13. You
Abyan's POV.
Ku pejamkan mataku. Aku biarkan air mataku menetes perlahan. Sesak. Ingin rasanya aku berteriak sekencang yang aku bisa. Ampuni aku ya Allah. Jangan jadikan diriku ini anak yang durhaka. Jangan biarkan diriku ini menjadi tokoh antagonis di skenario yang Engkau buat. Cukup Mika yang hari ini telah ku buat menangis, aku tak ingin Umi pun ikut menangis karena ulahku.
Kuseka air mataku. Aku kembali membenarkan posisi setengah dudukku. Aku hela nafasku perlahan. Ku hirup udara yang masih bebas sedalam - dalamnya. Pintu kamarku terbuka kembali. Ya Allah. Siapa lagi ini. Self control Abyan! Kulihat adikku Mika berjalan kearahku. Tatapannya sendu, hatiku serasa teriris melihatnya. Rasanya hatiku sudah terluka parah saat ini. Berharap luka dihatiku tidak semakin melebar dan membesar.
"Abang, Mika minta maaf." Ucap Mika padaku. Dia berdiri tertunduk disebelahku. Ku tarik tangannya agar duduk disampingku.
"Abang yang minta maaf. Udah bentak - bentak Mika tadi. Maafin bang Byan ya!" Ucapku padanya. Mika menatapku. Dua sisi bibirnya tersungging.
"Nggak ko. Mika ngerti kenapa abang marah tadi. Mika yang salah. Abang nggak perlu minta maaf." Ucapnya kembali. Aku tersenyum. Ku acak - acak rambutnya. Dia mengerucutkan bibirnya seperti biasanya. Aku terkekeh.
"Baikan?" Kataku sambil mengacungkan jari kelingkingku. Kebiasaan kami sedari kecil saat meminta maaf atau berjanji. Umi yang mengajari kami. Mika tersenyum melihatku.
"Baikan!" Ujar Mika semangat sambil menautkan jari kelingkingnya yang imut ke jari kelingkingku.
"Abang mau hubungi kak Keiza?? Nih Mika pinjemin." Celoteh Mika menyodorkan Iphonenya padaku. Aku tersenyum sambil menggeleng.
"Kenapa? Bukannya abang tadi mau hubungin kak Keiza ya?" Cicitnya lagi. Ini dia adekku yang rewel abis. Huft.
"Abang nggak mau kak Keiza lihat abang kaya gini. Abang nggak tega lihat dia nangis terus." Ceritaku pada Mika. Dia mengangguk tanda mengerti.
"Abang boleh minta tolong?" Tanyaku padanya. Mika mengangguk.
"Sekarang kamu cari Umi. Dan tolong, jangan biarin Umi nangis. Kalo Umi nangis, tolong bikin Umi ketawa sama tingkah konyol kamu. Kamu bisa kan dek?" Pintaku pada Mika.
"Abang habis ribut lagi ya sama Umi?" Tanyanya kembali.
"Nggak. Kita cuma ngobrol aja tadi. Abang cuma takut, Umi sakit hati sama ucapan abang. Sekarang kamu cari Umi ya!" Pintaku lagi. Mika mengangguk dan tersenyum.
"Yawdah, Mika cari Umi ya! Abang baik - baik ya disini." Kata Mika. Aku mengangguk.
Mika beranjak dari duduknya. Sebelum dia berlalu, dia kembali menoleh padaku dan tersenyum. Adik kecilku yang sudah dewasa, tapi sampai kapanpun dia akan selalu menjadi adik kecilku. Sesaat setelah Mika pergi, pintu ruangan kamarku kembali terbuka. Suara beberapa langkah besar mulai terdengar. Mereka tersenyum padaku. Hanya satu senyum yang membuat jantungku tak pernah gagal bermarathon sekaligus membuat hatiku miris kembali.
"Hai bro..." Sapa Boy dan Nial. Mereka mengulurkan tangan mereka bergantian untuk aku jabat seperti biasanya.
"Hai. Kalian ko bisa sampai sini?" Tanyaku penasaran. Mereka terkekeh. Kecuali Keiza dan Andien.
