Chapter 8
Ruang acara di salah satu hotel tampak penuh dengan barisan orang-orang yang mengantre sembari memegang buku novel mereka masing-masing. Acara tanda tangan itu bersamaan dengan perilisan buku novel tersebut. Walau bukan seorang penulis buku yang sangat terkenal, tetapi orang-orang di sini pun sudah cukup banyak yang menjadi penggemar sang penulis. Bisa dibilang cukup terkenal.
Senyum manis selalu terpatri di paras cantiknya, juga manik matanya yang berbinar setiap kali menatap para penggemar. Ramah tamah juga tak luput terlontar dari ceruk bibirnya agar membuat mereka nyaman dan senang.
"Terima kasih, penulis Ahn. Akhirnya aku bisa bertemu langsung denganmu walaupun aku satu kampus denganmu, dan ternyata kau aslinya cantik sekali, sunbaenim," ujar salah satu gadis bersurai hitam.
Mata cantik Jira membulat, tetapi masih terkesan menawan. "Benarkah? Kau juniorku? Maafkan aku, mungkin akhir-akhir ini aku sibuk. Lain kali aku akan menyapamu, siapa namamu?"
"Areum. Park Areum."
"Ah~ Areum-ssi, aku akan berusaha mengingat dan menyapamu lain kali."
"Terima kasih, Sunbaenim."
Jira terus melakukan hal yang sama: tersenyum, menyapa, dan berbincang ringan sembari menandatangani buku novelnya. Rasanya melelahkan, tetapi ia sangat senang menikmatinya. Bahagia rasanya melihat antusias mereka dengan perilisan bukunya yang tentu saja bukan yang pertama kali.
Pujian dari lontaran para penggemar membuat hatinya menghangat. Bahkan, rasanya air mata menumpuk di pelupuk matanya jika saja ia tak menahan agar tak keluar. Beginikah rasanya didukung oleh banyak penggemar? Beginikah perasaan para idola, seniman, maupun penulis lain di luar sana ketika menjumpai para penggemarnya? Benar-benar, ia tak bisa mengungkapkan apapun lagi.
Kehangatan terus menyelimuti Jira hingga akhir acara. Bahkan, kurva manisnya tak bisa ia sembunyikan dari parasnya. Hari ini membuatnya bahagia. Usaha kerasnya selama ini tak sia-sia dan membuahkan hasil.
Lengannya terulur memegang kenop pintu kamar hotel yang telah disediakan oleh para staf penyelenggara acara. Sebenarnya ia bisa saja langsung pulang, namun rasanya ia terlalu lelah untuk langsung ke apartemennya sebab acara yang diselenggarakan berada di pusat kota Seoul yang letaknya agak jauh dari apartemennya. Daun pintu itu sukses terbuka hingga maniknya menangkap sosok pria bersetelan serba hitam dengan warna rambut blonde-nya yang mencolok. Setahunya warna biru gerau yang selalu ia dapati sebelumnya.
Sorot mata yang tadinya menulusuri rangkaian kata yang tercetak di sebuah buku yang ia genggam, kini beralih menyorot manik mata gadis yang tengah melongo. Senyuman manis ia tunjukkan di parasnya yang tampan, siapa pun pasti akan terpesona dibuatnya. Begitu pun Jira yang kini masih mematung di ambang pintu, ingin rasanya ia mengumpat dalam hati berharap pria itu bukan dia. Sialnya, dalam sekejap ia terpesona dan berusaha menyangkalnya.
Bagaimana tidak terpesona dengan pria tampan dengan postur tubuh tingginya berbalut sweater turtle neck hitam dengan coat hitam panjang menyampir di bahunya yang tegap nan lebar, dipadupadankan dengan celana jeans hitam yang dilingkari belt sebagai aksesori, juga sepatu boots hitam yang menambah nilai gagah. Sial, dia ini benar pria yang belum lama ia kenal ataukah seorang mafia tampan? Rasanya ia ingin melemaskan diri, tetapi ia punya harga diri. Sebisa mungkin ia menyembunyikan ketertarikan terhadap pesonanya.
"Acaramu sudah selesai, Nona?" tanya si pria itu sembari menutup buku yang ia baca. "Ah, jika kau ke sini, pasti jawabannya iya."
"Ada apa kau datang ke sini, Tuan Choi?" tanya Jira menghiraukan pertanyaan pria Choi itu. Lalu, mengayunkan tungkainya menuju sofa yang tak jauh dari pria itu.
"Bukankah aku sudah bilang kita akan bertemu lagi?"
Jira mengernyitkan dahinya, bingung dan mencoba mengingat kapan pria Choi itu berkata demikian. "Kau yang mengirim pesan kemarin lusa? Bagaimana kau tahu nomorku? Kenapa kau bisa datang ke sini? Dan sebenarnya apa tujuanmu datang ke sini?" cecarnya.
Tungkai Yeonjun terayun mendekat ke arah gadis itu duduk, hingga wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti lagi. Secara spontan Jira menjauhkan wajahnya, rasanya gila jika terus berdekatan dengan pria yang terus saja mengusik benaknya akhir-akhir ini.
"Santai, Nona. Aku hanya ingin meminta kau menandatangani buku novelmu seperti orang lain yang datang ke sini. Namun berbeda, aku dengan cara paling VIP tentunya, Penulis Ahn. Juga kau tahu, tak ada yang mustahil bagi seorang idola Choi Yeonjun ini," jawab Yeonjun sembari menjauhkan dirinya, puas menggoda gadis itu juga puas membanggakan dirinya sendiri. "Aku tahu jika aku ikut mengantre, kau pasti takkan suka dan akan mengusirku dengan alasan wartawan."
