The 10th Shoot: Satu Memori yang Tak Bereksistensi

Segalanya tampak kelabu.

Mengernyit selagi mengobservasi sekitar, aku sama sekali tidak tahu tempat apa ini. Memang terlihat semacam padang rumput, tetapi benar-benar luas terbentang hingga aku sendiri tidak tahu di mana ujungnya. Matahari menggelayut dengan bumantara tanpa awan sebagai latarnya. Pun begitu, aku menemukan satu pohon rindang berdiri kokoh beberapa meter di hadapan; sungguhan hanya ada satu di antara permukaan tanah yang ditumbuhi rumput semata kaki ini.

Hanya saja, auranya terasa begitu asing. Sebab alih-alih penuh warna, yang tertangkap netra justru cuma kelabu semata; semuanya, termasuk presensiku sendiri.

Aku masih diam di posisi semula begitu semilir angin mempermainkan anak rambut. Mengenai bagaimana dan kenapa aku berada di antah berantah ini, aku sendiri tak mengerti. Kuriositas dalam rongga kepala lantas membludak laiknya bunga-bunga yang bermekaran di musim semi. Akan tetapi pada sekon berikutnya, damai yang semula membelai seolah direnggut paksa tatkala beberapa keping memoar muncul secara bergantian (mereka terpancar layaknya pohon rindang tersebut merupakan sebuah proyektor). Berawal dari adegan pertemuan di halte, berbagai macam perjalanan, sepasang insan yang tertawa dan seseorang yang lari dari teriakan; entah kenapa aku sama sekali tidak mengenal siapa yang menjadi pemeran di dalamnya. Hingga tahu-tahu aku—

Jung Arina ....”

Apa? Apa selanjutnya?

Tepat selepas suara yang entah bersumber dari mana tersebut mengelus rungu, segalanya berevolusi dalam satu detik singkat. Tak ada lagi langit, rerumputan mau pun memoar sama-samar; satu-satunya yang tertangkap retina hanyalah gulita. Aku semakin dicekik heran, jelas. Terlebih suara tersebut beranjak terdengar begitu jelas meski asal kedatangannya sama sekali belum diketahui.

Jung Arina ... kumohon ....”

“Maaf ....”

“Kau harus bangun ....”

“... menyesal.”

Sungguh, aku ... ” Kalimat tersebut tiba-tiba terjeda. Pun dari getaran yang menemani, agaknya siapa pun itu mengatakannya sambil terisak. Aku masih diselimuti gelap, tetapi saat sekon demi sekon dilewati, entah kenapa suara tersebut justru kian intens menjamah telinga. “ ... aku minta maaf. Aku minta maaf. Aku menyesal atas semuanya. Jadi bangunlah, kumohon.”

Menyesal?

Seolah ada lem perekat yang benar-benar mengikat, aku membuka kelopak mata dengan perlahan. Seberkas sinar lantas menyerbu retina yang sukses membuatku sedikit terusik. Ditambah, aroma antiseptik dan obat-obatan menyeruak di sepenjuru ruangan. Aku barangkali akan terus memandang langit-langit sewarna gading tersebut selagi bertanya-tanya dalam benak jika saja sebuah telapak tangan tak mendarat di atas milikku.

“A-Arin? Arin!” Sesosok pria bersurai kecokelatan tengah duduk di sampingku sambil menatap tak percaya begitu kulirik. Bola mata serta hidungnya agak merah dan pipinya basah. Namun baru saja menyadari dia siapa, pria itu lekas merengkuhku hingga aku dibuat sesak. “Astaga, syukurlah kausadar, Arin! Aku berjanji tidak akan membuatmu kecewa lagi sampai ditabrak mobil begitu. Aku berjanji! Jadi kau harus seperti biasa lagi, oke?!”

Perlu beberapa detik untukku mengumpulkan keping kesadaran sepenuhnya. Pening terasa masih bersemayam. Namun mengatur napas, suaraku lantas keluar juga kendati terdengar parau. “Kak ... Hoseok?”

“Ya, Arin?”

“Aku ... susah bernapas.”

“Eh, ya? O-oke.”

Aku dapat mengembuskan napas lega selepas Hoseok kembali ke posisi semula. Wajahnya tampak begitu semrawut, jujur saja. Aku agak dibuat mencelos, tetapi aku bahkan tidak bisa melakukan apa pun untuk diriku sendiri, bukan? Pada faktanya aku hanya berbaring dengan selimut seputih tulang yang merengkuh tubuh; infus bertaut di punggung tangan kiri dan itu sangat menyakitkan.

Aku merasa benar-benar lemah.

