16. You 4
Keiza's POV.
Bunyi suara alarm crow mulai terdengar memekakkan telingaku. Alarm yang menandakan bahwa sekarang sudah pukul lima pagi. Aku terbangun, dan langsung mematikan alarm yang berbunyi dari iPhone ku. Kusandarkan kepalaku dikepala ranjang. Kupandangi layar iPhone ku. Pandanganku mulai berkabur oleh air mata yang sudah berkumpul dikedua pelupuk mataku. Rasa rindu yang teramat sangat setiap diriku melihat wallpaper foto candid Abyan yang sedang tersenyum manis dan lepas membuatku rinduku semakin menjadi. Sekaligus membuat hatiku merasakan sakit kembali. Air mataku menetes. Dengan segera aku menyekanya. Aku segera beranjak dari tempat tidurku. Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar menuju kamar mandi.
Kuputar kran air didalam kamar mandi, aku tadahkan air yang telah mengalir itu dikedua tanganku untuk berwudhu. Setelah selesai, ku putuskan untuk kembali ke kamarku. Kulihat Dadong sedang shalat dibale tempat dia shalat seperti biasanya. Aku tersenyum simpul melihatnya. Sesaat kemudian aku melanjutkan langkahku kekamarku.
Aku mengambil sajadah dan mukenaku. Aku tersenyum, saat melihat beberapa sajadah dan mukena yang bertumpuk rapi dilemariku. Pemberian dari beberapa orang tersayangku. Aku mengambil salah satu yang sudah sering aku pakai dan telah menjadi favoriteku, pemberian dari Dadong ketika aku telah selesai mengucapkan dua kalimat syahadat. Sudah hampir dua bulan ini, aku telah menjadi seorang mualaf. Tak ada kesulitan bagiku untuk mempelajari dan mendalami ajaran agama Islam. Karena sebelumnya aku pernah belajar tentang agama Islam pada sahabatku Putri. Saat ini aku hanya sedang belajar membaca Al - Quran dengan baik. Aku hanya bisa membaca tulisan arab yang terdiri dari lima atau enam huruf saja. Di era modern saat ini, Aku diberikan kemudahan untuk bisa belajar tentang agama yang aku anut. Dari internet ataupun dari buku - buku yang sudah dijual secara bebas.
Sebagai penutup dari kewajibanku mengerjakan shalat dua rakaat dipagi hari, aku angkat kedua tanganku seraya berdoa dan bersyukur atas apa yang sudah Semesta berikan untukku selama ini. Sebelum aku beranjak dari sajadahku, aku bersujud dan mencium sajadahku dengan lembut serta tak lupa aku mengucap syukur.
"Alhamdulillah."
Butuh waktu satu minggu sebelum aku memutuskan untuk memeluk agama Islam yang aku anut saat ini. Setelah apa yang telah aku lihat di masjid kala itu, jantungku selalu berdegup dengan kencang saat aku mengingat simbol bulan sabit dan bintang yang juga hadir dimimpiku. Mimpi yang selalu hadir dan selalu membangunkan diriku disepertiga malamku. Saat itu aku yakin bahwa apa yang terjadi padaku adalah petunjuk dariNya. Ketika aku melihat simbol bulan dan bintang diatas salah satu kubah masjid agung yang indah disekitar tempatku bekerja. Disaat yang bersamaan, aku juga melihat bulan sabit dan bintang yang bersinar terang dilangit. Saat itu juga jantungku berdegup kencang tak menentu.
