Chapter 27
Agensi akhirnya angkat bicara, mengklarifikasi rumor yang beredar. Mereka dengan tegas menyangkal segala tuduhan yang merusak nama baik artisnya. Jika publik ataupun media masih saja mengangkat rumor ini, mereka tak segan akan membawanya ke ranah hukum.
Terkesan kejam ataukah tidaknya, toh, untuk apa hukum dibuat? Kendati memang hanya masalah sepele pun mereka akan melakukannya. Semua yang dilakukan bukan semata-mata menghindari kerugian agensi, melainkan demi privasi artis mereka.
'Big Hit Entertainment Mengklarifikasikan Bahwa TXT Choi Yeonjun Tidak Menjalin Hubungan dengan Penulis Ahn'
'TXT Choi Yeonjun dan Penulis Ahn Hanya Teman Masa Kecil'
'Benarkah Penulis Ahn, Adik Kandung Ahn Jaehyun XIC, hanya berteman dengan Choi Yeonjun TXT?'
Beberapa tajuk artikel yang hampir mirip-mirip tak bisa menyurutkan publik. Mereka masih berkicau di kolom komentar, tak luput di media sosial juga. Agaknya mereka tak bisa menerima klarifikasi dari agensi sebab mereka selalu bisa menutup-nutupi segala hal yang terjadi demi mencegah kerugian perusahaan. Tak jarang mereka menggunakan hukum atau tidak 'pelicin', sehingga tak ada yang berani untuk mengoreh lebih dalam.
Dooyeom17** Tak heran jika agensi bakal speak up seperti ini. Kalian tahu 'kan hukum alam perindustrian K-pop?
Churuppi** Teman masa kecil Yeonjun? Woah, aku iri padamu Eonni~
Gyo4257*** Eonni, memangnya di kehidupan sebelumnya kau sudah berbuat baik seperti apa hingga kau dikelilingi para idol?
MOAduripyong5*** Menurutku Penulis Ahn cocok dengan Yeonjun Oppa. Benar 'kan?
↪️Gyub3om** Ternyata bukan aku
saja. Aku juga mulai
ship mereka berdua.
Yoursunshine** Adik Ahn Jaehyun ini yang dirumorkan dulu dengan kakaknya kan? Woah, ia memang ratu rumor ㅋㅋㅋ
Jahjsksl*** Ada yang bilang ia pernah mempermainkan Hyunjin Stray Kids?
↪️Excelle** Seriously? Wah ia
wanita ular.
Deretan tajuk beserta komentar seakan-akan bergulir kembali dalam minda gadis Ahn. Senyuman kecut terulas saat itu juga. Pasalnya beberapa cuitan mereka tidak keliru, tepat sasaran dan benar adanya. Namun, beruntung saja media maupun publik tak mengetahui kediamannya sebab hanya segelintir orang yang tahu. Itu pun bisa dihitung oleh jari seperti Jaehyun—kakaknya, orangtuanya, Naeun, dan Yeonjun. Untuk penambah yaitu Beomgyu yang pernah mengantarkannya, juga Soobin yang tadi baru saja bertandang secara tiba-tiba. Bahkan, tanpa menghubungi lebih dulu pun Yeonjun datang di tengah konversasi antara dirinya dengan Soobin.
Kini gadis Ahn harus menghadapi dua entitas pria Choi. Kelereng dupleksnya mengamati bergiliran diakhiri embusan napas berat dari ceruk bibirnya. Tak habis pikir ia akan menghadapi segala kerumitan ini.
Tak ada satupun yang bersuara, saling terdiam dan larut dalam kalutnya pikiran masing-masing. Hanya deru napas mereka yang saling bersahutan. Sehingga Soobin memutuskan mengakhiri segala kerikuhan yang menyelimuti. Ia beranjak lantas berpamitan, seakan-akan paham apa yang harus dilakukannya. Toh, urusannya sudah selesai, hanya saja tertahan oleh kedatangan Yeonjun. Ia sengaja memberi ruang dan waktu kepada sepasang insan di dalam sana. Ya, mereka sangat membutuhkannya.
