Chapter 18
Ocehan dari Dosen Jung kembali menyapa rungu gadis Ahn. Itu artinya ia telah kembali pada rutinitasnya yang terus berulang-ulang setiap harinya. Beruntunglah esok sebab akhir pekan pun menyapa. Segala teori A sampai Z yang diocehkannya hanya sebagai dongeng tidur. Kehadiran mahasiswa yang masuk ke kelas mata kuliahnya pun hanya sebatas formalitas absensi demi nilai akademik yang baik. Namun, mengantuk di tengah jam kelas tak berlaku bagi Jira, mungkin hanya untuk kali ini. Biasanya tak jarang ia membuat pulau di dalam mimpinya. Teori yang disampaikan pun hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Berbanding terbalik dengan sekarang, segala teori menempel dalam memorinya. Entahlah, akhir-akhir ini ada sesuatu yang membuat semangatnya berkobar begitu saja.
"Ya! Ada apa gerangan Nona Putri Tidur yang biasanya sudah memimpikan Jungkook Oppa-mu itu, kali ini benar-benar menyimak dengan baik ocehan membosankan Dosen Jung dari awal hingga akhir?" cibir Naeun seraya menyejajarkan langkahnya setelah bebas dari jam kelas.
"Oh, c'mon girl! We have to change," katanya membela diri. "Tak seharusnya kita bergerak di tempat yang sama. Kita harus ada perubahan ke depan, apapun itu agar tak tertinggal orang lain. Ingat, kita ini sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir!"
Mulut Naeun menganga, tak percaya sahabatnya ini bisa mengatakan hal sebijak itu seumur hidupnya, terlepas dari embel-embelnya yang seorang penulis. Entah jiwa visioner mana yang telah merasukinya.
Lengannya terulur untuk meraba suhu di dahi Jira. "Kau baik-baik saja, 'kan? Tak sakit? Ataukah kau tengah kerasukan arwah dinasti Joseon, mungkin karena kau telah menyinggung mereka dengan mulutmu yang serampangan? Atau mungkin kau datang ke tempat peninggalan sejarah angker lalu berbuat ulah dengan tingkahmu yang urakan?" cerocos Naeun yang sangat kontras dengan tampilannya yang nyentrik.
Sementara Jira mendesis kesal dengan cecaran yang tak logis masuk ke dalam rungunya. Bahkan, kali ini ocehan materi Dosen Jung lebih baik didengar daripada cerocosan Naeun yang tanpa jeda sama sekali. Kendati begitu, ia masih bisa sabar menghadapinya sebab hanya gadis berpenampilan nyentrik itulah yang menjadi satu-satunya teman di kota elit yang penuh dengan orang bermuka dua. Sangat menjijikan.
Namun, Jira merasa dirinya bersalah sebab kini tengah menyembunyikan sesuatu hal yang belum bisa ia ungkap pada sahabatnya itu. Entah Naeun menyadarinya ataukah tidak. Sungguh, bukan ia tak memercayai sahabatnya, melainkan ia hanya butuh waktu. Jika memberitahunya akan terlalu panjang dan rumit. Mungkin tak pelak akan dianggap karangan seperti naskah novel yang selalu ia tulis.
Hei, coba pikirkan tiba-tiba menjalin hubungan dengan seorang idola yang baru dikenal beberapa bulan karena berawal dari sebuah insiden mabuk. Rasanya rentetan kisah seperti itu hanya ada dalam fiksi semata. Oh, ayolah! Ini dunia nyata. Jika ada, maka keajaiban yang menciptakan. Yah, namun tak bisa dipungkiri memang hal itu bisa sangat terjadi, mengingat seorang idola pun manusia biasa, bukan seorang dewa.
"Hei, malam ini aku akan menginap di rumahmu untuk memastikan kau tak kenapa-kenapa!" seru Naeun berinisiatif.
Lantas Jira tersentak, kelereng dupleksnya mengarah ke langit mencoba mengingat sesuatu hal. Hingga akhirnya sebuah lampu berada di atas kepalanya bagai film animasi. "Tidak, tidak! Aku benaran tidak apa-apa, sungguh!" ujarnya meyakinkan. "Malam ini aku akan mengerjakan skripsiku. Aku butuh suasana yang damai."
"Jadi, aku terlalu ribut, begitu?" sergah Naeun.
"Bukan begitu!" Sial, rasanya serba salah untuk berkelit pada sahabatnya satu ini. "Kau harus memahamiku, aku—ah, tidak. Maksudku, kita ingin segera lulus bukan? Maka, ayolah kau pun berusaha agar bisa wisuda bersama denganku. Bukankah itu keinginan kita?"
