Chapter 4
Suara cicitan burung yang samar-samar terdengar di rungu sang gadis beberapa menit lalu teredam oleh suara nyaring berasal dari jam alarm digital yang tersimpan rapi tepat di atas nakas samping ranjangnya. Lengan jenjangnya terulur mematikan sumber bising yang telah mengganggu tidurnya. Kendati sebenarnya ia sudah terjaga beberapa menit lalu, akan tetapi jiwanya belum sepenuhnya terkumpul. Tubuh mungilnya hanya ingin bergelung lebih lama dalam buntalan selimut yang membungkusnya sebab rasa pening menyerang dirinya.
Erangan kecil dengan suara paraunya terlontar tatkala seberkas cahaya menyelinap dari celah gorden kamarnya yang tak tertutup dengan sempurna menyapa kelopak matanya. Dirinya memicingkan netranya menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina.
Jika saja isi lambungnya tak mendesak ke kerongkongannya, ia takkan mau beranjak cepat dari kenyamanannya. Bergegas ia menapakkan kaki telanjangnya di atas pijakan. Lantas ia keluar kamar untuk memutar kenop pintu yang lain demi memuntahkan seluruh isi lambungnya.
Rasanya lega selepas memuntahkan makanan kemarin yang ia santap itu harus mendesaknya keluar melalui kerongkongannya. Jira membasuh mukanya, lalu rasa mint menyerbak dalam mulutnya selepas menggosok gigi, setidaknya untuk menyegarkan dirinya dari rasa pengar. Sial, ia bahkan tak tahu semalam menenggak berapa kaleng bir hingga membuat kepalanya masih terasa berat saat ini. Gadis itu menatap pantulan dirinya dari cermin wastafel, garis wajahnya yang mungil itu sangat pas dengan proporsi tubuhnya yang jenjang. Dia terpaksa berhenti memandang dirinya tatkala aroma masakan yang menyelinap dari celah pintu kamar mandi menggelitiki penghidu. Rungunya juga menangkap suara minyak goreng panas yang membuat perutnya meraung meminta diisi.
Jemarinya memijat pangkal hidung bangirnya, ia baru ingat jika di kediamannya bukan hanya dirinya saja, melainkan ada seseorang lagi yang katanya menumpang untuk beberapa waktu. Mengingatnya saja membuatnya makin pening.
Manik cokelatnya menangkap punggung lebar yang terbalut kaus pendek polos hitam milik sang kakak yang melekat di tubuh tegap pria itu. Lengan kokohnya sibuk memegang spatula lantas sesekali sibuk dengan pisau, cara pria itu sibuk dengan aktivitasnya di dapur terkesan seksi tatkala vein yang mengeras di lengan kekarnya juga otot bisepnya yang mencuat dari baju lengan pendeknya.
Sial, rasanya ia tengah kacau, mungkin pengaruh alkohol semalam. Buanglah pikiran kotormu Ahn Jira, bagaimana bisa kau berpikir demikian di pagi hari?
Kedua manik mata kembar itu bersirobok tatkala punggung si pria berbalik seraya membawa panci berisi sup panas. Tubuh gadis itu tiba-tiba stagnan, kaki telanjangnya tak berpindah sedikit pun dari pijakannya, hanya netranya yang terfokus pada pria di seberang sana hingga sebuah kurva terpatri pada paras sang pria. Manis. Jujur saja, baru kali ini ia menemukan pria itu tersenyum seperti sekarang ini. Membuatnya terasa ada desiran aneh yang menyerangnya.
"Oh, kau sudah bangun, Nona?"
Hingga akhirnya suara berat itu membuat kesadarannya kembali. Sial, sudah berapa lama ia tak bergeming dari pijakannya dan entah berapa kali ia mengumpat dalam hati pagi ini? Baginya pagi ini sangat kacau, jika perlu menyalahkan ia akan salahkan alkohol yang ia tenggak semalam—lalu keluar lagi dari lambungnya tadi.
