The 3rd Shoot: Tahap Berjalan

Semenjak mengenal Yoongi lebih dekat, aku lebih sering menghabiskan waktu di halte ketimbang buru-buru pulang. Pun belakangan ini aku tak merasa keberatan jika Hoseok tak dapat menjemput; justru malah bahagia. Tak dapat kutemukan alasan yang konkrit mengapa aku begitu. Yang jelas, Yoongi terasa istimewa bagiku. Karena dialah satu-satunya pria yang terlihat begitu memukau saat menggunakan sebelah kruk sekali pun. Dan aku amat menyukai sesuatu yang memukau.

Alhasil, akhir-akhir ini kami sering bertemu. Yoongi selalu bercerita; aku mendengarkan. Pun kebalikannya. Kebanyakannya tidak penting, sih, tapi setidaknya ampuh untuk membunuh waktu.

"Mereka bilang kakiku terlalu ramping, An, apa benar?" sua Yoongi pada saat aku memintanya untuk menceritakan kronologi mengapa kakinya cedera.

Aku terpeleset saat menuruni tangga di rumah, katanya tadi sekali. Aku mengangguk paham; kendati berusaha menahan tawa yang kian meledak-ledak. Tapi, mendapati Yoongi tercenung menunggu tanggapan setelah melontarkan tanya demikian, kuberikan respons dengan terkekeh kecil sebelum meloloskan jawaban.

"Ah, tidak," tukasku. "Tidak adil rasanya jika mereka berasumsi bahwa kau terjatuh karena kakimu ramping. Kaki ideal pun jika memang sudah takdirnya terjatuh, ya terjatuh saja."

"Bukan terjatuh, An. Tapi terpeleset."

Ya, ampun, bukankah terdengar sama saja? geramku dalam hati sebelum berkata secara nyata. "Kedengarannya sama saja, Yoon."

Alis Yoongi menukik tajam; sarat akan rasa tak terima. "Padahal jelas sekali perbedaannya. Terjatuh dan terpeleset, walau pun awalnya sama-sama menggunakan imbuhan "ter", tetap saja lanjutannya berbeda."

Terdengar masuk akal juga, tapi berbelit-belit. Ada yang kupahami pun ada yang tidak. Namun kendati demikian, kami sama-sama tertawa buncah setelahnya. Aku sempat menimpali dengan "terserahlah Min Yoongi yang selalu benar" yang langsung ditanggapinya dengan "terima kasih Jung Arina yang selalu salah". Lucu, bukan? Padahal aku kesal pada awalnya, tapi Yoongi sukses menukar kekesalan itu dengan terciptanya tawa.

Selain memukau, Yoongi sangat unik, ternyata.

Begitu tawa kami mereda, bus datang beberapa sekon setelahnya. Tapi waktu itu, Yoongi sama sekali tak beranjak; pun tak mencegahku seperti biasanya. Si mata bulan sabit itu hanya ikut berdiri, dan berkata "Cepatlah naik, hari sudah sore" selagi tangan cemerlangnya mendorong bahuku pelan (mengisyaratkanku untuk segera melangkah). Itu aneh, tentu saja. Tak seperti biasanya. Alhasil, aku hanya dapat termenung heran bahkan saat melihat Yoongi melambaikan tangannya sekilas sebelum bus benar-benar melaju.

Kuriositasku sempat membludak. Ada apa dengan Yoongi hari itu? Mengapa dia bersikap berbeda? Kubertanya-tanya kendati tetap tak kutemukan jawaban. Pertanyaan itu seakan bergemuruh; meledak-ledak; entah sekusut apa pikiranku dibuatnya. Well, meski seharusnya aku tak ikut campur karena itu kehidupan Yoongi sendiri--orang yang baru-baru ini kukenali, yang namanya penasaran sulit ditahan, bukan?

Jadi, hari ini, kuputuskan untuk kembali mendudukkan diri di halte. Tujuan utamaku bukan untuk menunggu bus, tapi menunggu Yoongi. Soal pulang, bisa kupikirkan nanti. Toh, jika memang tertinggal bus, masih ada Hoseok. Sekali pun dia menolak, akan kuancam dia dengan cara yang paling ampuh; mengebiri alat kelaminnya. Bukankah itu ide yang bagus?

