21. Because of you

Abyan's POV.

Akhirnya rindu yang selama ini menyiksaku telah terobati juga. Aku telah bertemu kembali dengan wanita tercintaku, Keiza. Aku tak bisa mendeskripsikan perasaanku saat ini. Sungguh, aku sangat merasa bahagia bisa bertemu dengan kekasihku kembali. Namun, kebahagian itu tak berlangsung lama. Keiza tiba - tiba saja jatuh pingsan dihadapanku. Rasa bahagia yang aku rasakan tiba - tiba saja lenyap dan berganti rasa khawatir yang luar biasa. Wajah Keiza memucat, tangan dan kakinya dingin seketika. Melihat wanita yang aku cintai luruh terjatuh dan tergeletak lemah tak berdaya didepanku, membuat aliran darahku seakan berhenti.

Rasanya tubuhku masih merasakan lemas. Melihat Keiza tergolek lemah tak berdaya didepanku. Bayangan wajah Keiza yang pucat pasi membuat rasa takutku menjalar disekujur tubuhku. Aku terus menerus mengingat perkataan dokter yang menangani Keiza. Asam lambung Keiza tinggi, tekanan darahnya sangat rendah. Hal itu yang membuat Keiza lemas, pusing dan tak sadarkan diri. Dan ini adalah hal yang baru aku ketahui dari wanita tercintaku. Bahwa Keiza memiliki riwayat kesehatan yang sama dengan Umi.

Umi, mengingatnya membuat hatiku nyeri kembali. Aku tak pernah menyalahkan Umi, apalagi membencinya. Bagaimanapun Umi adalah ibuku, orang yang telah mempertaruhkan nyawanya untukku. Aku pun tahu, umi hanya ingin memberikan yang terbaik untukku tanpa tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.

Aku berjalan gontai setelah mengurusi segala administrasi rawat inap Keiza. Melewati koridor rumah sakit yang membuatku merasa jengah. Entah apa yang orang - orang perhatikan pada diriku ini. Terlebih tatapan para perawat muda yang membuatku risih. Sayup - sayup telingaku mendengar ocehan beo mereka.

"Oh my God. Ganteng parah ini orang."

"Ya kali dia orang, kayaknya malaikat."

"Hush. Ati2 tuh mulut! Merinding disco nih."

"Zayn Malik Indonesia."

"Bukan. Aliando Syarief ini."

Sungguh menyebalkan. Bukan kali pertama aku mendengar ocehan seperti ini. Tapi rasanya tidak tepat saja mereka seperti itu. Ku percepat langkahku menuju ruangan tempat Keiza dirawat inap. Aku sudah tak sabar untuk segera enyah dari hadapan para makhluk yang membuatku risih itu.

Ku buka pintu ruang rawat inap VVIP Keiza dengan perlahan. Bau yang aku benci mulai menyeruak dihidungku. Sebersih dan sekeren apapun ruangan ini tetap saja aku membencinya. Semua demi Keiza. Ku hentikan langkahku disamping ranjang. Jantungku kembali berdetak tak normal. Degupnya sungguh berantakan. Aku terus memandangi Keiza yang masih memejamkan matanya. Entah sudah berapa lama Keiza tak tidur, kantong matanya menghitam seperti mata panda. Wajahnya masih pucat. Kucium keningnya. Ku genggam tangan kanannya yang terbebas dari jarum infus. Kemudian aku cium punggung tangannya. Ingin rasanya aku menggantikan posisi Keiza saat ini. Aku terduduk lemah ditempat duduk disamping ranjang Keiza. Kupejamkan mataku sambil menggenggam tangan mungil Keiza.

Tangan Keiza bergerak perlahan. Ku buka mataku. Ku tatap tangan Keiza yang aku genggam kemudian berganti menatap wajah cantik Keiza yang masih pucat. Mata Keiza mulai terbuka perlahan. Keiza mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru ruangan. Pandangannya terkunci saat mata lentik Keiza melihatku. Aku tersenyum. Keiza memandangku dengan tatapan sendunya.

