Chapter 28
Sang cakrawala kelam tampak tengah murung simultan dengan derai air hujan membasahi bumi. Para insan berlari mencari tempat teduh, menghindari hujan yang semakin lebat. Hanya segelintir orang yang sudah siap sedia payung di tas mereka sebab tak ada laporan cuaca yang mewartakan bahwa hari ini akan turun hujan. Memang prediksi manusia tak selamanya benar, selalu keliru.
Di antara banyak insan yang menghindari derai air hujan agar daksanya tidak basah, lain halnya dengan gadis jelita yang masih bergeming di bangku taman yang tak jauh dari apartemennya. Entah berapa lama ia membiarkan raganya duduk di sana, sedangkan jiwanya tak berada dalam bejana. Ia membiarkan daksanya diguyur basahnya air hujan simultan dengan lelehan air matanya yang tak bisa lagi dibedakan. Biarlah dirinya bergeming di sana sadrah dengan daksa yang kian ringkih.
Sang jelita berharap guyuran sang rinai menghapus segala potongan memori dalam amigdala. Ia tak ingin terus terkungkung dalam nestapa. Senyuman kecut tersungging pada bilah labium tatkala mengingat tindakannya yang imbesil selama ini hanya karena masalah cinta. Memang benar kata orang jika cinta membuat seseorang menjadi kelewat dungu. Dari awal hingga akhir kisah, mereka selalu bersikap imbesil bagi orang terkasih. Jikalau begitu, mengapa harus diciptakannya afeksi bernama cinta?
Ahn Jira, gadis jelita yang dirinya termasuk dalam orang bodoh karena cinta. Ia mengakuinya kendati ingin menampik segala fakta yang menyambangi. Tahu risiko yang terjadi, namun masih tetap menjalani. Tahu perasaannya masih bertaut, namun memutuskan untuk melepas sang kekasih. Ia tahu jika dirinya seseorang yang hipokrit akan segala hal, ia tak bisa mendistorsi hal tersebut.
Inti jemalanya memutar potongan adegan bagai dalam cuplikan film di mana momentum kebersamaan dengan pria Choi hingga akhir kisah perpisahan mereka kemarin malam. Kelopak matanya memejam dengan harapan siluet adegan dalam inti jemalanya raib. Nihil. Ia tak bisa menghilangkannya ataupun sekadar menjeda, selalu konstan memutar dalam memoar. Sungguh semua itu mampu menikamnya hingga rongga dada, ganal-ganal terasa ngilu tanpa luka yang tak tampak. Apakah dirinya terlalu lemah hanya menghadapi tetek bengek seperti ini? Ia rasa selama ini selalu kuat, tetapi ternyata dirinya mampu hancur dalam sekejap. Biarlah orang berkata terlalu berlebihan sebab mereka tak tahu apa yang dirinya rasakan. Hanya Jira yang tahu.
Seberinda daksanya terasa hasai, namun ia masih mampu melangkahkan tungkainya dengan gontai hingga dirinya tak sadar jika pijakannya sudah berada di dalam lift apartemen. Jemarinya menekan tombol mengarahkannya menuju lantai di mana kamar apartemennya berada. Lengannya mendekap dirinya sendiri sebab tubuhnya sudah mulai menggigil. Pintu lift terbuka, langkahnya terseok membawa daksanya yang basah hingga mengakibatkan pijakannya pun ikut basah.
Tubuhnya sekonyong-konyong stagnan tatkala manik cokelatnya menangkap presensi pria bersurai legam berdiri menjulang di depan daun pintu apartemennya tengah menatap dirinya sendu. Suara langkah berderap. Namun, bukan milik sang gadis, melainkan milik sang pria lantas mendekap daksa sang gadis. Tak peduli jika dirinya ikut basah sebab yang terpenting memberikan kehangatan bagi sang jelita. Sempat Jira hendak menjauhkan dirinya, namun lengan kokoh sang pria mengeratkan dekapannya. Ia tak bohong jika dirinya membutuhkannya kendati entah ini keliru ataukah tidak.
