Met Ultah

By: Yasu_Haruka

============



BEL sekolah berdering. Aku langsung berdiri, mengambil tasku dan keluar dari kelas bahkan guru yang mengajar kelas kami belum keluar. Saat ini aku sungguh kesal.

Rata sejak dari beberapa bulan yang lalu mencuekkanku. Hello ... kami sahabatan tapi kalau bertengkar aja nggak pernah ngecuekkin berbulan-bulan. Ini berita baru.

Kenalin. Namaku Reta, nggak usah tahu nama lengkap aku karena, toh, kalian nggak penasaran juga. Aku bersekolah di Abnormal Författare School. Menurutku, itu sekolah untuk orang abnormal. Yah ... waktu masuk awal sekolah ini kamu diperlakukan layaknya adik kelas biasa namun kelama-lamaan ke-abnormal kakak kelas akan menular padamu dan kamu akan jadi abnormal.

Back to the story.

Namanya Rata. Hampir mirip sama namaku. Rasaku nyokap kami udah sepakat miripin nama deh. Reta untuk cewek dan Rata untuk cowok. Biasa juga sih .... Sahabatan dari orok juga. Rata itu sahabatku yang paling ter-abnormal dan orang yang paling ter-abnormal yang aku kenal.

Aku membuka kunci mobilku lalu memasukinya dan mengendarainya. Saat ini aku sedang tidak mood ke rumah. Hari ini hari Rabu, udah pasti Rata sama keluarganya ke rumahku karena acara rutinitas. So, aku pergi menuju cafè yang biasanya kukunjungi.

Lima menit kemudian aku sampai di depan cafè. Lalu aku ke luar menuju cafè. Namun sayang, papan menunjukkan tanda tutup. Aneh. Tidak biasanya tutup di hari anak-anak sekolah. Aku hanya mengangkat bahu lalu masuk ke dalam mobil dan mengendarainya. Aku melihat takaran bensin yang ada. Sial, sedikit banget sedangkan uangku nggak bakalan cukup beli bensin. Udah ah, ke rumah aja. Aku membanting setir ke kanan saking kesalnya sampai-sampai diklakson mobil orang lain.

Singkat aja—aku malas ceritain—aku sudah sampai di depan rumah. Aku menaikkan rem tangan lalu keluar dari mobil dan menguncinya. Aku bersiul-siul sambil memainkan kunci mobilku lalu membuka pintu rumah dan masuk ke dalamnya.

"Ret pulang ...." Aku mengerutkan dahi saat melihat semua orang yang ku kenal berkumpul di ruang keluargaku. Aku lebih memperdalam kerutan di dahiku saat menyadari mereka semua menyembunyikan sesuatu.

Di ruang keluarga ada keluarga Rata, keluarga Orta, keluarga Fatar, dan Ayah serta Ibuku. Sungguh, ini sangat mencurigakan. Tiba-tiba saja Ayahku berdeham.
"Ret, kapan pulang?" tanya beliau. Aku memicingkan mataku. Tidak biasanya Ayah gugup begini.

"Barusan. Kok pada ngumpul-ngumpul. Ret kok nggak diajak?" tanyaku. Aku menatap mereka semua. Ayah dan Ibu saling tatap.

"Ya udah, sini. Kita lagi bahas kalo kalian udah lulus kelas dua belas mau liburan ke mana," ajak Ayah. Aku menggeleng.

"Ret liburan ke mana aja sih terserah. Ret mau ganti baju dulu, capek. Apalagi dari BEBERAPA BULAN YANG LALU ada yang NYUEKKIN Ret," sindirku ke Rata lalu naik ke kamarku.

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur lalu mengambil Hp-ku. Tidak ada notifikasi spesial di sana. Aku menutup mataku dengan lengan kananku. Pintuku diketuk."Masuk," ucapku pelan. Seseorang masuk lalu aku membuka mata kananku. Ternyata Orta. Dia pun menutup pintu kamarku dan duduk di sampingku.

"Ret, lo kenapa?" Aku menghela napas lalu duduk di sampingnya. Namanya Orta, lucu bener oi. Sahabatku sejak aku kelas 1 SMA dan kami selalu sekelas. Aku menggaruk pipiku.

"Kalian nyembunyiin apa sih dari gue? Plis, Ta, gue nggak suka dikucilin. Terus kok cafè lo tutup? Kalau lo ke sini kan masih ada pegawai lo." Aku melihat Orta menggaruk rambutnya yang keren itu. Plis, aku pingin rambutku kayak Orta ....