"Hay sayang... " Ucapku padanya. Kalimat itu sudah lama tak terucap dari bibirku.

Keiza masih memandangku. Dia terdiam. Dia mencoba untuk bangun. Aku membantunya duduk, dengan mengubah posisi ranjang bagian atas terangkat sedikit agar Keiza bisa terduduk dengan nyaman.

"Kamu mau minum?" Tanyaku padanya. Keiza menggeleng pelan.

"Speak up Kei. I miss you so damn!" Teriakku dalam hati.

"Maaf." Satu kata yang keluar dari mulut Keiza. Satu kata yang sukses membuat hatiku mencelos dan membuat Keiza menitikkan air matanya kembali. Shit!

"Cinta itu saling memaafkan, sebelum ada kata maaf." Balasku. Air matanya mengalir. Dengan segera aku menyeka air matanya. Aku tak sanggup melihat wanitaku menangis seperti ini.

"Kamu belum makan kan Kei? Aku suapin ya!" Kataku padanya. Dia menggeleng.

"Jangan buat aku semakin jatuh cinta sama kamu. Sudah cukup hati aku ngerasaain sakit." Ucap Keiza pelan. Aku mengerutkan dahiku. Aku binggung. Apa maksud Keiza?

"Apa??" Tanyaku bingung.

"Aku nggak mau cari masalah lagi. Aku juga nggak mau bikin Umi makin benci sama aku. Aku juga nggak mau buat calon istri kamu salah paham sama aku." Jelasnya padaku. Aku menatapnya tajam. Double shit! Dari mana Keiza tahu soal itu? Apa mungkin Umi yang memberitahunya?? Otakku sudah mengerti kemana arah pembicaraan Keiza.

"Kamu nyerah? Kamu rela biarin aku sama orang lain? Iya?!" Tanyaku kesal. Keiza memandangku. Dia terlihat ketakutan.

"Aku kira kamu bener - bener cinta sama aku Kei. Tapi aku salah." Ucapku.

"Aku minta maaf, kalo selama ini, selama kita berhubungan selalu buat kamu merasa sakit. Aku minta maaf Kei." Lanjutku. Air mata Keiza menetes. Sekuat tenaga aku menahan rasa sesak didadaku.

"Aku nggak akan ganggu kamu lagi. Tapi sebelumnya, aku pengen denger kalo kamu nggak cinta sama aku." Pintaku.

Keiza menggigit bibir bawahnya, kemudian menggeleng pelan. Air matanya mengalir deras. Dia menunduk. Ku angkat dagunya sampai matanya beradu pandang dengan mataku.

"Say it!" Perintahku tegas. Keiza menatapku takut.

"Aa... aku... " Ucapnya terbata - bata. Aku menahan nafasku. Berharap Keiza tak mengucapkan kalimat laknat itu.

"Aaku... aku nggak bisa Bi. Aku nggak bisa. Aku cinta sama kamu." Lanjutnya kembali sambil menangis. Aku langsung memeluknya. Tangisnya pecah. Ku peluk Keiza dengan erat. Kebenamkan wajah Keiza didadaku. Kucium pucuk kepalanya.

"Aku tahu. Jadi jangan pernah biarin aku hidup dengan yang lain. Aku disini karena kamu Kei. Karena kamu." Kataku. Aku melepas pelukanku. Kuseka air matanya.

"Kamu masih ragu sama aku? Apa selama ini sikapku belum bisa menjawab semua keragu - raguanmu?" Tanyaku kembali. Keiza menggeleng. Kutangkup wajahnya dengan kedua tanganku.

"I love you with my unconditional love." Jelasku.

"Aku minta maaf Kei. Aku baru bisa nemuin kamu sekarang. Aku harus nyembuhin kaki aku dulu. Aku juga harus nyelesain semua urusan aku yang lain sebelum aku jemput kamu." Sambungku.

"Aku nggak mungkin ninggalin kamu sayang. Kita udah sejauh ini, dan semua akan sia - sia kalo kita menyerah sekarang." Kataku. Keiza menangis kembali.