Getaran tubuhnya sinkron dengan senggukan yang teredam dalam dekapan. Tatkala rungu sang pria menangkapnya, begitu amat menyayat hati.
"Gyuu..." panggilan lirih menyapanya.
"Ya, aku di sini, Ji."
Tepukan serta usapan lembut kapabel memberikan energi bagi Jira. Secara impulsif ia membalas dekapannya, lantas mengeratkan sebab dirinya membutuhkan siapapun untuk menopang daksanya yang hasai.
"Aku—"
"Sudahlah, luapkan semuanya. Aku tahu apa yang terjadi," tukas Beomgyu mencegahnya agar tak berkata lebih banyak sebab jika ia mendengar segala kisah dari ceruk bibir tipisnya, ia tak kuasa.
Jika saja dirinya terlebih dulu yang berada di sisinya, akankah semua ini terjadi? Tak mengelak pastinya akan sama. Alih-alih begitu, ada rasa bersalah yang menyambangi hatinya. Entah apa itu yang jelas ada rasa bersalah serta penyesalan yang tak mampu ia sampaikan pada sang gadis untuk saat ini. Biarlah dirinya bertindak egois untuk saat ini, membiarkan segala rahasia terkubur dalam dirinya tanpa perlu gadis itu tahu.
"Tenanglah, semua akan berlalu. Tak apa Ji, sekarang ada aku," untaian leksikal kapabel meredakannya. Suara senggukan kian hanyut berlalu dimamah waktu. Dekapan keduanya melonggar simultan dengan kedua maniknya yang bersirobok menelisik satu sama lain.
Lengan kokoh Beomgyu terulur mengusap pipi basah sang jelita, entah karena rinai hujan ataukah air mata. Tatapan sendunya semakin dalam lantas kurva manisnya tersungging. Alih-alih menciptakan kehangatan bagi Jira, tetapi ia tak merasa begitu. Justru ia merasa tak nyaman, ada sesuatu hal yang disembunyikan oleh Beomgyu entah apa itu. Jira lantas membuang muka serta membuat distansi antara keduanya.
"Maaf, aku sudah membuat pakaianmu basah. Mari mampir dulu, a-aku akan memberimu baju ganti," ujarnya seraya melangkahkan tungkainya simultan memotek gagang pintu.
Beomgyu tak merespons, ia hanya mengikuti langkah sang jelita masuk ke apartemennya. Untuk kedua kalinya ia melanggar ketentuan dirinya sendiri. Pasalnya, ia telah menggigit lidahnya sendiri dengan melangkah dari prinsipnya bahwa seorang pria tak boleh mengunjungi rumah seorang gadis yang tinggal seorang diri. Agaknya ia lupa dengan perkataannya hingga ia jadi tak tahu diri begini.
"Ji, aku tak perlu mengganti pakaianku, kurasa ini sudah agak kering. Lagi pula, kau yang seharusnya segera mengganti pakaian," ujar Beomgyu pada akhirnya.
Ada jeda sejenak hingga Jira mengiyakan. Namun sebelum itu, tungkainya berbalik menuju dapur. Lengan jenjangnya berusaha menggapai sekotak teh yang tersimpan di lemari atas dapur. Beomgyu dengan sigap membantunya lantas mengambil alih niat sang jelita.
"Kau akan membuatkan teh untukku dulu, 'kan?" tanyanya retorik dan kelewat percaya diri. Namun, memang benar adanya jika Jira hendak membuatkan teh hangat untuk Beomgyu. Lantas Jira terkekeh simultan dengan anggukan setuju akan asumsinya. "Namun, sekarang biarkan aku yang membuatkannya untukku dan sang tuan rumah. Bukankah jarang seorang tamu melayani sang tuan rumahnya sendiri? Jadi, kau berganti pakaianlah dulu. Kau bisa mengandalkanku."
Baiklah, Jira membiarkannya untuk kali ini. Walakin terasa keliru jika membiarkan tamu melayani dirinya sendiri. Setelah ia mengarahkan segala hal yang perlu Beomgyu tahu, ia lekas mengganti pakaiannya sebab tak baik membiarkan tamu menunggu lebih lama.
