20. Takdir adalah... [Final Chapter]

Untuk sepersekian detik dalam hidupku, aku masih tidak percaya pada apa yang kualami hari ini. Memang, tujuanku ke negeri lahirnya Harry Potter ini tiada lain adalah untuk mencari sosok manusia yang begitu kurindukan. Aku merindukanmu. Dan aku sudah menyampaikannya, kira-kira dua puluh menit yang lalu, sebelum kami bertiga duduk di sebuah restoran cepat saji.

Awalnya Hansol duduk bersama kami, kemudian dia meminta izin untuk menelepon ibunya bahwa ada keadaan darurat mendadak yang membuat kami pulang terlambat. Omong-omong, aku baru tahu kalau Choi Hansol adalah teman Kim Yohan di kampus. Dunia sempit sekali, ya?

"Bagaimana kabarmu?"

Yohan sudah berubah banyak. Jaket denim yang biasa dipakainya sudah tergantikan dengan blazer panjang berwarna cokelat. Rambutnya disisir ke belakang, tidak jatuh lagi ke depan dahi. Dia keliatan lebih tinggi dari yang terakhir kali kulihat. Yang pasti, dia makin menawan.

Aku masih bengong—setengah tidak percaya orang yang duduk di hadapanku adalah orang yang menjadi tujuanku hingga tiba di London. Ini semua kesannya terlalu cepat, berbanding terbalik dengan espektasi petualanganku menjelajahi seluruh negara ini untuk menemukannya.

Yohan menjentikkan jarinya, membuatku seketika gelagapan. "Ya? Apa? Bagaimana?"

Laki-laki itu menatapku dengan tidak percaya. Sedetik kemudian dia tertawa yang membuatku mau tidak mau terpana. Tawa yang sama. Suara yang sama. Dua-duanya adalah hal yang kurindukan. Hatiku terasa menghangat.

"Aku juga merindukanmu," kata Yohan, tawanya sudah lenyap namun senyumnya masih tersisa. Dia tersenyum kepadaku. Itu membuatku ingin menangis.

Aku buru-buru menundukkan kepala. "Semuanya berjalan lancar?"

"Mm." Pantulan Yohan di meja kaca terangguk.

"Syukurlah," ucapku pelan. Ada sesuatu yang menggumpal dalam diriku dan seketika mencair. "Aku bertemu Kang Hyewon di Seoul beberapa hari yang lalu."

"Aku tahu." Yohan menjawab dengan nada yakin.

Seketika aku mendongak. "Kau tahu?"

Aku hanya ingin memastikan jika pendengaranku masih berfungsi dengan baik, dan Yohan membangunkan keyakinan dalam diriku bahwa pendengaranku masih berfungsi dengan baik, sangat baik malah. Laki-laki itu mengangguk mantap. "Dia sendiri yang bilang padaku."

"Itu sebabnya kau ada di sini?"

Yohan menelengkan kepalanya sedikit. "Eum... bisa jadi? Tapi memang sedari awal aku punya rencana membeli kebutuhan pokok. Omong-omong, aku juga tinggal di sekitar sini."

Hansol datang setelahnya. Laki-laki itu mendudukkan pantatnya di tempat duduknya semula, lalu menatap Yohan dan diriku bergantian. "Wow, takdir macam apa ini?"

Ekspresi Yohan terlihat agak risih mendengarnya. Laki-laki itu menatap Hansol dengan pandangan yang benar saja. Aku terkekeh kecil. Satu lagi yang tidak berubah dari Yohan selain tawa dan senyum, yaitu dia masih tidak merubah mindset-nya. Seorang laki-laki yang tidak memercayai takdir.

"Kalian teman sekelas?" aku bertanya, sekadar untuk basa-basi.

Hansol dan Yohan menjawab serempak, "Tidak."

Dua alisku bertaut menjadi satu. Kebingunganku dijawab oleh Hansol, "Kami hanya satu kampus. Aku jurusan manajemen dan Yohan masuk jurusan psikologi. Kami saling kenal karena kami sama-sama orang Korea."

Yohan mengendikkan bahu acuh. "Mungkin?" lantas laki-laki itu beralih padaku. "Kau kuliah juga?"

Aku mengangguk. "Aku, Yoojung, dan Yeonjun masuk di kampus yang sama, namun hanya aku dan Yoojung yang satu jurusan," aku mendesah untuk menjeda, "satu kelas lagi pula—maksudku, kami banyak mengambil mata kuliah yang sama."