"Disana aku merasa tersesat. Aku sama sekali tak bisa melihat apapun disana. Entah mengapa semua yang aku lihat begitu gelap. Hingga beberapa saat kemudian aku melihat seberkas cahaya yang muncul dihadapanku. Aku berjalan kearah seberkas cahaya itu. Dari jauh samar - samar aku melihat bulan sabit dan bintang yang sedang bersinar terang. Aku terus melangkahkan kakiku kedepan. Aku terus berjalan menuju seberkas cahaya yang semakin bersinar terang itu. Semakin lama bulan sabit dan bintang itu semakin terlihat dengan jelas. Mereka begitu indah diatas sana. Langkahku terhenti saat aku melihat bunda tiba - tiba berada dihadapanku, disamping kiriku. Bunda tersenyum manis padaku. Aku sangat bahagia saat itu. Aku tersenyum senang saat bisa melihat bunda yang terlihat sangat cantik dengan gaun panjang berwarna putih yang membalut tubuhnya dan rambutnya yang digerai bebas. Saat aku mulai melangkahkan kakiku mendekati bunda, Abyan muncul dihadapanku. Disamping kananku. Abyan tersenyum padaku dengan senyuman mautnya yang khas. Sambil tersenyum Abyan menggeleng gelengkan kepalanya perlahan. Kemudian Abyan mengulurkan tangannya padaku. Aku menoleh ke arah Bunda, lagi - lagi bunda hanya melempar senyum padaku. Begitupula dengan Abyan, dia juga hanya tersenyum padaku. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut bunda dan Abyan. Aku bingung. Aku tak bisa memilih. Mereka adalah orang - orang yang aku sayang dan aku cintai. Aku ingin memeluk bunda. Aku juga ingin menyambut uluran tangan Abyan padaku."
Ketika keyakinanku semakin kuat untuk berpindah keyakinan, saat itu juga aku menceritakan keinginanku pada Dadong. Dadong telihat sangat bahagia. Dadong sampai menitikkan air mata harunya saat memelukku. Dadong memintaku untuk mengabarkan pada Ayah tentang keputusanku ini. Aku mengangguk bahagia. Entah mengapa rasa benci dan sakit hati pada Ayah menguap begitu saja. Dengan segera aku menelpon Ayah dan mengutarakan maksudku. Aku juga tak lupa meminta Ayah untuk hadir saat aku mengucapkan dua kalimat syahadat nanti. Namun sayang, Ayah saat itu berada di Amerika. Tapi aku tahu, suara Ayah terdengar bahagia saat aku mengutarakan keinginanku untuk memeluk agama Islam. Dan seminggu yang lalu, Ayah menemuiku disini bersama istrinya yang saat ini kupanggil dengan sebutan mama, dan juga Nunu. Entah apa yang membuatku menjadi hangat kembali pada Ayah. Saat itu juga aku meminta maaf pada Ayah dan mama Sabrina. Ya, aku telah berdamai dengan masa laluku. Masa lalu yang pahit dan menyakitkan. Saat itu juga aku menyadari bahwa bukan hanya diriku yang merasakan sakit hati dan terluka, Ayah dan mama Sabrina juga demikian. Mama Sabrina lah yang lebih merasakan sakit atas apa yang telah aku perbuat. Pertemuan itu membuatku semakin dekat dengan mama Sabrina yang sekaligus tanteku sendiri, karena dia adalah adik tiri bunda. Tak ada yang bisa menggantikan posisi bunda dihatiku. Mama Sabrina memiliki tempat tersendiri dihatiku. Kehangatan mama Sabrina membuatku merasakan kembali kehangatan kasih sayang bunda. Mereka sangat mirip. Hanya saja mama Sabrina tidak secerewet bunda.
Kusandarkan tubuhku disamping ranjang kingsizeku. Mataku menerawang jauh. Otakku mulai memutar kembali kenangan - kenangan indah bersama Abyan. Sungguh aku sangat merindukan lelaki tercintaku itu. Terlebih setelah aku menjadi mualaf, mimpi itu berlanjut. Dan entah apa yang sedang Allah tunjukkan kembali padaku.
