16. Rere

Prang!

Suara piring pecah terdengar di telinga Rere yang masih bersiap-siap di kamarnya.

"Mas, kamu tuh bisa enggak sih jangan terlalu sibuk sama pekerjaan kamu?" tanya Hawa pada suaminya.

"Kamu tuh ngerti enggak sih? Kalau enggak sibuk, kalian makan apa hah?!" pekik Andra yang tak terima.

"Tapi, masa terus-terusan pulang malam? Harusnya kalau lembur itu paling cuma beberapa kali?" tanya Hawa yang tak mendapat kejelasan, karena suaminya sudah seminggu pulang larut malam.

"Argh ... kamu tuh ya! Ini juga demi perusahaan yang aku bangun sejak lama. Kalau kamu emang enggak suka, ya silahkan kamu pergi!" teriak Andra yang emosi.

Hawa yang tak menduga suaminya akan teriak seperti itu hanya bisa menangis.

Rere baru saja turun dan melihat pertengkaran yang terjadi antar kedua orang tuanya.

"Ma ... Pa ...," lirih Rere.

Andra dan Hawa menoleh ke arah Rere.

"Mama sama Papa berantem lagi?" tanya Rere.

Pertengkaran ini sudah terjadi beberapa hari dan dengan topik yang sama.

"Kalian enggak kasihan sama anak kalian ini yang udah beberapa hari denger kalian ribut terus?" lirih Rere yang suaranya mulai serak menahan tangis.

"Pa, bisa enggak ya jangan tiap hari lembut gitu, kasian Mama 'kan butuh Papa," ujar Rere menengahi pertengkaran Andra dan Hawa.

"Sayang ...."

"Aku berangkat dulu Ma, Pa," pamit Rere dan menyalami tangan kedua orang tuanya.

"Kamu lihat 'kan anak kamu aja ngerti masa kamu enggak?" Suara Hawa mulai bergetar karena masih menangis.

"Udahlah aku cape, aku udah ditunggu di kantor, ujar Andra dan pergi begitu saja dari hadapan Hawa.

Hawa memilih duduk dan menangis, ia ingin melepaskan beban yang ada dalam pikiran dan hatinya.

Dalam keluarganya selalu harmonis setiap hari. Entah apa yang sedang terjadi dengan rumah tangga keduanya.

Andra berubah, yang hanya lembut kurang lebih dua kali dalam seminggu. Kini hampir setiap hari. Seperti ada yang tidak beres, namun Hawa tetap berpikir positif akan suaminya, karena ia percaya dengan Andra.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah Rere menumpahkan yang ia tahan sejak tadi, air matanya.

"Aku pengen kayak dulu, Ma, Pa."

Rere sampai sesegukan di dalam taksi. Ia bertekad harus memperbaiki hubungan orang tuanya seperti dulu.

"Rere harus kuat ya, pasti bisa ngehadapin semuanya," guman Rere menguatkan dirinya.

Rere menghapus jejak air matanya tadi dan tersenyum untuk menutupi hatinya yang sedang sedih.

***

"Hai-hai, tumben udah pda Dateng," sapa Sinta kepada kedua temannya.

"Iya, masa mau telat ngaco ah," balas Rere.

Aubri hanya tersenyum melihat keduanya.

"Iya enggak gitu jugalah, eh-eh ...."

"Apaan?" tanya Rere yang penasaran terhadap Sinta yang tiba-tiba berhenti.

"Kok ...." Sinta menggantungkan ucapannya lagi yang membuat Rere kesal.

"Apa sih Sin, bilang aja gitu loh," kesal Rere.

"Ah ... lupa," jawab Sintia senyum-senyum tidak jelas.

"Minta digebuk ya," umpat Rere.

"Ampun Bu hahahhaha," Sintia berhasil membuat Rere kesal padanya.

Aubri menggeleng-gelengkan kepalanya, memang teman-temannya ini membuat hari-harinya berbeda.

"Tau ah malas ngomong sama lo, Sin," balas Rere.

Tak terasa guru sudah memasuki kelas dan memulai pelajaran. Sepanjang guru menjelaskan

Sintia melihat ke arah Rere yang hanya fokus lurus tanpa ada pandangan sedikit pun. Hanya tatapan kosong.

"Sst ...," sahut Sintia ingin menyadarkan lamunan Rere.

