The 8th Shoot: Terakhir Kali
Aku menyukaimu. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu. Aku refleks meremas surai frustrasi. Oh, astaga. Aku bisa gila!
Seolah dua kata tersebut bukan suatu apa, Min Yoongi tampak santai sekali selepas melontarkannya. Tak ada tanda-tanda dia menyesal atau apa pun; aku akan berdosa besar jika mengatakan telinganya memerah, sebab dia sama sekali tidak begitu. Demi Tuhan, apa kalian pernah bertemu dengan orang semacam itu? Maksudku, dengar. Pipiku terasa terbakar dan aku tergoda sekali untuk menenggelamkan diri ke dalam segitiga bermuda sekon itu juga, tetapi—well, lagi-lagi aku dibuat heran—Yoongi malah diam selagi loyal memandang tajam; tak berekspresi. Bagaimana bisa, coba?
Harus kuakui nyalinya besar sekali—itu poin yang bagus, memang. Hanya saja, perkataannya itu justru membuatku nyaris kehilangan akal. Selepas buru-buru pamit pergi tanpa sepatah kata pun, bahkan sampai sangkala menginjak hari ketiga kami belum kembali bersua—dalam periode itu halte bus merupakan tempat yang benar-benar aku hindari, tahu.
Terdengar konyol, tapi memangnya apa yang akan kaulakukan jika seseorang menyatakan perasaannya padamu, huh?
Saking sibuknya berkontemplasi, tahu-tahu aku terperanjat sendiri tatkala menemukan bahwa ternyata yang kujejaki kini bukan areal parkir sekolah, melainkan jalan di mana para pejalan kaki hilir mudik. Suasananya mendadak sibuk. Matahari tampak turun perlahan, membuat cahayanya berpendar kuning keoranyean; jam tangan bernada cokelat yang melingkari tanganku berdetik di angka empat lebih. Pun bukan lagi obrolan seputar sekolah yang menginvasi rungu, melainkan cuap-cuap para pekerja dan presensi lainnya (yang rata-rata mengusung topik betapa lelahnya mereka) yang berpadu bersama kendaraan yang tak lekang menderu.
Suasananya benar-benar sesak, pun membuat gerah; selagi terus menyusuri jalan, aku mengibaskan tangan kepayahan kendati angin yang tercipta tak sebegitu menyejukkan. Lebih-lebih, penderitaanku dirasa sempurna sebab Hoseok—oke, sepertinya kalian sudah menebak—-tidak bisa menjemputku, lagi. Alasannya? Well, jelasnya banyak sekali dan beraneka macam dan tidak masuk akal; manusia itu jelas ingin mengatakan bahwa dia malas pergi tapi dalam frasa yang dilebih-lebihkan.
Aku jadi tergoda sekali untuk mengamputasi kedua kakinya agar dia tak bisa berjalan sekalian.
Namun lalu, seiring terkikisnya spasi antara aku dan eksistensi halte, semua rutukan yang semula membludak mendadak sirna begitu kudapati bangku tempat menunggu bus tersebut ternyata memiliki seorang penghuni. Oke, terdengar hal lumrah mengingat halte memang gunanya untuk itu. Hanya saja, bukan begitu. Mengenakan celana kain sewarna jelaga dipadu kemeja flanel cokelat sebagai luaran; pria tersebut tampak sangat familier.
Awalnya aku memang masa bodoh saja begitu tiba. Lagi pula akan sangat memalukan jika aku sampai salah orang. Namun manakala mendaratkan diri di bangku ujung, aku tiba-tiba dibuat stagnan tatkala pria di sampingku itu bersuara, “Hei, An. Bagaimana kabarmu?”
Sial!
Aku yang baru saja ingin memainkan ponsel mendadak membeku. Suara itu—aku mengenalnya. Sangat. Menggigit bibir bawah, sensasi gugup terasa merangkak dari tungkai hingga ke ubun-ubun—lebih-lebih saat mengalihkan atensi dan menemukan pria bersurai pirang tersebut menatap intens. “O-oh, hei, Yoongi? Kukira itu bukan kau, hehe,” timpalku, gelagapan sekaligus heran bukan main. “Aku ... baik. M-maksudku—sangat baik. Bagaimana denganmu?”
