7

"Aku bersyukur karena kesempatan lah yang mempersempit jarak di antara kita berdua."

***


Pemandangan orang-orang yang berjalan kaki di jalanan, disambut hangatnya sinar matahari sore yang berpancar bersamaan dengan aroma angin dari pepohonan  menjadikan suasana hati siapapun yang melihatnya bertambah riang. Berkebalikan dengan apa yang dideskripsikan, kerusuhan justru datang dari dalam rumah yang berisi gadis-gadis muda mayoritas mahasiswa. Kekacauan ini acap kali terjadi. Dapat dibayangkan, zaman sekarang ini biaya segalanya serba melambung tinggi tak terkecuali biaya untuk kos dan kebutuhan perkuliahan lainnya.

Gadis yang sedang mencepol rambutnya itu tengah resah. Sore itu ia ada janji. Setelah menyicil tugasnya, ia ingin mandi. Namun, aktivitas itu harus terhambat sebab air kos mati. Hasilnya, para gadis penghuni kos itu merutuki nasib sial mereka dan berbincang-bicang dengan menyelipkan beberapa umpatan. Mereka tengah berkumpul di ruang tamu.

“Ya ampun! Kok airnya mati lagi sih?! Bukannya kita semua udah bayar? Siapa yang belum bayar nih?! Ayo, dong! Jangan egois! Kasihan yang lainnya, mana gue mau kencan lagi! Kalo pacar gue tau, gue nggak mandi, bisa diputusin tau!”

Keluh salah seorang gadis yang paling tempramen di antara yang lain. Di sofa telah duduk kurang lebih tujuh orang perempuan, termasuk Sohyun yang sedikit pendiam.

“Tenang, Momo.. Kita sabar dulu. Lagipula, kejadian ini juga bukan hal yang baru. Maklum, kos kita ini kan paling murah, ya wajar kalo air ataupun listrik sering mati.”

Ujar gadis paling tua, gadis yang bertanggung jawab terhadap anak kos lainnya, paling bijak dan pemikir yang baik. Ia selalu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, apapun yang dikatakannya sukses membawa ketenangan. Itulah magic dari seorang Lee Jieun.

“Bener kata Kak Jieun. Sabar aja dulu, atau nggak lo numpang mandi di kos temen lo. Udah bagus kita dapet kos murah, iya nggak?”

“Terserah kalian deh! Ya udah, gue mau numpang mandi dulu!”

Percakapan itu pun membubarkan para gadis satu per satu.


***


Sohyun rapi mengenakan pakaian berwarna kuning cerah dengan bawahan celana jeans dan jaket hijau lumutnya. Ia mengepang satu rambutnya, memakai bandana ya g senada dengan warna bajunya, dan memberikan sedikit lip tint di kedua belah bibir mungilnya. Sohyun sedang duduk di halaman perpustakaan pusat yang berada tak jauh dari taman kota. ia menunggu seseorang yang mengajaknya janjian. Ingin rasanya Sohyun menggigit kuku jarinya, ia gugup sekali. Ini adalah pertama kalinya Sohyun bertemu laki-laki selain Hanbin, sahabatnya.

“Kenapa deg-degan ya?”

“Aduh.. aku gugup.”

Sohyun menoleh ke kanan, kiri dan belakang, tetapi orang yang ditunggu tak kunjung datang. Ia menghembuskan nafasnya dengan menggembungkan kedua pipi, itu adalah kebiasaan jika Sohyun sudah merasa bosan.

“Maaf, aku terlambat!”

Akhirnya, laki-laki itu datang. Sepertinya ia kelelahan, terlihat dari kucuran peluh yang meluncur bebas dari kedua kening lelaki itu. Sayangnya, senyum si laki—laki tersebut menyembunyikan kepenatannya.

“Ah, nggak papa Kak.”

“Tadi aku masih ada rapat dengan anggota BEM lain, sekarang free. Jadi, gimana? Kamu serius mau ikut lomba debat itu?”

