BAB VI : Salah Sambung
Satu hal yang membuat Ellene dan Orka satu frekuensi adalah bola basket. Berawal dari ayahnya Orka yang menemukan bola basketnya di gudang hingga kedua remaja 17 tahun itu benar-benar menggemarinya bersama. Bukan hal yang berlebihan saat dikatakan bahwa mereka sangat mencintai bola basket. Bahkan, keduanya masuk ekskul basket bersama sejak SMP.
"Thanks." Ellene meraih sebotol air mineral yang disodorkan untuknya.
Dua sohib itu saling menatap beberapa saat hingga akhirnya memutuskan pandang.
"Lo masih punya impian buat jadi atlet basket, El?" tanya Orka tiba-tiba.
Sepertinya lagi-lagi pemuda yang duduk di sebelah Ellene itu teringat masa lalu mereka. Salah satu hal yang digemari Orka sepertinya mengenang masa lalu seperti lansia yang ingin menceritakan masa mudanya pada anak cucu. Itu pikir Ellene.
"Cita-cita buat gue sifatnya gak tetap," sahut Ellene, mengikuti arah pandang sahabatnya yang menautkan sorot pada langit yang masih berwarna biru.
"Udah enggak berarti?" Orka memastikan.
Ellene menggeleng. "Sekarang gue lebih suka cita-cita yang ngehasilin duit tiap bulan kayak jadi karyawan kantor gitu atau apalah."
"Emang atlet gak digaji tiap bulan, ya?"
Ellene menggedikan bahu, lantas menjawab, "gak tahu."
"Euh ..., bodo kalah dikukut⁴," ledek Orka sambil merangkul Ellene, gemas.
"Ya, mana gue tahu, anjir. Kata tetangga gue, mending jadi PNS."
Mereka akhirnya dilingkupi hening. Keduanya sibuk pada pikiran masing-masing, bergelut dengan topik yang disuguhkan oleh benak. Ellene dengan anak-anak basket yang sedang beristirahat dan Orka dengan langit yang tampak mengusiknya.
"Kalo lo masih mau jadi atlet basket gak?" Ellene balik bertanya sambil menarik ujung kedua jempol kakinya, melakukan pendingin kecil-kecilan.
Orka tampak menelisik dirinya sendiri. "Cita-cita buat gue sifatnya gak tetap."
Ellene menyentil dahi Orka hingga pemuda itu mengaduh. "Tukang copas."
Mendengar makian Ellene, Orka justru tertawa renyah. "Lagian itu cita-cita kita waktu zaman bocah ingusan, 'kan? Ngaku lo udah berapa kali ganti cita-cita!"
Ellene sedikit tertawa dengan Orka yang menatapnya penuh selidik sambil mengacungkan jari telunjuknya, memaksanya untuk mengaku.
"Kurang lebih sepuluh kali," aku Ellene yang membuat Orka tertawa. "Jadi guru, astronot, pengacara, dan gak tahu apa lagi. Tapi, ya, setelah dipikir lagi, punya kafe keren juga."
Orka mengangguk mantap, meyakinkan bahwa itu impian yang bagus.
Sambil menyerahkan tisu yang tadi dibelinya di koperasi pada Ellene, Orka berkata, "gue gak punya cita-cita, El. Menurut lo gimana soal orang yang gak punya mimpi?"
Tangan Ellene terhenti di dahinya bersama dengan tisu yang menyeka keringatnya.
"Menurut gue pribadi, terserah lo. Lo punya hak atas hidup lo. Mau punya impian atau enggak, itu kembali ke diri lo." Ellene mengemukakan pendapatnya yang diangguki Orka.
Semuanya kembali berjalan hening—kecuali anggota-anggota klub basket yang mengobrol bersama temannya masing-masing setelah ekskul—hingga deringan ponsel menyita perhatian Ellene maupun Orka.
Pemuda jangkung itu segera mengangkat telepon yang masuk tanpa mempertimbangkan siapa yang meneleponnya.
"Halo, Ayah. Nanti bisa gak beliin cilok yang deket SMP itu?"
Kening Orka mengernyit, merefleksikan kebingungan yang kentara. Pemuda pecinta bika Ambon itu tidak lantas menjawab meski sebuah nama telah terbentuk di kerongkongannya. Ponselnya semakin ditekan ke daun telinga agar suara dari benda itu lebih jelas terdengar.
"Ayah? Masih di sana, 'kan?"
Suara itu kembali menyapa rungu Orka. Pemuda itu menggeleng kecil saat Ellene menangkap basah dirinya yang mungkin mencurigakan, mengisyaratkan bahwa semuanya baik-baik saja. Orka lantas bangkit dari lapangan, berjalan pelan keluar dari lapangan melalui jaring pengaman lapangan.
"Ini kamu, ya, Lara?" Akhirnya Orka menyahut setelah sekian lama gadis di seberang sana terus memanggil ayahnya.
Namun, Orka tidak menemukan suara lagi. Begitu hening dan sunyi. Tak ada suara, tapi samar Orka menemukan embusan napas yang begitu lembut menyapa telinganya.
"Orka? Maaf, kayaknya aku salah pencet. Aku tutup, ya."
"Jangan!" cegah Orka dengan cepat.