Tatapannya memelas, genggamannya mengerat pada sahabatnya berharap Naeun akhirnya luluh.
"Baiklah, baiklah, memang benar katamu. Dan aku sangat terharu," ujar Naeun pasrah pada akhirnya. "Aku pun akan segera menyelesaikan skripsi sialan itu demi wisuda bersama denganmu."
Akhirnya binaran matanya berpendar. Kini seakan-akan jiwa mereka tertukar, Jira yang memeluk kelewat erat tubuh Naeun, sementara Naeun yang risi dengan tindakan antusias Jira. Dulu biasanya sebaliknya.
"I'm so thankful, darling. I love you my bestie."
Ya, begitu pun dengan kalimat yang barusan dilontarkannya, biasanya keluar dari ceruk bibir Naeun yang selalu dipoles gincu merah.
***
Pada akhirnya Jira membuktikan ucapannya pada sahabatnya sore tadi, berkutat dengan layar laptop menyusun setiap rangkaian skripsi yang memang benar kata Naeun, menyebalkan. Bahkan presensi di sampingnya saja sudah ia lupakan, seolah-olah menganggap pria Choi tak ada. Janji nonton bersama pun rasanya keliru jika hanya Yeonjun saja yang menikmati alur film yang diputar di layar televisi. Salah satu alasan inilah yang membuat Jira menolak antusiasme sahabatnya yang hendak menginap di apartemennya malam ini.
Merasa diabaikan, Yeonjun pada akhirnya mengusik gadisnya dengan menaruh dagunya di bahu Jira yang perhatiannya tengah terfokus. Sontak ia pun tersentak akibat tindakannya yang tiba-tiba.
"Kau masih lama?" tanya Yeonjun merajuk, tanpa sengaja lengkungan garis bibir ke bawahnya membuat Jira gemas dalam hati.
"Mungkin sebentar lagi," sahutnya tanpa mengalihkan atensinya.
Yeonjun mendengus. "Memangnya kau fokus di tengah kebisingan seperti ini?"
Sebenarnya tanpa ditanya pun ia tahu gadis itu fokus kendati di tengah audio dari film yang terputar dengan volume sedang. Biasanya mayoritas takkan fokus dengan pekerjaannya di tengah suara bising, termasuk Yeonjun. Namun, gadisnya kini terlampau fokus.
"Aku harus segera lulus, Yeonjun-ah."
Kini senyuman bangga mengulas paras rupawan Yeonjun seraya menjauhkan diri dari gadisnya. Lengannya terulur mengacak surai sang gadis. "I'm proud of you, baby. Fighting!"
Semburat rona merah memoles kedua pipinya, ia benar-benar tak bisa lagi menoleh pada sosok di sampingnya. Kendati atensinya masih berada pada layar laptop, namun sedikit oleng akan ucapan manis prianya yang piawai dalam hal flirting sebagaimana dilakukannya kepada para penggemarnya. Namun, tak bisa dipungkiri ia berhasil mendorongnya hingga rasanya mengerjakannya agak lebih cepat. Mungkinkah ini kekuatan cinta seperti yang selalu ia gembor-gemborkan di dalam naskah novel yang selalu ia tulis? Entahlah.
Benar memang, dalam waktu beberapa menit setelah dorongan afeksi dari pria Choi, akhirnya ia menyelesaikan beberapa sub-bab. Lekas ia menutup layar laptopnya, meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku. Lantas ia bergabung dengan Yeonjun yang kembali fokus pada adegan film yang terputar. Tanpa rasa canggung ia menyandarkan kepalanya di bahu lebar prianya, mencari tempat ternyaman di sana seraya memeluk bantal empuk berkarakter kelinci pink BT21 favoritnya yang mana itu adalah pemberian dari sang empunya bahu.
Begitu pun Yeonjun menyandarkan kepalanya bertumpu di kepala mungil sang gadis. Mereka menikmati momentum yang sangat langka itu berdua tanpa Bitzy—kucing kesayangannya—yang biasanya selalu menempel pada Yeonjun tatkala mengendus kedatangan pria itu. Sejujurnya, ini kali kedua mereka bertemu setelah beberapa pekan lamanya dari hari pertama mereka resmi menjalin hubungan. Mau bagaimana pun itu semua risiko kesibukan mereka masing-masing.
Alih-alih fokus dengan alur film yang tersaji, ia memulai konversasi di tengah fokusnya Yeonjun. Sebab, ia terlalu bosan melihat film yang sudah ia tonton sejak pertama dirilis bersama Naeun, sementara Yeonjun bersikukuh ingin menontonnya sebab waktu yang sibuk membuatnya tak sempat.