"Allah tak pernah menjanjikan bahwa langit itu selalu biru, bunga akan selalu mekar, mentari akan selalu bersinar, tapi ketahuilah bahwa Allah selalu memberi pelangi disetiap badai, senyuman disetiap tetesan air mata, berkah disetiap cobaan, dan jawaban disetiap doa." Ucapku panjang lebar.

"Seperti aku yang tak bisa menjanjikan apapun sama kamu. Aku nggak bisa janji kalo kita akan selalu bersama - sama. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, jangan pernah raguin cinta aku sama kamu Kei. Tetaplah bersamaku apapun yang terjadi, dan aku mohon jangan pernah tinggalin aku lagi." Kataku.

Keiza langsung memelukku. Tangisnya pecah kembali. Aku membalas pelukannya dengan erat. Ku usap - usap punggungnya, mencoba untuk menenangkannya.

Setelah Keiza terlihat tenang, aku melepas pelukanku. Ku bujuk dia agar mau mengisi perutnya sebelum meminum obat. Aku menyuapinya dengan sabar, ternyata Keizaku sangat susah untuk makan saat dia sakit seperti ini. Akhirnya aku bisa melihat senyum manisnya kembali. Dengan kereseanku dan kekonyolanku, aku bisa melihat kembali senyuman yang selama ini aku rindukan. Semoga hanya aku yang selalu menjadi alasannya untuk bisa tersenyum bahagia.

Kulirik jam tanganku. Disana sudah menunjukkan pukul 11 malam waktu Bali. Aku selalu lupa waktu jika sudah bersama wanitaku. Kami bercanda dan mengobrol tentang apapun selama kami berpisah. Kei, kamu benar - benar membuat duniaku jungkir balik sayang.

"Udah malam, bobo ya!" Pintaku sambil mengelus elus pucuk kepalanya. Dia mengangguk.

"Tangan kamu Bi." Ucapnya yang membuatku bingung. Keiza mengangkat tangan kanannya, seperti meminta sesuatu padaku. Aku tersenyum.

"Buat apa sayang?" Tanyaku saat aku mengulurkan tanganku padanya. Dia tersenyum. Kemudian Keiza meraih tanganku, menggenggamnya dengan erat dan memeluknya seperti memeluk bantal guling. Aku tersenyum dan menggeleng gelengkan kepalaku.

"Sleep tight baby..." Bisikku padanya. Kemudian aku cium keningnya. Keiza tersenyum.

"I love you more Bi." Ucap Keiza.

"I love you much more My Keiza." Balasku padanya.

"And I love you much much more my Abyan." Ucapnya kembali. Aku terkekeh.

Dengan segera aku mencium bibirnya dengan lembut agar dia tak mengoceh kembali. Oh Damn! Aku sangat merindukannya. Ku lumat bibir itu perlahan. Keiza membalasnya. Bibir tipis Keiza seperti candu bagiku, selalu membuatku ketagihan. Aku melepasnya sebelum aku lupa diri. Keiza sedang sakit sekarang, aku tak boleh egois. Dia harus banyak istirahat. Keiza memandangku. Aku tersenyum.

"Kamu masih sakit sayang. Sekarang bobo! Aku nggak mau mata kamu jadi mata panda besok." Kataku sedikit meledek. Keiza mengangguk dan tersenyum simpul. Kemudian dia mulai memejamkan matanya.

Keiza menggenggam tanganku dengan erat. Aku kecup keningnya sebelum aku duduk dikursi sebelah ranjang Keiza. Kucari posisi yang nyaman untukku. Aku yakin besok tubuhku akan sakit dan terasa remuk kembali. Dan tanganku akan pegal karena Keiza menjadikan tanganku sebagai bantal guling. Aku tatap wajah polos Keiza saat tertidur. Keiza selalu cantik dalam angle apapun. Hembusan nafas Keiza sudah mulai teratur menandakan dia sudah tertidur. Aku tersenyum. Ku pejamkan mataku. Ku sandarkan kepalaku dikepala kursi. Tak lupa aku berdoa sebelum aku masuk ke alam mimpiku. Berharap bisa bertemu dengan Keiza disana.

