Chapter 23
"Junniiie!"
Pekikan gadis kecil berpipi gembil nan putih bagai salju di musim dingin menggema di sebuah taman samping perumahan tatkala bocah lelaki yang dipanggil 'Junnie' datang dengan membawa dua cone es krim. Manik mata gadis itu berbinar, senyuman merekah menyambut Junnie-nya atau mungkin lebih tepatnya hanya menyambut es krim yang masih berada jauh dari jangkauannya.
"Call me Oppa, first!" ujar Yeonjun kecil seraya menjauhkan es krim dari jangkauan Jira kecil.
Gadis itu memberengut. "No, we're in America! Jadi, berbaurlah seperti orang di sini, Junnie!" tolaknya.
Sebelah alis Yeonjun terangkat, tak habis pikir gadis ini bisa berpikiran seperti itu. "So, i won't to give it for you, Annie!" selorohnya seraya mendudukkan tubuh rampingnya di salah satu ayunan yang masih kosong di samping gadis bermanik cokelat itu.
"Don't call me Annie, Jun!" sungutnya tak terima. Sementara Yeonjun acuh tak acuh pada gadis yang kini tengah mencak-mencak, atensinya hanya ia taruh pada es krim cokelat yang kian meleleh di bawah panas mentari di musim panas.
Annie.
Junnie.
Dua perpaduan nama kecil yang selaras bagi dua bocah berlawanan jenis yang bertaut usia dua tahun itu. Namun, tampaknya sang gadis kecil tak suka dengan pemberian nama kecil untuknya yang diambil dari marga keluarganya, Ahn.
Iris cokelatnya terfiksasi pada es krim cone cokelat yang tak disentuh sama sekali berada di tangan kiri Yeonjun. Secara impulsif bibirnya mengecap. "Junnie, es krim-nya akan meleleh. Apa kau tak mau berbagi denganku?"
"Tadinya aku tak mau berbagi karena kau tak mau memanggilku 'Oppa'...." Yeonjun menggantungkan kalimatnya seraya tersenyum jenaka, "... Tapi melihatmu yang ngiler seperti bocah kelaparan, aku tidak tega."
"Nih!"
Jira menyambut riang es krim yang disodorkan ke hadapannya, binaran matanya pun berpendar. Sang pemberi pun tampaknya ikut senang. Atmosfer hangat menyelimuti mereka, tawa riang saling bersahutan di taman sinkron dengan kicauan burung lantas mengiringi sukacita. Tak jarang mereka bertingkah layaknya anjing dan kucing yang sering bertengkar, namun tak butuh waktu lama mereka akhirnya luluh satu sama lain. Kadang kala mereka bertingkah seperti tak ingin dipisahkan satu sama lain. Jika satu tak ada, rasanya ada kekosongan di hati mereka. Sang bocah lelaki yang tak ingin kehilangan sang gadis kecil, begitu pun sebaliknya.
Ayunan bergerak pelan maju-mundur sinkron dengan daksanya. Gerakannya kian dinamis tatkala kudapan mereka sudah raib dari genggaman kendati pipi gembil Jira kecil masih berjejal.
"Junnie!"
Sang bocah kecil menoleh, mengamati air muka sang gadis yang tengah menatapnya sendu. Namun, hanya dehaman sebagai respons.
"Kau tak akan meninggalkanku, 'kan?"
Dahi Yeonjun berkerut dalam bingung, apa yang dikatakan gadis ini? Dia berkata seolah-olah seperti seorang gadis dewasa yang tak ingin ditinggalkan oleh kekasihnya.
"Berjanjilah kau takkan meninggalkanku—ah, atau mungkin kau harus berjanji akan menikah denganku ketika aku berusia 23 tahun!" cecarnya yang tak lantas diberi respons.
Sementara Yeonjun membelalakkan matanya dilanjutkan dengan tawa yang ditahan. Oh, sepertinya benar jika gadis kecil ini sudah dewasa terlalu dini. Bagaimana bisa ia mengatakan hal seperti hubungan yang bukan sepele itu? Gadis kecil itu lantas bersungut-sungut mendesak Yeonjun kecil untuk segera menautkan jari kelingkingnya sebagai tanda perjanjian.
