18. Di mana kau?

Karena kemarin aku nggak update, hari ini chapternya panjangan ya. Semoga menghibur~

.

.

.

06 Juni 2023

Aku tidak yakin apa yang dilakukan Lee Hangyul di depan rumahku jam segini. Tapi yang pasti buket bunga dalam genggaman tangannya menjawab satu hal: laki-laki keren, pantang menyerah.

Kuakui bodoh, tapi setidaknya Hangyul perlu bersyukur tidak perlu bertemu dengan ayahku. Asal kalian tahu, ayahku punya mata setajam elang kalau disuruh menilai teman laki-lakiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Khas seorang ayah yang benar-benar selektif sekali. Ayahku tidak ada di rumah saat ini. Sayangnya aku tidak mengatakan mereka—orangtuaku—sedang ke Busan dengan tetek-bengek mengunjungi nenek atau apa, melainkan sedang ada keperluan bisnis ke Gwangju. Yah, tidak masalah, toh aku dan Yeonjun sudah terbiasa.

Begitu mengenakan sendal rumah yang disediakan khusus untuk tamu, Hangyul tak melewatkan kesempatan untuk merinci tiap sudut rumahku. Mulutnya menganga semenjak aku membukakan pagar, dan kuharap tidak akan lalat yang hinggap dan bertelur di dalam sana.

"Rumahmu bagus," pujinya begitu mendudukkan diri di sofa ruang tamu.

"Kau sudah sering mengantarku pulang, omong-omong. Ke mana saja kau selama ini?"

"Maksudku, aku tidak benar-benar mempertahikannya selama ini."

Aku berpura-pura tidak mendengarnya. "Mau teh, kopi, atau air mineral?"

"Yena-ya, aku—"

"Lee Hangyul," potongku. Mata kami berserobok. Seketika Hangyul menelan ludah. Maaf Hangyul, tatapan tulusmu harus kupatahkan sekali—beberapa kali lagi. "jawabanku akan tetap sama."

Hangyul menarik dua sudut bibirnya lebar, seolah rasa sakit sudah terpental jika menabrak perasaannya. "Masih dengan alasan yang sama?"

Ya. Aku membalikkan diri, tidak ingin menatap wajahnya terlalu lama. Aku tidak mau dihantui rasa bersalah. "Ya," kataku pada akhirnya, dan tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. "Tunggu sebentar, aku akan membuatkanmu teh."

"Yena-ya." Panggilan Hangyul sekali lagi menghentikan pergerakanku. Aku menutup kedua kelopak mataku rapat-rapat. "Aku tidak akan menyerah."

Aku tahu. Sangat tahu. Semenjak mengenal siapa itu Lee Hangyul, aku tahu kau bukan tipe laki-laki yang seperti itu. Kau begitu mengenal perjuangan dan kau berkelana dengan perjuangan itu sendiri. Bagaimana bisa pengecut sepertiku kau sukai?

"Aku juga tidak akan menyerah, Hangyul-a."

***

23 Desember 2023

"Bola matamu akan keluar kalau kau terus memelototinya seperti itu."

Yeonjun menepuk punggungku keras, membuat fokusku seketika buyar. "Apa?" kataku bingung, tapi dia hanya melengos cuek dan meraih beberapa bola-bola berwarna merah untuk digantungkan di pohon natal.

"Selamat hari natal, Nuna."

Aku mendecih, "Belum. Kau lupa tanggal, ya?"

"Tidak, aku hanya mengetes. Kupikir kau akan melamun kembali memelototi bintang itu."

Karena Yeonjun kembali mengingatkan, mau tidak mau aku kembali menatap bintang dalam genggaman tanganku. Bintang berwarna emas besar yang biasanya diletakkan di pucuk pohon natal. Tanpa sadar senyumku mengembang.

"Kau maniak bintang?" pertanyaan Yeonjun membuatku mendongak.

"Apa?" aku tidak salah dengar, tapi aku hanya perlu mengoreksinya.

Tangan Yeonjun menengadah padaku. Tidak mengerti apa maksudnya, laki-laki itu segera meraih bintang dalam tanganku. "Sini aku saja yang memasangnya. Kau kan pendek mana sampai."

Sungguh mulut itu minta disumpal dengan kaus kaki bau, tapi aku hanya membiarkannya memasang bintang besar itu ke atas pohon natal tanpa protes. Kegiatan hias menghias pohon natal selanjutnya diselesaikan Yeonjun, sementara aku lebih memilih diam dan mengamatinya.

"Selamat natal, Yeonjun."

Yeonjun yang usai memberikan sentuhan terakhir berupa lampu hias seketika membalikkan badan sembari menahan tawa. "Apa?"

