BAB III : Seorang Gadis

      Kedua tangan itu meraba-raba ke atas permukaan air. Permintaan tolong gadis itu beberapa kali teredam oleh air yang tidak membiarkannya untuk bernapas lama di permukaan.

Gadis berambut panjang itu tidak bisa berenang. Ellene yakin itu dan dia menoleh cepat pada Orka.

Pemuda itu juga memiliki reaksi yang sama cepatnya. Orka langsung menceburkan dirinya, melempar jasnya ke sembarang arah.

"Hari-hati!" seru Ellene, berdiri di pinggir danau jika sewaktu-waktu ia mesti menarik gadis itu ke daratan.

"To-long!" Gadis itu kembali berteriak panik, berusaha untuk tak tenggelam dan bertahan.

Orka mencoba meraih salah satu tangan gadis itu, tapi tak bisa. Gadis itu malah bergerak semakin ke tengah dan mungkin keadaan akan semakin buruk jika Orka tidak bisa meraih tangannya dengan segera.

Situ Patenggang memiliki kedalaman 3-4 meter dan itu yang membuat Orka agak panik.

"Ka! Hati-hati!" Ellene memperingatkan dari pinggir danau.

Orka membalasnya dengan mengangkat jempol sesaat agat sahabatnya tidak perlu khawatir.

"Tolong!" Gadis itu kembali berteriak.

Orka yakin gadis itu sangat panik dan sejujurnya dia pun panik. Sisi danau di mana mereka berada adalah wilayah yang sepi dan secara kebetulan tidak ada satu perahu pun hari ini yang singgah di dekat sana.

Orka kembali mencoba untuk menggapai tangan gadis itu. Syukurnya, Orka dapat meraih tangan putih bersih itu, menariknya untuk mendekat. Dia melingkarkan kedua tangan gadis itu pada lehernya agar mereka dapat kembali ke darat. Orka dapat merasakan deru napas yang membara di daun telinganya. Tangan kanan gadis itu mencekal erat pergelangan tangan kirinya, sangat erat. Orka dapat merasakan ketegangannya.

Orka terus bergerak menuju pinggir danau dan melihat Ellene yang sedang berdiri dengan wajah yang khawatir. Sesekali, Ellene tampak menengok sana-sini. Orka yakin sahabatnya itu berharap ada orang lain yang membantu mereka.

Dengan sigap, Ellene menarik tangan gadis itu yang diarahkan oleh Orka, membawanya dengan sekuat tenaga untuk naik ke darat.

"Kamu gak papa? Ada yang luka?" tanya Ellene melihat sekujur tubuh gadis yang berdiri di sampingnya.

Ellene memegangi tubuh gadis ber-dress  floral itu, menahan tubuh menggigil yang mungkin sewaktu-waktu dapat ambruk. Ellene memberi isyarat untuk duduk saja di rumput, tapi gadis itu menolaknya sambil menggeleng kecil. Gadis itu tampak syok. Ellene dapat merasakannya dan dapat melihatnya dari ekspresi wajah gadis itu.

"Kamu ada yang luka?" tanya Orka yang sudah naik ke darat, bertanya karena khawatir gadis itu terluka.

"Aku gak papa kok, gak ada yang luka. Terima kasih banyak udah bantu aku." sahut si gadis yang tingginya hampir sejajar dengan Ellene sambil tersenyum tipis.

Untuk sejenak, Ellene dan Orka saling pandang, bertanya lewat sorot mereka tentang sesuatu. Ya, mereka dapat memastikan satu sama lain bahwa pikiran mereka sama.

"Oh iya, kamu baik-baik aja?" Gadis itu kembali bertanya, khawatir.

"Dia gak kenapa-napa kok. Emang dasarnya  dugong mah bisa berenang, 'kan?" sahut Ellene, mengundang senyum kecil gadis itu.

"Kurang ajar emang, ya," gerutu Orka sambil mengibas-ngibaskan rambut basahnya pada Ellene.

"Gak sopan!" Ellene berseru galak, tapi Orka malah tertawa renyah.

Namun, tubuh menggigil gadis itu melerai keduanya. Dengan cepat, Orka memungut jasnya dan memakaikannya pada gadis itu untuk menghalau angin. Setidaknya gadis itu tidak akan terlalu kedinginan.

"Terima kasih," ungkap gadis itu, menoleh ke sembarang arah sambil tersenyum.

"Nama kamu siapa? Terus kamu ke sini sama siapa?" cecar Orka, masih menatap gadis itu.

