The 2nd Shoot: Kedai dan Piano
Di hari-hari berikutnya, aku menjalankan rutinitas kelewat lumrah; membosankan. Berhubung beberapa hari terakhir Hoseok mendapat hidayah untuk menjemputku (yang artinya aku tak lagi menunggu bus di halte), maka aku tak lagi bertemu dengan pria pucat bernama Min Yoongi itu. Bahkan, walau pun kuyakini kami satu sekolah, aku tak pernah sekali pun bersitatap dengannya. Padahal area sekolahku tidak terlalu luas, kalau dipikir-pikir.
Namun kali ini, entah aku harus bersyukur (karena berkesempatan bertemu Min Yoongi) atau justru sebaliknya, aku tidak tahu--setidaknya, belum. Hoseok lagi-lagi tidak bisa menjemputku. Yang pada akhirnya aku harus mendaratkan bokong lagi di kursi halte di jam sore seperti ini.
“Aku ada tugas hari ini. Jadi tidak bisa,” kata Hoseok tadi sekali lewat telepon. Suaranya agak merengek; itu membangkitkan instingku untuk menyumpal mulutnya dengan kaus kaki, jujur saja.
Hoseok terus menjelaskan panjang lebar, ini-itu, omongan sampah lainnya tak satu pun dilewatinya. Sempat aku bertanya, mulutnya diciptakan dari apa? Kendati tetap pertanyaanku itu berakhir retoris. Daripada telingaku bermasalah karena terus mendengarkannya mengoceh, aku menutup sambungan telepon dengan segera. Tentunya setelah dia berkata; “kau pulang naik bus saja” di detik terakhir, seperti biasanya.
Dan ternyata benar, beberapa sekon selepas aku mendudukkan diri, Min Yoongi itu datang. Dia masih memakai alat bantu jalan. Tapi langkahnya mulai terlihat agak mendingan; tak seperti saat pertama kali kami bertemu. Sebenarnya, aku heran. Dengan kondisi kaki kanan seperti itu, dia masih bisa beraktifitas tanpa merasa terhambat.
Bagus, sih.
“Kau baru muncul,” Yoongi berujar dengan nadanya yang tak berubah; datar. Kemudian, dia duduk di tempat biasanya begitu aku menanggapi.
“Hehe ... iya.”
“Ke mana saja, An?”
T-tunggu. Apakah itu panggilan khusus?
Dan juga, Yoongi berkata seolah dia selalu menunggu kehadiranku di halte; itu membuatku tersanjung, sejujurnya.
“Tidak ke mana-mana, kok.” Aku menggeleng. “Kemarin-kemarin aku selalu pulang bersama Hoseok. Naik motor. Tapi sekarang dia tidak dapat menjemput, jadi aku harus naik bus lagi.”
Entah kenapa, Yoongi nampak terkejut. “H-hoseok? Memangnya dia siapamu?”
“Dia hanya manusia tengik yang ditakdirkan menjadi kakakku.”
Yoongi sontak menghela napas lega. Raut mukanya tak setegang semula. Aku masih tak tahu kenapa, tapi tak kupikirkan. Dia sempat menjawab “syukurlah” dan entah bagian mana yang ia syukuri. Mungkin pada bagian bahwa Hoseok adalah manusia tengik? Atau justru yang lain? Ah, masa bodoh juga.
Setelahnya, Yoongi mengajakku berbincang-bincang. Kali ini lebih santai. Kendati rasanya masih saja kaku mengingat dia selalu datar dan singkat dalam mengutarakan sesuatu. Tapi begitu kutanya mengapa, dia hanya menjawab “bakat dari lahir” dengan entengnya, kemudian kami malah tertawa.
Banyak hal yang kami bincangkan. Dimulai dari hal yang tak disuka, keinginan kami di masa depan, dan lainnya. Bahkan kucing berwarna cokelat keoranyean yang kebetulan melintas di depan kami saja sempat kami permasalahkan. Konyol, sih. Tapi dengan itu, aku tak merasa bosan dalam menunggu. Tahu-tahu, bus sudah datang beriringan dengan suara klaksonnya yang memekik rungu.
“Itu dia. Ayo pulang, Yoongi.”
“Tunggu dulu,” Yoongi masih duduk sementara aku sudah bangkit berdiri. Tangannya lagi-lagi mencekal milikku. Mata sipitnya menatap intens namun wajahnya terlihat memelas; kendati jelas dipaksakan. “Bisakah kau menemaniku ke suatu tempat, An? Aku tidak ingin pergi ke sana sendirian.”
