The 6th Shoot: Memori dan Ungkapan

Cahaya mentari di hari minggu ini tak menyengat ganas; justru menyebar sensasi hangat nan memanjakan indra peraba. Pun hadirnya semilir angin kian menambah tenang suasana. Mendapati hal demikian, sontak membuat senyum syukur tersemat apik di wajahku yang dipoles seadanya-hanya bedak dan lipstik warna bibir tipis. Sebab, dengan cuaca yang mendukung begini, itu berarti aku tak perlu kepayahan memakai parfum untuk menyembunyikan bau keringat, bukan?

Lagi pula, hei, bertamu ke rumah orang dengan keadaan bau seperti sampah yang membusuk tidak terdengar menyenangkan, asal kautahu.

"Arin, mengingat kau sudah dewasa, aku akan pulang sekarang, ya?"

Seuntai kalimat tersebut memecah hening-yang sepersekon lalu menyelimuti-di kala aku asyik menikmati ciptaan Tuhan. Memalingkan atensi pada sumber suara, aku sukses merotasikan bola mata tatkala mendapati si tengil Hoseok yang masih duduk manis di motor biru kesayangannya itu. Maksudku, ayolah. Kepala dibalut helm kebesaran; mata berkaca-kaca; bibir mengulum ke bawah; dia seperti bocah umur lima tahun yang merayu pada ibunya untuk dibelikan permen-membuatku bergidik geli sekaligus mengutuk diri karena memiliki kakak sepertinya. Well, dia sudah nyaris menginjak dua puluh dua tahun, ingat?

Aku tak menanggapi; masih menatapnya jijik. Dan, ya, hal tersebut sukses membuatnya mengulang ucap dengan nada halus yang sudah jelas dibuat-buat, "Jung Arina, izinkan Jung Hoseok-mu ini pulang dan mengistirahatkan tubuhnya di rumah, ya?"

Jung Hoseok-mu, katanya? Yang benar saja.

"Tunggulah sebentar lagi, Jung," pintaku mantap seraya memasang ekspresi tak kalah memelas-aku tak ingin kalah darinya, tahu. Melirik ke arah bangunan semi-permanen yang didominansi warna cokelat (dengan hamparan rumput bak beludru serta beberapa tanaman hias yang tertata apik di areal pekarangannya) itu sekejap, aku menambahkan, "Aku takut sendirian disini. Setidaknya tunggu sampai aku mengetuk pintu dan pemilik rumahnya keluar, oke?"

"Aish, kenapa harus takut segala? Bukankah ini rumah temanmu?"

"I-iya ... memang, sih." Karena Hoseok masih menatapku tak paham, aku mengusap tengkuk kikuk jadinya. "Pokoknya tunggu saja, Jung. Bokongmu tidak akan terkena bisul hanya karena menunggu, bukan?"

"Persetan dengan bisul, aku kepanasan, Arina."

"Sebentar saja, kok. Ya?"

"Tidak."

"Demi adikmu tersayang, loh?"

"Kalau begitu aku pergi."

Serius, sebelah sepatu loafer yang kukenakan barangkali sudah mendarat di wajahnya jika saja pria cengengesan itu tak langsung menancap gas. Selamat bersenang-senang dengan temanmu, teriaknya sebelum ditelan jalanan. Dan itu sukses membuatku tergoda untuk menyumpal mulut cerewetnya dengan kotoran ayam. Persetan dengan fakta bahwa dia kakakku, biar tahu rasa saja.

Sesekali dia harus diberi pelajaran, 'kan?