"Apa sih yang nggak kita tahu. Mau lo sembunyi dikutub utara juga gue sama Boy pasti tahu." Cicit Nial. Aku tersenyum. Mereka memang sahabat terbaikku.
"Baru lagi hah?" Ledekku pada Boy. Dia terkekeh.
"She's my miss right. And the last." Kata Boy. Aku tersenyum.
"Hai Ndin." Sapaku pada gadis yang Boy gandeng. Dia terlihat kaget. Andien tersenyum dan menyapaku.
"Hai. Kamu kenal aku??" Tanyanya padaku. Aku melirik Keiza. Keiza tersenyum simpul padaku. Aku tahu, hatinya juga sedang porak poranda sepertiku.
"Yups. Karena kamu teman dekat Keiza dikantor." Jelasku padanya. Andien melirik Keiza dan mengerutkan dahinya.
"Aku Abyan. Muhammad Aly Abyan Alexander." Kataku memperkenalkan diriku. Aku sudah tak ingin bersembunyi lagi dari statusku. Aku ingin semua tahu, siapa wanitaku. Mata Andien terbelalak.
"Oh my God. Anda... anda pak Aly??" Tanyanya padaku. Aku mengangguk.
"Ma... ma... maaf pak Aly. Sa... saya nggak tahu ka... kalau bapak..." Ucapnya terbata - bata. Aku tersenyum.
"Biasa aja beib, kita lagi nggak dikantor. Nggak usah sok formal." Cicit Boy. Semua tertawa. Kecuali Keiza yang hanya tersenyum kecil. Andien menyenggol lengan Boy.
"Dia bos aku." Bisik Andien yang masih bisa aku dengar.
"Dan aku sahabat bos kamu. Jadi kamu nggak usah lebay gitu. Abyan nggak bakal pecat kamu." Celoteh Boy lagi.
"Tolong jagain Keiza ya dikantor!" Pintaku pada Andien. Dia mengangguk dan tersenyum.
"Pasti pak. Itu sudah jadi rutinitas saya setiap hari." Kata Andien dengan sopan. Aku kembali tersenyum.
"Kamu nggak kangen sama aku Kei? Sampai kapan kamu mau berdiri disitu sayang?" Godaku pada Keiza. Dia tersenyum.
"Bukan kangen lagi Yan, udah kangen akut Keiza. Kita kesini juga gara - gara cewe lo." Ucap Nial.
Keiza berjalan menghampiriku. Senyum manisnya hilang seketika. Matanya terlihat sendu. Sedikit bengkak. Keizaku pasti habis menangis. Karena tak sabar, aku menarik tanganya saat tangan kananku sudah bisa menggapainya. Aku tak peduli luka yang berada ditanganku ataupun sakit kepalaku yang masih mendera. Dalam hitungan detik, Keiza berada dalam dekapanku. Aku memeluknya dengan erat, dengan tangan kananku. Aku cium pucuk kepalanya. Tubuh Keiza sedikit hangat. Tubuhnya juga mulai sedikit bergetar. Ya Allah! Wanitaku menangis kembali.
"Kita keluar dulu ya Yan!" Kata Nial. Aku mengangguk.
"Kei, kita tunggu diluar." Sambung Boy. Keiza memelukku dengan erat. Tangisnya pecah saat semua orang pergi. Aku melepas pelukanku. Aku seka air mata yang membasahi pipinya. Tapi gagal, air mata Keiza terus mengalir.
"Sayang... udah dong. Aku nggak papa ko. Aku masih bisa peluk kamu. Aku juga masih bisa cium kamu." Ledekku padanya. Keiza kembali menyeka air matanya.
"Maaf." Satu kata yang keluar dari mulut wanita tercintaku. Air matanya masih terus menetes. Aku menyekanya kembali.
"Buat?" Tanyaku kembali.
"Maaf. Gara - gara aku, kamu jadi kayak gini Bi. Harusnya aku nggak..." Ucapnya kembali yang langsung aku hentikan dengan meletakkan jari telunjukku dibibir tipisnya. Mata kami saling bertemu. Aku memandang Keiza dengan intens.