Sepersekon kemudian, terdengar deritan khas dari pergesekan kaki kursi dengan lantai begitu Hoseok bangkit. Dia ingin memberitahu dokter, jelasnya. Akan tetapi mengobservasi sekitar—mendapati ruangan didominasi warna gading serta diriku sendiri dibalut piyama baby blue—aku sukses dibuat terhenyak sebelum akhirnya bertanya; otomatis membuat geraknya terinterupsi, “K-kak ... sudah berapa lama—”

“Dua hari.” Hoseok memotong cepat. Dia lantas duduk kembali, tetapi tatapannya sendu sekali. Namun kendati begitu, seulas kurva loyal dipamerkannya tatkala mengimbuhkan, “Maaf untuk beberapa hari kemarin, ya, Arin? Aku dan Wonwoo-hyung benar-benar cemas sewaktu kau tidak sadarkan diri. Kami bahkan bergantian menjagamu di sini. Tapi yah ... sayangnya dia tidak bisa datang di saat kau sadar begini. Apa kau tidak apa-apa?”

Alih-alih segera menjawab, kerutan samar tertoreh sebab yang kudapat justru kuriositas kian membumbung tinggi. Pria Jung di hadapanku menatap sabar; menanti jawaban apa yang kiranya akan kulontarkan. Hanya saja memiringkan kepala lantas bertanya tak mengerti, kurasa Hoseok malah menunjukkan ekspresi seolah dia menyesal sudah mendengarnya. “Maaf ... untuk apa?” —Sepasang netra Hoseok terbelalak sempurna; terdapat sedikit kilatan tak percaya di dalamnya— “Juga tentang Wonwoo ... a-apa itu teman kuliahmu?”

Senyap tiba-tiba menyergap.

Atmosfer di ruangan seukuran kamar reguler tersebut mendadak terasa beku. Detikan jarum jam serta desing yang mempermainkan tirai transparan di balik punggung Hoseok jadi terdengar lebih mendominasi. Dalam beberapa sekon kilat, aku sempat berpikir bahwa mungkin yang kukatakan itu salah. Hanya saja apa? Dan di mana letak kesalahannya? Kernyitan lantas terlukis selagi mata kami loyal bersinggungan; sama-sama melempar sorot tak mengerti.

Akan tetapi menemukan ekspresi yang perlahan melunak, Hoseok tampak mengusak rambut belakangnya sembari terkekeh—kendati jelas terdengar kering dan dipaksakan, “A-ah, kau ini. Kau baru saja sadar tapi masih saja sempat bercanda, huh? Dasar.”

Aku mengernyit. “B-bercanda?”

“Lagi pula kenapa kau memanggilku dengan embel-embel ‘Kak’ seperti itu, sih, Arin? Padahal semenjak masuk SMA kau tak pernah memanggilku dengan honorifik lagi karena kaubilang itu menggelikan, bukan?”

M-menggelikan?

Kening mengerut, barangkali seuntai tanya akan terlontar jika saja erangan kecil tak telanjur mengudara tatkala denyut nyeri menyambangi area belakang kepala. Rasanya benar-benar menyakitkan; seolah terdapat cacing ganas yang tengah menggerogoti apa pun yang ada di dalam sana. Pun kendati sibuk menahan rasa nyeri tersebut selagi memijatnya perlahan, aku masih bisa merasakan tangan Hoseok agak meremas bahuku begitu bertanya panik, “K-kau kenapa? Apa ada yang sakit? A-aku panggilkan dokter, ya? Kau tunggulah—”

“Tidak, jangan.” Aku mendongak dan mendapati aura suram menyelimuti raut muka di hadapan. Hoseok merasa sangat khawatir, itu jelas. Namun seiring rasa sakit yang syukurnya kian memudar, aku berusaha menyematkan senyum agar dia tak perlu setegang semula. “Aku memang sebaiknya langsung ditangani oleh dokter, aku tahu. Tapi jangan dulu, ya, Kak Hoseok? Aku sepertinya ... ingin sendiri dulu.”

Kutemukan tatapannya menjadi layu. “Kau yakin kau baik-baik saja, Arin?”

Ah, apa aku yakin?

“Uhm,” gumamku selagi mengangguk pelan, berusaha membuatnya percaya. Tersenyum tipis, aku lekas menambahkan, “kau tak perlu cemas, Kak. Hanya untuk beberapa menit saja. Bolehkah?”

Untuk sejemang tak ada perbincangan. Kami masih saling tatap dalam keheningan; aku memohon sedangkan Hoseok tampak mempertimbangkan. Sebenarnya aku merasa kasihan padanya. Kakakku itu agaknya sudah melakukan banyak hal dan dia jelas membutuhkan istirahat untuk saat ini. Hanya saja, mengenai kenapa aku bisa terkulai lemah seperti ini dan apa gerangan yang sekon lalu dibicarakan saja, aku masih belum menemukan jawaban. Segalanya seperti asing pun familiar dalam waktu bersamaan.