Yohan hanya mengangguk-angguk, sementara Hansol disibukkan dengan ponselnya yang berbunyi tiba-tiba—lagi. Sepertinya kali ini sebuah pesan yang masuk karena laki-laki itu tidak memperhatikan kami lagi, melainkan sudah hanyut dalam dunia maya miliknya.

"Yena-ya?" panggil Yohan tiba-tiba. Panggilan yang membuat sesuatu dalam dadaku terasa berdesir.

Bahkan setelah lima tahun berlalu, rasanya masih tetap sama. "Ya?"

"London Eye." Dia tersenyum. "Jam tujuh malam."

Apa maksudnya?

Seolah mengetahui kebingunganku, laki-laki itu menunjuk ponselku yang kutaruh di atas meja dengan dagu. "Tanya internet."

Aku menurutinya.

"Woah," kagumku melihat gambar-gambar yang ditampilkan di layar ponsel. "Bagus sekali, di mana ini?"

"Di London," jawab Yohan enteng.

Aku mengabaikannya. "Nanti?"

Yohan tersenyum, namun tidak mengangguk. Bersamaan dengan itu, Hansol berdiri dari duduknya dan mengajakku untuk pulang, "Mama sudah kelaparan menunggu katanya. Ayo pulang, Yena. Ah, mungkin telingaku akan dijewer lagi."

***

"London Eye. Jam tujuh malam."

"Kau ada janji dengan seseorang, Yena?" pertanyaan Sooyoung ahjumma membuatku yang sedari awal menatap jam dinding beralih menatapnya. Hansol ikut berhenti makan dan menatapku. Aku menatap dua orang itu dengan gugup.

Hansol menyeletuk, "Kim Yohan, Ma, kau ingat?"

Sooyoung ahjumma terlihat berpikir, dan sesaat setelahnya wanita paruh baya yang masih tergolong sangat awet muda itu menjentikkan jari. "Ah! Temanmu yang dulu sering kau bawa ke rumah?"

Hansol mengangguk, meski mulutnya sibuk mengunyah makanan. Aku terpana. Bahkan Sooyoung ahjumma mengenal Kim Yohan. Dunia memang sempit—eh tapi wajar juga sih karena Hansol dan Yohan berteman.

"Sebenarnya," aku mulai berbicara, namun kedua mataku sibuk mengamati potongan apel di atas piring. "aku ke London karena ingin mencarinya."

"Long distance relationship?" tanya Sooyoung ahjumma.

Tidak, walau kuharap iya. Nyatanya selama lima tahun ini kami benar-benar lost-contact dan faktanya kami tidak lebih dari seorang teman. Bahkan aku masih ingat terakhir kali melihatnya, Yohan mengaku sendiri bahwa dirinya sebenarnya penyuka sesama jenis. Ironis.

"Kami hanya teman," jawabku pada akhirnya.

"Well," Sooyoung ahjumma menaruh sendok dan garpunya di atas piring. "sebenarnya Dalbong pernah mengatakan hal ini padaku," tatapannya berubah kurang yakin, namun Sooyoung ahjumma tetap melanjutkan, "dia bilang bahwa kau mungkin ke mari karena ingin bertemu dengan seorang teman laki-laki dan menyuruhku untuk mengawasimu. Meski Dalbong juga berkata bahwa temanmu itu baik, aku tetap harus mengawasimu, 'kan? Tapi setelah tahu bahwa itu Kim Yohan, kurasa aku bisa memercayakanmu padanya."

"Appa tahu?" aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutanku. "Dan dia tetap membiarkanku pergi?"

"Kurasa mengekangmu juga bukan pilihan yang tepat." Sooyoung ahjumma terkekeh. "Kau tipe yang suka agak memberontak ya, Yena?"

Aku hanya nyengir sebagai balasannya. Benar juga.

"Terimakasih, Ahj—" pelototan mata Sooyoung ahjumma seketika membuatku menelan ludah gugup dan buru-buru meralat, "Eonni."

Hansol terdesak nasi. Laki-laki itu susah payah menyembunyikan tawanya. Dan aku merasa prihatin saat Sooyoung ahjumma mengangkat sendok untuk mengancam anak semata wayangnya.

Usai membereskan makanku, aku pamit untuk pergi. Awalnya aku menawarkan diri untuk mencuci piring, tapi Sooyoung ahjumma tidak mengizinkanku melakukannya, katanya nanti aku bisa terlambat. Awalnya dia juga menawarkan Hansol (yang membuat Hansol memprotes panjang) untuk mengantarkanku ke lokasi, namun aku menolaknya karena kurang enak hati (alasan kedua karena aku hanya ingin berduaan saja dengan Kim Yohan, tentu saja).