Mencoba mengesampingkan hal menjijikan barusan, kualihkan atensi pada panorama di atas sana. Yang beruntungnya, kudapati bahwa cuaca di pukul empat sore ini bersahabat sekali. Dengan anggunnya si jingga terlukis di angkasa selagi Sang Mentari perlahan turun merengkuh bumi. Cahayanya yang perlahan berpendar begitu menenangkan hati; tak menyilaukan, melainkan meneduhkan. Pun kali ini, tak ada suara bising yang memekik rungu mengingat kendaraan mulai jarang melintas; nyaris diambil alih sepi.

"Hei, An."

Tiba-tiba, suara berat nan loyal di nada rendah itu memecah hening. Itu Yoongi. Tangannya tampak melambai pelan selagi menderap ke arahku; kelihatan kesusahan sekali jalannya itu. Namun, begitu tubuhnya sudah berdiri tepat di hadapan (yang membuatku mendongak), Yoongi tak kunjung duduk. Di malah menunduk--melihatku--seraya tersenyum tipis. Kelewat tipis, jujur saja.

"Kalau hari ini aku membawamu ke suatu tempat, apa kakakmu di rumah tidak apa-apa?" tanyanya tak berbasa-basi; masih berdiri.

"Tidaklah, Yoon." Aku terkikik sebentar; geli saja rasanya mendengar pertanyaan semacam itu. "Aku pulang terlambat atau tidak, dia malah tidak peduli. Jadi bisa dibilang, aku punya banyak waktu."

"Sungguhan?"

Aku mengangguk mantap.

"Kalau begitu ayo, An," Yoongi mengulurkan tangan; sontak aku menerimanya lantas bangkit. Duh, antara presensiku dan Yoongi, jaraknya tipis sekali. Nyaris tak ada spasi. Kian bertambahlah gemetar yang menggerogoti tatkala dia menatap mataku intens selagi melanjutkan dengan suara memabukkan, "ada suatu tempat yang ingin kutunjukkan padamu. Dan ada seseorang yang ingin bertemu denganmu di sana."

***

I-ini ... serius?

Percaya atau tidak, pria bernama Min Yoongi yang menggunakan kruk ini membawaku ke sebuah tempat--yang jujur saja--bukannya menakjubkan, malah membuat bulu romaku meremang hebat. Aku menemukan pohon beringin berdiri kokoh menaungi gundukan-gundukan tanah dengan tanda di atasnya. Tak cukup jauh jaraknya dari halte, memang; hanya menghabiskan waktu beberapa menit dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. (Seperti biasa, Yoongi selalu membawaku ke tempat yang tak terlalu jauh dari halte, entah kenapa). Tapi yang sedari tadi menjadi pertanyaan: ini benar-benar tempat yang Yoongi maksud?

"Y-yoongi," Aku berbisik takut-takut selagi mendekap tangan Yoongi refleks; membuat dia berhenti melangkah dan menoleh. Mataku terus berotasi; meneliti tiap presensi yang bereksistensi; kendati tetap, sensasi aneh ini tak lekang menggerayangi.

"Ada apa?"

"Kenapa kau membawaku ke ...," Ada sejemang jeda yang kuambil selagi meneguk saliva getir. Oh, sungguh. Ketakutan sekali rasanya. Terlebih ketika aku melanjutkan gugup, "... p-pemakaman?"

Alih-alih, Yoongi malah terkekeh renyah. Netra sabitnya kian tenggelam; gusi-gusi nan terawatnya terpamer apik. Dia malah kembali meraup langkah begitu damai, sementara mau tak mau aku mengekor saja kendati ditempa heran. Pun dia sempat berkata, "jangan takut, kau akan segera tahu"--selagi atensinya tetap terfokus ke depan sana.

Tapi tetap saja keringat dingin ini muncul membelai pelipisku; manifestasi dari rasa takut itu sendiri.

"Nah, sudah sampai, An." Langkah pria bermarga Min ini berhenti tatkala tiba tepat di bawah naungan pohon yang rindang. Yoongi lantas berjongkok menghadap satu makam selepas menanggalkan kruknya di tanah. Kendati bingung, tapi tak ayal kusejajarkan diri dengannya; ikut berjongkok. Selagi tangannya mengelus batu nisan seputih gading yang bertuliskan: R.I.P MIN YOONA, dia melanjutkan, "Halo, Bu. Apa kabar? Rasanya sudah lama sekali, ya, semenjak kau pergi beberapa tahun yang lalu. Aku rindu sekali pada ibu."