"Saat aku merasa sangat bimbang dan bingung, aku memejamkan mataku. Dalam hati aku memanggil bunda, tak ada getaran apapun yang terjadi. Berbeda saat aku menyebut nama Abyan, jantungku berdegup kencang. Berulang kali aku melakukan itu hingga kedua tanganku sudah berada diatas dadaku untuk memastikan getaran yang aku rasakan. Saat kubuka mataku, aku tersenyum. Kulihat bunda yang masih tersenyum padaku. Tanpa ragu aku langkahkan kakiku. Aku berjalan menghampiri Abyan yang berada dihadapanku disisi kananku. Senyum Abyan semakin mengembang. Aku raih uluran tangannya. Abyan menggenggam tanganku dengan erat. Sebelum pergi, aku menoleh kearah bunda. Bunda tersenyum dan mengangguk dengan pelan. Aku tersenyum kembali. Abyan membawaku berjalan lurus kedepan kearah bulan sabit dan bintang yang sedang bersinar terang. Aku terkejut saat aku melihat sebuah masjid yang megah dan luar biasa indah dihadapanku. Langkah kami terhenti saat Umi tiba - tiba berada dihadapan kami. Umi tersenyum. Sesaat kemudian Abi datang, dia juga tersenyum. Senyum yang sama seperti lelaki yang sedang menggenggam tanganku saat ini. Disusul oleh Putri dan Mika. Disisi yang yang lain kulihat dadong, ayah dan juga mama Sabrina yang sama - sama melempar senyum padaku. Aku memandang Abyan. Abyan hanya tersenyum manis padaku kemudian mencium keningku dengan lembut. Sesaat kemudian kami semua berjalan bersama - sama menuju Masjid yang agung dan indah itu."
"Sayang, sedang apa kamu?" Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum melihatnya. Dia sudah duduk disampingku diatas karpet doremon kesayanganku.
"Mama..." Panggilku padanya. Mama Sabrina tersenyum.
"Jangan suka ngelamun. Nanti ayamnya Dadong pada mati semua lagi lihat kamu ngelamun terus." Ledek mama padaku. Aku terkekeh.
"Mama apaan sih. Ayamnya kan jauh dibelakang sana." Kilahku.
Mama tertawa. Ya, aku sudah menceritakan semuanya pada mama. Mama seakan memposisikan dirinya sebagai sahabatku selama disini. Dan entah mengapa aku bisa menceritakan segala kegelisahanku pada mama Sabrina.
"Mama sama Nunu jadi pulang ya hari ini? Kenapa nggak nanti aja sih mah. Keiza kan masih kangen sama mama dan Nunu." Ucapku memohon. Mama tersenyum sambil mengelus elus rambutku.
"Ayah udah nunggu mama dirumah. Kasihan kan ayah sendirian. Nunu juga udah lama bolos sekolah terus. Mama janji, nanti mama jenguk kamu lagi kesini." Kata mama menenangkanku.
"Itu mah modus Ayah aja. Baru juga ditinggal seminggu, kaya anak playgroup ditinggal ibunya aja." Selaku yang membuat mama tertawa.
"Emang mama nggak kasihan juga sama Keiza? Keiza kan juga sendirian disini." Rengekku pada mama. Mama tersenyum.
"Sendirian gimana, orang rame gitu. Ada dadong, ada kakak - kakak kamu juga disini. Atau kamu ikut pulang mama aja ke Jakarta?" Tanya mama yang sukses membuatku terkejut dan terbelalak.
"Gimana?" Tanya mama kembali. "Kalo iya, kita pulang besok." Lanjut mama. Aku terdiam. Kemudian aku menggeleng.
"Sampai kapan kamu menghindar terus Kei? Semakin kamu menghindar dari masalah kamu, kamu akan semakin merasakan sakit sayang." Kata mama.
"Keiza belum siap mah. Keiza belum bisa pulang sekarang." Jelasku pada mama. Mama menghela nafasnya.
Kemudian aku beranjak dari dudukku dilantai. Aku berjalan kearah meja. Mengambil sebuah kotak persegi panjang berwarna ungu yang dihiasi pita berwarna ungu juga disisi kanan atas. Kuserahkan kotak itu pada mama yang sudah berpindah duduk diranjang kingsizeku. Mama mengerutkan dahinya.
"Keiza nitip ini buat Putri ya mah. Kalo bisa nanti mama kasih langsung ya sama Putri. Sampaikan salam keiza buat Putri. Sampein maaf juga karena Keiza nggak bisa hadir diacara pernikahannya." Ucapku sedih. Mama mengangguk.
"Yakin kamu nggak mau pulang? Putri pasti sedih deh kalo kamu nggak datang. Masa sahabat baiknya nggak datang diacara paling penting dihidupnya." Cerca mama yang membuatku semakin merasa terpojok.