"Maaf, aku mengacaukan dapurmu, setidaknya aku membalas budi dengan sedikit berguna untukmu," ujar pria itu seraya meletakkan panci di meja pantri, tak lupa beralaskan lipatan lap berjaga-jaga bokong panci itu bisa merusak bahan meja pantri. "Duduklah, aku sudah membuatkanmu sup pereda pengar dan … beberapa hidangan lainnya."
Lontaran kata demi kata terus terdengar menyapa rungunya, tetapi dirinya sebagai lawan bicara tak mengindahkan. Pikirannya kalut entah ke mana.
"Nona Ahn, kau baik-baik saja, 'kan?"
Manik kembarnya mengerjap mencoba mengumpulkan kesadarannya, lalu tungkainya mengayun menuju bangku dengan alas bundar yang sengaja ia tata dekat meja pantri kala pertama kali ia menata interior apartemennya—menjadikan pantri sebagai meja makan yang tadinya bertujuan sebagai pemisah dapur dengan ruang tamu sekaligus ruang bersantai.
Dirinya membiarkan lidahnya mengecap hidangan hasil karya dari lengan seksi—ah, maksudnya lengan kokoh pria itu. Benar-benar di luar ekspektasi. Tadinya ia ragu, takut-takut akan memuntahkan kembali semua isi lambungnya. Namun, setiap hidangan yang disajikan di hadapannya ini sangat menggoyang lidah. Terutama sup pereda pengarnya, kala sesendok kuah itu meluncur ke kerongkongannya rasa pengar yang ia rasakan sirna begitu saja. Pria Choi itu selain jago menguasai panggung, ia pun piawai menguasai dapur. Sial, ia makin terkesan saja dengan sosok pria asing di hadapannya ini. Menyadari hal itu, ia segera menghabiskan semangkuk nasi di hadapannya lantas beranjak dari duduk untuk mencuci peralatan makan juga peralatan masak yang belum sempat pria itu cuci.
"Jira-ssi, biarkan aku saja yang mencuci semua itu," ucapnya dengan mulut penuh seraya terus menjejalkan nasi beserta lauk pauknya.
"Biar aku saja. Kau, kan, sudah memasak," tolaknya memunggungi pria itu yang tengah menghabiskan sisa hidangan di meja.
"Ini belum habis, kau tak mau menghabiskannya denganku? Atau jangan-jangan masakanku tidak enak, ya?" Nada suaranya sedikit memelan di akhir kalimat, bisa saja pria Choi itu murung. Dengan cepat Jira menepis asumsi pria itu, tak ingin membuatnya murung sebab pria itu sudah berusaha untuknya. Terlebih lagi, memang hasilnya jauh dari prakiraan pria itu. Justru masakannya jauh lebih enak dari buatan gadis itu jika harus mengakui.
"Tidak, justru masakanmu enak, bahkan lebih enak dariku. Sup pereda pengar buatanmu juga cukup membantuku. Aku hanya kenyang, kau saja yang habiskan." Dia menghentikan ucapannya sejenak, ragu melontarkan kalimat yang ingin ia ucapkan tatkala kedua bilah bibirnya menyingkap. "Terima kasih, Choi."
Tanpa gadis itu ketahui, sang lawan bicara mengulum senyum di tengah-tengah kesibukannya menyantap hidangan. Kedua cupingnya bahkan memerah tanpa dirinya ketahui. Entah apa ada yang salah ketika rungunya menerima ungkapan terima kasih saja membuat dirinya berdesir aneh.
Hening sesaat. Tak ada yang berani menyingkap bibir mereka dengan suara khas masing-masing. Hanya gemericik air yang beradu dengan lengan jenjang Jira juga suara kunyahan dari mulut Yeonjun.
"Yeonjun-ssi, kau tak berbuat macam-macam padaku, 'kan semalam—um, aku, kan, mabuk?" Entah keberanian dari mana ia menanyakan hal begitu. Bukannya ia berpikiran negatif terhadap pria Choi itu, tetapi bukankah harus waspada tatkala kedua lawan jenis itu tinggal satu atap. Mereka juga manusia normal yang memiliki hawa nafsu.