Dengan begitu aku memakai sepatu kets dan menganggap satu langkah berikutnya adalah petualangan untuk menemukan Kim Yohan, meski kami sudah bertemu satu sama lain.

***

Untuk kesekian kalinya aku menatap jam di layar ponsel. Sudah pukul setengah delapan malam lebih sekian. Langit sudah benar-benar gelap dan udara semakin dingin. Meski begitu, kepalaku rasanya beruap karena kesal melihat pasangan romantis yang seliweran di depan mataku. Manalagi kakiku pegal. Aduh, Kim Yohan ini amnesia dadakan atau bagaimana?

Hampir saja aku menyerah dan memilih untuk berjalan-jalan di sekitar—tanpa peduli mungkin nanti saat dia datang akan kebingungan sendiri mencariku, biar saja—saat orang yang kutunggu-tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Cengiran menyebalkan itu membuatku ingin menarik paksa gigi-gigi kelincinya. Tanpa ada 'hai' atau 'selamat malam', Yohan menyodorkan sesuatu yang tidak asing di tangannya.

Benda berwarna pink itu sama sekali bukan yang kuinginkan. "Kau pikir aku anak kecil?"

Yohan terkekeh dan tetap tidak kunjung menarik tangannya kembali. Baiklah, anggap saja kita berdua seperti bocah kecil yang akan bahagia jika diberikan gulali. Lagipula Yohan juga membeli dua. Tidak apa-apalah.

Begitu gulali yang diberikannya kuterima, Yohan mengajakku untuk naik bianglala. Sejenak aku memang kagum akan keindahan tempat ini, tapi sedikitpun aku tidak berminat untuk naik bianglala yang fantastisnya memiliki ketinggian luar biasa. Yohan terus memaksaku seolah dia akan sekarat kalau kita tidak naik bianglala. Berulang kali aku mengatakan kalau terlalu mengerikan saat sudah ada di ujung paling atas, tapi pada akhirnya Yohan mengerahkan seluruh tenaga atletiknya untuk menarik paksa tanganku.

Hingga kini kami berdua duduk berhadapan di dalam bianglala yang lumayan luas. Lagi-lagi Kim Yohan menyengir, dan kesempatan itu tak kubiarkan lewat dengan menympal mulutnya memakai bola-bola gulali yang kubuat. Rasakan.

Yohan menelan sisa-sisa gulalinya. "Aku senang bertemu denganmu."

"Kau pikir aku tidak?"

"Hm?"

Astaga muka polosnya benar-benar membuatku gemas.

"Aku merindukanmu," kataku.

Yohan mengangguk. "Aku tahu."

"Kau tahu tapi kau tidak melakukan sesuatu seperti menghubungiku begitu? Orang-orang menakut-nakutiku, katanya Kim Yohan mungkin saja sudah mati di negeri orang, makanya aku buru-buru kemari. Dan ya, kau masih hidup. Tambah menyebalkan pula."

Tawa Yohan terdengar keras di ruang lingkup bianglala yang kami naiki. Bianglala naik perlahan. Padahal pemandangan kota London sangat indah luar biasa, tapi satu-satunya pemandangan luar biasa bagiku hanya laki-laki di hadapanku ini, tiada yang lain.

Tawa Yohan adalah suara terakhir yang kudengar, karena selanjutnya laki-laki itu tidak berkata apa-apa lagi, sementara aku sibuk mengulum gulali yang manisnya minta ampun ini.

"Saat itu adalah masa-masa paling sulit dalam hidupku, seolah apa yang terjadi pada diriku di masa lalu belum cukup." Yohan berkata setelah keheningan yang cukup lama.

Aku mendongak. Rupanya Yohan tengah menatapku. "Tentang kasus lima tahun yang lalu?"

Yohan tidak mengangguk, tapi aku tahu tebakanku benar karena dia seketika mengalihkan pandangannya dariku. Yohan memilih menatap ke luar jendela. "Waktu itu aku pernah berpikir untuk sekalian saja mengakhiri hidupku, kenapa tidak? Toh semuanya juga sudah berantakan."

Aku terdiam, mendengarkan.

"Tapi aku ingat ada dirimu. Kau... adalah satu-satunya orang yang menebarkan energi positif padaku, Choi Yena."