"Aku tak bisa janji untuk tak meninggalkanmu saat ini. Tapi soal perjanjian yang kedua itu ...."
"Kenapa? Kau tak ingin menikah dengan gadis cantik sepertiku? Kau akan menyesal!" tukasnya terlanjur percaya diri yang membuat Yeonjun semakin menahan tawanya. Tak kuasa terhadap gadis yang lebih muda darinya itu dengan tindakan juga ucapannya yang tak sesuai dengan usia sebenarnya.
"Ayo! Berjanjilah! Jika kau tak mengaitkan kelingkingmu, aku akan hilang dari bumi hingga kau tak bisa menemukanku!" ancamnya. Kontan Yeonjun segera mengaitkan jari kelingkingnya pada milik si gadis. Sinkron senyumannya tersulam merekah.
Tak bisa dimungkiri kalimat yang dilontarkan sang gadis kecil menjadikannya sebagai cerita horor dalam hidupnya. Entah kata 'hilang' apa yang dimaksud. Namun, ia sudah pernah merasakan kehilangan sebelumnya tatkala sang nenek tercinta kini sudah beristirahat di atas sana. Kendati ibunya menenangkannya dengan perkataan manis seperti nenek selalu bahagia melihat Junnie di atas sana. Namun, tanpa entitas asli terpresentasi di hadapannya, tetap saja rasa kehilangan selalu mendera. Begitu pun jika ia kehilangan gadis kecil yang sudah menjadi bagian dari hidupnya ini pun ia tak sanggup, kendati memang ancamannya hanya sebuah kelakar.
"Tepati janjimu, Junnie!"
"Lantas, kenapa harus 23 tahun?"
Kelereng dupleksnya mengerling lucu seperti mengingat-ingat sesuatu dalam mindanya. "Karena ibuku menikah dengan ayahku ketika umur 23. Aku ingin sepertinya nanti berbalut gaun putih indah. Pasti aku sangat cantik seperti yang diceritakan ibuku di buku dongeng sebelum tidur!" seru Jira kecil antusias. Seolah-olah waktu yang dibayangkannya itu dalam waktu singkat akan terwujud.
"Wah, muda sekali! Pantas saja sekarang Bibi Ahn masih terlihat muda dan sangat cantik," decak Yeonjun kecil kagum dengan muka polosnya.
"Tentu saja, makanya aku pun cantik seperti ibuku!"
Yeonjun kecil mendengus kesal, ia rasa saat ini intensitas kepercayaan diri Jira berada di luar ambang batas. Entah apa yang membentur kepalanya hingga mengubah gadis kecil polos bertingkah menjadi seperti gadis dewasa yang tentu saja masih jauh dari usianya saat ini. Memang sebenarnya ia tak memungkiri jika teman kecilnya ini sangat cantik, mungkin saat dewasa nanti pun paras jelitanya masih melekat.
Seperti sekarang ini Yeonjun bisa memanifestasikan pernyataannya beberapa tahun ke belakang bahwa benar jika Jira yang saat ini sudah dewasa, masih memiliki paras yang jelita. Seluruh atensinya pun selalu ia taruh sepenuhnya pada sang gadis. Ia tak bisa naif terpesona dengan entitas gadis jelita seperti Ahn Jira kendati memang cantik itu relatif. Namun, bukan hanya parasnya yang memesona, melainkan pesona luar dalamnya mampu menarik gravitasinya.
Yeonjun terkekeh geli mengingat kejadian perjanjian masa kecilnya dulu. Perjanjian dua bocah polos yang sebenarnya tanpa tahu-menahu arti sebenarnya. Namun, mereka termasuk dirinya masih mengingat jelas apa yang terekam dalam amigdala.
Sesekali Yeonjun membuka kotak kecil beludru biru dongker di mana cincin bermata satu dengan desain yang sederhana, namun masih terkesan elegan berpendar di dalamnya. Seulas senyuman terpatri simpul tatkala menatap entitas kecil di genggamannya itu. Apakah ia akan bertindak gegabah tanpa memikirkan risiko ke depannya? Entahlah, ia hanya ingin menepati janji bersama gadis itu, janji yang diucapkan oleh gadis kecil polosnya dulu.