"Kau lihat saja sendiri pakaianmu, apakah ada yang berubah?" Jira menunduk sekadar melihat keadaan pakaiannya. Tubuh rampingnya masih terbalut dengan blouse berwarna cream yang dipadukan dengan celana bahan berwarna cokelat— setelan yang dipakai kemarin. Sial, rasanya malu, ingin menarik pertanyaan itu kembali. "Bahkan, aku tak berani untuk mengganti pakaianmu. Kecuali, memang kau menginginkannya."
Obsidiannya mendelik sebal ke arah Yeonjun yang sekarang telah berada di sampingnya, bergabung dalam kegiatan yang dilakukan Jira. Dirinya hanya bisa mengumpat. Ternyata setelah beberapa hari tinggal satu atap dengan pria itu, ia memiliki sifat menyebalkan, rasanya pening untuk dihadapi.
"Kenapa kau tak bertanya … mungkinkah kau yang berbuat apa-apa kemarin?" Sontak manik kembarnya itu membulat, menatap nanar rahang tegas Yeonjun, sementara sang empu sibuk dengan alat makan yang ia cuci sekarang tanpa menghiraukan gadis di sampingnya.
"M-memangnya aku berbuat apa?" Hanya kekehan terdengar dari bilah bibirnya yang ranum. "Ya! Aku yakin aku tak berbuat apa-apa padamu."
Yeonjun menghentikan aktivitasnya sekadar untuk memerhatikan lekuk wajah gadis itu yang kini tengah menatap kesal kepadanya. Entah kenapa ia merasa terhibur dengan mengusili gadis pemilik manik kembar cokelat. Rasanya perasaan itu kembali lagi, tetapi entah rasa apa yang hilang itu. Mungkinkah, rasa mengusili orang? Namun, bukan itu. Justru ia juga suka mengusili empat pria yang sudah ia anggap seperti adiknya di asrama sana.
"Aku hanya membayangkan penggemarku di luar sana mungkin menggumamkan namaku ketika mereka mabuk, seperti kau menggumamkan Jungkook Sunbaenim." Gadis itu mendengkus kesal mendengar tuturan kata pria Choi itu, sia-sia ia menunggu jawabannya. Ternyata hal sepele yang wajar sekali. Kesal dengan jawabannya, ia menyipratkan air tepat ke wajah Yeonjun.
"Dasar narsis!"
Lalu Jira melanjutkan aktivitasnya yang tetunda, hanya tersisa beberapa alat yang belum bersih. Alih-alih membantunya, Yeonjun membalas menyipratkan air ke wajah gadis itu yang membuatnya mendelik ke arahnya lalu membalasnya lagi, terus begitu. Mereka layaknya bocah kecil yang tengah berperang air. Gelak tawa pun menambah suasana di antara keduanya. Air terciprat ke mana-mana hingga salah satu kaki Jira tergelincir kala ia mundur untuk menghindari cipratan air. Tulang ekornya mungkin akan mendarat di atas lantai jika saja lengan kokoh itu menahan punggungnya. Kedua netra mereka bersirobok, hingga gadis itu mengerjap mengumpulkan kesadarannya. Dirinya berdiri tegap kembali, ia menyelipkan rambutnya ke balik daun telinga alih-alih merasa canggung.
"A-aku akan mengepel lantainya, bisakah kau melanjutkan cuciannya?"
Yeonjun pun terkesan kikuk, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia melirik ke arah gadis itu lalu dengan cepat menundukkan pandangannya tatkala mendapati penampilan gadis itu yang sudah basah kuyup. "Kau sebaiknya mandi saja, bajumu basah. Biarkan aku yang membereskan semua ini."
"T-terima kasih kalau begitu, maaf," ujarnya berlalu meninggalkan Yeonjun yang masih enggan menatapnya.
Dia menghela napasnya berat. Pasalnya, jika membiarkan gadis itu masih berada di dekatnya, pikirannya akan liar ke mana-mana tatkala blouse yang dipakai Jira basah dan tembus pandang menampakkan hal yang tak patut ia lihat sekarang. Dia pun pria normal, wajar saja.
Yeonjun menampar dirinya. "Choi Yeonjun kau harus luruskan akal sehatmu!"
***
BTW, DON'T TO BE SIDERS, JUST LEAVE SOME VOTES + COMMENTS!1!1!
—luv, ara^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top