BAB I : About Us
Semuanya sudah berakhir. Semua perjuangan yang dilewatinya telah berhasil dilalui. Namun, bayangan hitam yang jatuh di tanah, membuatnya kembali waspada. Matanya membulat sempurna saat makhluk bersayap itu menapakan kaki bercakar panjangnya di atas tanah.
Pemuda itu menahan napas sejenak. Mata makhluk itu bergulir ke arahnya, mata yang sangat tajam dan menyeramkan. Embusan napas makhluk itu terasa sampai padanya meski jarak mereka sama sekali tak dekat. Rasa takutnya dialirkan pada pedang yang dipegangnya erat, berharap perasaannya dapat berubah menjadi sebuah keberanian.
Naga itu mendekat dengan langkah gagah yang menunjukkan tidak terintimidasi sama sekali oleh pemuda yang terlihat kecil baginya.
Ingatlah, Nak, seorang ksatria tidak akan mundur dari situasi yang harus dihadapinya.
Suara kakek tua itu terdengar menggema di telinganya. Tidak boleh mundur, ya? Tapi dia ragu. Apakah dirinya bisa melawan naga ini?
Bisa! Pasti bisa! Jika pun dia mati di tempat yang sudah luluh lantak ini, mungkin tidak masalah setelah dia mencoba semaksimal mungkin.
Asap hitam membumbung dari kobaran api di mana-mana. Amukan sang naga seperti tadi tak akan membuatnya mundur. Dia yakin.
"YAAA!" Pemuda itu melompat sangat tinggi dengan pedang tajam yang siap diayunkan.
Dia akan menang.
Byur!
"MAMA!" Pemuda itu terperanjat sambil berteriak sekeras mungkin.
Diusapnya wajah serta rambut yang sudah basah kuyup. Tubuhnya seketika menggigil dengan air dingin yang singgah di tempat tidurnya.
"Ellene!" protesnya pada seseorang yang berlalu ke kamar mandi.
"Dingin, anjir!" tambahnya, tak terima.
"Cepetan mandi!" Gadis berseragam SMA itu meraih tas Eiger-nya yang ada di atas meja belajar, lantas keluar dari kamar bernuansa putih-silver itu begitu saja.
Mimpinya dipotong begitu saja oleh gadis itu. Sebagai bentuk balas dendam, pemuda berkaus abu-abu itu kembali menggulung tubuhnya dengan selimut meski ada bagian yang basah. Tidak masalah, dia akan kembali tidur dengan cepat dan melanjutkan mimpinya melawan naga. Lagipula, saat dia melirik jam, dia menemukan jarum pendeknya masih di angka 6.
Bantalnya dibalikkan untuk menghindari bagian yang basah dan tak lama setelahnya, pemuda itu memejamkan matanya, siap terlelap.
"ORKA!"
"Anjir!" Pemuda itu seketika terbangun setelah kakinya ditarik paksa oleh Ellene.
Wajah garangnya benar-benar menenggelamkan mimpi Orka. Gadis berambut pendek itu menatapnya tajam seakan ingin melahap Orka hidup-hidup.
"Iya, iya. Nih bangun." Orka akhirnya menyerah pada sahabatnya, berlari menuju kamar mandi.
🏀
"
Mimpi gue tadi genre fantasi loh, El. Harusnya lo biarin gue beresin baku hantam sama naga dulu, baru lo bangunin. Jarang-jarang gue dapet mimpi genre fantasi, El," oceh Orka, tetap tak terima jika mimpinya diputuskan begitu saja.
Ellene merotasikan matanya. "Cuma mimpi."
"Lo gak tahu aja, anjir, kalo mimpi gak ada season duanya. Gak pernah mimpi lo?"
"Pernah."
"Apaan?"
"Naik kuda poni buat masuk ke jurang."
Orka memiting Ellene karena gemas dengan sahabatnya. Bisa-bisanya gadis itu bermimpi masuk jurang dengan seekor kuda poni.
"Mati dong gue, Ka!" Protesan Ellene membuat Orka tergelak sempura.
Setelah berjalan di lorong, akhirnya keduanya sampai di ruang kelas bertuliskan 'XI-OTKP'. Seperti biasa, hanya ada beberapa siswa di dalam kelas yang enggan keluar termasuk Henderi.
"Ka! El!" sapa pemuda itu ramah, mengangkat tangannya, memberi isyarat pada dua sohib itu untuk mendekat ke arahnya.
Orka dan Ellene menghampiri pemuda itu yang duduk di meja pojok bersama seorang gadis berambut panjang dengan ujung curly dan bersama Kevan, teman mereka yang lain.