Jujur, aku senang mendengarnya, seolah-olah pujian yang dilontarkan Yohan mampu membuat kupu-kupu dalam perutku menari-nari kegirangan. Akan tetapi seketika bayangan wajah Kang Hyewon yang entah bagaimana lewat begitu saja dalam benakku terlihat begitu menyebalkan. Dan pada akhirnya aku tetap merasa kurang senang mendengarnya.

"Kang Hyewon?" aku seperti tidak tahu terimakasih, sudah dipuji tapi malah membading-bandingkan. "Aku tidak berhasil menyembuhkanmu tapi dia berhasil menyembuhkanmu. Rupanya memang benar apa yang dikatakan olehnya, hanya dia satu-satunya yang bisa—"

"Yena-ya," potong Yohan. "Hyewon melakukannya karena dia merasa bersalah atas apa yang diperbuatnya padaku di masa lalu. Tentang dirimu, aku tahu kau tulus, sekalipun aku pernah menolakmu."

"Tidak," ganti aku yang mengalihkan pandangan menghadap ke luar jendela. Namun percuma, aku masih dapat melihat pantulan wajah Yohan dari kaca. Laki-laki itu tengah menatapku. "aku tahu Kang Hyewon melakukannya karena mencintaimu."

"Oke, kalau kau berpikiran begitu. Lagipula itu logis dan bisa dibuktikan."

Aku menatapnya kembali. "Apa?"

"Kami pernah mencoba berhubungan, hanya sebentar," kata Yohan berhasil menembakkan peluru tak kasat mata ke jantungku. Jadi dia dan Hyewon sempat berpacaran di sini? Tanpa sepengetahuanku? Demi apapun aku ingin melompat keluar saja. "tapi tidak berhasil."

"Karena laki-laki itu?" tembakku secepat kilat.

Yohan menggeleng, "Karena aku lebih memilih Hansol. Aku mencintai Hansol."

"APA?!"

"Bercanda. Tidak usah tegang begitu."

Satu kepalan tinjuku berhasil menghantam dadanya. Yohan memekik kesakitan, namun tawa menyebalkannya menyusul tak lama kemudian.

"Tidak lucu," ketusku.

"Maaf," katanya pelan diselingi tawa yang masih tersisa. "Omong-omong, aku sudah tidak sama seperti dulu."

"Soal apa?"

"Kau lebih daripada tahu."

Oke, anggap saja aku paham—walau aku tidak yakin, nanti saja kutanyakan lebih lanjut padanya—dan Yohan tidak perlu membahas seputar hal-hal yang menyebalkan lagi sebelum kakiku ganti melayang menendang sisi tubuhnya yang lain. Membicarakan dengan gamblang bahwa dia pernah berpacaran dengan Hyewon saja sudah membuatku jantungan, apalagi berbohong soal mencintai Hansol.

Bianglala yang kami naiki sudah sampai di pucuk paling atas. Dari atas sini, pemandangan kota London benar-benar bisa dinikmati dengan baik. Bagaimana gemerlap lampu-lampu kota yang terlihat indah, kendaraan berlalu lalang, orang-orang yang sekecil semut berjalan-jalan. Aku terlalu menikmatinya sampai-sampai tidak sadar bahwa Yohan telah meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

"Apa yang membuatmu datang kemari?"

Kurasa itu pertanyaan bodoh. "Kabur dari rumah." Aku membulatkan mata. "Tentu saja mencarimu!"

Satu sudut bibirnya terangkat. "Bahkan sampai saat ini hanya kau yang masih ingat denganku hingga mencariku."

"Bagaimana dengan Kang Hyewon?"

Aku tidak bertanya, hanya memastikan.

"Dia boleh saja peduli padaku, tapi kedua orangtuanya tidak memedulikanku sama sekali. Mereka hanya membiayai terapi pengobatanku. Setelah sembuh, aku dibebaskan—sebenarnya diusir. Jadi aku bekerja sebagai pelatih taekwondo di salah satu sekolah menengah di daerah sini. Dari sana aku dapat uang untuk hidup dan kuliah."

Ah, jadi mereka berdua bukan berpisah karena 'penyakit' Yohan, melainkan orangtua Hyewon yang tidak memberikan restu? Tiba-tiba saja perasaanku menjadi lega.

"Yena-ya," panggilnya kemudian.

Aku tidak menyahut, akan tetapi aku serius menatapnya.

Yohan menelan ludahnya dalam, lalu dapat kudengar suara beratnya terdengar lugas, "Tinggallah bersamaku."