Tanpa memilah, tanpa berpikir, melihat wajahnya saja sudah mampu membuat kepalaku mengangguk mantap dengan sendirinya.
“Baiklah. Ayo pergi.”
***
Seraya menyusuri jalanan beraspal bersama kendaraan yang tak henti menderu, Yoongi sesekali menoleh ke arahku dan bertanya “apa kaulelah?” dalam tempo yang terus berulang. Selama aku tak merasa begitu, kugelengkan kepala dengan yakin. Karena justru yang terlihat kelelahan di sini dia sendiri. Tapi kenapa dia begitu memedulikanku, ya?
Selama hampir sepuluh menit menyusuri jalan, tak ada perbincangan penting di antara kami. Yoongi diam. Aku diam. Yang bersuara hanyalah sepatu kami yang berketuk-ketuk dengan permukaan aspal. Sesekali kami bersuara, itu pun untuk sekadar menanyakan lelah atau tidak.
“Sudah sampai.” Di menit setelahnya, Yoongi bertutur, sedangkan aku tercenung.
Tepat di hadapanku adalah sebuah kedai sederhana berkanopi. Memang terlihat seperti kedai tua, namun itu tak mengurangi keeleganannya. Apalagi begitu masuk, aroma berbagai macam kopi langsung menyerbu indera pembau bersamaan dengan si iris yang mendapati segala isinya tertata unik. Lampu yang bergelayutan temaram. Vas bunga berdiri anggun di setiap meja. Suasana yang begitu damai mengingat pelanggan di sini tak terlalu sesak. Serta, yang paling menarik atensi adalah piano berdebu di pojokan sana.
Aku menoleh pada Yoongi yang matanya tampak menatap tajam sesuatu. “Yoongi, kenapa kau membawaku ke sini?”
Yoongi tidak menjawab. Tidak pun merespons. Dia tiba-tiba menggenggam tanganku, lantas menarikku tanpa menerima penolakan. Namun, tarikannya dilakukan secara halus; sama sekali tak melukaiku. Dan tatkala tautan tangan kami dilepasnya setelah tiba di hadapan piano tua, sadarlah aku bahwa benda itulah yang menjadi tujuannya datang.
“Kau bisa bermain piano, Yoongi?”
Yoongi menggeleng. “Tidak, aku tidak bisa. Aku hanya bisa menekan setiap tutsnya.”
Padahal terdengar sama saja, sih. Tapi kuputuskan untuk tidak memperpanjang hal itu dan berujung dengan melontarkan gumaman mengiakan. Yoongi terus saja menelisik si piano cokelat tua itu seolah yang tengah dihadapinya adalah makhluk bernyawa. Tatapannya begitu dalam namun sarat akan kehampaan. Walau pun sipit, tapi aura kelam itu terpancar jelas lewat netranya.
Baru saja aku akan membuka mulut, Yoongi lebih dulu menginterupsi, “Kaubawa ponsel, bukan? Boleh kupinjam?”
Ini untuk kedua kalinya Yoongi meminjam ponselku. Apakah dia tidak memiliki ponsel, atau ponselnya tertinggal di rumah, aku sama sekali tak diberi waktu untuk mengerti. Pun ponsel itu digunakan untuk apa, aku masih tak mengerti. Karena saat kuperiksa beberapa hari kemarin, tak ada tanda-tanda bahwa dia sudah memakai ponselku. Namun aku tak ayal meminjamkannya juga. Untuk alasan mengapa aku begitu, aku sendiri memang tak mengerti.
Yoongi mengembalikan ponselku selepas mengetik sesuatu. Menyandarkan kruk miliknya di samping piano, dia lantas mendudukkan bokong di kursi seraya meniup debu yang mengotori nyaris tiap inchi tutsnya, sementara aku menatapnya keheranan dari belakang.
“Jung ...,” Yoongi menjeda. Dia baru melanjutkan saat melihatku lewat pundaknya. “... Arina?”
“Hm?”
“Namaku Min Yoongi, dan aku suka bermain piano.”
Kemudian, jemarinya mulai menekan tuts piano lembut hingga sebuah alunan penuh harmoni memanjakan gendang telinga.
Ini kali kedua Yoongi meminjam ponselku, pun kali kedua dia memperkenalkan namanya. Oh, sungguh. Aku sudah tahu. Dan pasal dia menyukai piano atau tidak, aku sama sekali tidak bertanya--setidaknya, tidak sempat. [ ]
***
A/n; Ini sebenernya ada di part pertama, cuman sengaja aku pindah ke part dua biar ngga terlalu panjang. Soalnya aku yakin kalian pasti bosen bacanya^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top