BAB IV : Perihal Ponsel
Semilir angin di hari Sabtu menggoyangkan ringan ujung dari dahan-dahan tangkai bunga dahlia yang berdiri di halaman belakang. Tidak hanya sampai di luar, angin memasuki dapur dengan bebas setelah seorang wanita paruh baya membukanya dengan lebar.
Ellene membalas senyuman yang dilemparkan ibunya, senyuman hangat, manis, dan penuh aura keibuan. Gadis itu lantas menegakkan tubuhnya saat sang ibu duduk bersamanya, bergabung di meja makan.
"Hari ini kita sarapan sama soto, ya," ucap Nike yang diangguki Ellene.
"Keadaan ibu gimana?" Gadis itu bertanya pada sang ibu yang telah menyeruput kuah soto Madura-nya.
"Ibu gak papa kok, El." Nike kembali tersenyum untuk meyakinkan seberapa baik keadaannya meski sejujurnya Ellene tidak dapat teralih dari memar di sudut bibir Nike.
"Bapak ke mana? Pergi lagi?" berundung Ellene, pura-pura fokus pada soto di hadapannya.
"Jangan nanyain bapak kamu kalo itu bikin kamu tambah benci sama dia."
Ellene membuang mukanya, sesaat setelah jemari Nike menyentuh punggung tangannya dengan hangat. Ia tidak akan sudi memaafkan ayahnya hanya karena kelembutan Nike.
"Ibu jadi keinget sama Orka. Dia suka banget sama soto Madura, 'kan? Sesekali, ajak dia makan soto sama-sama di sini, ya." Nike mengalihkan pembicaraan dan Ellene menyadarinya.
Untuk menyetujuinya, Ellene mengangguk kecil. Ketika mendengar undangan dari ibunya, mungkin Orka akan langsung ke rumah Ellene dengan penuh semangat.
Tok! Tok!
Di lahapan kelima, suara ketukan pintu depan mengalihkan Ellene dari sarapannya. Gadis itu beranjak sambil memberi isyarat pada ibunya untuk tetap di meja makan dan ia yang akan melihat siapa tamu mereka.
"Loh? Ngapain pagi-pagi datang ke sini?" Spontan, Ellene menegur dengan jutek seorang pemuda di hadapannya yang tidak lain adalah Orka.
Namun, Ellene rasa sahabatnya memiliki masalah, ditilik dari gurat wajah pemuda jangkung itu.
"Kita harus temuin Lara, El," ucap Orka, terdengar setengah panik.
"Ngapain?" Ellene mengerutkan dahi, bingung.
"HP sama jas gue di dia, anjir. Bisa-bisanya kelupaan. Goblok banget, 'kan?"
Ellene menaikkan kedua alisnya seakan bertanya 'apa lo bilang?'. Gadis itu tidak habis pikir dengan kejadian ini.
"Tadinya gue mau pinjem HP mama, tapi mama sama papa lagi ke rumah oma. Belum balik lagi dari semalem." Pemuda berjaket jeans itu menjelaskan setelah melihat wajah keheranan Ellene.
"Telepon rumah? Kenapa lo gak nyoba nelepon pake telepon rumah?" selidik Ellene dengan raut yang benar-benar kentara berkata 'punya otak gak sih lo sebenernya?'.
"El, jangan ngejek lah. Lo tahu gue gak hafal nomer HP gue sendiri."
"Masuk dulu. Belum sarapan, 'kan?" tawar Ellene.
Orka menggeleng, memilih tetap berdiri di depan ambang pintu.
"Telepon dong, El," bujuk Orka, tidak sabaran.
Ellene menurutinya. Ia merogoh ponsel di celana selututnya dan menelepon nomor Orka. Pemuda itu tampak resah, menoleh ke sembarang arah sambil menunggu.
Deringan pertama, kedua, hingga keempat tidak membuahkan hasil. Ponsel yang ditempelkan di daun telinga Ellene tampak tak acuh dengan keresahan yang membalut Orka. Namun, tepat di deringan terakhir, Ellene diberikan harapan.
"Halo."
Ellene bergegas menyerahkan ponselnya pada Orka setelah dia mendengar suara seorang gadis bernada halus di seberang sana.
"Halo, halo." Orka membalas cepat, memekakan telinganya untuk mendengar suara dari ponsel Ellene. "Ini Lara, 'kan?"
"Iya, aku Lara. Kamu yang waktu itu, ya?"
Orka tampak bernapas lega, menoleh pada Ellene dengan bahagia dan binar yang cerah.
"Iya. Namaku Orka," sahut Orka semangat.
Terdengar suara berbisik-bisik dari ujung sana. Entah apa yang mereka bicarakan. Orka tidak dapat mendengarnya atau menyimpulkan apa pun lewat suara yang sama tersebut.
Ellene mengisyaratkan pertanyaannya tentang ada apa di seberang sana. Orka mengangkat bahunya, lantas mengeraskan volume ponsel Ellene agar mereka bisa mendengarnya bersama.
"Dan nama pacarmu waktu itu Ellene, ya?"
"Enggak!"
"Bukan!"
Kedua remaja berusia 17 tahun itu buru-buru menjawab, menyangkal prasangka Lara. Keduanya sempat saling tatap, seperti tatapan yang merasa aneh ketika mendengar ucapan Lara.
"Hehe, maaf, ya. Bi Inah bilang kalo kontak cewek disematin di ponsel cowok, berarti dia berharga. Aku pikir kalian pacaran."