"Semua ini takdir sayang. Sekeras apapun kita berusaha untuk menghindar, semua pasti terjadi. Walaupun kemarin malam aku pulang pakai taksi sekalipun, aku yakin, aku pasti bakalan berada disini hari ini. So please, stop buat nyalahin diri sendiri dan jangan minta maaf lagi. Ok!" Jelasku padanya. Keiza kembali memelukku.
"Udah dong sayang, masa jenguk orang sakit nangis sih. Yang ada aku nya tambah sakit nih. Kasih senyum kek, atau kiss kiss gitu yang bikin aku melayang." Ledekku kembali. Keiza melepas pelukannya. Dia menyeka air matanya. Kemudian menghela nafas dan mencoba tersenyum manis padaku.
"Ih modus!" Ucapnya padaku. Aku menarik hidungnya yang mancung. Keiza tersenyum.
"Jangan nangis lagi ya sayang. Kasihan tuh matanya, bengkak gitu." Ucapku padanya sambil menyeka sisa - sisa air matanya. Dia tersenyum.
"Apanya yang sakit Bi??" Tanyanya padaku. Aku ambil tangan kanannya, aku letakkan diatas dadaku. Keiza mengerutkan dahinya.
"Dada kamu sakit? Sakit banget??" Tanyanya kembali. Kutahan tawaku. Demi Neptunus, wanita tercintaku polos banget. Bikin gemes aja. Tawaku pecah. Dia semakin terlihat bingung.
"Ko ketawa sih Bi?" Tanyanya bingung.
"Hati aku sakit, kalau lihat kamu nangis terus sayang." Ucapku padanya sambil mengelus elus wajahnya. Keiza tersenyum.
"Kamu sakit? Badan kamu anget sayang. Pucet lagi mukanya. Udah ke dokter?" Tanyaku padanya.
"Aku cuma kecapean aja. Nggak papa ko Bi." Jelasnya padaku. Entah kenapa aku ragu dengan ucapannya. Keiza pasti tak ingin aku khawatir.
"Nanti sampai di apartment, minum obat terus cepet istirahat ya sayang!" Kataku menasehatinya sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Dia mengangguk. Aku tak ingin Keiza sakit, terlebih dengan keadaanku yang sedang seperti ini.
Keiza menanyakan keadaanku, aku pun menceritakan kondisiku saat ini. Keiza mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Setelah dia mendapatkan apa yang dia cari, dia tersenyum padaku. Keiza membuka selimut yang menutupi kakiku. Keiza menuliskan sesuatu di gips kakiku. Entah apa yang sedang dia tulis. Dia juga seperti menggambar sesuatu. Entahlah. Aku tersenyum.
"Kamu ngapain sayang?" Tanyaku padanya.
Keiza tersenyum. Kemudian dia mengambil Iphonenya, dan mengambil gambar hasil karyanya di gips kakiku. Keiza memberikan Iphonenya padaku, memperlihatkan apa yang dia lakukan pada gips kakiku. Aku tersenyum melihatnya. Aku membaca apa yang Keiza tulis.
"I'm officially missing you. And I always miss you my Abyan. Love you more Bi. Get well soon dear."
Itulah kata - kata yang Keiza tulis di gips. Dibawahnya dia membubuhkan tanda tangannya yang cantik dan indah. Tanda tangannya panjang, seperti seorang artis. Aku memeluknya kembali. Keiza membalas pelukanku.
"Kita foto yuk!" Ajaknya padaku.
"Aduh sayang. Aku lagi jelek nih. Dari kemarin belum mandi, kepalanya diperban lagi. Mirip naruto tau." Cicitku yang membuatnya terkekeh.
"Bi, kamu mah mau nggak mandi sebulan juga tetep cakep. Aku tetep cinta sama kamu. Orang ganteng mah ganteng aja." Katanya padaku.
"Cieee... pacalku gombal." Ledekku padanya. Keiza terkekeh.
"Nope. I'm serious." Katanya padaku.
"Jadi beneran aku cakep nih??" Tanyaku padanya. Keiza mengangguk. Dia tersenyum malu. Aih Keiza, pengen aku gigit tuh mulut yang lagi senyum. Tawaku pecah.