Rutukan demi rutukan kuledakkan di dalam hati-pastinya, sih, lagi pula aku akan membuat gaduh jika berteriak seperti orang gila. Namun kendati demikian, tungkaiku loyal menopang tubuh di depan pekarangan dengan pohon berdaun rimbun sebagai naungan; sunyi yang menjadi peneman. Hanya saja, aku masih menghadap jalanan, sebab rasanya perlu keberanian besar untuk menghadap ke rumah beraksen kayu mahoni tersebut. Entah apa alasannya, yang jelas gemetar yang menggerayangi nyaris sekujur presensi ini menjadi salah satu faktor. Terlebih suasana hening nan mencekam begini membuat-

"Sampai kapan kau akan berdiri disana?"

Ah, sial!

Sumpah, jantungku seolah berhenti berdetak seiring napas yang otomatis tertahan dalam beberapa sekon. Beroktaf rendah; agak serak; terdengar dingin menyentuh rungu; bahkan tak perlu dua detik untukku mengenali siapa pemilik suara barusan. Sensasi gemetar lantas kian gencar menyergap, membuatku refleks meneguk saliva serta bertingkah gelagapan. Sebab, Demi Tuhan, ini akan menjadi pertemuan kami setelah sekian lama. Jadi sepertinya wajar jika gugup kian menyeruak hebat seiring degup jantung yang mendadak bertalu-talu kesetanan di dalam sana.

Iya, 'kan?

Meraup oksigen rakus, mencoba bersikap netral, suara khas tersebut kembali mengudara tatkala aku berhasil membalikkan diri, "Kau seperti pencuri yang tertangkap basah sebelum melakukan aksi, tahu, An."

Yoongi yang tengah berdiri di teras rumah tampak terkekeh-matanya seolah tenggelam bersamaan dengan deretan gusi yang terpamer apik. Pria berkaus kelabu dengan luaran kemeja kotak merah dipadu celana kain senada tersebut beranjak mengikis spasi. Mulanya kupikir, kami akan bersitatap dengan keadaan kakinya yang sudah sembuh. Namun begitu dwinetra ini menangkap caranya melangkah nan masih terseok-seok, sudah kudapatkan jawabannya tanpa perlu melontarkan tanya. Alhasil, aku menghela napas paham, kemudian mendedikasikan diri untuk mendengar ketak-ketuk yang mengudara begitu kruk seputih tulang tersebut menyentuh permukaan jalan berbatu-yang membentang dari pintu pagar hingga undakan tangga teras-sebelum akhirnya deritan mengambil alih begitu tangannya membuka pagar.

"M-maaf," Aku langsung berkata pelan begitu kami benar-benar berhadapan-tetap, tanpa berani menyulam pandangan. Memainkan jemari gusar, aku menyempurnakan ucap, "Seharusnya aku tidak membuatmu repot seperti ini."

Kudengar Yoongi menjawab cepat, "Aku tidak merasa begitu."

"Y-yah tapi-"

"Omong-omong, kau terlihat seperti berniat sekali bertemu denganku, ya."

Tunggu. Apa katanya?

Mendongak cepat, kedua pipi lantas memerah sempurna seiring batu bata nan seolah menghantam tepat di kepala tatkala kudapati Yoongi menyelisik presensiku intens. Mata sabitnya itu kian menyipit; mengobservasi dari bawah hingga atas; rasanya seperti tengah dikuliti hidup-hidup oleh psikopat, asal kautahu. Pun menggigit bibir bawah sejenak, aku mulai bertanya-tanya. Long sleeve dress selutut navy; tas selempang cokelat kecil; loafer senada; serius, memangnya apa yang salah dengan pakaian yang kukenakan?

Juga, apa gagasan pokok yang sebenarnya ingin dia sampaikan?

Jadi menyiapkan mental, kalimat bernada pertanyaan kulayangkan kendati dibumbui gemetar, "A-aku tidak paham maksudmu apa, Yoon. A-apakah ada yang mengganggumu?"