"Mah, Keiza nggak bisa dateng. Putri nikah sama kakak sepupunya Abyan. Disana semua keluarga Abyan pasti dateng. Keiza nggak bisa ketemu mereka, apalagi Uminya. Keiza nggak bisa mah. Keiza nggak mau acara penting Putri nanti berantakan gara - gara Keiza dateng." Jelasku pada mama yang mencoba menahan air mataku yang akan terjun bebas.
"Suatu saat kamu pasti ketemu mereka lagi sayang." Ucap Mama.
"Tapi nggak sekarang mah. Keiza nggak bisa." Kilahku lagi.
"Kamu nggak kangen sama Abyan? Nggak pengen gitu ketemu sama Abyan?" Tanya mama kembali. Lidahku serasa kelu. Aku menelan salivaku. Mencoba memberi cairan pada tenggorakanku yang terasa kering tiba - tiba.
"Kalau aja ada kata yang bisa mewakili rasa kangen Keiza pada Abyan saat ini, Keiza akan pakai kata itu sekarang. Keiza nggak mau mah, kehadiran Keiza membuat Abyan dan Uminya menjadi ribut. Keiza juga takut kalau Abyan marah sama Keiza." Ucapku lirih. Tak terasa air mataku menetes.
"Mama ngerti. Mungkin Abyan akan marah karena kamu pergi tanpa pamit. Tapi mama yakin, kalau memang Abyan benar - benar cinta sama kamu, dia pasti mengerti kalau kamu jelasin alasan kamu kenapa kamu pergi ninggalin dia." Mama menasehatiku kembali.
"Keiza takut mah. Keiza belum siap ketemu Abyan sekarang. Keiza nggak bisa kalo Abyan yang berbalik jauhin Keiza." Kataku. Mama memelukku. Aku terisak dalam dekapan hangat mama Sabrina.
"Semua akan indah pada waktunya sayang. Sabar ya sayang!" Ucap mama sambil mengusap lembut rambutku.
Dadaku kembali merasa sesak. Rasa sakit mulai muncul kembali. Mengingat Abyan, membuatku terluka kembali. Setiap mengingatnya, air mataku pun tak luput membasahi pipiku. Aku tak tahu, sampai kapan aku bisa bertahan dengan rasa ini. Rasa cinta yang telah berbalut oleh luka.
***
Abyan's POV.
Tanganku kembali aktif diatas keyboard laptopku. Dengan sisa fokusku yang mengabur, aku mencoba menyelesaikan pekerjaanku. Hampir tiga bulan ini aku selalu menyibukkan diriku dikantor. Setiap hari aku selalu pulang larut. Terkadang aku juga tertidur dikantor. Entah lembur atau tidak, aku menghabiskan sepanjang waktuku disini. Aku hanya mencoba mengalihkan pikiranku yang selalu dipenuhi oleh wanita yang sudah menjungkir balikkan duniaku saat ini.
Tiga minggu yang lalu, aku baru mendapatkan kabar dari orang suruhanku yang telah kuminta untuk mencari tahu keberadaan Keiza saat ini, dia berkata bahwa Keiza berada di Bali. Dia menemukan nama Keiza Arinka Pratama disalah satu maskapai penerbangan yang sangat terkenal di Indonesia dengan flight ke Bali. Namun hingga detik ini belum ada kabar terbaru lagi tentang keberadaan Keiza di Bali.
Aku kembali melihat penelusuran orang terpercayaku yang kuminta untuk mencari informasi tentang keluarga Keiza. Aku buka kembali emailku yang seminggu kemarin baru dikirim padaku dari salah seorang suruhanku. Ternyata masih banyak yang belum aku ketahui dari diri wanita tercintaku itu. Yang membuatku terkejut, Keiza yang aku kira adalah gadis dari kalangan biasa, ternyata adalah anak tunggal dari pemilik Pratama Inc. Putri dari I Made Riza Pratama. Dia adalah orang yang bersedia membantu perusahaan eyang yang berada dibawah kepemimpinan Abi, Alexindo Company. Saat ini perusahaan eyang sedang terpuruk. Abi dan om Aron sedang berjuang mati - matian agar perusahaan itu tak bankrupt. Karena banyak orang yang bergantung hidupnya disana. Namun yang membuatku bingung, CEO dari Pratama Inc. itu bernama Muhammad Riza Pratama. Aku tak tahu, apakah mereka adalah orang yang sama? Ataukah mereka adalah dua orang yang berbeda? Namanya memang mirip. Nama yang satu menunjukkan bahwa dia berasal dari Bali dan nama satunya lagi sangat menunjukkan bahwa dia seorang muslim. Saat aku meminta orang terpercayaku untuk mencari tahu tentang informasi I Made Riza Pratama, mereka menemukan tiga nama yang mirip dan semuanya berada di Bali. Damn!
