The 12th Shoot: Si Tuan Rindu yang Asing
“Cepat sembuh ya, Arina! Kami menunggumu untuk bisa sekolah lagi.”
Aku berusaha tersenyum simpul. “T-tentu, terima kasih ... sudah menjenguk.”
Kemudian, mereka lenyap seiring suara brug pelan menyentuh telingaku, meninggalkan seorang gadis pucat dan lumpuh—untuk sementara—dalam keadaan termenung.
Aku mengalihkan atensi pada nakas yang berdiri tepat di sebelah kiri. Biasanya cuma vas bunga didampingi segelas air putih yang bertengger, tapi kini ada penghuni baru di sana. Sebuah bingkisan sedang transparan. Apel merah, jeruk, anggur, mangga dan kiwi terjejal di dalamnya; aku tergoda untuk segera melahapnya, terlebih dengan perpaduan warna yang sangat menyegarkan mata.
Mereka—teman-teman dan wali kelas baruku—menciptakan kesan ramai untuk duapuluh menit terakhir. Dengan begitu rasa bosanku cukup terobati, jujur. Hanya saja yang sulit kumengerti, obrolan-obrolan yang terlontar seakan dijaga sedemikian rupa. Maksudku, ya, karena seingatku kami masih berstatus siswa SMA baru, interaksi canggung pasti terselip. Tapi ini bukan canggung sama sekali. Mereka cenderung seperti ... menyembunyikan sesuatu? Ibarat tidak ingin membuatku terluka atau semacamnya.
Awalnya aku dibuat bertanya-tanya, tapi toh percuma juga. Mungkin itu asumsi liarku saja.
Alhasil di tengah-tengah atmosfer yang sudah kembali senyap seperti biasanya, masih dengan pergelangan kaki dibalut perban, aku meloloskan napas. Ini masih pukul sepuluh lebih beberapa menit. Birai jendela yang kini dibiarkan tertutup menampilkan sedikit pemandangan pagi menuju siang yang cukup sibuk. Hoseok juga tidak datang. Untuk yang satu itu tidak mengherankan berhubung ini hari Senin—meski aku tetap saja tidak menemukan korelasi antara ketidak hadiran Hoseok dengan hari. Namun kukira dengan begitu, aku harus bercinta dengan kesendirian lagi sebelum melakukan pemeriksaan rutin di jam sebelas nanti. Sampai aku sadar kalau praduga tersebut keliru tatkala terdengar ketukan di pintu.
Jujur aku sedikit curiga. Sebab 1) Hoseok bilang akan ada yang membesuk, itu teman-temanku, dan mereka sudah pulang dan 2) kalau misalkan itu suster, biasanya dia langsung masuk tak lama setelah mengetuk. Tapi ya, pada akhirnya aku berkata juga.
“Masuk saja.”
Percayalah, adegan selanjutnya kelewat dramatis. Kenop pintu—yang berbentuk bulat dari marmer—tampak berputar perlahan, derit khas mengusir keheningan, lalu seorang pria tahu-tahu sudah berada satu ruangan denganku. Terkejut? Sudah tentu. Namun tak butuh waktu lima detik untukku menyadari bahwa dia juga seorang pasien disini. Pakaian biru langit polos serta kondisinya yang tak lebih baik dariku cukup menjelaskannya. Sepasang mata sabitnya menatapku intens, seolah-olah tengah mengulitiku hidup-hidup. Jelas aku terusik. Ada urusan apa dia ke sini?
Namun belum juga membuka mulut, aku menemukannya melirik sekilas pada sepasang benda di samping nakas sebelum bersuara. “Kau belum memakainya?” tanyanya, terdengar parau, berat dan memabukkan dalam satu waktu. Bahkan tidak ada basa-basi sama sekali.
Alisku bertaut. “Y-Ya?”
“Kruk itu,” dagunya menunjuk benda terkait, “kau belum memakainya?”
