37
Sohyun POV
Hatiku menghangat, mendengar bapak mengatakan penyesalannya selama ini. Ia bilang, kasih sayangnya padaku tidak pernah berkurang. Waktu ia habiskan begitu lama untuk mengasingkan diri, bersikap seolah-olah ia memang tidak peduli. Nyatanya, kami—ibu dan aku—salah.
Bapak tidak sanggup setiap hari dituntut ini-itu oleh nenek. Bapak yang selama ini berusaha keras mencari uang, tidak pernah dihargai oleh nenek. Dan beliau menyembunyikan kenyataan ini sudah sembilan belas tahun lamanya.
Aku tidak tahu, pihak mana yang harus kupilih. Bapak ataukah nenek? Keduanya sangat berharga bagiku. Mana mungkin aku pilih salah satu?
Meskipun begitu, nenek lah yang selama ini mengajariku berbuat baik. Nenek yang membantu ibu dalam merawatku. Nenek juga yang menyemangatiku agar aku dapat meraih pendidikanku setinggi mungkin.
Sementara bapak? Mungkin tekanan dalam pikirannya terlalu besar. Meski sudah bertahan dalam pernikahannya dengan ibu selama bertahun-tahun ini, bapak sendiri menganggap dirinya hanya seorang pecundang. Pengangguran bodoh yang tidak bisa menghasilkan uang banyak.
Sepertinya juga nenek salah paham. Selama ini bapak tidak pernah selingkuh. Tetangga kami—Nara—hanyalah seorang yang batang kara. Beliau teman bapak ketika masih berada di sekolah menengah pertama. Bapak sering bertemu dengan Bibi Nara karena ingin mencurahkan perasaan hatinya yang tersiksa. Bapak tidak ingin membebankan banyak pikiran pada ibu. Sayang, menurutku sendiri, cara bapak salah. Walau bagaimana pun juga, suami-istri harus saling berbagi. Bertukar keluh kesah.
Paling tidak, hari ini aku cukup beruntung. Berkat kecelakaan kecil yang menimpaku, kedua orang tuaku—lengkap—datang untuk menjenguk. Tidak ada kebahagiaan lain di mataku selain menyaksikan bapak dan ibu bersama. Semoga, akan seperti ini selamanya.
"Apa masih sakit?" tanya bapak sambil mengelus rambutku.
Ibu berdiri di sisi kanan, menggenggam tanganku dan menciumnya lembut.
"Karena ada kalian ... rasa sakitku jadi hilang."
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang wanita berpakaian suster datang membawa sebuah nampan. Bapak dan ibu terkesiap, agak menyingkirkan badan supaya suster mwndapat jalan untuk mengecek keadaanku.
"Suster, mau memeriksa keadaan putri saya?"
Pertanyaan bapak direspon oleh sebuah anggukan kecil.
Aku memicingkan mata, kusadari, gerak-gerik suster ini terlalu mencolok. Sebuah masker menutupi wajahnya, menyembunyikan ekspresi wajah yang membuatku penasaran.
"Permisi, Pak," pinta suster itu meminta bapak agar mundur dari posisinya.
Detak jantungku meningkat. Perasaanku jadi tidak enak, telapak tanganku tiba-tiba berkeringat. Suara ini ... adalah suara yang sering kudengar belakangan.
"Sohyun?!"
Belum sampai suster itu mengulurkan tangannya untuk menyentuhku, Kak Hanbin datang. Menimbulkan suara dobrakan pintu yang sangat keras. Aku mulai ketakutan. Kubuat badanku duduk dan bersandar pada ranjang, aku menjauhkan diriku sedikit demi sedikit dari suster itu. Sialnya, infus ini menyusahkan pergerakanku.
"Sohyun ...," panggil Kak Hanbin, tatapannya intens pada suster itu.
"Dia ...," lanjutnya sambil menunjuk suster yang berada dekat denganku.
"Wajahnya ... mirip ... denganmu."
Brak.
Aku menjatuhkan diri dari ranjang. Kulepas infusku secara paksa. Nyeri di punggungku tak membuatku berhenti menghindar. Suster itu melirikku aneh. Pelan-pelan ia melepas maskernya.
Sudah kuduga. Memang ada yang tidak beres. Rupanya, gadis itu ada di sini!
"Hah .... Lelaki payah. Kau mau menggagalkan rencanaku, ya?" katanya yang kuyakini ia tujukan pada Hanbin. Matanya masih mengunci pergerakanku.
"Ba-bagaimana kau bisa di sini?"