Kepalaku mulai berdenyut kembali. Sejak kecelakaan itu aku semakin sering merasakan pusing saat otakku memikirkan sesuatu dengan keras. Menurut dokter itu wajar. Karena pada saat kecelakaan, kepalaku terbentur keras. Beruntung aku tak gegar otak ataupun amnesia saat itu. Tiga minggu yang lalu kakiku sudah terlepas dari benda yang membuatku tak leluasa berjalan. Namun aku masih merasa aneh pada kaki kiriku. Masih terasa kaku. Aku masih harus menjalani beberapa terapi agar kakiku terlihat normal kembali. Hanya kehidupanku yang sepertinya sudah tak berjalan dengan normal. Hubunganku dan Umi sedikit merenggang. Aku membangun sebuah tembok untuk membentengi diriku agar terhindar dari rasa sakit dan juga untuk mengontrol emosiku yang sering tak stabil akhir - akhir ini. Aku lebih sering tinggal di apartment sekarang. Aku juga menjadi lebih pendiam. Boy dan Nial bilang aku adalah zombie yang menjelma menjadi seorang pangeran es.
Kulirik jam tanganku. Pukul sembilan malam tepat. Aku segera mematikan dan menutup laptopku. Kulangkahkan kakiku keluar dari kantor. Aku berjalan menuju mobil Nissan Juke automatic berwarna putih yang Abi beli untuk menggantikan mobil Keiza yang sudah hancur. Kulajukan mobil itu kearah 69 club seperti biasanya.
---
Suara dentuman musik mulai terdengar. Lampu yang remang - remang sedikit membuatku pusing karena mataku harus bekerja extra saat pencahayaan kurang seperti ini. Kulangkahkan kakiku ketempat dimana aku dan sahabat - sahabatku berkumpul. Tempat yang selalu kami booking untuk menghabiskan malam panjang kami bersama selama beberapa pekan ini. Ya, aku semakin sering kesini. Bersama Nial dan Boy, aku bisa tertawa lepas dan merasakan bebanku menguap sesaat. Beruntung mereka selalu setia menemaniku hingga aku bosan.
"Hai bro... tumben lo telat." Kata Nial saat aku menghempaskan tubuhku disofa. Aku terdiam sambil menyandarkan kepalaku yang sudah pusing ini.
"Makin berantakan aja lo Yan." Ucap Boy. Aku masih terdiam. Mereka tidak sedang bertanya bukan?! Mereka hanya sedang memberi sebuah pernyataan yang tak harus aku jawab. Boy melempar kacang kulit padaku.
"Woy!!! Kita ngomong ini. Dasar batu lo. Gue tendang juga nih!" Cicit Boy geram. Tanpa aba - aba kakiku langsung menendang Boy yang duduk disebelahku yang sedang merangkul Andien, kekasihnya.
"Sue lo!!!" Pekik Boy kesal. Nial, Andien pun tertawa. Tak ada Rara disini. Semenjak Rara hamil, Nial melarang istrinya untuk ikut ketempat kotor ini.
"Pak Aly sudah lihat cermin hari ini?" Tanya Andien padaku.
Sampai saat ini, Andien selalu memanggilku dengan sebutan Pak. Dia bilang, dia tak bisa menganggapku orang biasa. Padahal kami sudah sering berkumpul bersama. Dia masih canggung padaku. Aku menggeleng. Andien menyodorkan cermin tepat diwajahku.
