Chapter 15

Mobil hitam metalik melaju membelah jalanan yang kian lengang sebab angka jarum jam pun sudah lewat angka 12. Bahkan bukan lagi bisa disebut tengah malam, lebih condong menuju pagi buta sebab hari pun sudah berganti. Hanya beberapa kendaraan yang bisa dihitung dengan jari kendati memang di sebuah kota elit yang beberapa orang masih sibuk dengan urusan malam mereka.

Sementara di dalam mobil hitam metalik tak ada sepatah kata pun yang keluar dari ceruk bibir kedua insan itu yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hanya lantunan musik klasik sebagai pemecah kesunyian. Jira membuang muka menatap keluar jendela samping, sementara Yeonjun fokus dengan jalanan sebab ia tengah mengemudi kendati tak bisa dipungkiri pikirannya pun tengah kalut. Sorot matanya menatap tajam tak seperti biasanya yang selalu menyorot dengan tatapan usil, begitu pun sikapnya terkesan dingin. Rasanya bukan seperti Choi Yeonjun, ia seperti orang asing.

Jira berpikir hal demikian, sebenarnya ia merasa canggung. Ingin rasanya memecah suasana kaku yang menyelimuti mereka. Namun, ia kini bahkan tak berani menatap manik jelaga pria Choi yang berubah garang selepas memutuskan pulang dari taman bermain tadi. Pikiran Jira pun kalut, kendati memang ia bukan orang yang terlalu peduli, akan tetapi ia rasanya serba salah menghadapi pria yang berada di kursi pengemudi itu. Apakah ia melakukan kesalahan padanya hingga membuatnya marah? Ya, kiranya cukup kentara jika pria itu seperti tengah menahan amarah.

Dia benar-benar tak menyukai situasi seperti ini, jujur saja ia tak menyukai Yeonjun yang pendiam. Rasanya Yeonjun yang selalu membuatnya kesal lebih baik. Jira bukanlah tipe jika didiamkan maka ikut diam, ia tipe orang yang terlalu berisik sejujurnya. Dengan sekali hentakan napas berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk memecah keheningan.

"Yeonjun-ah," sapanya kelewat lembut dengan nada bergetar. Namun, hanya dehaman sebagai respon tanpa menoleh ke arahnya sedikit pun. "Kau kenapa? Apakah aku membuat kesalahan hingga membuatmu marah?"

"Tidak."

"Choi Yeonjun..."

Dehaman kembali menjadi respons tanpa menyahut dengan kata sedikit pun. Membuat Jira meringis kesal, ia menggigit bibir bawahnya berusaha menahan segala emosi menghadapi sikap pria yang bengalnya bukan main. Dia bukanlah tipikal yang mudah putus asa, jujur saja ia takut kehilangan salah satu temannya itu selain Naeun. Benar sekali, tanpa perlu menyuarakan ke seluruh dunia pun ia menganggap Yeonjun sebagai temannya kendati umur mereka terpaut dua tahun.

"Setidaknya lihat aku sekilas, Choi," titah Jira dengan nada yang agak meninggi.

"Jika aku menatapmu, bukan hanya aku yang celaka, tapi juga kau, Ji," tukas Yeonjun.

Benar adanya dengan apa yang diucapkan. Apakah Jira begitu bodoh tak bisa memilih padanan kata yang cocok untuk meluluhkan pria Choi? Cukup, rasanya pening. Hingga ia kembali bungkam seraya mengeratkan dekapannya pada bantal empuk karakter kelinci BT21.

Seketika Yeonjun membanting setir secara mendadak untuk menepi hingga menimbulkan suara decitan ban bergesekan dengan aspal.

"Ya! Kau gila?!" pekik Jira tatkala tubuhnya nyaris ke depan jika tak mengenakan seatbelt dengan benar.

"Ya, benar. Aku gila. Rasanya aku hampir gila harus menahan semua perasaanku ini, dan semua ini karena kau, Ji," kata Yeonjun tegas dengan nada yang cukup meninggi. Jira hanya bisa merapatkan bibirnya, terlalu terkejut dengan apa yang dilontarkan pria Choi. Helaan napas berembus dari mulutnya sebelum melontarkan satu hentakan ucapan yang cukup bisa membuat gadis itu terkejut lagi. "Aku menyukaimu, Ji."