Kompak, Ellene dan Orka menjawab bahwa mereka tidak perlu mempermasalahkannya.
"Oh iya, kamu bisa bagi alamat kamu gak biar aku bisa ambil jas sama HP aku?" tanya Orka, tapi Lara tidak kunjung menyahut.
Keheningan di tempat Lara tampaknya mengherankan bagi Orka, bertanya-tanya kenapa gadis itu begitu lama tidak menjawab.
"Boleh. Bi Inah bakalan sharelock, ya. Tapi aku harap kalian datang sebelum jam empat sore."
🏀
Ellene dan Orka kompak memperhatikan dengan lamat sebuah rumah bercat putih yang mengingatkan mereka pada rumah-rumah pedesaan di film Amerika Serikat. Keduanya turun dari motor sembari memperhatikan sekitar. Halaman rumah yang luas dengan rumput yang pendek, tampak baru dipotong belum lama ini. Tidak jauh dari rumah, berdiri sebuah pohon dengan ayunan dari ban mobil yang sedikit maju-mundur karena angin. Tidak banyak rumah yang mereka lihat di sekitar sini.
"Lo yakin ini rumahnya Lara?" tanya Ellene.
"Yakin, percaya deh. Gue ngikutin alamat yang dikasih Lara," sahut Orka, yakin.
Di setiap langkahnya yang selaras dengan Orka, Ellene terpikirkan sesuatu yang terus menggelitiki benaknya. Berulang kali ia ingin bertanya pada Orka, tapi sepertinya itu keputusan yang tidak tepat.
Tok! Tok!
"Permisi." Orka berujar sopan sembari mengetuk pintu di depannya.
Kembali, dia mengetuk pintu saat beberapa saat tak ada jawaban, hening seperti tidak ada orang.
"Gue udah bilang mungkin kita salah rumah." Ellene berpendapat, tapi Orka tidak menggubrisnya.
Di saat tangannya sudah di udara untuk kembali mengetuk pintu, seseorang membukanya dari dalam dengan cepat.
"Jang² Okra sama Neng³ Ellene, ya?" Seorang wanita paruh baya berdaster cokelat tua itu bertanya ramah.
Orka sedikit tertawa kecil karena aneh mendengar namanya yang menjadi Okra.
"Iya, Bi. Ini betul rumahnya Lara?" tanya Ellene.
"Betul." Wanita paruh baya itu mengangguk. "Mari masuk dulu."
Sekilas, Ellene dan Orka saling pandang untuk tidak lebih dari 3 detik. Saat keduanya memasuki rumah Lara, mereka menemukan rumah dengan nuansa yang hangat. Entah bagaimana Ellene menjelaskannya, tapi dia menyukai vibes rumah ini. Hangat dan nyaman.
Ellene dan Orka duduk di sebuah sofa berwarna abu-abu setelah wanita paruh baya itu mempersilakan mereka untuk duduk.
"Lo mikir hal yang sama gak?" Ellene berbisik dan itu membuat kepala Orka menunduk mendekati bibir Ellene.
"Soal apa?" tanya Orka.
Namun, belum sempat terjawab, kedatangan seseorang menuju sofa seketika menarik atensi keduanya. Lara berjalan dengan hati-hati menggunakan sebuah tongkat. Saat Ellene sudah berdiri untuk membantu Lara, gadis itu sudah bisa menggapai sofa.
"Okra? Ellene?"
Orka menyenggol tangan Ellene setelah menyadari sahabatnya itu menahan tawa ketika mendengar panggilan Lara barusan.
"Hai, Lara," sapa Orka, ramah.
"Oh, hai! Ternyata kalian beneran udah dateng," balas Lara, tampak tersenyum manis meski tidak tepat ke arah Orka dan Ellene. "Sebentar, ya. Bi Inah lagi buatin minuman buat kalian."
"Padahal gak perlu repot-repot, Ra." Orka merasa tidak enak.
"Gak papa. Ini pertama kalinya kalian datang ke sini." Lara berujar ramah. "Okra, Ellene, maaf karena bikin kalian repot-repot datang ke sini. Tadinya ayah mau nganterin langsung, tapi mungkin belum sempet karena banyak kerjaan."
Ellene tersenyum jahil pada Orka. Entah kenapa rasanya gadis itu ingin tertawa mendengar nama Orka versi Lara dan Bi Inah.
"Gak masalah yang penting aku sama Orka udah di sini," sahut Ellene.
"Ya ampun, maaf. Aku kayaknya salah nyebut nama Orka, ya?" Lara langsung tersadar setelah mendengar Ellene.
"Tapi Okra juga cukup bagus," tambah Ellene.
Ketiganya tertawa kecil bersama, geli juga sebenarnya. Okra? Rasanya aneh, tapi Ellene menyukainya. Dia akan mengganti nama kontak Orka menjadi Okra.
Namun, di tengah candaan dan obrolan ringan mereka, suara deru mesin mobil terdengar dan itu membuat Lara kehilangan tawanya.
🏀
Halo, Guys!
Selamat datang kembali dan sampai bertemu di chapter selanjutnya!
Footnote :
² Jang (Ujang) = Panggilan kepada anak laki-laki (Bahasa Sunda)
³ Neng (Eneng) = Panggilan kepada anak perempuan (Bahasa Sunda)
You Are The Apple of My Eye © 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top