Telinganya semakin dipekakan. Pemuda ber-jersey hitam-merah itu menelisik apakah telepon sudah diputus sepihak oleh Lara atau tidak. Sesekali, Orka mengedarkan pandangannya, melihat-lihat siapa kiranya yang mendekati posisinya saat ini.
"Lara, jangan diputus dulu," ucap Orka, memelankan suaranya.
"Ada apa?"
Spontan, Orka tersenyum mendengar sahutan dari pihak penelepon. Jangan tanya apa maksud Orka meminta gadis berambut panjang itu untuk membiarkan acara salah sambung ini karena Orka bahkan tidak tahu apa alasannya.
Dan jadilah Orka kebingungan harus memulai percakapan ini padahal selama dia hidup berdampingan dengan manusia lain, Orka tidak akan kesulitan mencari topik pembicaraan. Kucing oren jalanan yang baku hantam dengan anjing bulldog milik tetangganya pun Orka jadikan bahan obrolan dengan Ellene. Namun, sekarang rasanya berbeda saat dia berhadapan—meski tidak langsung—dengan Lara.
"Kamu baik-baik aja?" Akhirnya itulah pertanyaan yang keluar, entah beranak dari pertanyaan yang mana.
"Iya, aku baik-baik aja kok. Makasih. Kabar kamu gimana?"
Orka tersenyum lebar. "Baik. Aku baru selesai ekskul basket jam setengah empat tadi. Lumayan capek sih. Ya ..., sebenernya aku khawatir soal kejadian lima hari lalu. Kamu gak ngerasa trauma?"
"Lebih ke terkejut dan syok aja sih, enggak sampai trauma. Mungkin karena dulu aku pernah ngalamin hal yang sama. Gak tahu deh hehe."
Orka ikut terkekeh. Tidak, dia tidak menertawakan Lara, hanya saja Orka mengikuti gadi itu untuk tertawa kecil agar suasana tidak canggung. Dan entah kenapa suara gadis itu terasa manis.
Sambil berusaha menahan senyumnya, Orka terduduk di bawah pohon mangga yang tumbuh di sekitar lapangan basket. Dipandanginya langit agar terlihat sibuk meski dia yakin tidak ada yang memperhatikannya.
"Bye the way, ternyata kamu nyimpen nomor aku, ya." Orka menggiring pembicaraan ke arah yang baru.
Namun, Lara belum menjawabnya hingga membuat Orka berputar lebih cepat. Apakah dia menyinggung Lara?
"Enggak masalah kok, Ra. Aku malah seneng kamu nyimpen nomor aku karena kita bisa berteman baik ke depannya, 'kan?" tambah Orka, memberi pesan tersembunyi bahwa gadis itu tidak perlu merasa bersalah karena menyimpan nomornya tanpa izin.
Lagipula, Orka yakin jika Lara tidak macam-macam dengan ponselnya seperti melanggar privasi. Lara pasti mendapatkan nomor ponsel Orka dari note yang Orka pasang di lock screen. Orka sengaja menuliskan nomor ponselnya di lock screen karena dia seringkali lupa dengan nomor ponselnya sendiri.
"Maaf, ya, aku lancang nyimpen nomor kamu."
Orka terkikik mendengar permintaan maaf itu. "It's okay. Gak usah dipikirin."
"Oh iya, kita belum kenalan dengan bener, 'kan? Nama aku Orka Pramudya. Aku baru kelas 11. Kamu bisa anggap aku temen kamu." Orka kembali bersuara untuk Lara, menuntun topik baru untuk dibicarakan.
"Wah! Ternyata kita seumuran."
Lara memberi jeda sejenak.
"Namaku Larana Danindah. Senang bisa kenal sama kamu."
Orka tertawa renyah mendengarnya. Rasanya aneh ada yang bilang seperti itu meski di sisi lain pun Orka merasa senang karena berteman Lara.
"Kenapa ketawa?"
Orka menyugar rambut model comma hair-nya sambil tersenyum. "Enggak, rasanya seneng aja dapet temen baru."
Sekarang giliran gadis itu yang tertawa renyah di seberang sana. Tawanya terdengar halus seperti benang sutra dan manis seperti permen kapas. Senang bisa mendengar suara Lara lagi setelah sebelumnya Orka berpikir mungkin dia tidak akan bertemu dengan Lara lagi.
Gadis itu begitu manis meski mungkin kekurangannya membuatnya menarik diri dari dunia. Tidak, Orka yakin Lara adalah sosok yang bisa bersanding dengan lajunya dunia. Lara adalah gadis yang baik dan Orka terka gadis itu telah melewati masa-masa beratnya. Orka tidak menemukan sejumput pun duka pada diri gadis itu mengenai keadaannya. Lara justru lahir menjadi sosok yang beraura positif dengan senyuman hangatnya.
Di saat Orka tanpa sadar menjabarkan sosok Lara di benaknya dengan terperinci, sepasang mata justru sedang menatapnya lamat dan tidak terdeskripsikan dari kejauhan, menelisik.
🏀
H
alo, Guys!
Salah sambung Lara ternyata bikin dia sama Orka temenan wkwk.
Oke, see you di chapter selanjutnya!
You Are The Apple of My Eye © 202e
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top