Apa, bagaimana dan kenapa; aku bahkan tak begitu diberi waktu untuk mengerti.

“Aku akan kembali bersama dokter sepuluh menit lagi, kalau begitu,” tuturnya, spontan memecah lamunan. Mengusap punggung tanganku penuh afeksi, Hoseok tampak akan beranjak saat mengatakan, “Mungkin kau memang butuh waktu. Tapi jangan terlalu memikirkannya, hm? Aku yakin kau akan segera pulih dan menjadi Jung Arina seperti sebelumnya, jadi jangan khawatir.”

Menjadi Jung Arina seperti sebelumnya, huh? Sebenarnya atas kuriositas yang meronta di dalam rongga kepala, ingin sekali bibir ini melayangkan banyak tanya sekaligus padanya. Hanya saja mengingat itu akan memperburuk suasana, alhasil aku hanya bisa mengangguk sekali; menyahut lirih, “Iya, Kak. Terima kasih.”

Sepersekon setelah pria berbalut sweter kelabu tersebut lenyap seiring tertutupnya pintu, seisi ruangan ini barulah benar-benar hening. Pun mengambil arah lurus dari posisiku berbaring—bangsalnya tidak datar, melainkan agak menanjak di area punggung sehingga aku tidak benar-benar telentang—jam segi empat yang menempel di dinding bagian atas itu tampak berdetik di angka dua lebih. Terlebih sebagaimana semilir angin yang tak ayal hadir serta ngengat yang tak lekang berdenging, aku jadi yakin bahwa cuaca di luar sana sedang cerah ceria. Well, waktu yang bagus untuk sekadar berjalan santai atau menghabiskan sore bersama sahabatmu dengan—

Ah, tunggu. Sahabat, ya?

Tersenyum kecut, entah kenapa kerongkonganku mendadak terasa luar biasa pahit. Aku tidak begitu ingat apa aku punya satu. Yah, maksudku, selama menginjak jenjang sekolah menengah akhir aku tidak benar-benar memilikinya. Memang ada beberapa yang kadang mengajakku pergi ke kafe atau sekadar berkeliling di toko buku, tetapi kami hanya sebatas bercanda bersama dan ... sudah. Bagaimana menyebutnya, ya? Teman bermain? Well yeah, apa pun itu, yang jelas tak ada yang sebegitu dekat, apa lagi sampai saling bertukar cerita. Sedari itu aku jadi percaya bahwa barangkali sahabat itu hanyalah fiksi belaka.

Yah, barangkali.

Aku lantas tertawa kering. Tak lagi memiliki kedua orang tua, tak juga memiliki seseorang yang bisa kau jadikan tempat menangis atau tertawa bersama; rasanya hidupku sudah sangat menyedihkan. Aku bahkan selalu merasa sendirian kendati sebenarnya banyak para presensi di sekitarku. Bukankah itu miris sekali?

Namun tak mau bergelung terlalu lama dengan hal-hal yang malah membuatku merasa lebih buruk, aku lantas menghela napas. Segalanya pasti baik-baik saja. Benar. Aku harus percaya. Lagi pula masih ada Hoseok; kakak sekaligus keluarga satu-satunya yang tak pernah menyerah akan sikapku. Dia sudah lebih dari cukup untukku saat ini. Dia membuatku tak menginginkan eksistensi siapa pun. Jadi menanamkan rasa percaya sekali lagi, aku lantas meluruskan punggung dan beranjak menghampiri birai jendela untuk sekadar menghirup segarnya udara.

Hanya saja, baru saja menyibak selimut yang sedari tadi membalut tubuh, aku seperti mendapat teror absolut hingga benteng pertahananku yang berlandaskan pada frasa semuanya-baik-baik-saja mendadak melebur dalam satu sekon kilat.

Sebab, Demi Tuhan. Otakku benar-benar tak bisa mencerna. Kenapa ada gips dan perban ... yang membalut pergelangan kaki kiriku? [ ]

***






A/n: untuk yang senantiasa komen dan ngasih support, makasih banyak, ya TT^TT jujur aja tanpa kalian aku gak bakalan sudi ngelanjutin cerita menye-menye ini, seriusan. makasih juga buat sidersku tercinta, tanpa kalian mungkin cerita ini juga gak bisa nyampe 2k views (tapi ke depannya aku harap, kalian bisa lebih aktif buat ngeluarin pendapat, ya. siapa tau aku bisa dapet ilmu baru^^) akhir kata, menurut kalian, cerita ini bakalan gimana sih ke depannya? ;'D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top