Memastikan batang hidung Soobin telah raib dari balik daun pintu apartemen, Yeonjun menyingkapkan kedua bilah bibirnya lantas bercerak, "Maafkan aku. Semua ini karena—"
"Sudahlah, kau tak perlu minta maaf. Ini bukan sepenuhnya salahmu, akan tetapi salahku juga. Aku menerimamu pun tahu akan konsekuensinya," tukas Jira memotong kalimat sang pria Choi. Pasalnya, kali ini ia tak perlu silabel kata maaf dari labium sang kekasih sebab asumsinya terejawantah.
Kurva manisnya melengkung sempurna lantas merogoh saku mantelnya. Netra sang gadis menangkap sebuah kotak biru beledu yang rasanya familier. Ia memicingkan sepasang manik matanya kontan inti jemalanya pun memberi sepotong memori. Ia menyadari bahwa kotak biru beledu itu pernah digunakannya ketika secara tidak gamblang melamarnya kendati memang ia menolak. Tenggorokannya sontak tercekat. Jangan bilang jika pria Choi ini akan melamarnya untuk kedua kali. Ia segera menggelengkan kepalanya, melenyapkan segala spekulasi yang bersarang dalam mindanya.
"Ji, agensi sudah menyelesaikan masalah kita. Kendati memang publik mengetahui kita hanya sekadar teman masa kecil, justru itulah agensi menyelamatkan kita agar tetap menjalin hubungan. Jadi, kumohon mengertilah," jelasnya kontan menjeda penggalan kalimat. Ia meraih lengan sang kekasih diiringi usapan lembut di jemarinya. "Mungkin aku tak tahu diri untuk saat ini. Katakanlah aku pembuat onar dan berakal pendek. Namun, aku melakukan ini demi perjanjian kita waktu kecil. Kini aku sudah berusia 25 tahun dan kau berusia 23 tahun, mari kita wujudkan segala perjanjian kecil kita, Ji."
Tenggorokannya tercekat, rasanya sulit menelan salivanya sendiri. Untuk sekian kali asumsinya selalu terejawantah, apakah dirinya sendiri adalah seorang cenayang? Namun, ia mengakui jika semuanya hanya kebetulan semata. Kelopak matanya memejam berharap bisa melenyapkan segala keruwetan dalam dirinya. Satu tarikan napas terhentak bermaksud mengisi pasokan oksigen dalam paru-paru yang ganal-ganal kosong begitu saja. Berlebihan memang, akan tetapi begitulah dirinya yang syok menghadapi untaian leksikal yang mencabarnya. Alih-alih bernuansa romansa, malah membuatnya masygul.
Jira menarik lengannya menjauhkan dari jangkauan Yeonjun. Netranya saling menelisik satu sama lain. Entah mengapa matanya memanas walakin ia tahan agar cairan bening tak meluap dari pelupuk matanya. Begitu pun labiumnya bergetar hendak bercerak. "Maafkan aku, Jun. Sudah kubilang waktu itu kita lupakan saja soal perjanjian waktu kecil kita. Toh, semuanya hanya kekonyolan dan kepolosan bocah yang menyambangi diri kita," jelasnya.
"Jadi, kini kau menolak lamaranku?"
"Ya. Aku menolaknya," jawabnya tegas tanpa ayal sedikit pun dari dirinya. Bagaimanapun juga ia harus melakukannya.
Embusan napas berat Yeonjun terdengar di rungu sang gadis. Secercah rasa bersalah menyambangi hati. Walakin semua yang dilakukannya demi kebaikan Yeonjun juga dirinya. Sebenarnya ia tak munafik jika menginginkan hidup bersama orang terkasihnya. Wanita mana yang tak senang dilamar oleh prianya? Begitu pun Jira. Namun, ia pun tak munafik ingin meraih karier lebih tinggi lagi kendati memang terdengar cukup egois. Namun, perlu ditekankan lagi jika semua itu demi kebaikan keduanya.
"Baiklah, aku mengerti soal itu. Namun, kita masih menjalin hubungan, bukan?" tanya Yeonjun berharap seraya meraih kembali jemari kekasihnya. Sayang, dengan secepat kilat sang empu melepaskan genggamannya. Bahkan netra gadis Ahn tak mampu lagi menatap ke dalam manik jelaganya.
