Chapter 21

Buang-buang waktu, tak ada orang yang ingin waktunya terbuang oleh penantian yang sia-sia, bukan? Jika ada, mungkin otaknya sedikit imbesil. Ekspektasi yang meleset pasti mendera pelbagai harapan yang tertumpuk dalam basirah. Begitu pun gadis Ahn yang kini hanya bisa mendesah sebab jawabannya yang ia nantikan ternyata keliru. Mengapa ia mau-mau saja mengikuti secarik surat bodoh yang diterimanya?

Tak ayal memang rasa penasarannya akan sang pengirim surat yang menyebut dirinya sebagai teman masa kecilnya. Soal jepit berpita biru yang dikatakan adalah miliknya dulu semakin menarik rasa penasarannya. Jangan lupa embel-embel nama 'Jun' yang tertanda di ujung kertas membuatnya ketar-ketir.

Di sinilah dirinya menemui sang pengirim, sorot mata elangnya menatap tajam menuntut penjelasan pada seorang pria rupawan berambut sasak yang mengaku dirinya sebagai pelaku pengiriman paper bag semalam.

"Ayolah, Ji. Kenapa kau tak mengingatku? Kita dulu berteman sebelum kau pindah ke Amerika," alih-alih menjelaskan, malah cenderung seperti paksaan. "Aku, Oh Junhyeong, si Bocah Tambun."

Jira memejamkan mata, mencoba mengingat setiap rangkaian memoar masa kecilnya. Namun, berakhir dengan desahan pasrah."Maaf, aku tak mengingatmu, sungguh. Apa kau benar-benar pernah bermain denganku?"

Junhyeong menunduk, bibirnya gentar tatkala melontarkan pembuktian lain sebab gadis di depannya ini terkesan skeptis. "Sejujurnya, kita tak pernah bermain bersama. Namun, kau pernah membelaku ketika aku dirundung oleh teman-teman kelas dua Sekolah Dasar kita karena aku seperti babi di mata mereka. Dari situlah aku mengangumimu, kau telah membuatku kuat. Layaknya kau cahaya kehidupanku, namun tak lama kau pindah ke Amerika. Seakan-akan duniaku kembali gulita."

Sorotan tajam Jira kian melembut tatkala mendengar tuturan kisah masa masih jadi bocah ingusan. Rungunya menangkap setiap detail alur yang sempat menyayat hati. Bagaimana bisa tampang rupawan yang kini digandrungi para gadis adalah korban perundungan? Pastinya membutuhkan usaha hingga ia bisa berubah seperti saat ini, ataukah memang efek pubertas yang mengubahnya?Sungguh, setelah mendengar penjelasannya ia malah semakin bersalah mengingat dirinya pernah menolak perasaan Oh Junhyeong. Namun, yang membuatnya tertawa jenaka adalah tindakan heroiknya sejak kecil membuatnya ingin menyombongkan diri pada dunia bahwa ternyata Jira kecil telah membela kebenaran.

"Maaf, Jun. Aku benar-benar minta maaf sebab aku tak mengingatmu, sungguh. Lantas jika begitu, kenapa dulu kau tak berinisiatif untuk berkenalan denganku? Mengapa kau baru cerita sekarang? Dan mengapa kau bisa mempunyai jepitku?" cecarnya dengan berbagai pertanyaan mendesaknya.

Ingin sekali merutuki otak kecilnya yang tak mumpuni menampung seluruh memoar yang terjadi. Amigdala dalam mindanya benar-benar lemah, pantas saja kini ia tak begitu mengingat Junnie dengan sebaik mungkin kendati ia banyak menghabiskan waktu dengannya. Apalagi Oh Junhyeong yang mengukir kisah dengannya hanya sepintas. Ia benar-benar tak mengingatnya, payah.

Sebagai rasa bersalah, sebisa mungkin rungunya membiarkan bertahan dengan kisah baheula Oh Junhyung kendati sebenarnya malas. Sebut saja ia jahat, tak apa. Namun, ini adalah sebuah pernyataan jujur yang tak bisa didistorsi oleh hal apa pun, caranya ia harus menyimak rentetan kisah menoton. Alasan tak berkenalan langsung dengannya, alasan tak mengungkap identitasnya sejak awal seakan-akan berusaha membuat enigma yang bahkan ia tak tertarik untuk memecahkannya, serta alasan mengapa ketika ia menemukan pita jepit biru yang terjatuh tatkala Jira berlarian ke sana kemari bersama kawan lainnya seperti bocah aktif pada umumnya, jepit itu tak dikembalikan pada saat itu juga.