Melihat seuntai kurva pilu dipadu tatapan sayu tersemat di wajah Yoongi, hatiku mencelos. Oh, ya, ampun. Pradugaku meleset tajam. Pria pucat ini bermaksud berkunjung ke makam Sang Ibu untuk melepas rindu. Tak lebih. Bersalah karena sempat berpikir yang tidak-tidak, kuusap pelan punggung kekarnya; berharap dia merasa tenang. Menyedihkan sekali, pikirku. Ternyata Min Yoongi sudah lama menjadi anak piatu.

"An...." Yoongi melirik.

"Hm?"

"Kau tidak keberatan, bukan, jika aku membawamu ke sini?"

Aku menggeleng. "Untuk bertemu ibumu, aku sama sekali tidak keberatan."

Sejenak, seuntai kurva manis terlukis indah di wajah cemerlang Yoongi; amatlah tulus. Tuturan "terima kasih" nan terdengar begitu lirih sempat menyentuh runguku lembut, sebelum akhirnya dia kembali melempar atensi pada peristirahatan terakhir Sang Ibu. Tetap, bersama senyum madu yang loyal terpamer dan manik sabit yang kian menyipit, dia menceritakan banyak hal pada makam. Di mulai dari pertemuan pertamanya denganku, kebiasaan kami yang bertemu di halte, dan banyak lagi. Kendati aku hanya bisa memangut-mangut seraya terkikik lucu tatkala memerhatikan ekspresinya.

Min Yoongi hari ini sedikit bersemangat.

"Kupikir kau sudah gila karena membawaku ke pemakaman. Tapi ternyata kau hanya ingin menunjukkan makam ibumu, ya," ujarku begitu kami melangkah keluar area pemakaman; tentunya selepas berpamitan dengan makam ibunya Yoongi. Suara gemeresak dedaunan kering yang kami jejaki menyatu dengan tawa renyah dari Min Yoongi.

"Hahaha. Untuk itulah, jangan dulu berprasangka aneh terhadap sesuatu, An. Begini-begini juga aku masih waras."

"Tadi kau tidak memberitahuku secara jelas, sih." Aku menyilangkan tangan; mengerucutkan bibir; berpura-pura sebal. "Jadi wajar saja jika aku berasumsi aneh saat kau membawaku ke kuburan."

Setelahnya, kudapati sebelah tangan Min Yoongi--yang bebas dari kruk--menggaruk tengkuknya selagi ia terkekeh renyah. Pria itu sempat melirikku sejenak sembari berkata, "Ya sudah, maaf. Kali ini aku salah."--sebelum kami sama-sama tertawa buncah pada ujungnya.

Tak ada yang sedang berlelucon. Kami tertawa hanya karena kami ingin.

Di kala buncahan tawa mereda, senyap mengambil alih untuk sejemang waktu. Lantas, tatkala tungkai mulai menderap di atas trotoar, meraup langkah di samping kendaraan yang berlalu-lalang, Min Yoongi kembali memulai ucap. Kali ini nada suaranya lebih rendah; terdengar dingin nan membekukan telinga. Lirih dan parau dalam waktu bersamaan, pula. Drastis sekali perubahannya, ya.

"An ...,"

Aku menoleh.

"... aku ingin meminjam ponselmu lagi. Boleh?"

Aku tak mengangguk, pun tak mengiakan. Namun tangan yang refleks merogoh ponsel dan memberikannya pada Yoongi adalah bukti bahwa aku berkenan meminjamkannya; kendati raut wajah ini entahlah seabstrak apa saking herannya.

Yoongi mengembalikan ponselku selepas beberapa menit mengetik sesuatu; seperti biasa. Pula, biasanya dia akan mematrikan kurva manis di wajah, atau setidaknya mengucapkan terima kasih. Akan tetapi, kali ini berbeda, teman-teman. Pria pucat itu tak berekspresi apapun. Alih-alih berterima kasih, dia justru berkata, "Aku Min Yoongi, pria sembilan belas tahun yang suka bermain piano. Aku bahagia bisa mempertemukanmu dengan mendiang ibuku. Dan aku menjadi ingin memperpanjang kontrak hidup-ku pada Tuhan."

An mengernyit. Oh, Min Yoongi memulai lagi. [ ]

***

Note!

Semoga di chapter kemaren ngga bosen, begitu pun di chap ini. Kalo ada pendapat/unek-unek/koreksi/komentar boleh banget kirim ke kolom komentar, ya. Buat intropeksi juga.

Oh, ya, as always, kalian ga perlu vote kalo misalkan ga tertarik ;").

Thank u so much and see ya! 💜💜💜


P.s bagi yang peka, mungkin kalian bakal tau kalo di sini aku ngasih hint kecil ;)).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top