Kulihat bayangan wajahku yang kuyu didalam cermin itu. Kantong mata yang sudah seperti panda. Aku sudah lupa kapan terakhir diriku ini tertidur dengan nyenyak. Aku lebih sering terjaga saat ini. Bahkan terkadang aku tak tidur. Tulang rahang yang tampak menonjol karena pipiku yang mulai menirus. Bukan hanya tidur yang aku abaikan, jam makan pun sering aku tinggalkan. Aku tersenyum simpul.
"Tapi gue masih ganteng kan Ndin??" Tanyaku menggoda dengan senyum andalanku. Andien tersenyum malu.
"Masih ko Pak." Jawabnya malu. Membuat Boy melotot tajam.
"Cieee... jealous. Aku bilang pak Aly ganteng bukan berarti aku cinta sama pak Aly. Aku cuma menghargai dan menikmati indahnya ciptaan Allah aja ko." Jelas Andien. Aku tersenyum mendengar penjelasan Andien yang mencoba menenangkan lelakinya.
"Aseeeek... super sekali." Celoteh Nial.
"Buat aku, kamu lah yang paling sempurna. Karena kamu udah bisa mencuri hati aku." Ucap Andien sambil menangkup wajah Boy.
Bayangan Keiza mulai muncul kembali. Melihat kemesraan Boy dan Andien mengingatkanku kepada wanitaku. Miss you so damn Kei. Pandanganku mulai sedikit buram. Kedua pelupuk mataku telah dipenuhi air bening yang siap meluncur terjun. Aku sambar segelas sloki tequila didepan Boy. Tanganku tertahan. Sial!!
"Wooo... lo mau bikin kita mati muda Yan? Gila aja. Gue mau nikahin Andien nih." Seru Boy padaku. Dengan segera Boy langsung merampas sloki tequila yang kupegang dan langsung meminumnya. Damn!
"Apa hubungannya minum tequila sama bikin lo mati? Kan gue yang minum. Sue Lo!" Ucapku kesal.
"Adalah. Bokap lo bakalan bunuh kita berdua, karena anak kesayangannya kemasukan alkohol." Pekik Nial.
"Kita tahu lo lagi depressi gara - gara Keiza. Tapi jangan harap lo bisa ngikutin jejak brengsek kita. Gue sama Nial bakal terus awasin Lo Yan. Kita nggak bakal biarin lo rusak. Ngerti lo!" Jelas Boy. Aku terdiam terpaku. Sesaat kemudian aku segera beranjak dari tempat dudukku.
"Mau kemana lo Yan??" Tanya Boy kembali.
"Toilet." Jawabku singkat.
Langkahku terhenti, saat aku baru saja melangkahkan kakiku menjauh dari kedua sahabatku. Tanganku reflek mengepal. Rahangku mulai mengeras. Super Damn tonight!
"Akhirnya kita ketemu lagi." Ucap Doni. Hidungnya sedikit bengkok, mungkinkah karena pukulanku tempo hari? I hope so. Aku masih terdiam.
"Apa gue bilang. Lo itu nggak jodoh sama Keiza. Keiza ninggalin lo kan?? Dan gue pastiin, Keiza bakal balik sama gue." Cicit Doni kembali. Aku maju beberapa langkah, tanganku sudah siap memukul mulutnya yang berisik itu.
Buug.
Aku tersungkur. Pukulannya sungguh keras. Membuat kepalaku berdenyut kencang. Damn! Seseorang membangunkanku, Nial. Kedua sahabatku tiba - tiba sudah berada disampingku. Aku menatap mereka bergantian. Kuseka bibirku yang terasa sakit. Kulihat darah segar sudah berpindah ditanganku. Aku terkekeh dan tersenyum mengejek. Bukan Doni yang memukulku tapi salah satu bodyguardnya yang sudah memukulku.
"Dasar pengecut. Satu lawan satu kalo berani." Ucapku mengejek.