Sehingga usai sudah segala kesalahpahaman yang menyambaginya. Sempat benaknya pun teracak-acak begitu saja. Hipotesa dulunya pun bagai fail yang berceceran keluar dari kotak arsip dalam mindanya.

Benar-benar sebuah penantian sia-sia.  Agaknya bidikan asli maupun bidikan konotatif selalu meleset. Ia akhirnya pasrah mengakui dirinya payah melempar panah.

Alih-alih senang mengetahui adanya kawan masa kecil, tampaknya hati Jira semakin dongkol. Alasannya hanya satu, dan itu sepele.

Sebab ia bukan Junnie yang ia harapkan.

Benar-benar, kenapa bisa ia tak mengingat hal sekecil apapun itu? Lantas mengapa ia selalu berurusan dengan teman masa kecil?

Pikirannya benar-benar kalut, ia hanya ingin memecahkan enigma yang mencabar hidupnya. Ia mengangguk pasti, satu tarikan premis akan ia ambil. Keputusannya sudah bulat. Hipotesa yang dulu disusunnya tatkala menemukan potongan-potongan kecil mengarah kembali pada sasaran objek awalnya.

Choi Yeonjun.

Nama pria yang selalu berkelebat semaunya dalam benak, tertera di layar ponselnya. Lekas ia menggeser tombol hijau di layar guna menerima sambungan dari seberang sana.

"Ji, kau ada di rumah?"

"Hm."

"Baguslah, aku sudah berada di parkiran apartemenmu."

Sinkron dengan putusnya sambungan, ia tersenyum samar. Objek sasarannya datang dengan sendirinya tanpa susah payah ia menarik umpan. Ia memantapkan hatinya jika bidikannya takkan melesat lagi. Sudah cukup dengan segala enigma yang mencuat dalam mindanya. Ia akan segera menemukan ujungnya.

Presensi senyuman dan pembawaan hangat kini hadir di hadapannya. Yeonjun menenteng kantung belanjaan berisi makanan swalayan, sudah ia pastikan dengan manik matanya menemukan beberapa entitas cup ramyeon di dalam sana. Benar saja, di hadapannya dikeluarkannya beberapa cup ramyeon yang tadi ia temukan pertama kali, kimbab, satu set telur rebus, macaroon, beberapa kotak jus, serta makanan ringan lainnya. Tentu saja matanya berbinar dengan bawaan yang menguntungkan baginya. Perutnya meraung minta diisi lagi sebab kopi americano dan sepiring churros tadi tak cukup mengganjal.

"Kau tahu saja aku ingin memakan ini," ujarnya seraya menuangkan air panas ke dalam dua cup ramyeon.

Yeonjun tersenyum pongah. "Tentu saja, aku, 'kan, kekasihmu," timpalnya yang mendapat respons cibiran dari sang gadis. Seakan-akan ia adalah seonggok intensitas menggelikan. Jira benar-benar tak setuju dengan postulat yang tak bisa didistorsi itu.

"Ah, tuangkan ke satu lagi," pintanya seraya menyodorkan satu cup ramyeon lagi.

"Kau, 'kan, bisa menyeduhnya lagi setelah selesai makan yang lain, nanti mi-nya mengembang," sergah Jira.

"Tidak, tidak. Aku tak ingin menunggu waktu lama, aku akan mencampurkannya dalam satu cup."

Jira berdecak, "Dasar Babi!"

"Apa? Babi?"

"Eoh," timpalnya tanpa keraguan sama sekali.

"Aku bukan babi, aku ini pria juga seorang idola yang membutuhkan energi ekstra!" sanggah Yeonjun tak terima dirinya dijuluki babi oleh kekasihnya sendiri, bagaimana bisa?

Jira tak mengindahkannya lagi, cukup sampai sini saja perdebatannya. Bahkan, ia sampai lupa dengan tujuan utamanya sebab atensinya teralihkan begitu saja. Memang perdebatan tidak krusial seperti inilah yang selalu membuatnya gagal memulai konversasi dengan topik yang sudah ia wacanakan dalam minda. Agar tak berceceran panahnya kemana-mana, segera ia lesatkan panahnya pada saat itu juga.