Lekas buru-buru ia menyembunyikannya ke belakang tubuh tatkala presensi gadis yang ia tunggu hendak masuk ke dalam mobil. Bukan senyuman manis yang ia dapati, melainkan tatapan datar yang terkesan lebih menusuk.
"Ada apa sampai harus menungguku di depan kampus malam-malam?"
Tanpa basa-basi sekadar sapaan atau pun senyuman, Jira langsung mencecarnya pada esensi tujuan sebenarnya, sehingga Yeonjun dengan setia menunggu kelas mata kuliah Jira yang baru selesai pada malam hari. Entah bisa disebut beruntung atau tidak, ia memarkirkan mobilnya di lingkungan yang lengang.
"Jika kau tak lekas menjawab, aku keluar lagi!" ancamnya hendak melenggang keluar mobil jika saja lengan Yeonjun tak menahannya.
"Aku ingin minta maaf soal menyembunyikan keberadaanku selama ini. Tentu saja aku melakukannya demi kebaikanmu, sungguh," ungkapnya. "Lalu aku mohon padamu, kau jangan marah pada Jaehyun Hyung. Salahkan saja aku, ia terlibat karena aku memaksanya untuk membantuku."
Lantas Jira menarik napas dalam-dalam, ia rasa pasokan oksigen di sekitarnya seketika menipis. "Aku memaafkanmu, Jun. Toh, aku pun sudah baikan dengan Jae," ungkapnya seraya menyebut Jaehyun tanpa embel-embel 'Oppa'. Sepertinya budaya barat kadang kala masih mendarah daging pada dirinya tanpa sengaja.
"Tak perlu penjelasan panjang lagi, aku cukup jengah. Jujur saja, kini aku sedang mencoba memahamimu, Jun," sambungnya. "Kurasa percakapan kita cukup sampai sini—"
Belum usai sang gadis menyelesaikan celotehannya, Yeonjun secara impulsif menggenggam lengannya. Sontak sang empu tersentak. Ia mengernyit tatkala Yeonjun membawa sesuatu dari belakang punggungnya.
Sebuah kotak beludru kecil berwarna biru dongker. Ingin ia berasumsi, akan tetapi kekeliruan takut menderanya. Namun, agaknya ia benar. Matanya semakin membelalak dengan raut bingung kentara di paras jelitanya. Sebuah cincin emas putih bermata satu dengan desain sederhana sudah melingkari jari manisnya. Alih-alih tersipu ataupun haru, sang gadis menatapnya nanar. Iris cokelatnya kini menoleh mengunci manik jelaga pria Choi yang kini tengah mengulas senyuman yang tak bisa ia terjemahkan. Ia benar-benar kalut menghadapinya.
"Aku kesini pun ada maksud lain, Ji," ungkapnya. Jira tak lantas merespons, ia hanya ingin menunggu penuturan selanjutnya. "Kau ingat perjanjian masa kecil kita, 'kan? Hari ini aku akan mewujudkannya."
Lantas Jira tertawa kecut. Ia memang ingat, bohong jika ia tak mengingatnya. Hanya saja perjanjian dua anak polos yang dipelopori oleh dirinya sendiri pada waktu kecil, tak ada gunanya lagi untuk sekarang. Berjanjilah, agar kau menikah denganku saat aku berumur 23 tahun! Masih jelas memutar dalam amigdala. Namun, jika ia ingat itu, ingin sekali menertawai dirinya sendiri sebab ia waktu kecil sangatlah konyol.
"Lupakan saja, Jun! Kini kau tengah bertingkah gegabah lagi tanpa tahu risiko yang menimpa kita berdua. Lantas, apa gunanya kau menyembunyikan eksistensimu selama ini dari diriku jika pada akhirnya kau sendiri yang bertingkah gegabah dan mengacaukan semuanya, Jun?!" hardiknya.