Kulihat Doni mulai tersulut emosi. Ah, aku berhasil. Saatnya menyalurkan emosiku yang sudah tertahan beberapa bulan ini. Kurasakan darahku mendidih seketika. Doni maju beberapa langkah. Nial dan Boy juga demikian. Nial dan Boy meladeni dua bodyguard Doni yang bentuk tubuhnya hampir sama seperti kedua sahabatku. Tinggi besar. Terang saja, kedua sahabatku semua indo. Tanpa basa basi aku memulainya terlebih dahulu. Meninju wajah Doni yang tengilnya tingkat dewa. Dia bertahan, dia tak tersungkur sama sekali. Dia malah menyerangku balik. Shit! Aku tak akan membiarkan wajah tampanku bonyok seketika.
Buug.
Satu pukulan telak dariku membuat Doni terhuyung jatuh. Dengan segera aku mengunci tubuhnya dengan salah satu kakiku. Tangan kiriku mencengkram kerah kemeja Doni. Pukulan bertubi - tubi dariku pun tak terelakkan. Aku memukulnya dengan membabi buta. Aku sama sekali tak membiarkan Doni mendapatkan celah untuk membalas pukulanku. Doni sudah terkapar tak berdaya. Wajahnya sudah babak belur karena ulahku. Darah segar sudah mengalir dari bibir dan juga hidungnya. Aku masih pada posisi mengunci tubuhnya.
"Touch her, and I'll kill you!" Peringatku pada Doni.
Cuh.
Doni meludahiku. Sial! Darahku semakin mendidih. Dengan emosi aku memukulnya kembali. Beberapa serangan dariku membuat Doni semakin lemah tak berdaya. Tiba - tiba tanganku tertahan. Aku menoleh kesamping. Boy menahanku. Aku menatapnya tajam dan sebal. Boy menggeleng gelengkan kepalanya.
"It's enough!!" Pekik Boy.
Nial menarikku untuk berdiri. Boy dan Nial mengawalku. Mengantisipasi diriku yang mungkin akan kerasukan iblis kembali. Senyumku menyiringai. Aku membalikkan tubuhku, dan berjalan cepat kembali kearah Doni. Doni yang baru saja berdiri terlihat kaget melihatku. Aku langsung menyerangnya kembali.
Buug.
Doni terhuyung kembali. Dia terjatuh karena pukulan kerasku. Kurasakan kedua sisi tubuhku tertahan. Nial dan Boy. Mereka terlihat geram padaku. Mereka berdua menatapku tajam. Aku menatap mereka balik dengan tatapan yang tak kalah tajam. Jika aku lupa siapa mereka, mungkin aku akan melayangkan bogem kerasku pada mereka. Nial dan Boy menyeretku paksa untuk menjauh. Double shit!
---
Setelah kejadian itu aku memutuskan untuk pulang. Rasa sakit dikepalaku semakin tak tertahankan. Kulirik jam tanganku yang sudah menujukkan pukul dua belas malam. Aku membelokkan mobil yang aku kendarai kekomplek perumahan orangtuaku. Rasanya kepalaku hampir pecah saat ini. Seperti biasa, mas Reza membukakan pintu gerbang untukku. Kuparkirkan mobilku sembarangan. Aku langsung bergegas untuk masuk kedalam rumah. Sial! Pintu rumah sudah terkunci. Jelas saja, aku biasanya tak pulang kemari. Akhirnya aku masuk melewati pintu belakang. Kulangkahkan kakiku menuju kamarku.
"Abang." Panggil seseorang yang sudah tak asing bagiku. Damn!
Aku menatapnya kesal. Bisakah dia tak mengusikku malam ini?? Oh ya Allah. Andai saja aku bisa mengasarinya. Argh. Kuacak - acak rambutku.
Tbc.
------
Hey semua...
No comment deh buat tulisanku yang ini. Maaf ya kalo banyak typo atau malah makin gaje dan nggak dapet feelnya.
Terima kasih banyak buat semua readers kesayangan aku yang sudah membuat notifku pecah membahana kemarin. Thank you so much for you girls, my beloved lil sisters and my sista from jonggol. Love you so much. Maaf, aku nggak bisa nyebutin satu2. Tanpa kalian cerita ku ini hanyalah seonggok sampah.
Semoga kalian masih berkenan untuk memberikan vote and comment kalian pada ceritaku.
See ya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top