Jira mengangkat sebelah sudut bibirnya, tersenyum menyeringai diikuti tatapan jahil menyorot pria itu yang kini tengah duduk di sofa yang sama. "Kau penggemarku? Dan kau menjadi stalker hingga tahu namaku? Mungkin ternyata sasaeng fans itu kau, bukan aku."
"Bukan, mana mungkin aku stalker ataupun sasaeng fans. Aku tahu nomormu karena ternyata aku baru tahu kau seorang penulis dan aku memintanya ke perusahaan penerbitanmu," sangkalnya, sewot.
"Kenapa kau meminta nomorku?"
"Tentu saja aku ingin kau menandatangani buku novelmu yang akan kuberi pada Soobin. Ah, aku tak menyangka ternyata kau seterkenal ini dan Soobin menjadi salah satu penggemarmu," jelas Yeonjun runtut.
Jira yang mendengar tuturan kata Yeonjun menatap tak percaya. "Soobin? Choi Soobin? Wah, aku tak menyangka ada seorang idola yang membaca karyaku. Baiklah, kemarikan! Aku mau jika itu untuknya, tapi tidak jika untukmu."
"Lagi pula aku tak sudi meminta tanda tanganmu," ujarnya mencebik.
Jira tak menyambar kata Yeonjun, dengan lihainya ia sibuk meliuk-liukkan penanya di atas kertas. Jangan lupa dengan senyuman cerah terpatri di wajahnya, membuat Yeonjun secara tak sadar mengulum senyumnya tatkala menatapnya dari samping.
Saat helai rambutnya yang terurai jatuh, hendak lengan Yeonjun terulur. Namun, segera ia tarik tatkala kepala sang gadis mendongak, menatapnya lalu menyodorkan buku. "Jangan dibaca, langsung berikan pada Soobin Oppa!"
Yeonjun seketika mendengus, "Kau memanggilnya oppa, padahal aku pun lebih tua darinya dan lebih tua darimu. Kenapa kau tak memanggilku oppa juga?" protesnya.
"Tidak akan pernah. Sampai kapan pun aku takkan sudi memanggilmu seperti itu, Tuan Choi," tolak Jira tak ingin kalah, manik matanya saling menyorot tajam bagai perseteruan sengit. "Lagi pula, kita tak sedekat itu."
"Ya! Memangnya kau dekat dengan Soobin? Seharusnya kau bersyukur dekat dengan seorang idola sepertiku, di luar sana banyak penggemar yang ingin dekat denganku." Sementara Yeonjun terus membanggakan dirinya, Jira terus mencibir. Dia menyadarinya lalu terdiam, menatap tajam ke arah manik mata Jira yang menatapnya sama.
"Baiklah, aku pulang. Sepertinya kau tak menerima kedatanganku," tukasnya lalu bangkit dari duduknya, merapikan diri memasang kembali masker dan topinya.
"Ya, pulang saja, lagi pula aku tak mengharapkan kedatanganmu," sarkas Jira. Tak ada respons dari pria itu. Lengan kokohnya hendak memotek gagang pintu terhenti oleh perkataan Jira yang tiba-tiba. "Yeonjun-ssi, jika kau ingin memberikan hadiah untuk Soobin lagi, kau cukup datang ke rumahku atau kirimkan paket saja. Aku tak ingin mengambil risiko jikalau karir kita berdua rusak akibat rumor yang dibuat-buat wartawan."
Sebelah sudut bibir Yeonjun terangkat, lalu menoleh ke arah Jira yang memasang wajah memohon. Namun, selalu saja ada aksi jahil Yeonjun pada gadis itu. "Kau berharap aku datang lagi ke rumahmu, bukan begitu? Tenang saja, aku akan menyempatkan untuk mengunjungi Bitzy-mu, terutama kau. Jadi, jangan jadikan Soobin sebagai alasan," godanya.
"Ya! Bukan begitu! Kau benar-benar—pulang saja kau!" pekik Jira. Sementara pria itu tertawa puas dengan keusilannya.
"Baiklah, aku sekarang benar-benar pulang. Jangan menahanku!"
"Sana!"
"See ya, baby~"
Gadis itu tertegun untuk beberapa saat tatkala mendengar kata pamit dari Yeonjun. Sial, kenapa jantungnya berdetak tak karuan. Baiklah, itu wajar. Jika tidak berdetak, maka ia mati. Hingga netranya menemukan kotak berwarna biru muda tersimpan di atas meja. Rasa penasaran menggerogoti dirinya membuat tungkainya terayun untuk mendekat.
Congrats, baby♡
p.s Jangan tersipu! Makanlah dengan Bitzy.
—from 4th gen it boy, Choi Yeonjun
Memo itu yang tertulis di secarik kertas yang menempel di atas kotak tersebut. Geli, senang, malu, dan jengkel menyatu, itu yang dirasakan Jira. Lengannya penasaran membuka kotak tersebut. Tampaklah kue tar cokelat dengan hiasan berbagai jenis berry di atasnya. Jira tergelak dengan sikap pria yang baru dikenalnya itu. Entahlah, rasanya pria itu bisa membuatnya memasang segala ekspresi karena berbagai tingkahnya.
"Oh, it's cringe, Mr.Choi."
***
Aw, Yeonjun dah bersikap manis aja nih🌚
Tapi manisnya buat aku aja deh. Eh, buat readers aja manisnya, tapi Yeonjun-nya buat aku hwhw.
—luv, araa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top