***

Keiza's POV.

Aku mengerjapkan mataku perlahan. Mataku langsung terkunci saat melihat lelakiku tertidur nyenyak dikursi sambil terduduk. Posisiku yang tertidur miring kesamping, membuatku langsung bisa melihatnya didepanku saat aku terbangun. Aku seperti lupa dengan tangan kiriku yang telah tertancap oleh jarum infus. Aku tersenyum saat melihat tangan kananku masih menggenggam tangan Abyan.

Ku pandangi wajah tampan lelaki tercintaku yang sedang terlelap itu. Abyan masih terlihat tampan, walau dia terlihat kurus. Wajahnya tirus,rahang kokohnya semakin terlihat jelas diwajah tampannya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah bosan memandangnya. Aku beruntung, sangat beruntung, karena aku telah dicintai oleh seseorang yang sangat mencintaiku.

"Apakah ini cinta yang sesungguhnya? Ketika cinta telah saling menemukan, maka keduanya tidak akan ada waktu dan keinginan untuk mencari yang lainnya." Bathinku.

Abyan mulai bergeliat. Kulepas genggaman tanganku. Dia membuka matanya perlahan. Aku tersenyum. Abyanku bisa terbangun sendiri dari tidurnya. Aku yakin tidurnya tak nyenyak tadi malam. Badannya pasti super pegal saat ini. Abyan tersenyum kemudian beranjak dari tempat duduknya.

"Pagi sayang... " Ucapnya padaku. Kemudian Abyan mencium keningku. Ku pejamkan mataku saat bibir Abyan mendarat lembut dikeningku. Kubuka mataku kembali saat Abyan selesai mencium keningku.

"Pagi juga sayang..." Balasku padanya. Dia tersenyum.

"Enak tidurnya?" Tanyanya padaku. Aku mengangguk. Abyan tersenyum sambil mengacak acak rambutku.

"Good girl." Ucapnya padaku.

"Yawdah, aku shalat dulu ya." Pamitnya sebelum beranjak dari sisiku. Aku menarik lengannya.

"Ada apa sayangku?" Tanyanya padaku.

"Boleh ikut shalat bareng kamu Bi?" Tanyaku meminta ijin. Bolehkah? Karena aku dan Abyan bukan muhrim. Abyan terdiam. Aku tak bisa mendeskripsikan bagaimana raut wajah lelakiku saat ini. Antara bingung, kaget dan entahlah. Dia menatapku tajam.

"Bi..." Panggilku padanya.

"Apa? Kamu mau shalat??" Tanyanya bingung. Aku mengangguk.

"Aku mau shalat bareng kamu." Ulangku kembali. Raut wajah Abyan semakin tak terdeskripsikan. Abyan memandangku dalam diam.

"Aku udah jadi mualaf Bi." Jelasku yang sukses membuatnya terkejut dan tak percaya. Abyan sedikit membuka mulutnya dan menggeleng gelengkan kepalanya. Abyan menangkup wajahku dengan kedua tangannya.

"Are you serious??" Tanyanya kembali. Aku mengangguk. Abyan langsung memelukku dengan erat.

"Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah." Ucapnya berulang - ulang. Aku tersenyum dalam dekapan Abyan.

"Tapi kamu shalatnya ditempat tidur aja ya." Ucapnya padaku. Aku mengangguk.

"Anterin aku kekamar mandi Bi. Aku mau wudhu." Pintaku padanya. Abyan tersenyum bahagia. Mata Abyan terlihat berbinar pagi ini. Ketampanan semakin meningkat drastis.

Abyan membantuku untuk turun dari tempat tidur. Kemudian dia memakaikan sandal padaku. Kurasakan tubuhku sedikit limbung saat kakiku menapak kelantai. Abyan merangkulku dengan erat, menahanku agar tak terjatuh.

"Masih pusing sayang?" Tanyanya cemas. Aku mengangguk.