Aku mengangkat bahu. "Kenapa? Aku hanya ingin mengatakannya."

"Kau tidak mengucapkan selamat hari natal pada pacarmu?"

"Hangyul sudah mengucapkannya dua hari yang lalu lewat KakaoTalk dan kubalas dengan capslock, BELUM WAKTUNYA."

Kupikir tawanya akan meledak, tapi diluar dugaanku, Yeonjun justru menatapku dengan heran. "Kalian berpacaran?"

"Hah?" untuk sesaat, aku tidak tahu apa maksudnya. Definisi 'pacar' yang tertempel dalam benak Yeonjun mungkin berbeda denganmu. Bukan maksud dengan begitu lantas aku berpacaran dengan Lee Hangyul, jelas tidak. Hanya saja aku tidak bisa menduga siapa yang dimaksudnya. Karena laki-laki yang dekat denganku selama ini hanya Hangyul dan dia.

Yeonjun menyerah. Laki-laki yang mengecet rambutnya berwarna biru mencolok itu mendesah berat, lalu membanting punggungnya pada sofa empuk, sembari mengamati kerlap-kerlip lampu natal. Aku mendekatkan diri dan duduk di kursi yang lain.

"Maksudku dia."

Aku yakin dia yang dia maksud adalah siapa, karena diluar kendali, jantungku terasa berdenyut sakit, seolah semua rentetan kejadian tercampur aduk dan menyerang ulu hatiku. Aku mengalihkan pandangan.

"Daripada kau hanya memelototi bintang natal dan juga kumpulan fosfor di kamarmu seperti bocah umur lima tahun, lebih baik kau mencarinya. Kau yakin tidak bisa mencarinya bukannya tidak mau? Meremehkan internet zaman now, Nuna?"

"Aku tidak—" penyangkalanku terhenti di ujung lidah. Kedua alis Yeonjun yang naik turun serasa mengintimidasiku. Baiklah, aku kalah. "Nanti."

"Nanti," Yeonjun membeo. "aku lelah mendengar kata nanti."

"Akan kulakukan. Aku janji."

Yeonjun benar-benar tertawa pada akhirnya, yang mana aku merasa tidak ada yang lucu sama sekali. Dan tawanya kian meledak saat melihat tatapan anehku. "Nuna, kau ini lucu! Kenapa berjanji padaku? Berjanjilah pada dirimu sendiri."

"Hei, aku—"

"Sekarang, atau tidak sama sekali."

Sekali lagi, mulutnya berhak disumpali kaus kaki bau. Namun pada akhirnya aku hanya bisa merenung. Yeonjun terlalu benar untuk disumpali kaus kaki bau.

***

07 Juni 2024

Hingga pada akhirnya, kalimat "Sekarang, atau tidak sama sekali" adalah satu dari sekian puluh kalimat yang dilontarkan oleh Yeonjun dan Yoojung padaku dengan putus asa. Sampai aku tidak mendengarnya lagi untuk beberapa bulan terakhir. Yeonjun disibukkan dengan hubungan yang langgeng bersama Hwang Yeji, sementara Yoojung disibukkan dengan pekerjaannya yang menumpuk. Sekarang hanya tersisa diriku, sendiri, dan tidak tahu mau apa.

Suara dentingan dari pintu membuat lamunanku buyar. Laki-laki yang menambah tindikan di telinga itu seketika meringis melihat tatapan tajamku. Namun alih-alih memprotes hal itu, tatapanku turun ke tangannya yang tengah memegang buket bunga. Begitu duduk, laki-laki itu menaruh buket bunganya di hadapanku.

"Kau suka?" tanyanya, kemudian memanggil seorang pelayan.

Aku menatap ke arah bunga lili yang terlihat agak layu. Entah cuaca ekstrem membuatnya sekarat atau remasan tangan laki-laki itu terlalu kuat hingga bunganya tercekik. "Bunganya layu."

Seorang pelayan yang terlihat jauh lebih muda dariku datang dan mencatat pesanan laki-laki itu. Laki-laki itu sempat menawariku sesuatu. Aku hampir menolaknya, tapi berhubung minumanku sudah hampir habis dan aku ditawari gratis, well, kenapa tidak?

"Apa susahnya berbohong," katanya sambil mencebik usai mengucapkan terimakasih pada si pelayan. Pelayan itu berbalik dan kembali ke asalnya. "Kalau kau suka seharusnya—"

"Lee Hangyul, masalahnya aku tidak suka. Kau ini bagaimana? Kalau niat menyatakan perasaan, jangan dicekik juga dong bunganya."