"Maaf, aku tidak bisa, Jun."
"Maksudmu?"
"Kurasa kita akhiri saja hubungan kita. Aku sudah lelah, Jun," pungkasnya.
Seakan-akan meteorit menimpa Yeonjun, ia tak mampu lagi mengisi pasokan oksigennya. Pita suaranya tercekat, tak mampu bercerak. Labiumnya mengatup rapat seakan-akan dilak berkali-kali. Ia hanya bisa menatap nanar pada sang jelita yang kini tengah membuang muka. Agaknya ia enggan barang meliriknya sepersekon saja, begitulah konklusi yang Yeonjun ambil.
Baiklah, ia paham akan keputusan Jira. Ganal-ganal mengucapkannya tanpa kalimat yang skeptis yang sepertinya memang dialognya sudah disiapkan jauh-jauh hari tatkala berhadapan dengannya. Keputusannya sudah final, ia pun tak mau mengungkung gadis Ahn. Ia takkan memaksa ataupun memohon agar tetap bersama dirinya. Toh, semuanya memang kehendak sang gadis, bukan keinginannya. Ia hanya menerima atau tidak.
Senyuman sinis terpatri di wajahnya seraya memalingkan wajah. Tak habis pikir ia akan ditolak untuk ke sekian kali. Apakah perjuangannya hanya sampai sini? Apakah ia seorang pecundang? Bukan karena alasan seperti itu. Namun, percuma saja jika hanya dirinya seorang diri yang bertahan dan memperjuangkan hubungan mereka. Sia-sia saja, ia tak munafik menginginkan perjuangan satu sama lain. Ia pun lelah, bukan hanya Jira saja.
Lantas Yeonjun beranjak dari tempatnya, menerima keputusan yang ada. "Baiklah, jika itu maumu. Kita akhiri hubungan kita. Kau pun tak mau memperjuangkannya bukan begitu? Kau sudah lelah? Selamat, kau bebas dari kungkunganku, Ji. Terima kasih untuk segalanya," ujarnya tegas tanpa gentar sekali pun.
Sebelum tungkainya melenggang, ia menyimpan kotak kecil biru beledu di atas meja kopi. Namun, Jira tak menghiraukannya, masih bergeming di posisinya membuang muka.
"Namun, setidaknya kauterima pemberianku ini untuk terakhir kalinya. Aku pamit. Semoga kau baik-baik saja, Ji," pungkasnya.
Debaman pintu sontak membuatnya tersentak. Punggung tegapnya sudah raib dari pandangannya. Pada saat itu pula, kristal bening mencair dari pelupuk matanya yang sudah ia tahan dengan kuat. Derai air mata konstan membasahi pipi putihnya. Hanya suara senggukan yang mengudara di ruangan yang begitu kelam baginya sebagai saksi bisu perpisahannya dengan Yeonjun.
Katakanlah dirinya telah bertindak imbesil dengan segala keputusan yang telah ia ambil. Berakal pendek pun sudah sering ia terima cacian seperti itu dari dirinya sendiri. Ia merasa dirinya menjadi seseorang yang paling munafik di antara orang munafik. Rutukan demi rutukan ia lancarkan pada dirinya. Perasaan sengkarut konstan menyambangi dirinya.
Tak bohong jika ia masih menginginkan Yeonjun di sampingnya. Namun, semuanya sudah tak bisa ditarik kembali, ia sudah melepaskan pertautan di antara keduanya. Bahkan, sang waktu tak bisa diulang. Memang hanya penyesalan yang selalu berada di akhir. Lengkara jika rasa sesal berada di awal sebuah kisah.
***
Alohaaa~
Ada yang nungguin aku? #GA ADA.
It's okay. Akhirnya setelah seminggu sibuk *ya elah so soan sibuk* aku kembali lagi. Keknya aku bakalan update tiap hari lagi atau 2 hari sekali lagi. Maybe. Ga janji yalaooo.
Okay, ga banyak cingcong, langsung klik tombol vote+ketikan cuitan kalian di kolom komentar. Aku juga ga akan pernah bosen bilang makasih kepada readers yang sudah mampir dan mau baca karya absurd-ku ini. So, c ya, bbies! ❤️
—ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top