Chapter 20
Selama perjalanan pulang Jira hanya menatap keluar jendela mobil, menangkap setiap cahaya yang berkelibat dilewatinya. Pendaran cahaya dari gedung-gedung pencakar langit maupun gedung satu tingkat serta lampu jalan menghiasi langit malam. Bahkan lampu kendaraan guna menerangi jalanan mereka pun ikut andil menjadikan langit malam jauh dari suasana gulita. Para bintang pun seolah-olah tengah bersembunyi dari balik atmosfer sebab kalah saing dengan refleksi cahaya buatan yang menerangi kota metropolitan.
Sontak netranya menemukan papan reklame digital. Di sana kelima pemuda yang baru ia temui beberapa menit lalu tampak bercahaya dengan sendirinya, bukan sekadar disebabkan sorotan lampu. Ayolah, itu hanya gambar mereka saja pun sudah terpancar aura bintang, apalagi jika bertemu langsung. Memukau, sangat. Dan itu yang ia rasakan sejak tadi menonton penampilan mereka di atas panggung dengan karismanya masing-masing cukup membuatnya kini akhirnya menjadi satu bagian dari penggemar mereka.
Hingga pandangannya terfokus pada seorang lelaki bersurai blonde dengan bibir ranum khasnya juga sorotan mata sipitnya yang tajam.
Choi Yeonjun.
Seorang idola.
Kekasihnya.
Teman barunya atau mungkin—teman lamanya?
Sudah cukup namanya selalu memenuhi benaknya. Namun, kini mindanya kembali ruwet dengan segala spekulasi lama yang muncul kembali dengan berbagai kata kunci yang tak sengaja ia temukan soal pria pemilik marga keluarga Choi.
Usai percakapannya dengan Beomgyu, ia berinisiatif meluruskan juga membenarkan asumsinya. Sayang, bukan waktu yang tepat atau mungkin segala hal terjadi yang seolah-olah sengaja menghambat pembuktiannya. Jika saja ia tak harus mengurusi tingkah kekanakan Yeonjun yang tak sesuai usianya dengan hal yang memalukan. Rona merah kembali memoles pipinya. Sungguh, ia takkan pernah mengulanginya sebab pada saat itu pula harga dirinya jatuh.
Lantas ke mana Ahn Jira yang terkenal dengan harga dirinya yang tinggi?
Sudahlah, lupakan. Ia akan kembali pada Ahn Jira yang dulu, biarlah itu hanya berlaku sekali pada saat tadi saja. Kini yang harus dipikirkan yaitu mengenai topik utama yang menjadi argumen di dalam benaknya. Benar, ia cukup yakin dengan hipotesa yang telah ia ciptakan. Hanya butuh pembenaran dari ceruk bibir pria Choi itu, mungkin lain waktu. Sebab ia tak ingin mengganggu jadwalnya yang memang sudah diketahui sangat sibuk. Cukup memilih waktu yang tepat untuk membidik.
Tak terasa kendaraan yang membawanya telah sampai di depan gedung apartemennya, segera ia melenggang keluar setelah memastikan ongkos taksi telah ia bayar. Bukan langkahnya saja yang terasa berat, namun pikirannya juga. Tengkorak kepalanya seakan-akan membawa beban yang berat kendati berat otaknya saja hanya sekian gram jauh dari satuan kilogram.
Tubuhnya meregang ingin segera bergelung di dalam buntalan selimut usai membersihkan dirinya tentu saja. Peluh yang semakin lengket di tubuhnya ingin segera ia gantikan dengan wewangian aroma peach yang telah ia patenkan menjadi aroma khasnya. Namun, seketika keinginannya tertunda tatkala menemukan sebuah paper bag menggantung di kenop pintu. Lantas ia membukanya, netra cokelatnya menemukan sebuah kotak kecil serta amplop berwarna serupa.
Dari siapa? Pengiriman paket?
Tanpa pikir panjang lantas ia membawanya ke dalam rumah. Sudah dipastikan bukan jika itu ditujukan untuknya, mengingat talinya menggantung di kenop pintu. Lengannya terulur membuka sebuah kotak kecil berwarna biru muda dengan garis vertikal putih. Ia mengernyit sinkron tatkala netranya menemukan sebuah jepit berpita biru yang warnanya kian memudar dimamah waktu. Namun, masih dalam kondisi bagus dan layak dikenakan.
"Manis," gumamnya.
Sebuah amplop pun kini menjadi atensinya, benda paling yang membuatnya lebih penasaran daripada kotak kecil tadi. Secarik kertas yang ia yakini sebuah surat ditemukannya. Netranya menelusuri setiap rangkaian kata yang tergores di sana. Matanya kian membulat seakan tengah mendapatkan kejutan yang baru saja membuat degupan jantungnya memacu dinamis.
Hai, teman kecilku!
Sudah lama bukan? Aku bersyukur kau tumbuh dengan baik dan akhirnya aku menemukanmu.
Ji, apa benar kau tak mengingatku? Bahkan, kita selalu bertemu kau masih tak mengingatku. Baiklah, aku memberikan pita birumu yang terjatuh dulu apa kau masih belum mengenaliku?