Laki-laki itu adalah Jinhwan. Karena tak sempat mengobrol dengan Sohyun saat di kampus tadi, pria itu mengajak Sohyun bertemu di perpustakaan pusat.

“Sohyun? Kenapa?”

Menyadari ada yang aneh dengan perilaku Sohyun, Jinhwan jadi penasaran. Pipi merah Sohyun mengatakan segalanya. Gadis itu malu bertemu dengan Jinhwan hanya dalam kondisi berduaan.

“E…nggak, Kak. Aku nggak apa-apa. E… iya, aku serius soal lomba itu. Ja-jadi.. apa Kakak m-mau ikut?”

“Tergantung.”

“Tergantung apa, Kak?”

Tanya Sohyun harap-harap cemas.

“Tergantung bagaimana usaha kamu dalam berbicara dan berargumentasi.”


***

Sohyun menebar brosur tanpa semangat. Ah, dia bukan pembicara yang baik. Bagaimana kalau Jinhwan menolak untuk menjadi tim debatnya? Hancur sudah harapan Sohyun untuk memenangkan lomba dan mendapat hadiah uang. Oh, ataukah mungkin Jinhwan akan tersentuh jika Sohyun menyatakan alasan mengapa ia mengikuti kompetisi tersebut? Barangkali Jinhwan akan merasa luluh jika Sohyun sedikit memberikan bumbu melankolis.

“Hai! Kok kerjanya nggak semangat gitu? Ada masalah?”

Gadis malang itu terkejut saat Hanbin tiba-tiba datang dan merebut sebagian brosur untuk dibagikan.

“Kak.. kebiasaan, ya? Jangan ngagetin lagi! Aku itu lagi sedih..”

“Kenapa? Nggak biasanya Sohyun yang ceria malah bersedih hati..”

“Ini.”

Sohyun menunjukkan foto yang ada di ponselnya. Hanbin membuka matanya lebar-lebar, kedua alisnya terangkat sambil berpikir maksud dari Sohyun yang menyodorkan foto tersebut.

“Tunggu.. kau mau ikut lomba debat ini?”

Sohyun manggut-manggut setuju.

“Bagus, dong! Aku mendukungmu! Fighting!”

“Kak… tidak semudah itu! Ada satu persyaratan yang mungkin belum bisa aku penuhi.”

“Yang mana?”

“Persyaratan nomor 5. Coba lihat dan baca!”

Bibir Hanbin berkomat-kamit mengeja kata-kata yang tercetak di nomor 5.

“Harus satu tim dua orang? Oh, kau belum menemukan timmu?”

“Begitulah, sebenarnya aku sudah ada calon. Tapi, dia sepertinya meragukanku, walaupun aku setuju tentang apa yang diragukannya sih.."

Jawab Sohyun sambil menggaruk kepala belakangnya.

“Memangnya apa?”

“Aku tidak bisa berbicara dan berargumen dengan baik. Kak Jinhwan tahu semua tentangku!”

“Jinhwan? Ketua BEM?”

“Iya, kenapa?”

“Ehm.. nggak papa, kok."

Bohong bila Hanbin mengatakan tidak ada apa-apa. Sohyun menduga kalau ada yang sahabatnya itu sembunyikan. Tapi, karena mood-nya sedang buruk, ia pun tak berniat menginterogasi Hanbin dan membiarkan kepenasarannya pergi tak terarah.

"Tapi saranku, kau cari saja tim yang lain saja.”

Saran Hanbin membuat Sohyun terkejut.

“Tidak bisa, Kak! Kak Jinhwan ahli dalam hal ini, aku yakin jika setim dengannya akan membuatku menang.”

"Belum tentu juga, Sohyun.. Coba kau cari orang lain yang mampu. Yang penting dalam tim itu kerjasama dan chemistry. Kalau di antara kaliam tidak cocok, ya tetap aja nggak berhasil. Meskipun Jinhwan sepintar itu dalam berdebat."

