Chapter 17
Kaki langit kian gulita, sang rembulan mengambil alih kuasa sang mentari. Begitu pun sebaliknya, ia harus mengemban tugas di belahan bumi lain, tanpa kata lelah. Dengan berat hati pun sang mentari harus berpamitan pada sang rembulan tanpa adanya pertemuan. Nadir rasanya untuk mereka bertemu. Sekalinya berada di titik temu, maka saat itulah gerhana terjadi. Butuh waktu yang panjang untuk mereka akhirnya bertemu, itu pun terlampau singkat. Dalam arti lain, mereka tak bisa bersama lebih lama sebab bukan hanya menggemparkan dunia, melainkan merugikan orang banyak.
Lupakan soal rembulan dan mentari yang tak bisa bersama. Kata 'tidak bisa bersama' mampu membuat Jira penat. Pasalnya, kata yang pernah ia lontarkan entah dari hati ataupun tidak kini menjadi bumerang baginya hingga kini benaknya amat sengkarut. Dinginnya angin musim semi pun lupa ia rasakan bagaimana tusukan suhu dinginnya mengenai jaringan kulit yang mampu meremangkan bulu kuduk.
Terlalu larut dalam pikiran hingga ia tak sadar telah sampai di lorong apartemennya. Tubuhnya stagnan, ia tak mampu lagi mengayunkan tungkainya dari pijakan tatkala netranya menemukan presensi seseorang yang belum ingin ia temui. Ayolah, hanya butuh beberapa langkah lagi untuk mencapai daun pintu lalu masuk ke dalam gulungan selimut di dalam kamar. Namun, keinginannya lenyap sudah.
Dia tak perlu memicingkan mata demi memastikan siapa pria jangkung yang kini tengah berdiri menyandar pada pintu apartemen. Sudah ia pastikan pria Choi yang selalu bertandang tanpa diundang. Jira benar-benar tak memprediksi kedatangannya, ia belum menyiapkan apapun, termasuk hatinya. Namun, ditelisik lebih lama sekiranya pria itu tak berada dalam kesadaran penuh hingga Jira bisa memberanikan diri mendekati entitas yang berada tak jauh dari pijakan.
Benar saja, bau alkohol menyeruak ke dalam penghidu, membenarkan asumsinya. Lekas ia membawa masuk tubuh jangkung yang sudah dipastikan lebih berat darinya sebab massa otot yang terlampau jauh berbeda. Dengan susah payah akhirnya ia mengambrukkan daksa yang ia rasa terlalu berat dipapah olehnya ke sofa yang ada sebelum mereka terpergok lensa wartawan. Entahlah, ia terlalu paranoid dengan para wartawan yang ada di sekitar para idola. Karena itulah salah satu alasan penolakan yang terlontar dari bilah bibirnya pada pria di hadapannya ini pekan lalu.
Lengannya terulur membuka sepatu yang dikenakan sang pria. Sial sekali, skenario yang ia lakukan seperti seorang istri tengah membukakan sepatu sang suami tatkala datang kerja dalam keadaan mabuk. Segera ia menggelengkan kepalanya, melenyapkan pikiran aneh yang menyambanginya. Bisa-bisanya ia berimajinasi seperti itu, mungkin benar jika karsa seorang penulis novel romansa ada pada dirinya.
Tanpa tahu diri jemarinya membenarkan surai acak yang sudah menutupi dahi Yeonjun. Manik cokelatnya menulusuri setiap garis tegas paras rupawan pria Choi yang tengah terlelap.
Entah skenario apa lagi yang Tuhan tulis untuknya. Dalam sehari ia telah bertemu para member TXT satu persatu di tempat yang berbeda dengan suasana rikuh yang sama. Namun, Taehyun dan Hueningkai masuk daftar pengecualian. Jangan bilang jika hari ini pun ia akan bertemu dua di antaranya. Rasanya mustahil, mengingat malam pun sudah larut. Apakah sebegitu rindunya mereka padanya? Hei, ayolah, mana mungkin. Terlebih lagi yang ia temui adalah tiga orang pemilik marga Choi. Apakah hari ini bertepatan dengan hari lahirnya klan Choi?
"Ji ...."