"Tapi bisa kan nanti kekamar mandi sendiri?" Tanyanya kembali.

"InsyaAllah bisa ko Bi." Jawabku singkat. Abyan melanjutkan menuntunku kekamar mandi.

"Kayaknya aku harus cepat - cepat halalin kamu nih." Ucapnya yang sukses membuat pipiku memanas dan jantungku berdegup kencang. Aku tersenyum.

Setelah mengantarku kekamar mandi, Abyan menungguku diluar. Rasanya aku ingin membasuh seluruh tubuhku yang sudah lengket ini. Tapi rasanya tak mungkin. Kepalaku masih terasa berat. Setelah bersih - bersih aku langsung mengambil air wudhu. Saat aku membuka pintu kamar mandi, Abyan sudah menungguku. Dan bersiap untuk membantuku kembali ke tempat tidurku. Aku mendelik dan menggeleng gelengkan kepalaku.

"Stop Bi! Aku habis wudhu." Teriakku padanya. Abyan terkejut. Kemudian terkekeh.

"Maaf sayang. Aku lupa." Katanya sambil menggaruk garuk tengkuknya yang sudah bisa aku pastikan tidak gatal. Aku tersenyum.

"Kamu bisa jalan sendiri??" Tanyanya lagi. Aku mengangguk. Aku tahu Abyan sedang mengekoriku saat ini. Dia memperhatikanku saat aku menaiki tempat tidur. Dia memandangku tanpa berkedip.

"Bi... gih sana wudhu." Kataku yang membuatnya kaget. Kemudian Abyan memberikan ku mukena yang entah dari mana berasal. Abyan memberikannya padaku sambil tersenyum.

"Udah sana! Jangan lama - lama. Udah hampir setengah enam nih." Omelku padanya.

"Iya sayang..." Balasnya sebelum ke kamar mandi.

Abyan keluar dari kamar mandi saat aku sudah selesai memakai mukenaku. Abyan menghentikan langkahnya kemudian menatapku dengan intens. Dia terdiam. Matanya sama sekali tak berkedip menatapku. Membuatku risih setengah mati.

"Eheeem..." Dehemku yang membuyarkan lamunannya. Dia tersenyum. Kemudian menggelar sajadahnya dilantai.

Suara merdu Abyan saat memulai mengimamiku, membuatku merinding. Entah mengapa jantungku berdegup kencang seketika. Aku menarik nafasku kemudian menghembuskannya perlahan, mencoba menormalkan degup jantungku yang aneh sebelum aku mengangkat kedua belah tanganku untuk ber takbiratul ikhram. Salam dari Abyan pun menutup shalat subuh berjamaah kami. Abyan menoleh kearahku kemudian tersenyum. Aku tersenyum simpul. Abyan kemudian kembali melanjutkan untuk berdoa, aku pun demikian.

Setelah selesai Abyan menghampiriku dengan senyum manisnya yang tak lepas dari wajahnya. Ku buka mukenaku, namun Abyan menahan tanganku. Aku memandangnya. Abyan mengulurkan tangan kanannya padaku seperti ingin menjabat tanganku. Aku tersenyum. Kuraih uluran tangan Abyan, kemudian ku cium punggung tangannya dengan lembut. Abyan tersenyum. Kemudian dia mencium keningku. Darahku berdesir. Jantungku kembali berdegup kencang.

"Semoga aku bisa jadi imam kamu dan juga anak - anak kita nanti." Ucap Abyan yang mampu membuat mataku memanas.

"Amin." Balasku singkat. Abyan tersenyum. Kemudian dia menggenggam tanganku dan memandangku dengan intens.

"Ada yang aneh ya Bi?" Tanyaku penasaran. Abyan tersenyum kemudian menggeleng gelengkan kepalanya.

"Kamu makin cantik pake ini." Pujinya sambil menyentuh mukena yang masih aku pakai.