Sohyun tersenyum usil. Ia menemukan idenya. Bukankah Hanbin bilang soal 'kerjasama dan chemistry' tadi?

Sepertinya Sohyun tau jawabannya.

"Kenapa? Kok senyam-senyum? Apa yang kamu pikirkan?"

"Kak.. sepertinya aku tau harus mengajak siapa."

"Siapa?"

***

Malam semakin dingin, tetapi brosur yang dipegang Sohyun masih sisa banyak. Walaupun dikatakan belum cukup larut, sasaran gadis itu adalah brosurnya habis malam ini agar ia tak mendapat brosur tambahan besok.

Sohyun melirik jam tangan yang dipakainya, ternyata masih pukul 7. Perutnya terasa lapar hingga ia berniat untuk membeli ramen di minimarket terdekat.

Beginilah rasanya sendirian. Sepi dan tak ada yang bisa diajak mengobrol. Sepuluh menit lalu, gadis bernama Jihyo datang untuk menjemput pacarnya. Kemana lagi kalau bukan diajak berkencan? Sepertinya tiada hari tanpa berkencan bagi pasangan-pasangan muda seperti Hanbin dan Jihyo.

Di sela lamunannya, Sohyun berpikir. Bagaimana pertemuan Hanbin dan Jihyo sebenarnya? Apa yang membuat Hanbin jatuh cinta pada Jihyo padahal mereka baru kenal? Sementara Sohyun yang telah lama berteman dengan Hanbin sampai tidak bisa menolak pesona lelaki itu. Tetapi kenapa hal yang sama tidak terjadi pada Hanbin? Kenapa Hanbin tidak punya perasaan khusus padanya? Apa karena Sohyun tidak cantik?

Inilah sisi lain dari jatuh cinta. Kamu harus siap jika suatu saat cintamu bertepuk sebelah tangan.

Tanpa sadar, Sohyun mengukir nama Hanbin pada kaca di hadapannya. Terbentuk embun akibat asap ramennya yang mengepul, sehingga jarinya dapat dengan mudah meninggalkan jejak disana.

Hanbin... love...

"Kau menyukainya?"

Jari Sohyun berhenti bermain-main. Seseorang telah duduk di sebelahnya. Karena malu, Sohyun buru-buru menghapus tulisannya dan bersikap biasa saja.

"Dia sahabatmu bukan?"

Dia lagi..

"Eh, Pak Taehyung?"

"Bapak disini ngapain?"

"Kamu tidak lihat apa yang sedang saya lakukan?"

Sohyun menggembungkan pipinya, kali ini karena dia kesal. Tak tau bagaimana pikiran ini muncul, tetapi apakah pekerjaan Taehyung selalu menguntit Sohyun? Gadis itu tidak pernah berfikir kalau Taehyung sangat terobsesi padanya.

"Bapak ngikutin saya, ya? Bapak kenapa sih selalu ketemu sama saya? Saya kan bosen lihat Bapak terus."

"Di kampus, di halte, sekarang di minimarket. Bapak nggak ada pekerjaan lain gitu selain ngintilin saya?"

Taehyung meletakkan sumpitnya. Ia menggeser kursinya mendekati Sohyun, kemudian menatap intens mata gadis itu, membuat sang empunya memundurkan kepala karena takut kejadian seperti saat awal mereka bertemu terjadi lagi.

"Nona Sohyun, sepertinya Anda selalu salah paham sama saya. Itu.."

Telunjuk Taehyung mengarah ke luar jendela.

"Kau tau bangunan apa yang ada di seberang jalan itu?"

"A-apartemen, Pak.."

"Pintar."

Taehyung menepuk kepala Sohyun dengan halus.

"Itu tempat tinggal saya."

"Apa?!"