"Lo nggak dikucilin, kok. Nanti suatu saat lo bakal tahu. Sabar aja. Terus yah ... sekali-kali liburin mereka nggak apa-apa, 'kan," ucapnya sambil mengusap kepalaku sambil nyengir. Andai lo cowok Ta, udah pasti gue jatuh cinta sama lo sejak kita bertemu. Pintuku diketuk lagi lalu langsung dibuka. Ternyata Fatar menjulurkan kepalanya. Sedangkan tangannya memegang kenop pintu.

"Ta, lo dicariin sama Papa," ucapnya. Fatar itu sahabat Rata. Otomatis jadi sahabat aku juga. Papa itu panggilan Fatar ke Ayah Orta. Mereka sepupuan. Orta mengangguk lalu berdiri.

"Jan kesal dulu ya, Ret. Lo pasti bakalan hepi. Caya ma gue. Dada." Orta berdiri lalu keluar dari kamarku. Aku melihat Fatar. Dia hanya tersenyum tipis seakan-akan mengatakan 'lo percaya aja sama Orta' lalu menutup pintu kamarku.

Ada apa gerangan dengan kalian, bahwa sahabat-sahabat serta keluargaku?

***

Alarm-ku berbunyi. Aku menutup telingaku dengan guling. Malas ke sekolah, terus hari ini aku piket juga. Uh ....

"Reta!!! Bangun lo! Kalau nggak gue sita mobil lo! Cepetaaan! Udah jam delapan kurang lima belas, pe'a!" aku membuka mataku lebar-lebar. Bukan karena aku takut mobilku disita. Tapi jam!

"Iya-iya! Gue udah bangun! Rese lo, bang!" aku segera mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi, menghiraukan gedoran dari Abangku yang masih berlanjut.

Sepuluh menit kemudian aku sudah memakai sepatu. Aku melihat jam yang tepasang di depanku. Jam delapan kurang empat menit. Hari ini hari Kamis, satpam yang bertugas Mak Rema, mati aku. Aku berdiri memasang tas dan mencomot kunci mobil.

"Ret pergi dulu!" teriakku lalu keluar dari rumah.

"Reta! Gue ikut!" suara Abangku—namanya Rean—terdengar samar-samar dari rumah.

"Naik mobil lo sendiri! Gue udah telat!"

"Gua juga telat, bodo!"

"Masa bodo! Tauk ah!" aku masuk ke dalam mobil lalu mengendarainya dengan ngebut menuju sekolah. Tak terlalu jauh. Dua menit kemudian, aku sampai di parkiran sekolah lalu keluar dari mobil, bergegas menuju kelas.

"Duh-duh-duh! Sakit mak! Ampunin Reta!!" tiba-tiba saja aku merasakan sakit yang luar biasa di telingaku. Aku menoleh ke kiri. Sial. Mak Rema ngejewer telinga kiriku.

"Eh, ada Mak—eh Ibu Rema. Ada apa, Bu? Kok Reta dijewer?" tanyaku sok polos. Mak, Ibu Rema menatapku tajam lalu melepaskan jewerannya.

"Tumben kamu telat? Ada gerangan apa?" tanyanya. Aku menyengir.

"Telat bangun, Bu." Ibu Rema menatapku tajam.

"Tunggu di sini," perintahnya. Aku menatapnya malas.

"Yah ... Ibu. Kan Reta baru sekarang telatnya. Bolehlah ya Reta ke kelas. Reta ada ulangan," mohonku sambil memasang wajah puppy face. Ibu Rema menggeleng.

"Tunggu di sini. Ibu yakin ada yang telat. Awas kamu kabur. Jangan karena sekolah ini milik Ayahmu kamu bisa seenaknya aja." Ibu Rema menatapku tajam. Aku hanya mengangguk pelan. Ah, tidak baik menganggu Ibu-Ibu yang belum mendapatkan pasangan hidup.

Tiga mobil masuk ke dalam sekolah. Sepertinya aku mengenal ketiga mobil tersebut. Aku membelalakkan mata. Jadi ini alasan Ibu Rema menahanku? Agar mendapat hukuman dengan mereka? Dengan tiga sahabatku yang sedang menyembunyikan sesuatu? Ayolah ....

Mereka bertiga keluar dari mobil mereka. Dapat ku lihat wajah mereka memucat saat Ibu Rema menghampiri mereka. Mampus. Eh, aku juga dihampiri tadi. Ibu Rema menjitak kepala mereka. Aku lihat wajah Fatar meringis menutup mata sambil mengelus kepalanya. Apakah sesakit itu jitakan Ibu Rema? Ibu Rema menghampiriku dan menatapku dengan mata tajamnya ala Medusa. Kalau begitu aku bisa jadi batu dong?