Jelas aku terkejut, tapi aku masih bisa berpikir untuk bertanya, "Di sini?"

"Di mana saja, asal bersamamu."

Demi Tuhan Kim Yohan benar-benar membuatku seperti terbang ke langit-langit ruangan bianglala yang sempit. Bianglala kami sudah turun perlahan.

"Kenapa aku?"

"Karena...," Yohan memiringkan kepala. "...takdir?"

Aku terkekeh. "Bagaimana bisa orang yang membenci takdir mengakui bahwa semuanya karena takdir?"

"Aku tidak bilang aku membenci takdir, tapi—"

"Oh iya, omong-omong soal takdir," tiba-tiba aku teringat sesuatu. Genggaman tangannya terlepas ketika aku menarik tanganku untuk mengambil sesuatu dalam tas. "buka tanganmu."

Yohan menuruti tanpa protes. Tanganku yang mengepal menempel di atas telapak tangannya. Sepersekian detik, tanganku membuka dan benda tipis kecil itu sudah berpindah tempat. Yohan mengerutkan dahinya. "Apa ini?"

"Buka saja."

Yohan membukanya. "'Di mana kau?' Ini maksudnya ap—"

Cup.

Aku menarik wajahku menjauh. "Di sini, di depanku. I got you."

"Yena-ya."

"Kau benar, untuk bisa berhasil perlu perjuangan yang panjang," kataku pelan. Bianglala kami sudah hampir sampai di bawah. "meski begitu, bagaimanapun juga, aku tetap percaya bahwa semua ini sudah digariskan oleh takdir." Aku mengeluarkan sesuatu kembali dari dalam tas, kali ini sesuatu yang lebih besar dan lebih tebal. Aku menyerahkan sebuah buku ke hadapan Yohan. "Baiklah, ayo kita tinggal bersama. Temani aku untuk melanjutkan tulisan ini."

Yohan menerima buku itu. "Ini..." laki-laki itu menatapku dan buku dalam tangannya bergantian.

"Sekarang aku akan memperjelas padamu satu hal," tepat ketika aku berkata begitu, bianglala kami sudah ada di bawah. Seorang petugas membuka pintunya dan menunggu kami agar segera keluar sehingga antrean berikutnya bisa masuk. "takdir itu ada dan benar-benar terjadi. Seperti sekarang ini. Takdir adalah... aku," aku menunjuk diriku sendiri. "dan kau dipertemukan kembali."

Takdir adalah aku dan Kim Yohan yang memang sejak awal sudah digariskan untuk saling berbagi kisah.

Akhirnya, Yohan 2020 tidak akan berakhir dengan mengenaskan di dalam laciku hingga aku menua. Aku hanya perlu menemukan seseorang dibalik kisah itu dan kemudian menuliskan kembali kelanjutannya, bersama orang itu sendiri.

.

.

.

END

.

.

.

Akhirnya cerita ini tamat. Ini adalah cerita tamat lumayan panjang paling cepat yang bisa aku selesaikan. Walau mungkin ada beberapa kejadian yang mengganjal, aku perlu agak mengapresiasi diri sendiri sepertinya *narsis

Btw, terimakasih untuk semuanya yang sampai detik ini terus memencet tombol bintang, maupun yang dengan sukarela menambah view-nya, terimakasih banyak *bow

Oh iya, aku emang dari awal ngga berencana bikin ini jadi sad-ending, bukan karena harapan kalian yang ngga pengen buku ini sad-ending, tapi kalian tepat menebak kalau endingnya bakal happy yihiiiii, selamat! Terimakasih semuanya!

Terimakasih juga untuk Kim Yohan yang sangat aku cintai :v karena telah memberiku banyak ide hingga aku bisa menulis sepanjang ini hehehe. Juga segenap cast yang lain, aku sangat berterimakasih.

Aku nggak janji, tapi sepertinya aku udah berencana akan mengadakan sequel (entah bisa disebut sequel atau enggak), pokoknya lanjutan dari buku Yohan 2020. Kalau kalian suka dan pengen baca kelanjutannya, biar ngga ketinggalan, jangan dihapus dulu cerita ini dari library, kalau perlu tambahin ke reading list hehehe.

Atau follow biar dapet notifikasi juga boleh.

Boleh banget.

Wkwkwkwk.

Oke, akhir kata, terimakasih banyak dan sampai bertemu kembali di cerita yang lain. ANNYEONG~~~

-Milleny Aprlia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top