Hangyul seketika tidak bisa berkata-kata lagi. Pada akhirnya laki-laki itu memilih menggunakan dalih yang lain, "Kim Yerim sangaaaaat lemah lembut."

"Lalu?"

"Dia pasti akan menerimanya."

Aku terkekeh pelan. "Kalau begitu kenapa harus minta pendapatku? Kepercayaan dirimu sudah melampaui pendapatku, 'kan?"

"Kau benar-benar tidak bisa menyenangkan hati teman." Aku tergelak, membuatnya melotot, "Kau tertawa?"

Dan aksi ngambeknya harus dihentikan sejenak. Pelayan yang tadi kembali membawakan pesanan kami. Usai meletakkannya dengan apik di atas meja dan pergi, aku kembali meledeknya, "Yena-ya, aku tidak akan menyerah," kataku dengan suara berat yang dibuat-buat.

"Hei!" Hangyul mengangkat tinjunya, walau dia tidak akan benar-benar melayangkannya padaku.

"Masih dengan alasan yang sama?"

"Hentikan, Choi Yena."

"Cih, tidak akan menyerah apaan. Sekarang sudah berpindah ke lain hati."

"Kau cemburu?"

Aku mengendikkan bahu dan meraih minumanku yang baru, menyesapnya dengan elegan serta menampilkan ekspresi menikmati. Hangyul melakukan hal yang sama, namun laki-laki itu lebih menenggak minumannya sampai habis. Rupanya dia benar-benar terlihat kesal. Aih, lucu.

"Itu karena kau sudah benar-benar menutup hatimu," kata Hangyul pada akhirnya. Laki-laki itu menatapku tajam. "Kau masih belum menyerah?"

Aku mengendikkan bahu, lagi. "Menurutmu?"

"Di mana dia sekarang?"

Aku menolehkan kepala, memandang para manusia yang berjalan kaki di tepi trotoar. Tepat sekali aku memilih tempat duduk di dekat jendela, membuatku tak perlu bingung bagaimana untuk mengalihkan perhatian kalau-kalau hal ini disinggung lagi. Dan tebakanku memang tidak salah... atau sebenarnya selalu seperti ini. "Masih di bumi."

"Kau yakin?" Aku terdiam. Kurasa pemandangan di luar tidak berhasil mengalihkan perhatiannya. Laki-laki itu terus menelusuri ekspresiku. Aku hanya tahu. "Bagaimana kalau dia—"

"Lee Hangyul," potongku. Perasaanku tiba-tiba memburuk. "Sebenarnya aku ada janji dengan Yoojung sebentar lagi. Kau... tidak apa-apa, 'kan?"

Aku tahu kebohonganku pasti terendus. Aku mungkin tidak pandai berbohong, begitu juga Hangyul yang pandai mengetahui kapan seseorang itu berbohong.

Laki-laki itu menatapku lama, sebelum tertawa pelan. Tapi itulah baiknya Hangyul, dia tahu kapan untuk menyelamatkan situasi. "Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke toko bunga dan mencari yang lebih segar."

"Semangat, Hangyul-a, kau pasti bisa."

"Tentu saja, aku Lee Hangyul!"

***

24 Desember 2024

From: Yeonjun

Nuna, nanti belikan tteokbokki ya.

Aku memetikan layar ponsel dan mendesah panjang. Uap putih mengepul bersamaan dengan napasku yang lolos. Malam natal ini terasa panjang dan melelahkan. Hari ini keluarga besar berkumpul di rumahku. Kedua orangtuaku, kedua orangtua Yoojung, Yeonjun, serta nenek sibuk menghias rumah sedemikian rupa. Aku diminta untuk membeli beberapa makanan di luar—sebenarnya bersama Yoojung, tapi gadis itu lagi-lagi sibuk dengan pekerjaan paruh waktunya.

Yang menyebalkan lagi adalah Yeonjun. Aku sudah keluar dari supermarket dengan dua kantong kertas berisi penuh makanan dan dengan teganya dia mengirimi pesan seperti itu. Kenapa tidak delivery saja sih? Merepotkan.

"Ayo, segera buat permohonanmu! Buat permohonanmu dan gantungkan di pohon natal! Buatlah permohonanmu sekarang agar kelak di tahun yang akan datang kau akan menerimanya!"

Seorang laki-laki di balik kostum Santa itu begitu bersemangat berteriak dengan mikrofon, padahal beberapa orang hanya meliriknya tanpa niat. Tangannya mengayun-ayun, meminta siapa saja untuk datang dan menulis permohonan kemudian menggantungkannya pada pohon natal besar yang ada di depan toko tempatnya berdiri. Di sampingnya terdapat meja panjang berisi aneka macam makanan. Mataku langsung berbinar saat tahu ada sesuatu yang dicari-cari Yeonjun di sana. Aku merapatkan syal dan beranjak melangkah.