"Hmm ... bagaimana, ya?" gumamnya. Langkah kakinya mulai berjalan mendekatiku, ia memutari ranjang dan menyusulku yang berada jatuh di lantai.
"Katakan saja, Tuhan merestui kematianmu untuk hari ini."
"Sini kau?!"
Tak terasa, sosoknya tepat berada di hadapanku. Jemarinya, dengan kuku-kuku yang runcing, berhasil menangkap daguku. Rasa sakit kurasakan. Tapi, daripada itu, aku mengkhawatirkan keadaan orang tuaku yang mungkin syok mengetahui peristiwa ini dengan mata kepala mereka sendiri.
"Tenang saja, aku sudah membawakan hadiah untukmu," bisiknya yang terdebgar horor.
"Kau apakan putriku, hah?" tanya bapak dari belakang tubuh Tzuyu. Tangannya hendak menyingkirkan jari-jari Tzuyu yang menyakiti wajahku.
"Orang tua tidak usah ikut campur. Ini masalahku dengannya!"
"Dia putriku! Akan kulakukan apapun pada orang yang sengaja menyakitinya. Mengerti? Jauhkan tanganmu."
Tidak, bapak! Tolong jangan lakukan apapun, gadis ini berbahaya.
Kak Hanbin, kenapa kau diam saja?
Berulang kali kulirik Kak Hanbin, berharap ia mengetahui isyarat yang kuberikan.
Kak, panggil Pak Taehyung!
"Saya benar-benar muak pada orang dewasa. Mereka hanya sok peduli, tapi sama sekali tidak mengerti isi hati anaknya sendiri," Tzuyu bermonolog.
"Dan Bapak ... lebih baik menyingkir saja!" bentaknya sambil mendorong tubuh bapakku hingga tubuhnya terantuk ke dinding.
"Bapak?! Nggak papa?" tanya ibu resah.
Kumohon Kak Hanbin ... cepat hubungi Pak Taehyung!
"Sekarang, siapa yang akan menolongmu Sohyun? Kau akan habis di tanganku. Tak lama lagi. Dan aku ...."
"Aku akan menuntaskan dendam kakakku hari ini juga. Suaminya akan selamanya mencintai dia."
"Akh!" pekikku saat ia memaksaku bangun. Kedua tanganku ditahan di belakang punggung. Hingga kulihat tangan Tzuyu merogoh kantong, mengeluarkan sesuatu benda yang panjang.
"Kau mau apa dengan itu?"
"Diam! Siapa yang menyuruhmu banyak bicara, hah? Haha!" suara ketawanya kencang, membuat telingaku berdengung.
Kini, tanganku tak lagi ia tahan. Sebagai gantinya, aku merasakan nafasku sesak dan rasa mencekik di leherku yang semakin dalam.
"Sohyun?!" teriak ibu histeris.
Kulihat ia berlari keluar meminta pertolongan. Tzuyu memang tidak ada takutnya!
Dua orang lelaki—Kak Hanbin dan bapak—mencoba menolongku dengan hati-hati. Mereka berjalan mendekat, merencanakan sesuatu satu sama lain dengan hanya melalui lirikan mata.
Tzuyu menyeret tubuhku mundur. Jeratan tali di leherku terasa semakin kuat. Aku sampai tidak bisa mengeluarkan suaraku.
"Dengar baik-baik, Nak. Lepaskan putriku, kau bisa membunuhku saat ini juga. Tapi ... jangan dia."
"Aku akan membunuhmu, orang tua. Jangan khawatir, tapi nanti. Setelah kuhabisi nyawa anak ini!"
Khekk! Lagi-lagi tenggorokanku mengeluarkan suara pekikan. Rasanya semakin sakit. Aku memejamkan mata, tak dapat lagi melihat air muka bapakku yang panik. Kedua tanganku mungkin sudah memerah, pun juga wajahku. Aku berusaha menahan agar tali ini tak membuatku kesulitan bernapas.
Aku membuka mataku dengan paksa. Kucari sesuatu yang setidaknya membantuku lepas kali ini. Di sana, di sebelah kananku terdapat sebuah nakas. Dokter yang tadi menggantikan perbanku meninggalkan gunting di atasnya. Ini kesempatan! Aku harus bisa kabur!
Kuraih gunting bedah itu sekuat tenaga. Namun tali ini lagi-lagi mencekikku.
Kepalaku mulai terasa pusing karena hampir oksigen terpasok tipis ke dalamnya. Aku nyaris kehilangan kesadaranku. Tapi aku berhasil!