"Udah cocok dong berarti. Cowo cakep sama cewe cantik. Tinggal gandeng ke KUA nih." Ledekku kembali yang membuat wajah wanitaku bersemu merah. Blush.
"Ayo Bi kita foto!" Ajaknya lagi. Aku mengangguk.
Keiza mengambil beberapa gambar kebersamaan kami. Keiza nampak bahagia melihat hasil jepretan kamera Iphonenya. Aku tersenyum melihatnya. Namun entah kenapa, tatapannya sendu. Pasti ada sesuatu yang sedang dia pikirkan. Aku menggenggam tangannya.
"Kei, are you OK?" Tanyaku padanya. Dia mengangguk dan tersenyum.
"Kei, apapun yang terjadi, aku harap kamu tetap disisiku. Aku mohon jangan tinggalin aku Kei. Aku butuh kamu saat ini. Kalaupun memang kita ditakdirin hanya untuk bertemu kemudian terpisah, aku pengen semua itu atas kuasa Allah. Biarkan rasa yang kita rasaain saat ini tumbuh dan berkembang apa adanya. Karena semua ini bukan kehendak kita. Rasa ini adalah anugerah dari sang Pencipta. Can you do that Kei?" Kataku. Keiza menatapku dengan intens. Raut wajahnya sungguh tak bisa ku baca saat ini. Atau mungkin kinerja otakku belum bisa bekerja maksimal.
Keiza melepaskan kalung panjangnya dari leher jenjangnya. Sebuah kalung dari emas putih dengan sebuah kunci bertahta berlian sebagai hiasan.
"Ini kalung milik bunda. Kata bunda, ini kunci hati. Kalung ini pemberian Ayah, waktu Ayah melamar bunda." Cerita Keiza sambil memegang kalungnya. Keiza memakaikan kalungnya yang panjang padaku. Aku mengerutkan dahiku.
"Kamu ngapain sayang? Inikan punya bunda kamu. Ko malabb..." Selaku saat Keiza memakaikan kalungnya padaku. Keiza memotong ucapanku dengan mencium singkat bibirku. Darahku berdesir. Tubuhku menegang seketika. Damn!
"Dulu milik bunda, sekarang milik aku. Ini kunci hati aku. Sekarang, ini jadi milik kamu sayang. Jadi cuma kamu yang bisa masuk kedalam hati aku. Karena kamu yang punya kuncinya. Jaga baik - baik ya! Jangan sampai ilang! Awas kalo ilang. Kita END!" Ucapnya padaku. Aku tersenyum kemudian mengangguk. Ku pegang kunci itu. Ku cium kunci itu. Kurengkuh pinggangnya dengan lembut.
"Love you more Kei." Ucapku pada Keiza.
"Love you more and more Bi." Balasnya padaku.
Ku sapu bibir tipisnya dengan bibirku. Aku bisa merasakan hembusan nafas Keiza yang hangat. Keiza membalasnya. Tangannya melingkar dileherku. Salah satu tanganya mengelus - elus tengkukku. Seakan mengijinkanku untuk melanjutkan aktivitasku yang sebentar lagi menjadi intens. Kulumat bibirnya dengan lembut. Mata Keiza terpejam. Keiza terlihat sangat rileks dan menikmati ritme yang kumainkan. Pelan dan pasti. Semakin lama, ciuman kami semakin panas. Tanganku kananku mulai bergerilya ditubuh mungil Keiza. Keiza mendesah, nafas kami mulai memburu. Kami semakin hanyut pada kenikmatan yang kami buat. Tanganku mulai semakin tak terkontrol. Ku ciumi leher jenjang Keiza yang masih terlihat walau tertutup oleh rambut yang dia gerai. Keiza mendesah. Dia melumat bibirku kembali, seakan ingin meredam suara desahannya sendiri. Nafas kami semakin memburu. Kesadaranku kembali, Aku melepas aktivitas panas itu. Kutempelkan keningku pada kening Keiza. Hidung mancung kami saling menempel. Nafas kami tersengal sengal. Kami seperti kehabisan oksigen saat ini.
"Sorry sayang..." Ucapku dengan nafas tak teratur. Keiza mengangguk. Kemudian ku kecup keningnya dengan lembut. Kemudian aku memeluknya dengan erat. Membenamkan wajah Keiza didadaku.
