Chapter 9
Musim semi sudah datang, cuaca di sekitar menjadi semakin dingin hingga menusuk kulit. Membuat semua insan di belahan bumi yang mengalami musim semi berlomba-lomba melekatkan helaian pakaian di tubuhnya, kendati memang tak setebal di musim dingin. Begitu pun dengan Beomgyu yang harus sesekali mengeratkan mantelnya lalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya agar tetap hangat. Tungkainya menuntun tubuhnya menuju sebuah tempat yang menjadi tempat favoritnya baru-baru ini. Entahlah, tempat itu seakan ada arus magnet yang menariknya.
Sapaan pelayan di sana dibalasnya dengan senyuman juga kendati memang tak terlihat jelas sebab paras tampannya tertutupi masker, hanya terlihat dari mata bulatnya yang menyipit bagai bulan sabit. Manik matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, mencari sosok harapan yang ia klaim akhir-akhir ini. Nihil. Helaan napas berembus dari balik maskernya. Namun, ia bukan seorang pria yang pantang menyerah. Tungkainya berderap pada setiap rak buku yang menjulang hingga hampir mengenai dinding-dinding langit.
Alih-alih manik matanya mencari buku, justru ada sosok eksistensi yang selalu ia harapkan tatkala berkunjung ke tempat ini. Perasaannya tak karuan, sosok itu selalu memenuhi benaknya. Dia membuatnya gila. Ya, Choi Beomgyu benar-benar gila dan orang di sekitarnya pun menganggap begitu. Dia memang mengakui sering tersenyum sendiri tanpa alasan di setiap kesempatan tatkala pikirannya melayang entah ke mana.
Jemari panjangnya dengan indahnya membalikkan halaman buku, sesekali pandangannya mengedar berharap sosok yang ia harapkan datang. Hingga satu buku tebal sudah habis ia baca dan menuju buku kedua. Bahkan milkshake yang ia pesan saja sudah tandas. Sejujurnya, ia bukan seorang kutu buku seperti Soobin yang bisa saja menghabiskan beberapa buku dalam seharinya sembari mendekam diri di mana pun ia merasa nyaman. Beomgyu awalnya datang ke sana pun karena penasaran hingga akhirnya ada satu alasan tiba-tiba tempat itu menjadi daya tarik baginya.
Beomgyu memijat pangkal hidung, rasanya lelah memaksakan matanya untuk mengikuti setiap rangkaian kata yang disusun rapi tercetak di setiap halaman. Dirinya beringsut dari tempat, tungkainya berderap menuju tempat pemesanan. Setidaknya kerongkongan keringnya ingin dialiri minuman lagi. Sesekali sudut matanya mencuri pandang ke arah pintu masuk tatkala menunggu pesanannya jadi. Berharap eksistensi yang diharapkannya muncul dari balik pintu kaca sana.
"Apakah dia tak datang hari ini?" gumamnya.
Helaan napas terus saja terdengar. Namun, rasa kecewa tak menyurutkan harapannya. Dia bukan tipe orang yang dengan mudahnya memadamkan ambisi sebelum benar-benar mendapatkan apa yang ia dapat. Dengan demikian, ia bertekad menghabiskan hari liburnya di sana hingga jam buka kafe buku itu habis. Toh, tak ada salahnya ia menghabiskan waktunya di tempat yang berenergi positif. Hingga ia mengubah sosok eksistensi yang ia tunggu dari beberapa jam ke belakang kini menjadi hanya sebuah bonus saja jika ternyata dia muncul. Tak apa, masih ada hari lain, mungkin. Biarkan hari ini dirinya menjadi seseorang yang bebal. Hari itu, di awal musim semi yang ia lakukan hanya menunggu.
***
Sementara di tempat lain, aura membunuh sangat mencekam. Sorot mata elangnya menyorot pada sepasang makhluk hidup berbeda jenis itu saling menempel satu sama lain. Layaknya sudah lama tak berjumpa kendati memang kebenarannya begitu. Namun, rasanya ia sebagai majikan buntalan kesayangannya yang kini berada dalam dekapan pria berambut blonde yang sengaja surainya disugar ke belakang hingga menampakkan dahinya itu merasa tak berharga lagi bagi buntalan kesayangannya.
"Ya! Kenapa kau kemari seolah-olah ini adalah apartemenmu?" sarkasnya.
"Bukankah aku sudah bilang, aku akan sering mengunjungi Bitzy," jawab pria itu sekenanya tanpa mengalihkan pandangannya dari kucing ras Persia itu yang terlihat nyaman bermanja dengannya dibandingkan dengan sang majikan di seberang sana.
"Dia tak butuh kunjunganmu, Tuan Choi."
"Butuh! Lihatlah dia saking rindunya padaku hingga mengabaikan majikannya," tukasnya, "apakah majikannya pun tak merindukanku?"
Gadis itu mendengkus kesal. "Tak sudi. Memangnya siapa kau?"
Pria Choi itu tergelak mendengar sarkasme yang ditujukan padanya oleh gadis itu semakin tajam setiap harinya.
"Of course, I'm the 4th gen it boy."
"Whatever, Sir."
"Really? I think you're agree with my statement."
"Never. You're just a stranger."
Yeonjun menaikkan sebelah sudut bibirnya, menyeringai menatap gadis itu dengan maksud menantang. Begitu pun dengan Jira.