Cincin itu kembali dilepaskannya dari jari manis lalu ditaruhnya kembali di telapak tangan kokoh Yeonjun. Rasanya kurang etis menyematkan perhiasan cantik itu di kala situasi seperti ini. Tatapan pria itu kian sendu seperti tak ada harapan lagi untuk meluluhkan hati gadisnya. Ia lelah, namun tak putus asa. Ia bukan orang seperti itu.
"Maaf, aku tak bisa menerimamu untuk ini. Lupakan soal perjanjian konyol kita dulu!" ujar Jira dengan nada sedikit melembut daripada tadi yang lebih terkesan cadas dan sarkastik. "Katakanlah aku orang yang ingkar janji jika kau saja pun bermain rahasia denganku selama belasan tahun. Aku sungguh kecewa, Jun. Selama ini aku merasa dungu. Kau membodohiku. Aku terlanjur kecewa."
Hanya kata 'maaf' yang terus saja dirapalkan pria Choi berulang-ulang. Ia mengakuinya. Benar, ia terlalu gegabah. Tak ada artinya selama ini jika ia tak bisa menahan dirinya untuk bertemu Jira sehingga ia harus memandanginya dari jauh. Alasan itulah terjadi pada malam pertemuan mereka berawal. Memang bukan tanpa sengaja tungkainya menjangkau kedai soju yang selalu ia kunjungi seraya memperhatikan gadisnya dari jauh. Namun tanpa sengaja, dirinya tak sadarkan diri sebab alkohol dalam tubuhnya sudah melampaui angka batas wajar. Di luar rasionya pun ia berjarak terlalu dekat dengan sang gadis jelita yang dirindukan hingga akhirnya ia malah bertindak imbesil. Mengacaukan segala yang dilakukannya selama ini.
"Jika sudah begini, kita pikirkan lagi soal hubungan kita, Jun. Lanjut ...." Jira menggantungkan kalimatnya dengan perasaan yang gentar berusaha terkesan kuat di hadapan prianya. Ia tak ingin dianggap lemah. Ia bukan tipikal gadis yang ingin dikasihani, sungguh kendati sebenarnya ia hanya menyiksa dirinya sendiri. "... Atau tidak," lanjutnya seraya melenggang keluar mobil hitam metalik itu. Dirinya sudah pengap, ketegangan di dalam sana mampu meraup habis oksigen yang dibutuhkannya.
Yeonjun termangu sejenak lantas tersadar ia mengejar gadisnya keluar mobil. Persetan dengan penyamaran menutupi identitasnya sebagai proteksi. Lengan kokohnya segera menahannya lantas menariknya dalam rangkuman. Renjana yang mereka pendam, amarah yang tersulut, lara yang mendera, serta afeksi yang mereka ciptakan meluap sinkron.
"Baiklah, lupakan soal perjanjian. Namun, bisakah kau beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya lagi, Ji?" pinta Yeonjun yang suaranya hilang timbul menyapa rungu sang gadis sebab dirinya larut dalam sedu sedan. Ia menyembunyikan wajahnya yang kusut dalam dekapan.
"Aku mohon, Ji," ujarnya memohon lagi sebab sebelumnya tak ada respons sama sekali. Ia sadar jika dirinya tak tahu malu, tetapi ia tak ingin merasakan kehilangan lagi. Ia tak ingin sukar menjangkau jauh gadisnya. Tak ingin lagi. Cukup ia menahan diri. Sekali basah maka basah sekalian. Penggalan itu agaknya cocok untuk dirinya.
Butuh waktu terjeda beberapa saat hingga ia mendapat anggukan sebagai respons dari sang gadis. Senyuman merekah lantas terulas seraya mengeratkan rangkumannya.
Benar, ia memang gegabah. Sangat ceroboh. Ia membiarkan eksistensi mereka berdua sebagai objek lensa kamera tanpa mereka ketahui.
***
Oho, siapa tuuh?
Aku keknya telat sehari deh ga update sebab emang ya berusaha buat apdet tiap hari tuh susah. Skenario udah bersarang di kepala, tapi penulisanku makin sini malah makin buruk huhu
Dah ah curcolnya, tadinya mo promot dlu. Tapi dah kepanjangan kali ya. C ya!
Pls sending ur energy n love!!! ✨❤️
—ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top