Ah, astaga. “Um ... Besok, sepertinya? Kak Hoseok bilang besok aku sudah bisa—” Tunggu. Ada yang salah.” Mataku bersirobok panik dengan miliknya. “K-Kenapa kau bertanya begitu?”
Lalu tanpa praduga, bibir kering berwarna merah muda pucat itu membentuk kurva tipis. Sorot matanya juga tampak melembut. Sumpah, aku agak merinding dengan perubahan mendadaknya. Dia kemudian mengikis spasi. Membuatku cukup terintimidasi, entah kenapa. Sampai seuntai tanya membuncah tergesa dari belah bibirku, “K-Kau siapa, ya? Ada perlu apa?”
Posisiku sekarang bukan terbaring, bisa dibilang aku tengah duduk di atas ranjang dengan punggung tegak dan kaki—yang bersembunyi di balik selimut—berselonjor. Alhasil, begitu dia duduk di kursi—yang memang masih berada tepat di sampingku setelah acara jenguk-menjenguk tadi—kami sontak saling berhadapan. Dan aku bisa lebih jelas menemukan bagaimana air mukanya berubah menjadi sangat hangat, tetapi juga mengharu biru secara bersamaan.
“M-Maaf, kau ... siapa?” ulangku, dan entah kenapa senyumnya kian merekah, kontras dengan sorot pilu di balik netranya.
“Sudah berapa lama kau disini?”
Kenapa dia malah mengalihkan pembicaraan? “Maksudmu?”
Matanya memagut milikku lamat. “Enam belas hari? Tujuh belas?” Dia menebak, atau mungkin memang sudah tahu? “Pasti membosankan ya, tidak bisa kemana-mana selama itu. Aku tahu rasanya. Tapi terlepas dari kondisi kaki dan ingatanmu, aku bersyukur kau tampak sehat.”
Beberapa detik setelahnya, waktu terasa berdilatasi. Enam belas hari, kondisi kaki, dan juga ... ingatan. Demi Tuhan, seakan sebuah tombak melesat tepat di jantungku, seketika aku membatu dengan kening berlipat sebab ditempa heran—yang entah kenapa menorehkan rasa sakit secara harfiah. Kuriositas di dalam kepalaku bermekaran dengan kuantitas yang tak main-main: 1) Sebenarnya siapa orang ini? 2) Apa tujuannya datang? 3) Kenapa dia sempat menanyakan kruk itu? 4) Bagaimana dia bisa tahu kondisi kakiku? 5) Ada apa dengan ingatan-ku?
Mataku memicing refleks padanya, tetapi dia sama sekali bersikap seolah tidak mengatakan sesuatu yang ganjil. Air mukanya damai dan terlihat akrab dalam jamahanku, laiknya pertemuan kami adalah hal yang lumrah. Mengenyampingkan fakta bahwa aku merasa tidak mengenal dia sebelumnya. Aku berniat memulai kembali konversasi—berhubung suasananya akan semakin canggung jika kami sama-sama bungkam—tapi lagi-lagi, aku kalah cepat dengannya.
“Jangan terlalu banyak berpikir,” katanya. “Dan jangan takut, hm? Aku tidak bermaksud menyakitimu.”
Yah, setidaknya aku agak tenang mendengar itu, tetapi jelas tidak cukup untuk bisa menghentikan pertanyaanku selanjutnya. “Lalu ... Kenapa kau kesini? Maksudku, aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya, dan kau tiba-tiba datang—” Aku spontan menjeda tatkala mendapati kekeh pedih menguar dari mulutnya. “Ah, maaf, aku tidak bermaksud—”
Tiba-tiba dia memotong, “Aku bahagia sekali bisa melihatmu lagi, meski aku juga benci kenapa kita malah bertemu dalam keadaan seperti ini.”
Lagi. Keadaan seperti ini. Sepertinya aku bisa gila. Pun tak membiarkanku sedetik pun mencerna segalanya, dia kembali buka suara, “Besok kau sudah bisa berjalan-jalan keluar, kan?”