Seketika dirinya tersentak mendapati racauan dari bilah bibir ranum yang bahkan kelopak mata sang empunya pun tidak menyingkap. Jira tak menyahut, tahu bahwa panggilannya dilontarkan dari seseorang yang tidak sepenuhnya sadar.
"Aku ... sungguh menyukaimu."
Jira berusaha memejamkan mata, kalimat itu kembali menyapa rungunya. Degupan jantungnya pun berpacu lebih cepat lagi. Detakannya memang begitu cepat tatkala ia berada di dekat Yeonjun, semakin cepat dengan segala tindakan manis juga lontaran kalimat seperti tadi rasanya ada sesuatu yang ingin meledak di rongga dadanya. Ia benar-benar tak sanggup menahan semua ini juga. Namun, ada sesuatu kekangan yang mengungkunginya hingga ia tak boleh keluar dari perifer.
Daksanya ia benamkan dalam gulungan selimut tebal, mencoba menata kembali pikiran juga hatinya yang semrawut. Pun bagaimana caranya menormalkan kembali jantungnya yang terus bertalu menjadi irama dinamis. Sialnya, kali ini kata insomnia tercetak tebal dalam kamusnya.
***
Seakan deja vu bagi kedua insan berbeda lawan jenis yang kini berhadapan kikuk di meja pantri dengan beberapa hidangan panas yang sudah tersaji. Perut mereka pun layaknya sudah meraung meminta asupan pada pagi hari. Lantas mereka menjejali mulutnya dengan penuh, hanya terdengar dentingan alat makan yang saling beradu juga kunyahan cepat berusaha ingin segara keluar dari suasana rikuh yang menyelimuti.
Tindakan gegabah terjadi pada Jira tatkala makanannya salah masuk jalur. Dengan sigap Yeonjun menuangkan segelas air demi meredakan batuknya akibat tersedak. Lantas tanpa pikir panjang, lengannya meraih bantuannya hingga air dalam gelas pun tandas.
"Hati-hati jika kau makan, Ji. Kau, kan, bukan anak kecil," omelnya dengan segurat rasa cemas.
"Terima kasih," sahutnya tanpa ketulusan tersirat seraya mendengkus kesal. Dia sadar akhirnya Yeonjun kembali pada sikap menyebalkannya lagi. Meskipun layaknya seekor anjing dan kucing tak lama lagi akan segera tercipta, akan tetapi itu lebih baik daripada berada di suasana rikuh bagai orang asing. Sungguh, ia tak tahan.
"Jika kau tak tulus, jangan bilang terima kasih," sungut Yeonjun dengan mulut yang penuh.
"Sudah kubilang jangan berbicara dengan mulut penuh, bagaimana jika kunyahanmu akan berceceran ke mana-mana."
"Aku bukan anak kecil sepertimu!"
"Tidak apa-apa jika aku disebut anak kecil, daripada kau sudah jadi seorang paman."
"Ya! Aku hanya lebih tua dua tahun darimu, mana mungkin aku sudah jadi seorang paman," timpalnya tak terima. "Dan kenapa kau tak pernah menyisipkan panggilan oppa seperti pada Soobin yang lebih muda dariku?"
"Aku tak sudi," cibirnya.
Bukankah benar jika adu mulut akhirnya terjadi kendati di tengah sarapan. Juga rasanya memang terlalu pagi untuk berdebat. Bisa-bisa para tetangga menggedor-gedor pintu, lalu mereka didakwa sekian lamanya sebagaimana di peradilan atau tidak, mereka disembur celotehan panjang dengan cipratan saliva menghujani wajahnya. Jira tak menginginkan itu, maka perdebatan pun segera terhenti, melanjutkan sarapan yang terabaikan.
Namun, ternyata suasana hening menyelimuti kembali. Ia tak menyukai jika harus berada di atmosfer suram macam ini. Ceruk bibirnya menyingkap memulai pembicaraan. Sepertinya hari ini ia siap menyelesaikan segala keruwetan selama ini yang selalu menghalangi segala aktivitasnya. Ya, sebuah konversasi dengan topik yang telah ia jadikan sebagai wacana harus segera diciptakan.
"Yeonjun-ah ...."