Sepasang manik kedua insan itu saling menyorot, Jira yang mencari kebohongan dari sorot mata Yeonjun, sementara Yeonjun menatapnya intens mencoba meyakinkan. Benar, tak ada kebohongan di dalam sana kendati ia berusaha meyakinkan bahwa semua itu hanya omong kosong belaka. Jantung mereka berpacu lebih cepat menimbulkan suara yang begitu bising terlepas dari suara alunan musik dari stereo mobil. Rasanya pasokan oksigen di dalam mobil pun semenjana habis, bahkan udara dingin pun hilang seketika hingga tak perlu lagi menyalakan pemanas ruangan.

Jira mencoba mengatur napasnya, berusaha tak terjadi apa-apa kendati nyatanya bohong. Dirinya mengalihkan pandangan menuju ke depan seraya tergelak remeh. "Aku tak yakin itu rasa suka. Lagi pula jika pun kita bersama, rasanya aku tidak bisa."

"Aku sudah meyakinkannya, Ji. Aku menyukaimu."

"Ini terlalu cepat, Choi. Kita bahkan baru kenal beberapa bulan saja," elaknya.

"Menyukai seseorang tak diukur seberapa lama kita mengenal." Entah Yeonjun harus berkata apa lagi selain kalimat itu yang terlontar dari ceruk bibirnya. Namun, ia benar-benar tidak sedang mengusili gadis itu, ia takkan pernah mempermainkan perasaan.

"Maaf, aku tak bisa menerima perasaanmu, Choi," pungkasnya.

Kau tahu rasanya bagaimana ditolak? Menyakitkan rasanya bagi seorang Choi Yeonjun. Tidak, mungkin berlaku bagi semua orang. Dia tak menyalahkan usahanya yang sia-sia. Lagi pula, ia bukanlah tipikal orang yang putus asa. Namun, bukan pula tipikal yang memaksa. Selama perjalanan pun hening, beruntungnya jarak dari mereka menepi menuju apartemen Jira tak begitu jauh hingga membutuhkan waktu beberapa menit.

"Ji, saat ini aku tak bisa menerima penolakan darimu begitu saja. Maka, bisakah kau beri aku kesempatan dan mungkin kau perlu memikirkannya matang-matang?" pinta Yeonjun sebelum Jira membuka pintu mobil hendak keluar dari suasana canggung.

"Terima kasih untuk hari ini, Choi Yeonjun." Namun, hanya kalimat itu yang terlontar. Bukan balasan dari ucapan Yeonjun. Ya, ia mencoba mengabaikannya.

Begitu sepeninggalannya, Yeonjun hanya menatap kosong ke arah di mana punggung kecil gadis itu kian lenyap dari pandangan. Begitu bodohnya seorang Choi Yeonjun ditolak begitu saja. Tidak, terlalu cepat untuk sebuah penolakan. Dia bersikukuh menunggu jawaban yang pasti kendati memang ternyata nanti harus ditolak lagi pun, maka saat itu pula ia akan berlapang dada atas jawabannya.

***

Setelah kejadian satu pekan lalu yang membuat benaknya harus penuh dengan siluet memori pada malam itu. Rasanya setiap melalui harinya, Jira harus menahan beban yang ada. Maka dari itu, demi melupakan segala hal yang mengganjal dalam dirinya, mungkin dengan menyibukkan diri di kafe buku ampuh mengusir semua hal yang berkaitan dengan Yeonjun.

Jemari lentiknya sibuk membuka setiap helai halaman buku, manik matanya pun mengikuti setiap kata yang tersusun rapi di setiap paragraf. Terlalu larut dalam imajinasi, tak membuatnya tersadar akan kehadiran seseorang di sampingnya.

"Nona, bolehkah aku duduk di sini?"

"Iya, silaka—Choi Beomgyu?" ia tersentak tatkala menoleh pada sumber suara. Ia mendapati pria pemilik suara berat dengan sedikit dialek Daegu-nya yang kentara.

Beomgyu mengulas guratan tipis di wajahnya begitu menatap sosok jelita yang masih termangu. Gadis itu mungkin butuh beberapa tamparan untuk menyadarkannya, tetapi tentu saja Beomgyu menampik segala kemungkinan itu. Dia takkan pernah melakukan tindakan bodoh.

"Kau—kenapa kau ada di sini?"

"Kenapa? Tidak boleh?" tanyanya balik, lebih tepatnya ia tengah melayangkan sarkasme. "Aku juga manusia biasa, terlepas memang aku seorang idola. Aku butuh kebebasan."

"Aku tahu, hanya saja—"

"Kenapa aku bisa menemukanmu?" tukas Beomgyu dengan anggukan samar dari gadis itu. "Aku juga suka datang ke sini. Kau saja yang tak menyadarinya, bahkan kita pernah bertatap muka."