Baik aku maupun Keiza, kami sedang mencoba menormalkan jantung kami kembali. Mencoba bernafas normal kembali seperti biasanya. Karena sepertinya aktivitas kami tadi membuat kami lupa untuk bernafas. Setelah hembusan nafasku dan Keiza kembali normal, aku melepaskan pelukanku pada Keiza. Keiza menggigit bibir bagian bawahnya, membuatku gemas bukan main. Aku tersenyum dan merapikan kemeja dan blazer milik Keiza. Keiza beranjak dari duduknya, dan merapikan kembali pakaiannya yang sudah kubuat sedikit berantakan. Tak lupa Keiza juga merapikan rambutnya. Aku tersenyum. Keiza kembali duduk disebelahku. Ku sibakkan rambutnya sedikit. Aku tersenyum melihat leher jenjangnya.
"Kenapa sayang??" Tanya Keiza padaku. Sedetik kemudian Matanya terbelalak. "Merah ya??" Pekiknya sambil mengusap usap lehernya. Aku terkekeh.
"Nggak sayang. Aku kan belum gigit kamu tadi." Kataku yang diiringi tawa. Keiza mendengus kesal.
"Ih Abyaaan..." Rengeknya manja. Membuatku semakin gemas melihatnya. Aku memeluknya kembali.
"Bi, mungkin aku nggak bisa jenguk kamu tiap hari. Nggak papa kan sayang?" Ucap Keiza lirih. Aku mengangguk. Ya, aku tahu kenapa Keiza mengucapkan itu. Aku berharap jika saat ini Umi tak datang kemari. Aku masih menginginkan Keiza menemiku lebih lama.
"Iya sayang, aku ngerti ko. Doain aku cepet sembuh ya. Dan semoga kaki aku bisa cepet normal lagi." Ucapku pada Keiza. Kurasakan Keiza mengangguk dalam dekapanku. Dia memelukku dengan erat. Ku kecup pucuk kepalanya. Suara pintu kamarku terbuka kembali dengan kasar. Aku bingung melihat para sahabatku berlari kecil kemudian langsung duduk disofa. Hanya Andien yang terlihat tenang.
"Ada Umi..." Ucap Nial. Yang langsung mengambil segelas air mineral dimeja kemudian meminumnya.
Dengan segera Keiza melepas pelukannya padaku. Keiza terlihat kaget dan sedikit ketakutan. Aku genggam tangannya. Keiza melirikku dan tersenyum. Pintu kamarku terbuka kembali. Hening. Semua terdiam. Aku yakin sahabatku ini sudah mengetahui kondisi hubunganku dan Keiza. Umi menatap para sahabatku dan kemudian beralih memandang kearahku dan Keiza. Wajahnya datar. Tak ada senyum diwajahnya. Kulihat Mika menggenggam tangan Umi. Keiza mencoba melepas genggaman tanganku. Aku menggenggamnya dengan erat.
"Time's up. Waktunya kamu istirahat abang." Ucap Umi. Boy, Andien dan Nial beranjak dari tempat duduknya.
"Maaf Umi, kita lupa kalo udah ketemu Abyan. Hehehe." Ucap Boy yang mencoba mencairkan ketegangan diantara kami. Umi mengangguk.
"Kita pulang dulu ya Bro. Cepet sembuh lo. Bukannya kita mau touring?" Celoteh Nial padaku. Aku tersenyum. Dengan terpaksa aku melepas genggaman tanganku pada Keiza saat Nial mengulurkan tangannya padaku.
"Thanks Nial." Ucapku pada Nial. Nial kemudian memelukku seperti biasanya. "Tolong jagain Keiza!" Bisikku pada Nial. Nial mengangguk.
"Pulang dulu bro. Get well soon. Nanti kita kesini lagi." Pamit Boy. Boy menjabat tanganku kemudian memelukku seperti yang Nial lakukan padaku.
"Tolong jagain Keiza Boy!" Bisikku pada Boy.
"Pasti." Jawab Boy singkat. Kemudian dilanjutkan Andien yang berpamitan padaku. Terakhir Keiza.