"Kamu bersihkan lapangan bola basket. Berdua, dengan Rata." Mataku terbelalak lagi. Tidak terima. Kenapa harus dengan Rata? Apa yang harus dibicarakan agar tidak bosan? Kenapa tidak Orta atau Fatar aja? Aku menatap Ibu Rema dengan tatapan tidak terima.

"Bu, Reta jangan sama Rata dong, Bu. Ntar Rata gangguin Reta jadinya Reta nggak bisa ngebersihin lapangan basket." Ibu Rema menggeleng lalu mendorongku dan Rata menuju lapangan basket yang tak jauh dari area parkir.

"Bersihkan sekarang juga," perintah Ibu Rema tegas lalu kembali lagi menuju Orta dan Fatar. Aku menghela napas lalu mengambil sapu lidi dan membersihkan lapangan. Rata terdiam berdiri di pinggi lapangan. Aku menatapnya tajam.

"Lo bersihin sayap kiri gue bagian kanan. Cepetan," perintahku tajam lalu kembali melanjutkan pekerjaanku. Tampak Rata melakukan apa yang ku suruh.

Awkward. Itu yang kurasakan sekarang. Ugh ... aku ingin kabur dari situasi ini. Aku kangen dengan Rata yang dulu. Bukannya aku suka dengan Rata, nggak, aku nggak suka dia. Rata itu sudah aku anggap Kakak sendiri karena dia tua dua bulan dariku. Ah, lupakan sajalah ini.

Tiga puluh menit kemudian, hukumanku selesai. Aku mengelap keringatku yang berada di dahiku dengan tangan kiri karena tangan kananku memegang sapu lidi. Sungguh capek. Sekarang sudah jam sembilan lewat seperempat, lima belas menit lagi istirahat. Sebaiknya aku mencuci muka dulu.

Tiba-tiba saja ada yang memelukku dari belakang. Sapu lidi yang kupegang terjatuh. Pasti Rata. Tapi kenapa? Bukannya dia sekarang cuek padaku? Aku bergidik geli. Napasnya menggelitiki leherku.

"Gue kangen sama lo Ret ...," ucapnya lirih. Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya? Kalo kangen nggak usah cuek juga, 'kan? Aku memegang tangannya yang melingkari leherku.

"Rat, maksud lo apaan? Gue nggak ngerti. Kalo kangen nggak main cuek bisa, 'kan? Plis, jelasin ke gue kenapa lo cuek ke gue sejak dua bulan lalu, setelah lo ultah." Rata melepaskan pelukannya. Aku berniat membalikkan tubuh namun kakiku tak bisa bergerak.

"Gue nggak bisa, Ret. Gue udah janji. Plis, gue kangen banget sama lo," ucapnya lirih. Setelah itu aku merasakan belakangku kosong. Aku menolehkan kepala ke belakang. Rata sudah tak ada di lapangan basket. Dia pergi. Aku menghela napas, menggaruk pipiku lalu pergi menuju kantin.

***

Aku keluar dari kamar mandi menggunakan piyama. Aku meletakkan handukku di atas kepalaku lalu turun ke bawah. Di bawah, aku mengerutkan dahi. Ke mana semua orang? Aku berjalan ke dapur dan menemukan Mbak Tirta yang sedang makan.

"Mbak, yang lain ke mana?" tanyaku setelah aku duduk di samping beliau. Mbak Tirta menelan yang dimakannya lalu meminum air putih.

"Non Reta nggak tahu? Tuan, Nyonya, sama Mas Rean nggak ngasih tahu mau ke mana?" aku menggeleng. Maksud Mbak Tirta apaan.

"Sebentar, Non." Mbak Tirta berdiri lalu pergi meninggalkan diriku. Aku menumpukan daguku ke tanganku, menunggu Mbak Tirta kembali ke dapur. Beberapa menit kemudian, Mbak Tirta kembali ke dapur. Aku mengerutkan dahi. Mbak Tirta seperti membawa sesuatu. Kertas? Mbak Tirta lalu memberikannya kepadaku.

"Ini dari Mas Rean, Non. Jangan lupa dibaca ya. Mbak mau tidur. Udah jam sebelas malam. Jangan lupa tidur, ya," ucapnya lalu pergi ke kamarnya. Baru sadar aku sudah jam sebelas malam, rasanya aku mandi jam delapan deh. Mungkin jam setengah sebelas. Lalu, aku membuka surat tersebut.