Jira memicingkan matanya berusaha mengingat apa yang dikatakan pria yang sebaya dengannya. Namun, rasanya ia belum pernah bertegur sapa dengannya. Hingga Beomgyu menyudahi topik tersebut sebagai konversasi mereka.

"Kau sedang tak ada jadwal?"

"Tidak, akhir pekan, kan, hari libur kami."

Jawabannya mampu menautkan kedua alis Jira. Bukankah hari ini sama dengan hari sepekan yang lalu di mana mereka berempat tak bisa datang ke taman bermain hingga menyisakan Yeonjun dan dirinya menghabiskan waktu hanya berdua? Itu pun sialnya harus berujung insiden yang masih membuat pikirannya kalut sampai saat ini.

"Minggu kemarin pun?" tanya Jira memastikan.

"Ya, minggu kemarin pun kami tak ada jadwal. Sebenarnya, kami bisa saja ada jadwal pada hari itu yang tentu saja diinformasikan dari jauh hari oleh manajer kami," ralatnya membenarkan. "Kenapa?"

"Ah, tidak." Hanya kalimat singkat yang sanggup ia tuturkan kendati ingin menegaskan apa yang sebenarnya terjadi pekan lalu.

Sial, apakah Yeonjun membohonginya? Entahlah, ia sudah terlalu pening memikirkan segala tindakan juga hal apapun yang bersangkutan dengan pria Choi itu. Sebenarnya, ia bersyukur para member pun tak memintanya agar mengunjungi mereka. Jika hal itu terjadi dan ia mengiyakan, entah apa yang harus ia perbuat di depan muka Yeonjun. Pasalnya, ia pun belum siap memberi jawaban kendati pekan lalu ia tak mengindahkan permintaannya secara langsung. Di lain sisi, sebenarnya ia kini tengah menuruti permintaannya hingga benaknya kini selalu berkecamuk. Juga kemana-mana dengan berat hati harus membawa perasaan yang bimbang.

"Oh, iya, aku selalu penasaran, sejak kapan kau mengenal Yeonjun Hyung? Apakah kalian sedekat itu hingga ia berani bertamu ke rumahmu? Bukankah tak wajar seorang pria datang ke rumah seorang gadis yang hidup sendiri?" cecarnya tiba-tiba.

"Ya?"

Sial, apa yang harus ia katakan? Tak mungkin, 'kan ia berkata jujur jika mereka sebenarnya baru kenal beberapa bulan lalu dan awal perkenalan mereka pun rasanya tak lazim seperti orang kebanyakan? Kenapa juga cecaran dari mulut bawel Beomgyu sukses membuat lidahnya kelu? Sungguh, ia tak lihai berkelit. Tolonglah, siapa pun tarik dirinya menjauh dari situasi yang memojokkan dirinya saat ini. Sementara mata Beomgyu berbinar menunggu jawaban dari ceruk bibir gadis Ahn.

Hendak menyingkap bilah bibirnya yang juga Beomgyu bertindak demikian. Hingga berterima kasihlah pada benda pipihnya yang tiba-tiba bergetar di atas meja yang disimpan berdampingan dengan minuman juga piring kosong bekas kue yang sudah tandas pergi masuk ke dalam perutnya. Layar ponselnya menyala menampilkan sebuah notifikasi pesan masuk. Lekas ia meraihnya demi menghindari runtutan pertanyaan Beomgyu.

Choi Soobin Oppa :
Ji, hari ini kau ada waktu luang? Bisakah kau temui aku di kafe yang ada di bawah gedung agensi kami.

Lalu getaran kembali menandakan pesan masuk lagi yang dikirim oleh pengirim yang sama.

Tenanglah, hanya ada aku. Kita butuh bicara empat mata. Kau bisa, 'kan?

Ayolah, princess♡

Kuharap tak ada penolakan. Aku menunggumu^^

Setidaknya ada empat pesan masuk dengan pengirim yang sama. Segurat garis tipis melengkung terpatri di wajahnya. Saat menemui sang pengirim ia akan berterima kasih padanya karena telah menarik dirinya dari situasi tegang saat ini. Tentu saja, ia takkan menolak hingga ia bisa mencari alasan lain pergi dari sana.

***

Gimana? Makin garing ceritanya? Makin bosen? Terlepas dari semua itu, entah aku yang ga kreatif ato kepenulisanku keknya makin sini makin buruk deh. Absurd sih dah pasti. Yaudalaa, semoga kalian ga bosen ya Moaaaaㅠㅠ

Gimme some loves n thx uuu❤️

—luv, ara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top