Tak butuh waktu lama Jira telah mengganti pakaian yang basah dengan yang kering, itu membuatnya nyaman. Namun, ia sampai lupa untuk mengeringkan surainya yang agak basah sebab merasa tak enak jika Beomgyu menunggunya.
"Kau cepat sekali, apa benar kau telah mengganti pakaianmu?" tanya Beomgyu yang tengah membawa dua cangkir teh hangat ke meja pantri.
"Menurutmu," jawabnya acuh tak acuh.
Apa Beomgyu tak sadar jika pakaian yang dipakainya tadi sudah berbeda dengan pakaiannya yang dikenakan sekarang? Ataukah ia hanya sekadar basa-basi? Entahlah, Jira hanya menggedikan bahunya lantas menghirup aroma teh hibiscus yang menyeruak ke dalam penghidunya. Sungguh aroma yang membuatnya tenang. Lantas disesapnya agar menghangatkan tubuhnya tatkala mengalir di kerongkongan.
Sementara sepasang manik mata Beomgyu tak bisa dialihkan dari presensi sang jelita di hadapannya. Senyumannya selalu terpatri saat menangkap sosok pujaan hati kendati memang tak bisa ia raih.
"Ji, apa aku boleh meminjam handuk?"
Tanpa pikir panjang Jira kembali membawakan handuk permintaan sang tamu. Awalnya ia berasumsi jika Beomgyu meminjamnya untuk mengeringkan tubuhnya sendiri. Namun, asumsinya meleset tatkala handuknya diarahkan ke atas kepalanya.
Beomgyu dengan telaten mengeringkan surai Jira dengan handuk yang dibawa sang empunya tadi. Jira malah termangu lantas membiarkan Beomgyu melakukan untuknya. Netranya menelisik ke dalam manik jelaga Beomgyu, mencari secercah kebenaran spekulasi yang terus bergentayangan dalam inti jemala. Kedua bilah labium tipisnya menyingkap kendati ragu untuk bercerak sekadar memastikan.
"Gyu..."
"Hm?" hanya suara dehaman sebagai respons yang membuatnya semakin skeptis untuk beretorika.
"Aku ingin bertanya sesuatu yang belum pasti dan mungkin akan menyinggungmu. Bolehkah?"
Beomgyu terkekeh. "Bertanya apa hingga kau berasumsi akan menyinggungku? Tentu saja boleh, apapun itu."
Digigitnya bibir bawah demi menyembunyikan rasa gugup serta gamang yang mendera takut-takut ia keliru. Memang pertanyaannya tak begitu krusial, namun ia terlalu penasaran sejak lama. Entah hanya perasaannya saja ataukah memang benar adanya jika perlakuan Beomgyu memiliki arti yang berbeda dari sebuah postulat jika perlakuannya wajar sebagai seorang teman.
"Apakah kau menyukaiku?"
Aktivitasnya tiba-tiba terhenti, tenggoroknya tercekat tak mampu berdalih. Bahkan, manik jelaganya kini tak mampu menatap dalam netra sang gadis. Lantas ia memejam, berusaha menimbang serta memilah jawaban yang tepat. Apakah ia harus jujur ataukah tetap berbohong? Agaknya ia pun terlalu lelah untuk terus membohongi perasaannya sendiri. Ya, entah apa reaksi lawan bicara tatkala mendengar jawabannya.
"Ya, aku menyukaimu, Ji. Tidak. Bahkan, aku mencintaimu," ungkapnya tegas tanpa menyangkal pertanyaan sekaligus pernyataan yang keluar dari ceruk bibir gadis Ahn. "Aku menyukaimu pada pandangan pertama walau aku tak tahu namamu pada saat berada di kafe buku waktu itu. Aku tak berani hanya sekadar menyapamu, cukup memandangimu dari jauh pun aku senang."