"Aku bertaruh sampai kapan kau menganggapku begitu."
Jira tak mengindahkan, tungkainya berderap menuju sofa lalu menyalakan benda pipih persegi panjang itu dengan kendali di lengannya. Manik matanya berbinar tatkala wajah idolanya menghiasi layar. Walau hanya satu menit idolanya membintangi salah satu iklan, tetapi mampu membuat hatinya berbunga hingga tubuhnya sengaja terjungkal kegirangan.
Pria Choi itu hanya menggelengkan kepalanya saat melihat tingkah gila gadis itu. Dia akui memang pesona grup senior yang berada satu naungan dengan grupnya itu memang tak bisa terkalahkan, tetapi ia heran kenapa pesonanya tak bisa menarik di hadapan gadis bermarga Ahn itu?
"Jira-ssi, jika kau memang sesuka itu dengan mereka, bagaimana kalau besok aku mengajakmu bermain ke kantor agensi kami?" Tawaran Yeonjun membuat gadis itu terdiam, butuh waktu untuk menerjemahkan apa yang dilontarkan pria itu. Rasanya ia tak percaya, mungkin ia tengah membuat lelucon.
Jira tergelak. "Kau jangan bercanda. Mana mungkin aku sebagai orang asing datang ke sana tiba-tiba—"
"Tak ada yang tidak mungkin bagi seorang Choi Yeonjun," tukasnya. Sontak membuat gadis itu melongo. Ekspresi konyol itu pun sukses membuat Yeonjun tertawa, rasanya lucu dengan tingkah gadis itu.
"Really?"
Yeonjun mengangguk.
"Ke agensi? Big Hit Entertainment?"
Yeonjun mengangguk, lagi.
"Bertemu dengan Bangtan?"
"Aku tak berjanji untuk itu, akhir-akhir ini mereka sangat sibuk. Namun, semoga saja kau bertemu dengan mereka."
Ada sedikit rasa kecewa menyelip di hatinya tatkala mendengar jawabannya yang terakhir keluar dai ceruk bibir pria yang satu agensi dengan idolanya itu. Namun, matanya kembali berbinar. "Ya, tak apa. Masuk ke gedungnya saja aku sudah senang."
Kurva manis melengkung di paras tampan Yeonjun seketika. Lengannya spontan terulur mengacak-acak surai panjang gadis itu. "Aku ingin memberi kejutan saja untuk Soobin, entah kenapa ia sangat menggemarimu."
Mungkin jika Jira diibaratkan sebagai tokoh animasi, kini ia sudah berubah menjadi tomat matang mengkilap. Pipinya terasa memanas.
"Tentu saja karena aku memesona," ujarnya pongah.
"Ya, karyamu yang memesona. Bukan dirimu!" ralat Yeonjun.
Sementara gadis itu mendengkus kesal, menepis lengan pria itu yang masih betah bertengger di ubun-ubunnya. "Baiklah, jam berapa aku harus ke sana? Untung saja besok aku tak ada kesibukan apapun."
Sementara Yeonjun memakai mantelnya kembali dan terpaksa menutup ketampanannya dengan masker wajah juga topi hitamnya sebagai penyamaran yang tak begitu mencolok. "Aku akan menjemputmu, nanti besok kuhubungi kembali."
"Kau jangan ingkar, ya? Aku terlanjur senang," ujar Jira memperingati.
Manik mata pria itu menyipit. "Aku ini pria sejati, tak mungkin ingkar janji."
"Baiklah, kalau begitu kau pulang sana sekarang!"
"Iya, ini aku akan pulang. Kau itu tak tahu diuntung, ya? Sudah kuajak malah mengusirku," ujarnya sembari memakai sepatu di depan pintu.
"Aku bukan mengusirmu, aku khawatir manajermu pasti mencarimu," elak Jira.
"Mungkin bukan manajerku yang mengkhawatirkanku, tetapi kau. Benar, 'kan? Lagi pula, hari ini kami libur."
"Jangan harap aku mengkhawatirkanmu, Tuan Choi. Tidak akan pernah!" tegasnya lagi.
Yeonjun terkekeh, rasanya puas melihat gadis itu selalu memasang raut wajah kesal karena dirinya. Lantas lengannya memotek gagang pintu apartemen. "Aku pulang, jangan merindukanku!"
"Ya! Takkan pernah!" pekiknya.
Sepeninggalnya dari balik daun pintu apartemen gadis Ahn, Yeonjun masih terkikik geli di balik maskernya. Bagaimana bisa gadis itu berteriak seperti itu tanpa khawatir tetangganya menegurnya sebab lengkingan suaranya yang memekakan telinga? Tanpa sadar ia telah sampai di parkiran apartemen. Dirinya menancapkan gas melajukan mobilnya membelah jalanan. Di tengah mengemudi, pikirannya berkecamuk.
"Sebenarnya apa yang aku lakukan akhir-akhir ini? Rasanya aneh, ini seperti bukan diriku yang biasanya," gumamnya.
Yeonjun berusaha menghilangkan pikirannya itu dengan menyetel stereo mobil dengan musik hip hop kesukaannya menemani kemudinya.
***
Aheuy coba bayangin Yeonjun nyetir dund. Keren bgt keknya😭
Dah ah, gamau banyak omong lagi aku. Sampai jumpa di chapter selanjutnya, jan lupa vote+comment, bbies❤️
—Luvs, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top