"Aku pulang dulu ya Bi. Cepet sembuh." Ucap Keiza dengan nada bergetar. Ya Allah! Jangan sampai Keiza menangis lagi. Aku mengangguk.
"Hati - hati ya dijalan. Baik - baik juga. Jaga kesehatan!" Ucapku pada Keiza. Keiza mengangguk dan tersenyum simpul padaku. Senyum yang membuatku ketakutan saat ini. Entahlah. Seluruh darah yang mengalir seperti menyalurkan rasa takut untukku. Keiza mengulurkan tangannya padaku. Aku menatapnya dengan intens.
"Eheem..." Suara Umi yang membuyarkan tatapan ku.
Aku membalas uluran tangan Keiza. Dengan segera Keiza menundukkan kepalanya dan dia mencium punggung tanganku dengan lembut. Darahku berdesir seketika. Jantungku berdetak tiga kali lebih kencang dari biasanya. Aku terdiam terpaku. Untuk pertama kalinya Keiza, wanitaku mencium tanganku. Ya Allah! Keiza tersenyum.
"See you Bi." Ucapnya padaku sebelum dia pergi. Aku mengangguk.
"See you sayang." Balasku pada Keiza. Aku masih cengo dibuatnya.
Nial, Boy, dan Andien berpamitan pada Umi dan Mika bergantian. Saat Keiza mengulurkan tangannya pada Umi, Umi hanya memandang tangan Keiza kemudian beralih melirik wajah Keiza. Umi menatap Keiza dengan tajam. Membuat hatiku seperti dicincang. Aku menahan nafasku. Menahan air mataku yang sudah memenuhi pelupuk mataku yang sudah memanas.
"Umi." Pekik Mika. Kemudian Umi mengulurkan tangannya. Saat Keiza akan mencium punggung tangan Umi, dengan segera Umi menarik tangannya. Oh ya Allah! Ku mohon kuatkan Keiza. Keiza tersenyum.
"Makasih tante, udah ngijinin Keiza jenguk Abyan." Ucap Keiza.
Deg.
Tante?? Aku terkejut. Aku menggeleng gelengkan kepalaku. Ya Allah! Apalagi ini.
Kemudian dia berpamitan pada Mika. Mereka saling berjabat tangan dan berpelukan dengan erat. Kulihat mata Mika meneteskan air matanya. Aku terus berdoa dalam hati, agar Allah memberikan pertahanan yang kuat padaku. Aku tak ingin pertahananku runtuh saat ini didepan Keiza. Setelah berpelukan dengan Mika, Keiza langsung berlalu tanpa menoleh padaku.
Tes...
Pertahananku runtuh. Air mataku menetes kembali. Dadaku serasa sesak. Hatiku hancur. Sakit. Amat sakit. Aku seka air mataku. Umi memandangku. Air mata Mika mulai mengalir. Mika menutup mulutnya dengan tangan kanannya kemudian dia pergi meninggalkan ku dan Umi. Membanting daun pintu.
"Umi keterlaluan." Ucapku pada Umi. Kucoba menahan emosiku yang sebentar lagi meledak. Tangan kananku mengepal keras.
"It's the risk." Ucap Umi. Kuhela nafasku. Umi sudah menghancurkan hatiku sehancur - hancurnya. Sakit. Rasanya sungguh sesak.
"Makasih Umi." Ucapku kembali.
Dengan segera ku tekan tombol remote tempat tidurku, aku betulkan posisi tidurku. Ku hela nafasku. Ku pejamkan mataku. Kubiarkan air mataku menetes kembali. Kudengar pintu kamarku kembali terbuka kemudian tertutup.
***
Keiza's POV.
"Mba sudah sampai." Suara seseorang membuyarkan lamunanku. Suara bapak supir taksi.
"Ah iya pak." Ucapku. "Oia pak, bapak nunggu disini nggak papa kan? Saya cuma sebentar ko." Lanjutku pada bapak supir taksi.
"Iya mbak. Saya juga mau shalat ashar dulu." Ucapnya padaku. Aku tersenyum.