"Re," panggil Sintia lagi.

Masih tetap sama dan tidak ada perubahan dari Rere.

Tak terasa sudah setengah jam pelajaran berjalan

Ting ... Ting ....

Ketiganya memilih ke kantin untuk mengisi perut.

Rere tengah memesan makanan untuk dirinya dan teman-temannya.

"Bri, lo liat Rere ada yang beda enggak?" tanya Sintia.

"Hm ... enggak tuh, biasa aja," jawab Aubri.

Sintia mengernyit dahinya mendengar jawaban dari Aubri.

"Kok gitu sih muka lo? Kenapa emangnya?" tanya Aubri yang menyadari perubahan wajah Sintia.

"Aneh tahu, tadi di kelas gue liat dia enggak merhatiin guru. Kayak natap ke depan tapi, enggak fokus gitu," jas Sintia.

"Ah perasaan lo aja kali, Sin," timpal Aubri.

"Ih gue bukan cuma liat, tapi udah manggil dia. Dianya enggak nyaut," jelas Sintia lagi.

"Enggak denger kali dia," pikir Aubri.

Sintia merasa aneh dengan kelakuan Rere. Ia ingin menanyakan ketika Rere sudah bersama mereka.

"Nih, tadi lumayan lama karena rame," sahut Rere yang menghampiri meja mereka.

"Makasih Rere."

Mereka makan sambil diiringi dengn obrolan.

"Eh Re, tadi gue panggil kok enggak nyaut?" tanya Sintia.

"Emnag lo ada manggil? Kok gue enggak tahu?"

"Tuh kan Bri, dia emang neglamun atau mikirin sesuatu," jelas Sintia.

"Tadi lo ada dengerin penjualan guru gak?" tamabh Sintia.

"Enggak, cuma dikit-dikit doang," jawab Rere santai.

"Tuh kan!" pekik Sintia.

"Bisa diem enggak? Malu dilihatin orang-orang," omel Rere.

Pandangan murid-murid yang ada di kantin mengarah kepada Rere, Sintia dan Aubri.

"Bukan temen gue," celetuk Rere.

"Jahat banget sih," umpat Sintia.

"Lo benar kok, Sin. Gue emang lagi enggak fokus," tutur Rere.

"Eh kenapa? Cerita aja kali," bujuk Sintia.

"Orang tua gue tadi pagi berantem, sampe ada pecahan piring. Gue bingung," Rere bercerita tentang kejadian tadi pagi di rumahnya.

"Semoga masalah di keluarga lo cepat selesai ya Re, semua akan baik-baik aja," sahut Aubri.

"Amin."

"Tapi gue tetap takut sih, ya mereka emang udah ribut, tapi yang agak parah tadi pagi," lanjut Rere.

"Lo berdoa aja semoga orang tua lo bisa baik-baik aja. Mungkin lagi sama-sama cape terus mentingin egonya," sahut Sintia.

"Iya, gue pengen buat mereka balik kayak semula. Enggak kayak tadi pagi, cuma masih belum kepikiran," ujar Rere.

"Lo psti bisa Re," ujar Aubri sambil tersenyum menguatkan temannya.

"Pasti, gue akan kuat buat keluarga gue," jawab Rere.

***

"Ma, Mama jangan sampe pisah ya sama Papa," ujar Rere kepada Hawa.

Hawa terkejut mendengar ucapan anaknya.

"Kok ngomong gitu sayang?" tanya Hawa.

Rere terdiam sejenak sebelum ia mengutarakan isi hatinya.

"Rere sayang sama Mama dan Papa, Rere pengen kalian enggak ribut lagi," jelas Rere.

Hawa memeluk tubuh Rere dari samping.

"Mama, akan pertahanan apapun resikonya, kamu harus berpikir positif. Papa mungkin lagi cape aja, sayang," sahut Hawa.

"Ma, gimana kalau kita buatin makanan kesukaan Papa?" usul Rere pada Hawa.

"Yuk, boleh juga," jawab Hawa.

Keduanya menuju dapur dan menyiapkan bahan-bahan yang ingin dimasak. Makanan kesukaan Andra adalah tumis bayam. Memang simpel.

Semoga hari ini Papa bisa pulang cepat dan makan malam bareng, batin Hawa yang ingin orang tuanya akur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top