Aku mendapatkan gunting itu, dan dengan terpaksa aku membela diri! Seumur hidup, aku tak pernah menyakiti siapa pun. Tapi saat ini, kulihat tanganku berdarah-darah. Aku tak sengaja menusuk paha Tzuyu! Aku membuatnya mengerang kesakitan.
Aku menangis. Tubuhku tersungkur ke depan. Tzuyu mencabut gunting yang masih menancap di kaki bagian atasnya itu, ia tak bergerak. Kugunakan kesempatan ini untuk kabur ke arah bapak.
"Sohyun, kemari. Cepat, Nak!"
"Ayo, Sohyun!"
Aku masih sesenggukan. Aku merangkak, hendak menjangkau tangan bapak dan Kak Hanbin yang terulur di depanku.
"Bagus, Nak. Ayo, lebih cepat. Kita akan pergi dari sini, lalu panggil polisi."
Bapak menyemangatiku. Aku gerakkan kakiku yang terasa lemah ini dengan penuh motivasi.
Hampir, aku hampir menjangkau tangan mereka. Pandanganku sedikit kabur, namun aku bisa lihat dengan jelas. Keselamatanku tergambar di depan sana.
Tapi, aku salah.
Pandanganku tertutupi oleh sesuatu. Aku mendengar suara pergulatan hebat di belakang tubuhku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi hatiku terasa ngilu.
Aku menangis tanpa sebab. Semakin meraung. Suara-suara penyiksaan di belakangku menggema. Aku tahu, seseorang sedang tak berdaya di belakangku. Tapi aku tak dapat melihatnya.
Yang kudengar adalah rintihan tertahan, juga kikikan mengerikan dari seorang Tzuyu. Sekarang, apa yang gadis gila itu lakukan?! Ya Tuhan! Tolong selamatkan kami!
Sesaat kemudian, kudengar suara tembakan. Suara keramaian datang, ruanganku yang tadinya sunyi dan penuh kedamaian mendadak jadi dipenuhi hiruk pikuk kepanikan.
Mataku terpejam. Setengah kesadaranku hampir hilang. Tubuhku diangkat oleh seseorang dan aku dibawa pergi.
Sebelum itu, aku merasakan, sebuah tangan hangat yang menyentuh jemariku. Remasannya begitu lemah, menandakan sebuah tanda perpisahan.
Hatiku lagi-lagi terasa nyeri. Air mataku mengucur deras meski saat ini kelopak mataku tertutup.
"Sohyun...." suara ini aku mengenalnya.
"Kumohon, kuatkan hatimu setelah ini."
Dan saat itu juga, kudengar suara tangisan pecah. Tangisan yang terdengar jauh lebih menyakitkan sekaligus tangisan yang membuatku sadar dan menduga sesuatu yang telah terjadi.
***
Sohyun POV
Mataku terbuka, disambut dengan pemandangan langit-langit yang berwarna putih. Aku melirik ke tanganku, ternyata sebuah infus telah terpasang kembali.
Aku mengerjapkan mata sekali lagi, dan kulihat lelaki itu datang dengan raut kecemasannya. Ia mencium puncak kepalaku, lalu memelukku hangat.
"Sohyun, bagaimana keadaanmu?"
"Bapak?" tanyaku yang tak menanggapi pertanyaannya.
"Sohyun, akan kupanggilkan dokter."
"Bapak?" tanyaku sekali lagi, sebisa mungkin kutahan agar Pak Taehyung tidak berlalu.
Ia mendesah. Tak berani menatap kedua mataku yang memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.
Batinku mulai diliputi resah. Semoga, apa yang akan kudengar bukanlah kabar buruk.
"Sohyun, maaf," ucap Pak Taehyung. Kini kulihat pelupuk matanya berembun.
"Maafkan beliau yang tidak sempat berpamitan padamu."
Aku mengunci mulutku. Masih penasaran dengan kejelasan dari kalimat Pak Taehyung.
Sayangnya, kalimat yang kunantikan terucap malah tergantikan dengan setetes cairan bening yang meluncur melalui pipi Pak Taehyung.
Aku tahu. Mungkin ... ini kabar terburuk yang pernah ada. Aku memejamkan mata, dan mencoba mengikhlaskan semuanya.
.
.
.
.
Akhirnya, setelah dua minggu terperangkap di ruangan serba putih ini, aku terbebas. Aku dapat menghirup udara segar, dan kakiku yang sebelumnya kaku, kini dapat berjalan dengan lincah.
Tatapanku kosong. Langkah kakiku terasa hambar. Aku didampingi oleh keluargaku. Ibu, Kak Hanbin, Pak Taehyung dan Tuan Kim.
Bapak? Di mana?
