasku yang nota bene adalah juara umum.

Kami selalu mendapat nilai sempurna untuk setiap tes yang diberikan, tetapi aku mendapatkannya setelah menghabiskan waktu untuk belajar dan belajar. Sementara Vino? Aku hampir tidak pernah melihatnya duduk tekun membaca. Dia lebih sering bergabung untuk latihan soal-soal masih dengan rambut basah setelah bermain basket. Masuk kelas sambil memutar-mutar bola dengan telunjuknya.

"Lo sudah kenalan sama Vino?" tanya Dian antusias ketika tahu aku dan Vino ikut dalam tim matematika yang sama. "Dia beneran secuek penampilannya, ya?"

Aku hanya bisa menarik napas panjang melihat semangat Dian. Dia memang cerewet. Aku rasa karena itulah mengapa kami cocok. Dia mirip petasan yang disulut korek api. Aku sangat iri dengan kemampuannya bersosialisasi. Seandainya aku punya sedikit saja kemampuan itu, hidupku pasti tidak akan monoton dan membosankan.

"Jangan bilang kalau lo ikut-ikutan terobsesi sama Vino kayak teman-teman cewek di kelas gue." Aku menggelengkan kepala, mencoba menurunkan semangatnya. "Aneh tahu!"

"Lo tuh yang aneh. Menurut lo, Vino nggak cakep?" Dian memelotot, seakan baru saja melihatku mengeluarkan merpati dari topi sulap. "Vino tuh punya semua yang kita inginkan dari cowok, Nay. Paket komplit." Dia mulai menghitung. "Tampang keren, otak encer, dan cueknya itu lho. Bikin penasaran, tahu!"

Kurasa otak Dina sudah terkontaminasi virus aneh. "Jadi cowok paket komplit itu harus cuek?" Aku menertawakannya.

"Iya dong, Nay. Karena dia akan terlihat misterius dengan karakter kayak gitu. Cowok, gimanapun cakepnya kalau pecicilan tetap saja bisa bikin ilfill. Ya ampun, Nay, please deh. " Dian menatapku kasihan atau frustrasi. Entahlah. Aku tidak tahu mana yang lebih dominan. "Lo nggak merasa aneh dengan isi kepala lo, Nay? Jangan-jangan tipe lo tuh yang kayak Einstein. Awut-awutan nggak kenal sisir. Trus kumisan kayak lele. Yang bengong dan nabrak kiri-kanan kalau jalan karena otaknya terlalu berat untuk diajak bergerak!"

Dian berlebihan, tetapi aku tidak ingin mendebatnya. Hanya akan membuatnya makin bersemangat untuk memberikan pelajaran tambahan soal cowok paket komplit, seolah otakku masih punya tempat kosong untuk topik semacam itu saja.

Percakapanku yang pertama dengan Vino terjadi ketika dia mengempaskan diri di sebelahku dengan bukunya. Waktu itu belum ada anggota tim lain yang datang. Aku memang tidak pulang ke rumah lagi kalau ada jadwal latihan. Terlalu jauh.

"Hei, ini gimana cara ngerjainnya, ya?" Vino menunjuk salah satu soal latihan. "Gue kemarin ngantuk waktu Pak Iman menjelaskan. Jadi nggak fokus."

Itu memang soal yang lumayan rumit. Kakak di bimbingan belajarku harus menjelaskan sampai beberapa kali untuk membuatku mengerti. Aku lalu menerangkan ulang cara penyelesaian soal itu kepada Vino. Hanya sekali dan dia langsung mangut-mangut mengerti, membuatku merasa sedikit iri. Andai saja aku bisa sepintar itu tanpa harus berusaha.

"Makasih, ya." Itu kalimat singkat. Namun senyum tipis dan tatapannya yang persis jatuh di korneaku secara ajaib membuatku sesak napas mendadak. Dan aku kemudian mengerti tentang berbagai hal absurd tentang cinta yang rajin didongengkan Dian. Ya Tuhan, aku telah jatuh cinta pada cowok kelompok satu persen itu hanya karena satu tatapan. Menyedihkan!

/RWkFQ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top