"Well, kau terlihat sempurna." Pria bersurai pirang itu tampak mengendikkan bahu-pertanyaanku sepersekon tadi berakhir retoris, jadinya. Dan kalau boleh jujur, aku masih tak mengerti akan jalan pikiran Min Yoongi ini. Aku berbicara apa, dia menjawab tentang hal yang berbeda. Hal demikian berhasil memantik rutukan serta kuriositas yang susah payah kutimbun. Hanya saja, belum juga pasokan oksigen kuraup, Yoongi lebih dulu menginterupsi dengan kekehan merdunya selagi memungkas, "Jangan memandangku begitu, eh, kau membuatku gemas. Lagi pula, kau datang ke sini bukan untuk sekadar mengobrol di pekarangan rumahku, bukan?"

***

Selagi meneliti seluruh penjuru, aku tak hentinya berdecak kagum. Rumah Yoongi rapi sekali. Serius.

Cat dinding bernada cokelat pudar menyambut begitu menjejakkan kaki di ruang tengah; beberapa bingkai foto tertempel, selebihnya kosong. Vas bunga bertengger di meja kayu, ia memiliki warna senada dengan sofa krem yang mengelilinginya. Televisi tepat menghadap ke arah pintu masuk; di sisi kirinya terdapat jendela bergorden transparan; guci dengan tanaman hijau di pojok ruangan; benar-benar minimalis, sih, menurutku. Pun begitu, ada keheranan tersendiri sebab wow-ternyata-tidak-selamanya-rumah-yang-dihuni-pria-itu-berantakan.

"Teh dan kukis perpaduan yang sempurna, ingin mencobanya?"

Barangkali aku akan terus mengobservasi sekitar jikalau suara memabukkan tersebut tak meraup atensi. Pun jujur saja, rasa tak nyaman menggangguku begitu mendapati sosok Yoongi yang muncul dari balik dapur: dia kerepotan sekali-sebelah tangan mengatur kruk, sebelah lagi membawakan hidangan. Sepersekon selepas pria itu menaruh nampan di meja, pula mendaratkan diri di sofa, spontan aku ikut duduk seraya mengusap tengkuk kikuk.

"Y-Yoongi, padahal tidak perlu-"

"Kau tak perlu heran, laki-laki juga bisa mengurus rumah."

"Ya?"

"Tehnya akan dingin jika dibiarkan begitu," potong Yoongi kilat-dagunya menunjuk pada dua gelas cangkir tanah liat sewarna susu tersebut. "Aku tidak menambahkan terlalu banyak gula, takut kau tak selera. Kalau kau justru tak suka, kau bisa menambahkannya sendiri."

O-oke? Aku masih menatapnya heran, sedangkan yang menjadi tumpuan justru nampak santai menyeruput tehnya. Sumpah, Min Yoongi ini sebenarnya berkata apa? Mengerjap-ngerjap-seolah itu bisa membantu otakku mencerna-secuil hal krusial merangsek ke dalam kepala: aku yang sudah gila atau memang Yoongi yang berbicara kemana saja? Sebab, Demi Tuhan, kurasa konversasi tadi sama sekali tak ada korelasinya.

"Semenjak Ibu meninggal, aku memutuskan tinggal dengan Wonwoo Hyung ketimbang menyewa apartemen sendiri. Dan, ya, sekarang dia sedang bekerja, jadi tak kelihatan di rumah," Oktaf rendah Yoongi berhasil membuatku terkesiap-sekaligus heran untuk yang kedua kali. Aku sama sekali tak bertanya, serius, tetapi di sela mengerutkan kening, setidaknya aku bisa memangut paham tatkala dia menjelaskan, "Kau memang tak bertanya, aku tahu. Lagi pula aku hanya sekadar bercerita-itu lebih baik daripada diam saja, bukan?"

Senyum maklum tersemat begitu aku menimpali, "A-ah, tentu, Yoon. Mendengarkan ceritamu sambil menikmati teh dan kukis tidak terdengar buruk, kok."

"Ya, dan kurasa kau memang seharusnya tahu, An."

"B-begitukah? Kenapa?"