“Um ... Ya?”
“Kau akan menggunakan kruk itu?”
Aku mengangguk ragu. “Kemungkinan besar begitu. Memangnya kenapa?”
Dia balik bertanya, “Apa kehadiranku disini mengganggumu?”
Aku-sangat-terganggu-karena-kau-sangat-aneh, inginnya sih berkata begitu, tetapi masa iya? Aku masih cukup waras, dan tentunya tahu tata krama. Jadinya aku menjawab terbata, “T-Tidak? Maksudku, tidak, kok! Aku punya teman mengobrol ... setidaknya?”
Lalu dia tersenyum. “Syukurlah,” ujarnya, meski aku sama sekali tidak tahu yang dia syukuri itu bagian mana. Apakah karena aku memiliki teman mengobrol? Atau karena besok aku sudah bisa keluar? Hanya saja entah kenapa aku merasa bukan keduanya. Bukan tanpa alasan; tatapan yang dia berikan seolah menyangkalnya mentah-mentah.
Untuk beberapa sekon, kami sama-sama bungkam, membuat suasana di ruangan diinvasi kecanggungan—atau mungkin, cuma aku yang merasa begitu. Sebab pria di dekatku ini tampak tidak gelagapan sama sekali. Seolah bertemu denganku merupakan hal yang tidak lagi asing, padahal aku benar-benar kebingungan dengan eksistensinya. Dia tampak memutar pandangan, menerawang ke luar jendela yang gordengnya tengah melambai-lambai dimainkan angin, lalu melabuhkan kembali fokusnya padaku.
Aku sontak mengangkat alis bingung. “Kenapa kau—”
“Maaf.”
Eh?
“Seharusnya kau tidak berada disini,” imbuhnya.
Jelas aku semakin heran. Untuk apa permintaan maafnya itu? Terlebih, dia mengutarakannya dengan raut muka yang teramat sendu. Seolah-olah dia yang sudah mematahkan kakiku. Waktu pun terasa begitu lambat sedari dia mengetuk pintu. Memang benar memoriku sedikit merasa bersahabat dengan eksistensinya, tetapi tetap saja, sejauh ini aku yakin betul dia belum pernah berinteraksi denganku sebelumnya. Namanya saja aku tidak tahu.
Kenapa juga sembarang orang bisa masuk ke kamarku? Apakah tidak ada yang melihatnya? Atau mereka tidak peduli?
“Kau harus sembuh, ya.” Baritonnya mengudara lagi, dan aku jelas mengaminkan itu dalam hati.
“Terima kasih. Tapi ... Anu ... Kenapa kau meminta maaf sebelumnya?”
“Sebentar lagi jadwal terapimu, kan?” Sembari bangkit, dia malah menanggapi pertanyaanku dengan pertanyaan lagi. Aku juga tidak memberikan jawaban apa-apa, cuma mengernyit, tapi dia tampak biasa-biasa saja. Lanjutnya, “Bukan berarti aku ingin kau terus merasa sakit. Aku akan sangat bersyukur jika kau segera pulih. Tapi kuharap kau sempat menggunakan kruk itu ya, An.”
Oke. Tunggu. Ada yang perlu kuuraikan dulu.
Ini hanya perasaanku saja atau pria itu—sekali lagi kuulangi—memang gemar sekali membanting topik? Rasa-rasanya kekesalanku terpancing, tetapi kenapa aku menanggapinya seolah itu hal biasa? Perlahan kepalaku kembali pening. Kuriositas berdatangan lagi. Hanya saja belum juga kutanyakan sesuatu yang paling menggangguku sejemang setelah dia mengutarakan kalimat pamungkas itu, tahu-tahu aku mendapatinya lenyap di balik pintu.
Dia memanggilku An.
Bagaimana bisa hatiku langsung berdebar begitu mendengarnya?
***
Nara's Note:
Apa kabar? ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top