Baru satu langkah, ada entitas kecil yang menabrak tanganku, membuat kantong kertasku hampir terjatuh, namun sebuah tangan berhasil menangkapnya. Jantungku nyaris copot. Saat mendongakkan kepala, wajah seorang wanita cantik yang terlihat kelelahan tengah tersenyum padaku. "Maafkan anakku, dia terlalu bersemangat."

Aku balas tersenyum. "Ah, ya, tidak apa-apa."

Anak kecil yang menabrakku tadi menarik-narik ujung baju ibunya dengan tidak sabaran. "Eomma, Eomma, aku ingin membuat permohonan pada Santa! Ayo, Eomma!" yang mau tidak mau membuat ibunya dengan terpaksa menuruti.

"Mau menulis permohonan?" tanya si Santa sambil menundukkan badan. "Kau mau apa anak manis?"

"Mau Appa pulang."

Ekspresi wajah ibunya terlihat terkejut, begitu juga si manusia di balik kostum Santa—meski terhalang kumis putih tebal, aku hanya tahu dia pun terkejut.

Santa meraih kertas dan bolpoin. "Baiklah, aku akan membantumu menuliskannya. Memangnya Appa pergi kemana?"

Anak itu berbicara lancar bagai air terjun yang terjatuh bebas, "Dulu Appa bilang, selalu berdoa kalau rindu padanya, nanti Appa akan pulang. Tapi Appa tidak pernah pulang. Aku mau memohon pada Santa supaya mengajak Appa pulang."

Santa mengangkat wajah dan tidak mendapati jawaban lain selain gelengan kepala dari si ibu."Suamiku meninggal karena kanker dua bulan yang lalu."

Entah apa yang membuatku mendekat. Pokoknya tahu-tahu aku sudah berdiri di dekat mereka. Perhatianku tidak teralih pada bungkusan mewah tteokbokki lagi, melainkan pada gerakan tangan Santa yang menari-nari bersama bolpoin di atas kartu permohonan.

"Nah, aku sudah selesai menuliskannya. Mau memasangnya bersama?" si anak kecil mengangguk. Santa lantas mengangkat tubuhnya tinggi dan anak itu menggantung kartu permohonannya dengan senyum lebar. "Anak pintar," puji Santa setelah menurunkan anak itu. Usapan yang diberikannya di kepala anak kecil itu adalah perpisahan kecil yang terjadi di antara mereka. Kemudian ibunya menggandeng tangan si anak kecil dan merekapun pergi. Aku melihat mereka berdua berjalan bersama bergandengan tangan tanpa beban, seolah bebannya benar-benar menguap tak berbekas karena sebuah kartu permohonan.

"Mau menulis di kartu permohonan?" tanyanya membuatku seketika menolehkan kembali kepala ke depan.

Tidak, aku hanya ingin membeli tteokbokki. "Ya?" aku mendekat, sedikit ragu.

"Baiklah aku akan membantumu menuliskan—"

"Aku bisa menulis."

"Oh? Oh, tentu saja."

Agak bodoh kalau boleh jujur, tapi mana ada permohonan yang dituliskan? Pengecualian untuk anak kecil tadi, tapi aku? Aku sudah kuliah dan masa aku tidak bisa menulis, yang benar saja. Jangan-jangan dia hanya santa natal gadungan (ya iya sih), dan tukang penasaran dengan permohonan orang lain.

Aku menggeleng, segera menepis pemikiran bodoh itu, dan segera menulis di kartu permohonan. Alih-alih menulis 'kuharap', 'semoga', ataupun 'aku ingin', aku malah menulis sesuatu yang lain.

Di mana kau?

Ah, dasar aku lemah. Baru saja menulis tiga kata, aku sudah merasa tidak bisa melanjutkannya. Kurasa, aku memang tidak bisa melanjutkan permohonan ini. Di sisi lain, aku memang tidak pernah percaya dengan permohonan semacam ini, dan mungkin sampai seterusnya tidak.

"Maaf, aku—"

"Aku di sini."

Deg.

Napasku tercekat. Suara ini.

Tanganku bergetar. Tidak mungkin.

Aku membalikkan tubuhku pelan, berharap aku tidak terkejut. Namun pada akhrinya aku tetap terkesiap melihatnya, berdiri di hadapanku.

.

.

.

Aku nggak minta apa-apa, hanya minta keikhlasan vote dan komen :'v

Oke, masih ada satu bab lagi lalu kita akan ke epilog.

Penasaraaaannn? Stay tune~

-Milleny Aprilia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top