Yoongi tak lekas membalas. Alih-alih, seulas senyum tipis lebih dulu tersemat apik di romannya dalam sejemang. “Semenjak terakhir kali bertemu di kafe, kau menghilang tiga hari setelahnya—aku tak menyangka jika apa yang kukatakan bisa berdampak seburuk itu padamu. Maaf.”
Eh?
Aku spontan mengernyit. Sebenarnya iya, sih, tapi dia seharusnya tidak meminta maaf begitu! Jadi menggeleng panik, aku buru-buru membalas, “Aku—tidak. Maksudku, kau tidak salah apa pun, kok, Yoon! Tak perlu minta maaf, sungguh.”
Alis Yoongi terangkat. “Kupikir aku memang seharusnya minta maaf, bukan?”
“Tidak perlu, kok! Aku—”
“Aku jadi merindukanmu.”
“Ya?”
“Selama tiga hari itu aku selalu menunggumu, tapi kau tak pernah muncul.”
Deg.
Mata terbelalak, aku dibuat membeku seolah palu ajaib milik karakter Thor di film Avengers baru saja menghantam kepala. Serius, kenapa perkataannya akhir-akhir ini menjadi aneh sekaligus ... membuat jantungku bertalu-talu? Pun pandangan Yoongi sukses tebarkan kesejukan absolut sekali pun sebenarnya cuaca sedang benar-benar membuat gerah. Aneh. Ajaib. Namun menenangkan.
“Um, benarkah? Tapi aku tidak menghilang, kok. Aku hanya—” T-tunggu. Tunggu sebentar. Kerongkonganku tiba-tiba tercekat tatkala menelitinya lamat. Ada sesuatu yang kurang dari presensi Min Yoongi; sangat janggal dan tak biasanya. Pria itu loyal bungkam selagi menanti, sedangkan aku kembali—untuk kesekian kali—luar biasa terkejut manakala menyadari hal krusial apa yang selama ini torehkan kerutan di kening. Lantas aku mengimbuhkan panik, “Yoongi, mana alat bantu jalanmu?!”
Ya, Yoongi tak lagi mengenakan kruk seputih tulangnya. Pun daripada itu, dia malah terkekeh—kendati kedengarannya begitu pahit alih-alih merasa lucu. “Apa kau tidak senang jika aku sembuh, An?”
“Apa? Tidak!” Spontan, aku menggeleng cepat. “Aku hanya terkejut.”
“Terkejut?”
“Y-ya ... rasanya aneh jika kau tak memakai kruk begitu.”
“Benarkah?”
“Uhm, i-iya.”
“Bagaimana jika aku berbohong?”
Alisku bertaut. “M-maksudmu?”
Yoongi hanya tersenyum. Atensinya bertumpu pada objek di sana; horizon berlembayung jingga. Bibir mungilnya terkatup. Kedua tangannya terjejal di saku celana. Dia tampak santai sekali kendati sedari tadi kuriositasku tentangnya sudah meluap hebat. “Sebenarnya aku belum pulih total,” tuturnya, sukses membuatku lagi dan lagi merasa disengat berjuta volt listrik. Yoongi berusaha membuat emosiku berolahraga apa bagaimana, ya? “Tapi aku tak ingin memakai alat bantu jalan lagi. Jadi kutinggalkan saja alat itu di rumah.”
Walau terhenyak, kucoba menyahut, “Tapi kenapa?”
Yoongi mengendikkan bahu. “Entah, An. Merepotkan saja rasanya.”
“Merepotkan?”
“Aku tidak merasa bebas.”
“Tapi bukankah kakimu akan terasa sakit jika dipaksakan berjalan tanpa alat bantu?”