"Aku percaya padamu." Dwinetra semi-sabit itu memagut milikku intens. Degup jantungku kontan berubah abnormal. "Lebih dari itu, aku ingin semua hal yang berkaitan denganku dapat selalu kausimpan di memorimu-bahkan jika aku sudah tidak ada sekali pun."

Deg.

Kutemukan makna ambigu di balik kalimatnya barusan yang sulit untuk dijabarkan. Atmosfer aneh lantas menyeruak seiring sunyi yang perlahan menyelimuti. Min Yoongi memang akan selamanya menjadi Min Yoongi: unik, tak terdefinisi, pula penuh misteri. Terkadang aku muak menghadapi gelagatnya, tetapi seiring kujejaki waktu, hal demikian menjadi candu tersendiri.

Presensi Min Yoongi itu sarat akan adiksi.

"Keluargaku hancur saat Ibu meninggal karena bunuh diri. Barangkali dia tertekan, tapi aku tak tahu alasan pasti di baliknya. Aku anak tak tahu diri, ya, An?" Sesuatu nampak menggumpal di pelupuk mata seindah bulan itu. Yoongi tak menatapku, melainkan mengalihkan pandangannya pada hal lain. Namun aku seolah ikut merasakan bagaimana pedihnya beban yang harus dia tanggung saat vokal sedikit serak itu kembali terdengar, "Ayah tiba-tiba menghilang beberapa pekan setelahnya, tanpa ada setitik pun rasa sedih mau pun kehilangan. Dari itu aku sadar, mungkinkah Ayah yang membuat Ibu menyerah? Mungkinkah sebenarnya Ibu sudah memendam rasa sakit lebih lama dari yang aku bayangkan, meski mereka nyaris tidak pernah bertengkar? Aku merasa berengsek dan tolol dalam waktu yang sama. Tapi aku-"

Ada banyak makian yang dilontarkannya; semua kentara dengan luka tak terbantahkan. Pun alih-alih menimpali, aku hanya memandangnya iba tanpa mengucap sepatah kata. Sedingin atau seaneh apa pun Yoongi, ternyata dia menyembunyikan derita itu dengan apik. Tentang Ibunya yang meninggal tak wajar; Ayah yang menghilang; Kakak yang bekerja mati-matian; kecelakaan yang membuat kakinya bermasalah; barangkali aku tak pernah tahu itu semua jikalau pria itu tak menceritakan.

Min Yoongi sejenak terkekeh miris; membuat pilu merangsek ke dalam ulu hatiku. Raut wajahnya berubah lebih misterius tatkala bertanya, "Oh, ya, An. Barangkali selama ini kau bertanya-tanya mengapa kita tidak pernah bertemu di sekolah?"

Kendati sempat ragu, tapi akhirnya aku mengangguk terburu. Memang hal itu-salah satu-yang membuatku kelewat penasaran selama ini. Namun, sayang, alih-alih langsung jawaban, justru seulas kurva tipis yang kudapatkan. Pun aku merasakan suasana berevolusi menjadi lebih tegang-sekaligus rasa haus akan penjelasan yang kian meronta-ronta-tepat selepas kalimat pungkasnya mengecup telinga, "Setelah pulang sekolah besok, tunggu aku di halte. Aku ingin menikmati senja bersamamu."

Atas semesta dan segala isinya, mengapa Yoongi gemar sekali membuatku heran setengah mati? [ ]

***




A/n: Halooo! Selamat bertemu kembali sama YoongixArina, ehe (sebenernya ada beberapa hal yang pengen kuomongin, cuman takut meluber kemana-mana wkwkw). Anyway sejauh ini, apa pendapat kalian mengenai cerita ini sendiri? Ada yang mau berteori, mungkin? Atau ada pertanyaan yang pengen ditanyain mengenai Yoongi's Crutch? Review kalian akan sangat membantu, serius, so drop your answers through comment, please! 💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top