Saat aku akan membalas pujian kekasihku, tiba - tiba pintu terbuka. Seorang ibu paruh baya masuk membawakanku makanan. Dia tersenyum padaku dan juga Abyan. Kemudan dia memintaku untuk segera memakannya dan mengucapkan semoga lekas sembuh. Setelah itu aku baru membuka mukenaku. Abyan membantuku.

Tak selang beberapa lama dua orang perawat masuk dengan membawa senampan peralatan yang tak kusuka. Ibu Mira, salah satu perawat mengganti infusku yang hampir habis. Sedangkan temannya membuka bungkus sebuah suntikan dan mengambil botol kecil yang aku pastikan itu adalah cairan obat yang akan dimasukkan kedalam tubuhku. Tubuhku menegang. Aku memang phobia dengan jarum suntik. Aku menelan salivaku saat melihat aktivitas perawat itu. Ku genggam pergelangan tangan Abyan dengan erat. Tanganku mulai dingin. Abyan mengelus elus pucuk kepalaku dengan tangan yang lain. Perawat itu memintaku menyebutkan namaku, dan tanggal lahirku sebelum mengeksekusiku.

"Rileks ya mbak." Kata perawat yang akan menyuntikku. Kupejamkan mataku kuat - kuat. Kutahan nafasku sesaat. Genggamanku pada lengan Abyan semakin kuat. Aku tak merasakan gigitan semut dikulitku. Namun rasa pegal mulai menjalar diseluruh tangan kiriku. Kubuka mataku perlahan.

"Sudah. Pegel mbak?" Tanyanya padaku. Aku mengangguk.

"Tahan ya, cuma sebentar ko." Ucapnya kembali. Kemudian mereka pamit. Aku meringis kesakitan. Kedua pelupuk mataku sudah dipenuhi oleh air bening yang siap terjun dengan bebas.

"Sakit Bi. Pegel." Rintihku sambil menahan tangisku.

Abyan berpindah posisi disebelah kiriku. Kemudian dia mengelus elus tangan kiriku yang pegal dan nyerinya minta ampun. Air mataku menetes. Abyan menghela nafasnya.

"Udah sayang. Sabar ya, bentar lagi juga sembuh. Aku kasih minyak kayu putih ya." Kata Abyan menenangkan ku. Aku terisak. Abyan kemudian mengoleskan minyak kayu putih ditangan kiriku untuk meredakan pegal dan nyeri ditanganku.

Tangisku makin pecah saat melihat Abyan dengan sabarnya meladeniku. Abyan menyeka air mataku dengan tangan kirinya. Kemudian memelukku. Mencium pucuk kepalaku dengan lembutku.

"Udah ah! Masa keiza nya aku jadi cengeng gini sih." Ledek Abyan.

"Kamu nggak tahu sih. Pegel banget tau Bi. Sakit." Timpalku kesal. Abyan terkekeh.

Dalam hitungan detik Abyan mencium bibirku. Dia melumat bibirku dengan lembut. Abyan seakan memberikan zat penenang bagiku lewat ciumannya. Aku membalasnya. Kupejamkan mataku. Abyan merengkuh pinggangku dengan lembut. Kuremas kemeja Abyan saat ciuman kami semakin panas. Aku mendesah saat Abyan menciumi leherku. Kemudian kembali mencium bibirku dengan singkat. Abyan menempelkan dahinya pada dahiku. Hidung mancung kami saling beradu. Nafas kami saling memburu. Kemudian Abyan memelukku dengan erat. Mengecup kembali keningku dengan lembut.

Suara pintu ruanganku kembali terbuka. Kami terkejut. Abyan segera melepas pelukannya. Tubuhku kembali menegang. Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Abyan pun sama terkejutnya denganku.

"Ayah... mama... " Ucapku lirih.

"Abi... Umi... " Ucap Abyan.

Oh ya Allah. Ada apa ini? Kepalaku mulai berputar - putar saat ini. Zat penenang yang baru saja Abyan berikan seakan menguap begitu saja. Rasa sakit mulai menjalar disekujur tubuhku.

Tbc.

Please vote and comment my beloved readers. Make me happy please. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top