"Namaku Lara. Aku ke sini sama ayah, tapi aku gak tahu tepatnya ayah di mana. Tadi ayah sempat ngobrol sama temen lamanya." Lara menyahut.

"Kamu bisa kasih tahu aku ciri-ciri ayah kamu. Nanti biar kita cari sama-sama."

Lara tidak langsung menjawab, terdiam untuk beberapa saat hingga air muka Orka berubah panik. Dia menoleh pada Ellene yang menatapnya garang seperti ingin mengulitinya karena pertanyaan barusan.

"A-aku—"

"Aku gak tahu wajah ayahku sendiri dan bagaimana rambutnya sekarang atau bahkan sedang memakai baju seperti apa." Lara tersenyum getir, memotong suara Orka yang agak tercekat. "Aku buta."

"Maaf," ungkap pemuda itu dengan suara yang dalam.

"Gak papa." Lara memberi senyum yang manis meski arahnya selalu tak tepat.

"Oke, Lara, kayaknya lebih baik kita mulai nyari ayah kamu." Ellene bersuara, mencairkan kecanggungan yang pasti dirasakan Orka.

Lara mengangguk kecil, menyetujui.

"Ka, lo gak papa jalan sambil basah kuyup gitu? Kalo lo mau, gak papa lo balik duluan," ucap Ellene, sedikit berbisik pada Orka.

"Enggak lah. Ya kali lo nyari ayahnya Lara sendirian." Orka jelas menolak usulan itu.

Mereka mulai mencari ayahnya Lara ke arah barat. Ellene dan Orka menoleh ke setiap orang khususnya bapak-bapak yang mungkin tiba-tiba akan menghampiri mereka dan memeluk Lara. Namun, sepanjang mereka berjalan, tak ada satu pun orang-orang yang melakukannya. Hari ini, pengunjung tampak tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan terakhir kali Ellene dan Orka ke mari.

"Gimana ceritanya kamu bisa jatuh ke danau?" tanya Ellene, mencairkan suasana sambil membenarkan tali tasnya.

"Tadi aku lagi jalan biasa dan aku suka sama angin di sini, sejuk banget. Terus aku jalan dibantu tongkat aku, tapi aku tiba-tiba tercebur ke sana," sahut Lara.

"Berarti tongkat kamu ...." Orka menjeda ucapannya.

"Gak papa. Aku masih punya satu di rumah." Lara tersenyum untuk meyakinkan bahwa mereka tidak perlu mempermasalahkan soal tongkatnya.

Beberapa orang yang berpapasan dengn mereka terkadang membuat Ellene merasa risi. Apakah perlu orang-orang menatap seperti itu? Orang-orang itu mungkin berpikir sesuatu telah terjadi, tapi Ellene merasa terintimidasi seakan Orka dan Lara telah berenang di danau seperti mereka melakukannya di kolam renang umum.

Ellene lebih mempercepat langkahnya, menuntun Lara untuk menyeimbangkan langkah mereka.

"Buru-buru banget." Orka mnmperotes di samping Ellene dan gadis itu tidak peduli.

Namun, di tengah pencarian mereka, seorang pria paruh baya dengan usia berkisar 37-40 tahun menghampiri mereka dan tiba-tiba memeluk Lara.

"Pak—"

"Burung merpati di ranting pohon." Pria berkemeja biru muda itu memotong Orka yang hendak bertanya.

"Ayah!" Lara langsung membalas pelukan itu dengan sangat erat seakan gadis itu tidak akan pernah melepaskannya.

"Apa yang terjadi, Nak? Kenapa basah begini?" Pria itu melerai pelukan, lantas menangkupkan kedua tangannya pada wajah Lara.

"Aku hampir tenggelam tadi, tapi mereka nolongin aku, Yah."

Pria itu membulatkan matanya dan dengan cepat kembali memeluk putrinya dengan erat sambil berkata maaf terus-menerus.

"Terima kasih banyak. Apa yang dapat saya lakukan untuk membalas kalian?" Pria itu berterima kasih, menatap Ellene dan Orka dengan sorot yang tidak terdefinisikan, semacam tatapan seorang ayah sejati mungkin?

"Gak papa, Om. Kami senang karena Lara gak kenapa-napa." Orka tersenyum untuk membalasnya.

Ellene? Gadis itu tersenyum dengan melihat kasih sayang seorang ayah pada putri kecilnya.

🏀

Halo!

Selamat datang kembali, ya! See you di next chapter!

You Are The Apple of My Eye © 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top