"Omong-omong, aku ingin membicarakan sesuatu hal denganmu," ujarnya membuka suara di tengah santapan mereka. Sementara Yeonjun hanya mengangguk sebab mulutnya sudah penuh seraya sesekali menoleh pada gadisnya yang kini memasang raut penasaran juga terkesan lebih serius, tak seperti biasanya.

"Namamu Choi Yeonjun, 'kan?"

Anggukan pertama diterima.

"Kau dari Seongmu?"

Berlanjut dengan anggukan kedua.

"Aku juga berasal dari Seongmu,"

"Aku tahu."

"Kenapa kau bisa tahu? Dan kenapa aku tak pernah bertemu denganmu di sana?" Sasaran pertama akhirnya melesat.

Yeonjun terdiam sejenak, membuatnya curiga jika ia tengah memilah alasan. "T-tentu saja dari biodatamu di salah satu artikel situs web pencarian. Kau, kan, juga terkenal sebagai penulis buku. Soal kenapa kau tak pernah bertemu denganku, kan, Seongmu itu luas, Ji. Lagi pula, aku pun sudah lama berada di sini sebagai seorang trainee," dalihnya.

Alasan pertama ia terima sebab memang terbilang logis juga sesuai fakta. Ia tak bisa menyanggah.

"Are you stalking me?"

"Lantas kau juga?" Yeonjun malah bertanya balik seperti enggan menjawab.

"Tidak, aku tahu dari Beomgyu." Jawabannya membuat Yeonjun terkesiap, sempat menghentikan kunyahan menggemaskan yang membuat kedua pipi gembilnya naik turun.

"Sudahlah, kau ini bertanya seperti aku tengah diwawancarai," tukas Yeonjun yang mulai culas.

"Tidak. Aku ini kekasihmu, aku ingin mengenalmu lebih dalam. Tak boleh? Sementara kau sepertinya sudah mengenalku lebih jauh daripada aku, itu terdengar ganjil dan juga tak adil," sergah Jira tak terima.

Baiklah, Yeonjun tak bisa berkelit. Ia akan membiarkan segala kedoknya terbuka hari ini. Namun, ia akan tetap mendengarkan rasa penasaran apalagi yang gadisnya ingin ketahui.

"Umurmu lebih tua dua tahun dariku, berarti kau umur 25?"

"Benar, makanya kau panggil aku Oppa. Ini Korea, bukan Amerika! Bersikaplah selayaknya orang timur, Ji," timpal Yeonjun dengan lugas. Tanpa disengaja ia memancing senyuman kemenangan yang tercetak pada labium tipis gadis Ahn.

"Kau—pernah tinggal di Amerika, 'kan waktu kecil?" panah ke sekian kembali melesat. Yeonjun terkesiap.

"Junnie?"

"Kau—Junnie, 'kan?"

Entah sorotan mata tajam yang mengarah padanya ataukah lontaran bagai lesatan anak panah yang membuat lidah Yeonjun kelu? Sulit sekali dirinya untuk berkelit menjawab pertanyaan sederhana yang jawabannya hanya ada dua pilihan.

Iya atau bukan.

"Jawab aku, Jun!"

"Jun? Kau ternyata ada di sini?"

Sepenggal dialog lain bergabung dalam konversasi, sontak mereka menoleh pada presensi di hadapan mereka yang tiba-tiba dan tak disadari kedatangannya.

"Hyung?"

"Oppa?"

***

Maaf ya kalo aku suka bgt ngegantungin cerita di setiap beberapa chapter ohohoho

Fyi, karena ini fiksi jauuh dari kenyataan terlebih lagi yang nulis juga aku jadi terserah aku lah ya mau Yeonjun umur berapa wkwk. gpp ya kalo si njun agak tua dikit di sini sebab aku mau nyesuaiin usianya dengan Jira yang sudah jadi mahasiswa tingkat akhir. Btw, di sini ada yg mahasiswa tingkat akhir? Ehe.

Hei, Yeonjun tuaan nanti malah bikin memesona tahu! Mungkin, tapi iya keknya.

Dah ah. Jan lupa vote+comment nya MOAAAA!!! 💜

—ARA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top