"Yeonjun-ah, apa boleh aku menceritakan hubungan kita pada sahabatku, Naeun?"
"Silakan saja, itu hakmu," jawabnya tanpa mengalihkan atensinya dari layar persegi panjang di sana. Helaan napas terdengar dari bilah bibir Jira membuat Yeonjun berinisiatif menenangkan gadisnya, tentu saja itu tugasnya secara tak langsung. "Beri tahu saja sejujurnya, jika ia percaya akan ceritamu, maka ia benar-benar sahabatmu. Jika tidak, ya, sebaliknya ia bukan benar-benar sahabatmu."
"Kejujuran lebih baik disampaikan oleh dirimu sendiri daripada mengetahuinya dari orang lain. Itu akan membuat hatinya terluka, ia akan berspekulasi bahwa kau tak menganggap dirinya berarti bagimu, Ji," lanjutnya.
"Tapi, bukankah kita pun sebenarnya sembunyi-sembunyi dari media juga publik? Terlebih lagi, penggemarmu," timpalnya.
Memang benar adanya apa yang dikatakan Jira, benar-benar tak sinkron dengan apa yang barusan diucapkannya.
Yeonjun tertawa kecut. "Kau benar, aku pun tak mengelak. Namun, paling tidak aku tak menyembunyikannya dari para member yang sudah kuanggap sebagai keluargaku."
"Ah, bukannya penggemarku tak berarti, justru mereka sangat berarti bagiku. Namun, kau pun belum siap menghadapi itu bukan? Terlepas kau sepertinya paranoid dengan media serta publik," lanjutnya lagi meralat pernyataan sebelumya.
Sebagian beban di hati seketika ringan begitu saja setelah ketenangan yang diciptakan oleh sisi lain pria Choi, terlepas dari keusilannya selama ini yang tampaknya tak bisa serius. Namun, kini akhirnya ia bisa melihat sisi lain dari dirinya. Sisi tegas dan bijak sesuai dengan usianya yang lebih tua darinya. Pria itu bukan hanya bisa membuatnya dongkol, melainkan bisa membuatnya merasakan perasaan lainnya secara bersamaan. Hatinya yang hampa seketika terisi begitu saja. Terlebih lagi, rasa nyaman yang selalu menyambanginya.
"Ji ...."
Tak ada sahutan dari labium tipis sang gadis. Yeonjun mengintip keadaan gadisnya yang suaranya kian lenyap di tengah volume audio film. Hingga dengkuran halus menggantikannya. Yeonjun tertawa geli tatkala menemukan gadisnya sudah berada di alam bawah sadar, meninggalkannya terlebih dulu ke dunia mimpi indah yang tengah ia kunjungi. Tak apa, asalkan ia tak betul-betul meninggalkannya sebab kehadiran Jira dalam hidupnya menambah warna lain. Terlebih lagi ia merupakan pereda penat di tengah kesibukannya sebagai seorang idola, selain para penggemarnya.
Hei, seorang idola pun seorang manusia biasa yang butuh afeksi dari lawan jenis. Dia pun tak sempurna, ia bahkan sebenarnya merasa dirinya cukup tak mampu membahagiakan pasangannya sendiri sebab waktu yang tak cukup. Beruntung jika pasangan memahaminya, justru ialah seseorang yang tak pantas ia lepas.
Kecupan singkat mendarat di dahi sang gadis, lalu Yeonjun lanjut menyaksikan adegan film yang lekas berujung kata tamat. Lantas dirinya pun ikut terlelap menyusul gadisnya yang sudah jauh di kedamaiannya.
Namun, baru hitungan detik ia memejamkan mata, kelopaknya tersingkap tatkala resonansi singkat dari notifikasi ponsel. Dia mencoba memicingkan matanya pada layar ponsel yang tiba-tiba menyala.
Choi Beomgyu.
Nama pengirim pesan tertera di atas layar status bar. Dia meyakinkan bahwa ponsel itu bukan miliknya, melainkan milik sang gadis yang kini terlelap di pundaknya. Lantas pikiran aneh segera ia lenyapkan dari benaknya. Toh, Jira pun adalah teman Beomgyu sekarang, seperti anggota lainnya. Bagaimana bisa ia meragukan orang terdekatnya sendiri?
***
Euheuy deuh, makin manis aja Yeonjun ini ya🌚
Heh, jan lupa ya pencet bintang! PENCET BINTANG! Sebab apalah arti bintang di ujung cerita bilamana tak dipencet. #apasi gaje ya maksa
Jan lupa berkicau juga di kolom komentar ya, sayang❤️
—ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top