Rencananya kami akan mengunjungi beliau hari ini. Sedih rasanya, karena orang pertama yang kulihat setelah membuka mata bukanlah dia. Mungkin ini akan sekali lagi menjadi penantian yang panjang. Bukan aku, melainkan bapak juga.
"Nak, apa kamu kuat berjalan?"
"Tidak apa, Bu. Aku hanya ingin bertemu dengan bapak."
"Hanbin, kau pulang bersama papaku. Aku dan bibi yang akan mengantar Sohyun."
"Baik, Pak."
"Taehyung, hati-hati mengendarai mobilnya. Jaga Sohyun baik-baik."
"Iya, Pa. Kami berangkat dulu."
Setelah Pak Taehyung berpamitan dengan papanya, aku dan ibu dibawanya masuk ke dalam sebuah mobil. Mobil yang terakhir kali mengantarku ke rumah sakit dengan luka tusuk di punggung.
Ah, rasanya aku ingin menghapus semua ingatan buruk di hari itu.
Tak menunggu lama, kami pun sampai. Selama di mobil, tidak ada pembicaraan yang kami lakukan. Kami sibuk masing-masing. Ibu yang melamun, Pak Taehyung yang fokus ke jalanan, dan aku yang menatap kosong ke luar jendela mobil.
Kami turun, ibu dan Pak Taehyung berjalan mendampingiku. Angin yang sepoi-sepoi menimbulkan suara gesekan rerumputan ilalang yang ada di sepanjang jalan setapak yang kami lewati.
Matahari bersinar tidak terlalu terik. Menghadirkan suasana teduh, yang membuatku ikut terlarut dalam kesedihan.
"Kita sudah sampai," kata Pak Taehyung.
Kami tiba di sebuah bangunan. Ada beberapa orang yang tampak sibuk dengan aktivitas berdoanya. Setelah melalui beberapa pijakan anak tangga, aku pun dihadapkan dengan sebuah pajangan foto hitam putih. Terdapat sebuah tanggal di sana, di mana tanggal itu tepat dua minggu lalu. Saat sebuah tragedi menimpaku di rumah sakit.
"Sohyun, kamu harus kuat," ucap Pak Taehyung menyemangati.
Ibu memijat bahuku dengan lembut.
"Ibu yakin, bapakmu sudah berbahagia di alam sana. Ia pasti senang karena bisa melindungi putrinya, dan bisa menjalankan perannya sebagai orang tua di ujung usia."
Benar. Bapak pasti bahagia. Kematiannya mungkinntidak sia-sia. Tapi, kenapa hatiku begitu perih? Aku masih belum cukup ikhlas menerima kenyataan ini.
Seorang laki-laki dewasa yang selaku kurindukan kasih sayangnya. Ia baru kemarin memelukku hangat dan mengatakan kasih sayangnya padaku tidak akan pernah habis. Ia yang mencintaiku dari kejauhan, hanya dalam sehari, kami harus kembali berpisah. Kali ini, untuk selamanya.
Kenapa?
Meski rasanya aku ingin menangis, aku tidak bisa melakukannya. Aku harus jadi kuat di depan ibu. Aku harus terlihat tegar dan baik-baik saja. Aku tidak boleh membuat ibu khawatir. Cukup batinku saja yang tersiksa, ibu tidak boleh mendapat beban tangis yang berlebihan hanya gara-gara melihat air mataku menetes.
Aku harus ikhlas.
Tbc.
Jangan lupa vote and comment. Episode selanjutnya, akan kubuat kalian bahagia.
Maaf yang berharap cerita ini sad ending, karena aku nggak tega :")
Sad-nya cukup Sohyun kehilangan ayahnya saja.
Aku minta maaf kalo di part ini ada banyak typo. Biasanya aku selalu cek ulang, biar typo-nya minim. Tapi, melihat jumlah katanya yang *uwow ... terlalu banyak (1900 lebih) aku jadi males scroll-scroll lagi. Hehe...
Dan terakhir. For all of you yang udah ngikutin cerita ini dari awal. Big thanks dariku, kalian selalu membuatku bersemangat dalam menyelesaikan cerita ini. Aku sempat stuck di tengah-tengah. Bahkan, kalian tahu sendiri, cerita ini hiatus hampir satu bulan. Tapi, berkat komen-komen kalian yang bermunculan, aku jadi ambisius buat segera menuntaskan kisah hidup Pak Taehyung dan Sohyun di You Are The Reason.
Oke, itu aja.
Tunggu kelanjutan part-nya yang tinggal dikiiit banget ini, ya😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top