Aku turun dari taksi yang sudah aku sewa. Setelah menjenguk Abyan, aku memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi. Aku ingin sendiri. Aku ingin mencari ketenangan. Aku tersenyum saat aku melihat sebuah bangunan megah nan agung didepanku. Masjid An - nur. Masjid yang pernah aku kunjungi bersama Abyan setelah Abyan mengikatku. Masjid yang ternyata adalah masjid keluarga besar Abyan. Abi Abyan lah yang merancang sendiri bangunan megah ini. Dengan sisa tenagaku, kulangkahkan kakiku ke Masjid Agung itu. Kulepaskan sepatu high heelsku. Ku langkahkan kakiku menuju tempat berwudlu. Aku seperti memutar kembali memory ku beberapa minggu yang lalu.
Ku letakkan tasku diatas didinding pembatas tempat berwudlu. Aku kucir rambutku sembarangan dengan kucir rambut yang aku gelangkan ditangan kananku.Kulepas blazer hitanku. Aku lipat kemeja lurik hitamku. Aku putar keran air didepanku. Ku basuh kedua tanganku, ku tangkupkan tanganku untuk mengambil air. Aku kumur mulutku dengan air yang sudah terkumpul ditanganku. Rasa haus seketika menguap. Setelah selesai, ku cuci lubang hidungku. Kubasuhkan air yang sudah terkumpul kembali ditanganku pada mukaku. Segar. Rasa kantuk yang aku rasakan hilang. Dengan berurutan, ku cuci kedua belah tanganku hingga siku secara bergantian, ku sapu pucuk rambutku, ku sapu kedua telingaku dan terakhir aku cuci kedua kakiku. Ketengan mulai bisa aku rasakan setelah berwudlu. Aku tersenyum. Kurapikan bajuku kembali, kupakai blazerku.
Dengan perlahan, aku melangkahkan kakiku masuk kedalam Masjid. Beberapa orang wanita mulai pergi meninggalkan ku. Sepi. Sunyi. Aku kembali sendiri. Kulirik jam tanganku, pukul lima sore. Aku duduk bersimpuh dipojok. Kuhela nafasku. Kutangkup kedua tanganku, kuletakkan diatas pahaku. Aku pejamkan mataku perlahan. Bayangan Abyan mulai berkelibat, bayangan Umi pun tak luput disana. Aku teringat saat bertemu Umi di koridor rumah sakit, ketika aku dan sahabat - sahabat kekasihku akan menjenguk Abyan.
Flashback on.
Dengan tergesa - gesa, aku, Nial, Boy dan Andien berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Nial ternyata lebih cepat mendapat informasi tentang Abyan dari pada bang Aka yang notabene adalah saudara sepupu Abyan. Aku yang berada didepan bersama Nial, langsung menghentikan langkahku saat aku melihat Umi didepanku. Umi menatapku tajam. Ku telan saliva ku sendiri.
"Mau kemana kalian?" Tanya Umi.
"Kita mau jenguk Abyan tante." Ucap Nial. Umi tersenyum kecut.
"Abyan sedang istirahat. Mending kalian pulang." Kata Umi tegas.
"Maaf Umi. Ijinin..." Ucapku terpotong.
"Jangan panggil saya Umi!!! Saya bukan ibu kamu!!" Pekik Umi geram. Hatiku mencelos. Oh ya Tuhan!
"Maa... maaf tante. Ijinin kami buat ketemu Abyan. Saya mohon tante. Sebentar saja." Pintaku pada Umi Abyan. Umi menatapku dengan intens.
"Kamu mau ketemu sama Abyan?" Tanya Umi padaku. Aku mengangguk.
"Iya tante. Ijinin Keiza buat ketemu sama Abyan. Keiza lakuin apapun supaya tante ngijinin Keiza buat ketemu sama Abyan. Keiza mohon tante, sebentar aja." Pintaku memohon. Aku tak peduli jika aku harus mengemis - ngemis pada Umi Abyan saat ini. Sekalipun harus berlutut dihadapannya, aku akan melakukan itu. Aku hanya ingin bertemu dengan Abyan, apapun akan aku lakukan agar aku bisa bertemu dengan lelaki ku.