Ta, lo nggak usah tidur. Pergi ke taman biasa kita ya. LO HARUS KE SANA. Inget kan kalo gue pake cs harus nurut? Awas kalau lo nggak pergi. Kami semua bakal nyuekkin lo.

Rean

Aku menghela napas. Harus ke sana? Malam-malam begini? Sebentar lagi sudah jam dua belas. Aku berdiri lalu naik ke lantai dua, masuk ke kamarku dan berganti baju. Setelah itu, aku segera menuju pintu rumah dan mengambil kunci mobilku. Aku membuka kunci pintu lalu keluar dan mengunci rumah.

Aku masuk ke dalam mobil. Aku menggaruk pipiku, bingung. Kenapa sih Rean menyuruhku pergi malam-malam begini? Emang ada apa sama taman? Dari rumahku ke sana membutuhkan waktu 45 menit yang menandakan aku akan sampai di sana jam 12 kurang 15 menit. Apa Ayah dan Ibu nggak bakalan marah?

Aku menyalakan mobilku dan menginjak kopling serta mengangkat rem tanganku. Aku menghela napasku yang entah sudah keberapa kalinya dalam hari ini. Mudah-mudahan tidak ada yang aneh di sana. Aku menarik napas lalu membuangnya. Aku memasukkan gigi satu dan menginjak gas. Mobil bergerak.

Aku melihat ke arah depan, ternyata masih ada orang yang beraktifitas. Mantap banget. Apa nggak ngantuk? Aku aja kayaknya udah mulai ngantuk deh. Aku menginjak gasku lebih dalam agar lebih cepat.

Setengah jam kemudian, aku sampai di parkiran taman lalu keluar dari mobil. Aku mengerutkan dahi yang juga sudah keberapa kalinya dalam hari ini. Kenapa ada mobil Orta sama motor Fatar? Rean juga. Aneh. Aku masuk ke dalam taman. Yah ... tidak terlalu gelap juga sih.
Tak sengaja, mataku melihat sebuah balon diikat ke salah satu ranting pohon. Aku berjalan ke sana. Siapa sih yang mengikatnya? Saat aku melepas ikatan tersebut, ada secarik kertas yang diikat di tali balon menggunakan benang. Aku mengambilnya dan memabacanya.
Blonnya dpgag y, Ret. Klo udh ktemu blon bru, ambil jga. Lurus aja trus.

Siapa yang buat? Aku tidak mengenal tulisan ini. Aku mengedikkan bahu dan terus berjalan sampai menemukan balon biru. Begitu seterusnya sampai aku berada di tengah taman. Aku menutup mataku karena cahayanya sangat terang.

"Happy birthday, Retama Salsabila!!" aku membuka mataku lalu mendapatkan semuanya di depanku, sambil meletuskan confetti. Namun ... ke mana Rata?

"Happy birthday? Emang gue ultah?" tanyaku. Memangnya sekarang tanggal berapa sih?" tanyaku bingung. Aku ultah tanggal 7 Juli. Bukannya ini masih tanggal 5, ya? Aku merasakan nyeri di dahiku, ternyata Rean menjetiknya.

"Sekarang udah tanggal tujuh Retama Salsabila .... Lo nggak caya? Cek kalender sama jam sonoh," ucapnya jutek. Aku mengambil tangan kirinya dan melihat jam tangannya. Oh, benar.

"Hbd, Ret. Moga lo makin abnormal ya. Eh ga, deng. Moga lo makin pinter, soleh, dan ... ya lo taulah," ucap Orta sambil membawa kado kepadaku. Aku memeluknya sekilas.

"Thanks, Ta. Lo emang best friend gue." Orta cengengesan.

"Lo nggak bakal bisa nemuin sahabat kayak gue." Aku memutar kedua bola mata, malas mendengarnya. Sudah berapa kali dia bilang seperti itu sejak kami bersahabat? Lalu Fatar menghampiriku dan memberiku kado.

"Hbd, Ret. Wish gue sama kayak wish Orta," jawabnya kalem. Aku hanya mengangguk. Lalu Rean datang menghampiriku sambil berkacak pinggang. Aku menjulurkan tangan.

"Kado dari Abang gue tersayang mana?" Rean menjetik dahiku. Aku menjulurkan lidahku.

"Nih. Mudah-mudahan lo suka. Kalo nggak kasih ke gue aja lagi." Aku menerimanya. Mudah-mudahan? Lalu aku memb/ukanya. Mataku terbelalak.