Sohyun hampir tersedak. Jadi, dia hanya ke-pede-an saja?? Ah.. betapa malunya! Haruskah Sohyun mulai menyelidiki Taehyung dan segalanya tentang dosen barunya itu? Jaga-jaga agar Sohyun tidak salah paham lagi tentang dosennya.

"Kamu nebar brosur?"

Gawat! Sohyun baru teringat kalau kemarin ia berjanji pada dosen tampan itu bahwa ia tidak akan lagi bekerja di malam hari. Tapi, ini belum larut kan? Kalau begitu tidak ada salahnya, dong?

"Iya, Pak. Kenapa? Ini masih sore kan? Jadi sah-sah saja karena belum malam hari."

Bagi Sohyun dan sebagian besar masyarakat perkotaan, jam 7 adalah jam-jam orang masih sering beraktivitas. Di Seoul, tidak ada yang namanya malam hari. Seoul sebagai ibu kota adalah kota yang bahkan tidak pernah tidur. Siapa sangka kalau jam 7 termasuk sore hari bagi Sohyun? Faktanya memang begitu.

"Dasar gadis bandel."

"Kamu pikir, saya tidak tahu?"

"Tidak tahu apa, Pak?"

"Kamu tidak akan pulang sebelum brosur-brosur itu habis. Siapa yang mengerti kalau kamu nanti tidak akan pulang larut?"

"Ee.. itu.."

"Benar, kan?"

Sohyun mengangguk pasrah. Yah, ternyata Taehyung lebih pintar dari dugaannya. Sebab ia dosen, sudah pasti.

Mereka melanjutkan acara makan ramennya tanpa berbincang sedikit pun. Dan Sohyun selesai lebih dulu. Ia membuang wadah ramennya ke tempat sampah dan segera pamit pada Taehyung. Setidaknya Sohyun masih berusaha menjadi mahasiswi yang baik, meskipun ia berada di luar kampus.

"Pak, saya--"

"Saya antar."

Taehyung menyusul Sohyun dengan membuang bungkus ramennya. Pria itu bangkit, mengambil jasnya lalu menggandeng tangan Sohyun menuju mobil yang ia parkir tak jauh dari minimarket.

"Pak? Mau kemana?"

"Pulang."

"Pulang kemana?"

"Ke apartemen saya."

"Apa?? Bapak mau ngapain saya? Pak.. saya mahasiswi Bapak lho! Saya juga masih punya harga diri! Tolong jangan apa-apain saya!"

Ucap Sohyun sambil memohon-mohon dan meronta tidak jelas.

"Kita pulang ke kos kamu, Sohyun!! Kamu pikir saya dosen apaan?!"

"Tadi Bapak bilang--"

"Saya bercanda!"

"Ah.. Bapak bisa aja. Baru kali ini saya dibercandain sama Bapak."

Kata Sohyun terkekeh sambil memukul lengan Taehyung yang sedang memegang setir kendali.

"Sohyun! Kamu stress ya?! Saya lagi nyetir!"

"Hehe.. Maaf, Pak."

Sohyun menikmati lampu-lampu jalanan. Sesekali matanya menangkap pemandangan pasangan yang sedang berpacaran. Itu membuat Sohyun iri. Seandainya, Sohyun menggantikan posisi Jihyo di hati Hanbin.

Tunggu! Pak Taehyung tadi bilang mau kemana?

"Pak, kita mau kemana ya tadi?"

"Nganter kamu pulang."

"Pulang??"

"Loh, Pak! Saya kan mau lanjut nebar brosur?!!"

"Masa bodoh. Pokoknya kamu harus balik sekarang!"

"Pak Taehyung???"

Sohyun menyesal mengikuti ajakan Taehyung tadi. Lain kali, Sohyun sebaiknya menolak jika Taehyung membawanya ke mobil.

Pak Taehyung sangatlah berbahaya.



























To be Continued.

Next (?)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top