"Kau tahu, kurasa aku telah menemukan sosok pelengkap hidupku. Namun, kenyataan itu hancur ketika kau berada di samping Yeonjun Hyung. Segala asumsi bahwa kau hanyalah temannya ternyata keliru ketika menyadari tatapan kalian berdua berbeda dari definisi hanya sekadar teman," Beomgyu menghela napas sebelum kembali melanjutkan penggalan dialognya. Sementara Jira hanya tertegun menyimak penjelasan Beomgyu. "Saat itulah aku sadar bahwa tak ada lagi tempat untukku di hatimu, Ji. Aku berusaha menghilangkan perasaanku, namun aku tak bisa. Berkata jujur padamu pun rasanya keliru. Maka dari itu sampai saat ini aku hanya bisa menjagamu dari jauh seperti ini."
Birai labiumnya tersungging agak terpaksa tatkala mendengar segala kejujuran dari Beomgyu. Rasanya ia sangat bersalah terhadap pria di hadapannya saat ini. Lantas siapa lagi yang telah ia sakiti selain mereka berdua, apakah ada lagi? Ia merasa menjadi sosok wanita jahat dalam kisahnya sendiri.
"Namun, jika kau ingin meminta maaf dan merasa bersalah, kurasa tak perlu. Kau tak salah. Hanya saja aku salah menyukai seseorang pada waktu yang tidak tepat," sambungnya lagi sebab Beomgyu menyadari perubahan roman sang gadis.
"T-tapi Gyu, tetap saja aku harus meminta maaf."
Sepasang telapak tangan kokohnya menangkup pipi sang gadis simultan dengan kurva manisnya terpatri di wajahnya yang rupawan. "I'm okay, Ji."
"Baiklah, aku hanya berharap semoga kau menemukan penggantiku yang lebih baik dan lebih cantik dariku. Ah tidak, aku harus tetap yang paling cantik bagimu," ujarnya berkelakar.
"Ya! Kata siapa kau yang paling cantik bagiku saat ini?!"
"Lantas?"
"Tentu saja ibuku yang paling cantik, kau tahu?" ungkapnya seraya terkekeh tatkala Jira mendengus.
"Itu sih, tak perlu kau katakan juga aku tahu," sungut Jira berusaha menyembunyikan rasa malunya sebab kelewat percaya diri.
"Aku tak janji jika aku menemukan pengganti yang tak lebih cantik darimu. Kau tahu, kau itu egois jika berkata demikian. Lagi pula, cantik itu relatif, Ji."
Jira mendengus. "Aku tahu. Aku hanya bercanda."
Justru tingkah menggemaskannya yang sulit untuk Beomgyu berpindah hati pada yang lain. Sudah ia katakan jika ada sesuatu hal yang berbeda dalam diri gadis Ahn dengan gadis lain yang belum pernah ia temukan. Agaknya ia seorang gadis yang langka di bumi ini. Entahlah, mungkin ia terlalu berlebihan sebab masih menaruh hati padanya.
"Walau tanpa sengaja aku menolakmu, apa kau masih mau menjadi temanku?"
"Tentu saja. Kau kira aku seorang pendendam?"
Gelak tawa lantas mengudara mengisi kehangatan dalam ruangan yang sempat rikuh. Walaupun begitu, dalam diri Beomgyu masih terselip rasa bersalah terhadapnya sebab ada satu hal lagi yang ia sembunyikan. Namun, ia tak cukup berani untuk mengungkapkan kebenarannya. Biarlah begitu seiring waktu berjalan, kendati apakah cepat atau lambat bomnya akan meledak dengan sendirinya ataukah Beomgyu sendiri yang akan meledakannya. Cukup kini ia hanya ingin menyaksikan birai senyum sang gadis yang sempat raib dari romannya.
***
Hayo, kalian tim pendukung mana nih?
YeonJi (Yeonjun-Jira)?
GyuRa (Beomgyu-Jira)?
atau malah SooJi (Soobin-Jira)?
Ah, pasti kalian pilih tim YeonRa (Yeonjun-Ara) #PLAK *digampar readers*
Okay, sampai sini aja. Jan lupa klik vote serta berkoar di kolom komentar. C ya in next chapter, bbies! ❤️
—ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top