"Ini kan sepatu yang gue idamin dari kelas sepuluh!! Thanks banget Rean! Lo emang Abang terbaek," ucapku. Rean hanya mengangguk. Aku meletakkan kado mereka di meja yang tak jauh dari sana. Ada yang kurang.

"Kuenya mana? Biasanya kalo ultah ada kuenya, 'kan?"

"Lho? Lo nyari kue? Gue kira lo nyari Rata. Ngga kangen?" goda Rean. Aku menghela napas.

"Kangen sih kangen. Tapi dia kan cuek sama gue. Buat apa gue harapin dia?"

"Ooo .... Jadi lo nggak kangen sama gue apa? Gue kangen sama lo tahu dan sekarang gue nggak usah cuekin lo lagi." Aku menahan napas. Ternyata Rata datang. Suaranya terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan terpaku.
Rata dan kue.

Benar-benar kombinasi yang lucu.

Rata menghampiriku, dengan membawa kue yang di atasnya tertancapkan angka 17. Yah ... umurku sudah 17 tahun. Rata menginjak kakiku. Aku meringis pelan lalu menatapnya.

"Happy birthday, Ret. Maafin gue ya yang udah nyuekkin lo dari dua bulan lalu. Ini dare dari permainan ToD gue sama dua kerucut itu. Gue nggak sanggup jalaninnya. Gue kangen sama lo, gue kangen jahilin lo, gue kangen sama cemilan lo, gue kangen sama kejutekan lo. Gue kangen semuanya."

"Cie cie ... yang kangen? Suka nih?" tiba-tiba saja suara Orta terdengar.

"Gue nggak suka sama Reta, Orta," untunglah, "tapi gue cinta sama dia."

"APAH?! LO CINTA SAMA RETA?!" sontak Orta, Fatar, dan Rean. Aku terdiam. Masih berusaha mencerna apa yang dikatakan mereka. Beberapa saat kemudian, mataku membulat.

Rata suka—ralat—cinta sama gue?

Kenapa harus gue? Aku menatap Rata, meminta penjelasan. Rata hanya menyengir walau kulihat di pipinya ada rona merah. Gosh.

"Retama Salsabila, gue cinta sama lo. Ah ... anggap aja suka, dah. Bilang 'cinta' gimana-gimana gitu. Sejak SD kali ya? Ntahlah, gue lupa. Yang jelas gue suka sama lo sejak dulu. Mungkin lo punya banyak fans yang suka sama lo. Tapi nggak selama gue, 'kan? Sebentar." Rata meletakkan kue ke tangan kanannya lalu tangan kirinya masuk ke dalam kantongnya, mencari sesuatu. Setelah mendapatkannya—rasaku—dia meletakkannya ke atas kue ultahku setelah menyalakan api.

"Kalo lo niup ini, gue anggap lo nerima gue jadi pacar lo, tapi kalau lo nggak niup lilin yang ini, gue anggap hubungan kita cuman sahabatan aja, nggak lebih." Aku ingin tertawa mendengar nada saat dia mengucapkan itu. Aku menatap matanya.

"Serius lo Rat? Lo suka sama gue?" Rata memutar kedua bola matanya malas.

"Kalo lo nggak caya gue cium pipi lo." Mukaku panas mendengarnya.

"Oke oke. Gue percaya. So, gue ngeniup yang angka dulu, 'kan? Ntar umur gue nggak resmi tujuh belas tahun." Rata hanya mengangguk pelan lalu menjulurkan kuenya padaku. Aku menarik napas lalu menghembuskan angka 17 itu.

"Nah, sekarang gue harus ngapain?" tanyaku. Aku menolehkan kepalaku ke kanan. Lho? Tiga kerucut itu ke mana.

"Jawaban lo Reta ...," ucap Rata dengan nada gemas, aku hanya tertawa pelan mendengarnya. Aku menghirup napas pelan-pelan.

Nerima? Nggak? Nerima? Nggak? Kalo nerima ... gue belum suka sama dia. tapi kalo nggak udah pasti Rata kecewa berat. Kalo gue nerima gue bisa coba suka sama dia, 'kan? batinku bimbang. Aku menghela napas pelan, berusaha agar lilin itu tak tertiup lalu mengambil keputusan.

Aku beruntung mempunyai hadiah seperti ini, hadiah yang di luar ekspetasiku.
Dan semoga yang ku pilih tidak mengecewakanku.
Ini ultahku yang terbaik, termanis, dan terbagus.


=End=

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top