Sebenarnya, aku ingin sekali menyampaikan bahwa aku teman kecilmu. Jika kau berkenan, kita bertemu di kafe depan kampusmu setelah jam kelas mata kuliahmu ^^
—Jun
Jun?
Junnie?
Choi Yeonjun?
Ayolah, apakah ia benar-benar dirinya? Apakah Junnie-nya benar adalah Choi Yeonjun sang idola yang kini menjadi kekasihnya?
Namun, yang membuatnya janggal kenapa harus bertemu di kafe depan kampus? Jika itu Yeonjun apakah ia tak takut mengambil risiko lensa kamera wartawan yang selalu mengikuti dan membidik setiap kegiatannya tanpa diketahui?
Atau memang Junnie-nya bukan Choi Yeonjun yang ia kira?
Oh, ayolah, hipotesanya tadi sudah ia susun serapi mungkin bagai senapan yang siap terisi peluru lantas menunggu pelatuknya ditarik membidik sasaran. Namun, apakah bidikannya akan meleset lagi hanya karena sebuah secarik surat ambigu yang tak diketahui siapa pengirim aslinya?
***
Jemari lentiknya mengetuk seirama dengan musik western yang menggema dari setiap sudut ruangan yang terpasang speaker. Tak jarang ia bahkan menggumamkan setiap bait liriknya. Kentara sekali bukan jika ia tengah menunggu seseorang.
Oh, ayolah, kenapa Jira harus repot-repot datang memastikan, sedangkan ia sudah yakin bahwa Junnie adalah Choi Yeonjun sang idola itu? Namun, tak salahnya bukan untuk memastikan?
Secangkir kopi americano juga sepiring churros menemani penantiannya. Pahit dan manis adalah perpaduan yang pas, saling melengkapi. Namun, tak mengelak jika seseorang hanya ingin merasakan manis dengan manis lagi hingga lidahnya bosan mengecap sebab tak ada rasa lain yang menyambangi. Layaknya sebuah kehidupan tak selalu manis bukan? Pasti selalu ada pahitnya kehidupan. Patrawali saja kalah telak.
Jira menghela napasnya, tak jarang ia melongok ke arah pintu masuk memastikan batang hidung orang yang dinantinya muncul dari sana. Cukup ia sudah merasa jengah menatap arloji yang melingkar indah di lengannya. Oh, sial, entah sudah berapa lama ia menunggu penantian hal yang tak pasti. Lantas mengapa pula tungkainya malah penasaran mengayun ke tempat sesuai yang tergores di secarik surat?
Memikirkannya saja sudah sangat ruwet. Sebenarnya ingin tak ingin ia menemui teman masa kecilnya itu, tak mengelak perasaan gamang menyambanginya. Namun, renjana sudah memenuhi harapannya setelah sekian tahun perpisahan mereka di Amerika. Negeri yang membuat mereka dekat sebab tak ada teman lain yang satu bahasa dengannya, juga kewarganegaraannya yang sama. Mungkin yang membuat mereka adanya pertalian hingga saling memahami dikarenakan daerah tempat lahirnya yang kebetulan sama, yaitu Seongmu.
Ada banyak pilihan praduga yang sudah ia siapkan.
Pengirim surat memang Junnie yang bisa saja Choi Yeonjun sang idola ataukah Choi Yeonjun yang memiliki nama yang serupa?
Atau bisa saja Jun sang pengirim surat bukan Junnie.
Namun jika Choi Yeonjun, sang idola itu yang datang, ia agak meragukannya. Mengingat semalam Yeonjun memberitahunya bahwa besok, yaitu hari ini ada jadwal acara yang lain juga kebetulan jadwalnya terlalu padat.
Sungguh, pikirannya kalut, perasaannya gamang serta bimbang. Bagaiman jika ternyata Choi Yeonjun adalah dua orang yang berbeda? Lantas ia harus memilih yang mana? Choi Yeonjun yang kini menjadi kekasihnya ataukah Choi Yeonjun, teman masa kecilnya yang membawa janji masa kecil yang harus mereka wujudkan?
Oh, ayolah, jika bidikannya meleset, lantas siapa Junnie-nya? Ataukah siapa Jun si pengirim surat serta jepit pita biru yang mengaku bahwa ia adalah teman semasa kecilnya.
Jun.
Jun.
Jun.
Ayolah, berpikir Ahn Jira!
Choi Yeonjun, Junnie-nya?
Ataukah Jun yang lain?
Mindanya berkelibat dengan nama yang menyisipkan kata 'Jun'.
Choi Yeonjun.
Park Minjun.
Lee Taejun.
Min Junsoo.
Jun Sanghoon.
"Oh Junhyung?"
***
Inilah awal alasanku kenapa sebelumnya menyajikan beberapa chapter yang kelewat manis. Sebab ada manis berujung pahit, ataukah pahit berujung manis. Ayo pilih mana?
Dah ah, banyak omong mulu aku.
Silakan berspekulasi!
—ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top