Alih-alih segera menjawab, Yoongi malah mengembuskan napas terlebih dulu. Kedengarannya, dia tengah berusaha mengeluarkan banyak beban, namun yang keluar justru dalam bentuk gas semata. Tapi yang membuat alisku mengernyit, ada kekehan kecil yang dilontarkan mulut mungilnya selagi ekor matanya terarah pasa sepatu converse hitam yang dikenakan.
“Kau tak senang, ya, An?” Yoongi kembali bertanya; aku terperanjat. Mendapatiku yang memandang tak paham, dia mengulang, “Sekarang aku tak lagi memakai kruk. Apa kau tak senang?”
Sontak mataku membulat; kaget plus tak mengerti. Aku memang agak janggal begitu melihat Yoongi berjalan tanpa kruk. Namun kendati ada segelimang rasa demikian, bukan berarti aku tak senang jika dia berusaha untuk sembuh. Bukan berarti aku tak senang jika dia berjalan dengan normal lagi. Sungguh. Aku hanya merasa bahwa seorang Min Yoongi tak lagi terlihat unik.
Ya, hanya itu.
Jadi setelah menenangkan diri, meraup napas dalam, aku menimpali, “Apa-apaan, sih, Yoon? Tentu saja aku senang. Kendati belum seutuhnya pulih, tapi setidaknya kau berusaha, bukan?”
“Apa benar begitu?”
Aku mengangguk. “Tentu.”
Kendati seraut tak puas tersemat apik di wajah pucatnya, Yoongi tak ayal memamerkan deretan gusi berkalsiumnya hingga kedua netra sabit itu kian menyipit. Seakan menular, aku lantas tersenyum juga. Hangat sekali rasanya. Mata kami merajut tatap untuk sejenak, kemudian terputus karena pria itu melempar atensi pada sepatunya; untuk kesekian kali. Kenapa dia suka sekali memerhatikan sepatunya, ya?
“An?” Yoongi bertanya tanpa menoleh.
“Ya?”
“Kau tak keberatan, bukan, jika aku selalu meminjam ponselmu?”
Alis terangkat, aku menimpali, “Astaga, tidak sama sekali. Santai saja.”
“Kalau begitu ...,” Selagi menjeda, Yoongi menoleh. Sorot matanya berubah sayu nan kelam; membuatku tenggelam. Selama ini dia selalu tersenyum manis, tetapi kenapa jauh di dasar jelaga itu terdapat banyak penderitaan? Aku keheranan, merasa ada yang ganjil, namun dia justru melanjutkan, “ ... aku ingin meminjam ponselmu lagi, An. Apa boleh?”
Menyadarkan diri dan berusaha bersikap normal, aku mengangguk sebelum mendaratkan ponsel di telapak tangannya. Seperti biasa, Yoongi mengetik, namun kali ini durasi waktunya jauh agak lama ketimbang hari-hari lalu. Ingin sekali kuintip apa gerangan yang dia tulis, tetapi aku urung. Biarlah. Aku harus menghargai privasinya, bukan? Lagipula aku bisa mempertanyakan apa maksud dari ini semua nanti.
Ya, nanti.
“Terima kasih,” ucapnya. Ponsel sudah kembali lagi padaku, sementara Yoongi lagi-lagi tersenyum. Hanya saja bukannya merasa tenang, yang kudapat justru guncangan dahsyat tatkala mendengarnya mengimbuhkan, “Besok, besoknya lagi, atau pun di hari selanjutnya, mungkin aku tak lagi meminjam ponselmu, An. Jadi jangan khawatir. Ini mungkin yang terakhir kalinya.”
Aku pikir itu hanya bualan, tetapi rupanya aku salah besar. Sebab tidak hanya menjadi kali terakhir meminjam ponsel, hari itu pula menjadi kali terakhir kami bersua sebelum Min Yoongi lenyap entah ke mana.
-⚫🌕⚫-
A/n: bentar lagi nyampe ke konflik—aku gak tahu kalian bakal terkejut apa engga, haha, tapi aku usahain buat bikin kalian gundah-gulana. however, as usual, can yall show me some supports, please? ;'D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top