Dupleks alis kembarnya terangkat merespons panggilan yang menyapa rungu. Sebab jika ia menyahut dengan mulutnya, mungkin omelan yang sama tatkala ia menyantap hidangan akan terlontar dari ceruk bibir gadis yang kini ia tatap.
"Atas jawaban pekan lalu, aku minta maaf. Dan setelah kau memberi waktu padaku ...," Jira menggantungkan ucapannya. Sepertinya kebiasaan menggantungkan kalimat seperti Beomgyu telah merasukinya. "... Mungkin kita bisa mencobanya," lanjutnya.
Kali ini Yeonjun yang tersedak akibat ulah gadis di depannya yang tiba-tiba meluncurkan panah afeksi ke rongga hatinya. Sial, ia harus memastikan lebih jelas, salah-salah rungunya keliru dan logikanya salah berspekulasi.
"Maaf, aku ingin kau mengulangi ucapanmu, maksudmu apa itu?" tanya Yeonjun berhati-hati.
Jira merotasikan kelereng dupleksnya culas, ia benar-benar tak ingin mengatakannya secara gamblang. Dia menggigit bibirnya gugup. Lantas dengan sekali tarikan napas juga dengan mata memejam, ia bisa melontarkannya secara gamblang kendati pipinya merona.
"Aku menerimamu."
Sinkron bibir Yeonjum terkulum, berusaha menahan senyumannya. "Memangnya aku memberikanmu apa hingga kau menerima sesuatu dariku? Apakah aku pernah berkata sesuatu?" godanya.
Sorot mata Jira berubah dongkol, bisa-bisanya ia melupakan malam itu. Sementara dirinya harus berada dalam tekanan batin setelah sepekan lamanya akibat ulah pria yang kini menganggap seperti tak ada apa-apa. Lantas apa yang ia racaukan semalam? Kendati memang di bawah pengaruh alkohol yang konon segala ucapan selalu terlontar jujur.
Segera ia beranjak dari duduknya, membereskan alat makan yang telah digunakannya menuju wastafel. "Sudahlah, lupakan."
Namun, lengannya sontak tertarik oleh lengan kokoh yang lain. Kini sang empu malah menatapnya intens dan senyuman usilnya terpatri. Antara kesal dan gugup menyatu sengkarut, lantas apa yang harus ia lakukan dalam suasana seperti ini?
"Kau marah?" tanya Yeonjun. "Hei, mana mungkin aku melupakan semua itu, apalagi perasaanku padamu. Aku tak bisa menghapusnya dalam sekejap."
Jira menelisik manik jelaga Yeonjun, sekiranya ada kebohongan yang tersirat di sana. Namun, nihil. Pria itu memang selalu tulus soal perasaan. Salivanya tercekat, juga lidahnya kelu untuk menyahut.
"Aku hanya ingin memastikan kenapa kau mau menerimaku? Aku tak ingin ada keterpaksaan dari hubungan ini. Rasanya itu akan menjadi sebuah kebohongan besar yang dikemas secara manis yang akan menghancurkan pada akhirnya, Ji," lanjutnya.
"Percayalah, aku—"
Sebelum Jira menyelesaikan ucapannya, ia lebih dulu dibungkam oleh bibir ranum yang secara tiba-tiba meraup labium tipisnya. Benar, Yeonjun tak butuh penjelasan lebih panjang darinya lagi sebab ia percaya kini gadis yang telah ia klaim sebagai gadisnya tak mungkin melakukan hal seperti itu setelah jeda waktu lumayan lama untuk memberikan sebuah jawaban.
Perlahan Jira memejamkan kelopak matanya, larut dalam atmosfer penuh afeksi yang Yeonjun ciptakan. Terlepas dari resonansi degupan jantung yang berpacu dinamis. Hampa yang dulu ia rasakan tiba-tiba terisi begitu saja tatkala pria pemilik nama Choi Yeonjun bertandang di kehidupannya. Sehingga ia lupa bahwa sebuah janji kecil yang selalu ia jaga akan memberi retakan kecil dan membawanya pada ambang kebimbangan.
***
Ekhem🌚🌚🌚🌚🌚
I won't say anything, c ya fellas🌚
—ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top