"Kamu yakin dengan ucapan kamu hah??" Tanya Umi. "Kamu yakin akan ngelakuin apa aja agar bisa ketemu Abyan?" Lanjut Umi kembali. Aku mengangguk.
"Iya tante, apapun." Ucapku tanpa ragu.
"Jauhi Abyan! Jangan pernah temuin Abyan lagi! Atau saya, akan buat Abyan jauh dari kamu!" Ucap Umi.
Deg.
Jantung berhenti berdetak. Hatiku mencelos seketika. Aku menggeleng. Tidak mungkin! Aku tak mungkin meninggalkan Abyan. Tidak! Aku tak bisa. Abyan nafasku saat ini. Dadaku semakin sesak. Mataku mulai memanas. Kedua pelupuk mataku sudah dipenuhi air beningmataku yang siap terjun dengan bebas.
"Take it or leave it." Tawar Umi.
"Ini kesempatan terakhir kamu untuk bertemu dengan Abyan. Take it or leave it??" Lanjut Umi.
"Tante... ini..." Ucap Boy yang sudah berada disisi kananku. Nial berdiri disisi kiriku.
"Shut up! It's none of your business!" Pekik Umi geram. Kudengar helaan nafas kasar dari Nial dan Boy.
"I'll take it!" Ucapku.
"Kei Lo???" Pekik Nial sambil membelalakkan matanya. "No Kei. It's fault." Lanjut Nial. Kurasakan tangan seseorang menggenggam tanganku dari belakang. Tangan Andien.
"Good. I'll give you a few minutes. Just a few minutes. No more." Ucap Umi antusias.
"See you later kids." Kata Umi.
Umi pergi meninggalkan kami. Air mataku menetes saat Umi menabrak lengan kiriku dengan kasar. Tubuhku serasa lemas.
"Shit!" Umpat Boy.
"Ayo!!" Ucap Nial sambil menarik tanganku.
Flasback off.
Ucapan Abyan masih terngiang - ngiang dikepalaku. Air mataku kembali menetes.
"Semua ini takdir sayang. Sekeras apapun kita berusaha untuk menghindar, semua pasti terjadi. Walaupun kemarin malam aku pulang pakai taksi sekalipun, aku yakin, aku pasti bakalan berada disini hari ini."
"Kei, apapun yang terjadi, aku harap kamu tetap disisiku. Aku mohon jangan tinggalin aku Kei. Aku butuh kamu saat ini. Kalaupun memang kita ditakdirin hanya untuk bertemu kemudian terpisah, aku pengen semua itu atas kuasa Allah. Biarkan rasa yang kita rasaain saat ini tumbuh dan berkembang apa adanya. Karena semua ini bukan kehendak kita. Rasa ini adalah anugerah dari sang Pencipta. Can you do that Kei?"
Kalimat - kalimat Abyan yang selalu terngiang - ngiang dikepalaku. Oh Tuhan! What should I do??
"Tuhan, sesakit inikah?? Inikah takdir untukku dan untuk Abyan? Inikah skenario cerita Mu untuk kami? Haruskah aku merasakan sakitnya kehilangan kembali??" Bathinku berkecamuk. Air mataku mengalir deras.
"Tuhan... berikan aku kekuatan. Ijinkan aku untuk bisa terus mencintainya. Biarkan dia selalu ada dihatiku, agar aku masih bisa bernafas. Tuhan, ku mohon tunjukkan kuasa Mu padaku. Aku mohon. Tunjukkan jalan Mu padaku."
Air mataku terus mengalir. Dadaku serasa sesak. Aku bisa merasakan ketenangan disini. Namun rasanya sungguh amat sakit. Aku rela jika detik ini Tuhan mencabut nyawaku. Sungguh aku tak akan sanggup untuk kehilangan orang yang aku sayangi dan aku cintai untuk kedua kalinya.
Tbc.
------
Hai readers...
Selesai juga ini chapter. Dengan rasa berduka, aku menulis cerita ini. Semoga tidak mengecewakan ya.
Aku harap kalian mau meninggalkan jejak kalian kembali disini. Semoga para secret admirers ku mau menampakkan penampakannya disini.
See you soon... muach ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top