"Tumben pagi-pagi udah dateng. Biasanya kalian berdua dateng pas melet-mepet apel," puji Henderi, tersenyum mengejek.
"Disiram sama Ellene?" Kevan menebak, lantas ketiga pemuda itu tertawa riang atau lebih tepatnya menertawakan Orka.
"Siapa suruh tidur kayak kebo." Ellene bersuara.
"Gue lagi mimpi, El," bela Orka.
"Persetan sama mimpi lo."
"Aaa ... mimpi apa lo?" Henderi tersenyum tengil dengan mata menyipit pada Orka.
"Ngelawan naga," jawab Orka, membantah tatapan Henderi.
"Eh, sorry, ya, kalo gue lancang."
Semua fokus teralihkan pada Felicia. Gadis yang duduk di sebelah Henderi itu tampak ingin bertanya sesuatu mengenai Ellene dan Orka.
"Ada apa?" tanya Ellene, merasakan tatapan aneh yang diberikan padanya.
"Kalian pacaran, ya?"
Hening sejenak. Ruangan lengang. Tak ada yang menjawab. Tak ada yang bersuara. Terkejut? Tentu. Siapa yang tak terkejut dengan pertanyaan itu terlebih ditujukan pada Ellene dan Orka?
Keduanya tak menjawab untuk beberapa saat, memberikan kesan canggung yang nyata.
"Yang." Henderi menegur pelan.
"Haha, iya. Gue sama Ellene pacaran. Iya, 'kan, Yang?" Orka menyampirkan tangannya di bahu Ellene dengan senyum lebar yang hangat, percaya diri.
"Enggak, jir. Najis."
Semuanya tertawa melihat reaksi Ellene yang tersenyum geli pada Orka.
"Yang, kok gitu sih? Kita putus?" rengek Orka yang membuat Ellene lagi-lagi bergidik ngeri.
"Beungeut sia hurung¹."
Orka mengejar Ellene yang dengan rengekan yang membuat gadis itu berlari sambil bergidik. Di kejauhan, keduanya tertawa bersama karena Ellene yang tak pernah bisa untuk tidak menggeliat geli ketika leher belakangnya disentuh.
Henderi tersenyum melihat mereka dari dalam kelas, lantas beralih pada kekasihnya.
"Mereka akan jadi sahabat selamanya. Itu yang dibilang Ellene dulu."
🏀
Anak rambut yang menghalangi pandangannya disingkirkan dengan menyelipkannya pada daun telinga. Matanya terus menyapu pada deretan buku yang membuatnya pusing tujuh keliling. Ia rasa tak ada buku yang cocok di rak ini.
"Nyari di rak lain yuk!" ajak Ellene pada seseorang yang membuntutinya seperti anak ayam.
"Mau nyari referensi di mana lagi? Mending dari Google aja. Di Brainly banyak tuh."
Saran yang tak akan Ellene terima.
"Banyak yang make referensi dari Google apalagi Brainly. Gue gak mau sama."
Orka mengembuskan napasnya penat, lantas setengah berbisik, "cuma makalah PPKN, El, bukan buat skripsi. Ribet harus nyari buku satu-satu."
Gadis itu tak menggubrisnya, lebih memilih beralih ke rak selanjutnya untuk mencari buku. Namun, ternyata rak yang disinggahinya adalah rak buku pelajaran Bahasa Indonesia.
"El, kalo idiom apaan?" tanya Orka, mendekati sahabatnya sambil membawa sebuah buku yang dibukanya.
"Siapa yang megang bukunya? Kok malah nanya sama orang?" sinis Ellene. "Lagian lo gak belajar Bahasa Indonesia gitu sampe gak tahu idiom?"
Orka memilih mengabaikan gadis itu yang melihat-lihat buku di rak Bahasa Indonesia. Pemuda itu sibuk membolak-balik halaman buku secara acak, mencari sesuatu yang menarik.
Ellene melirik ke arah Orka yang menatapnya. Ellene seperti mendengar bisikan dari pemuda itu barusan.
"Lo ngomong sesuatu barusan? 'Ai' apa?" tanya Ellene dengan suara yang rendah.
Orka menggeleng singkat. "Bukunya bagus. Lo harus pinjem."
Orka berlalu begitu saja setelah menyerahkan buku idiom itu pada Ellene yang menautkan kedua alisnya.
Aneh. Gue kayak denger dia bilang sesuatu.
🏀
Halo, Guys!
Selamat datang di kisahnya mereka! Semoga kaliam enjoy, ya! See you!
Footnote :
¹ Muka lo nyala (di sini, konteksnya menyanggah Orka dengan ucapan kasar)
You Are The Apple of My Eye © 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top