17. Yang pergi
Tidak seperti adegan di dalam drama, di mana saat kau bersembunyi di balik pintu menatap laki-laki yang kau sukai tengah dipeluk oleh gadis lain, aku justru hanya terdiam membatu sembari meremas kotak obat di tanganku tanpa takut akan pecah menjadi berkeping-keping.
Kang Hyewon menyibak rambut panjangnya ke belakang usai menyudahi pelukan itu. Hanya satu kalimat yang kudengar darinya, sebelum dia berbalik dan pandangan kami bertemu. "Semua akan baik-baik saja. Kau hanya perlu ikut denganku."
Seolah perkataan itu sudah mencapai garis finish, dan tidak seorang pun yang punya wewenang untuk kembali mengadakan pertandingan. Hyewon tidak terkejut melihatku. Gadis itu tersenyum miring seolah berkata, "Aku menang."
Kuharap aku hanya salah.
***
"Apakah kau teman dekat dari tersangka?"
"Ya."
Hyewon meraih cangkir kopi di atas meja dan menyesapnya pelan. Gadis itu tidak perlu berbasa-basi dan langsung mengatakan intinya, "Yohan akan ikut denganku ke Inggris."
Dimana aku begitu ingin melemparkan kotak obat ini ke wajahnya sampai hancur berserakan di lantai kafe. "Dia setuju?"
Hyewon mengangkat bahu acuh. "Tidak ada pilihan lain, bukan? Yohan butuh pertolongan."
"Apakah dia sering berlaku aneh atau menunjukkan tanda-tanda kekerasan padamu?"
"Tidak."
Aku menggigit bibir bawahku kuat. Haruskah aku mengatakannya? Bahkan aku sendiri menyangkal di hadapan para detektif sialan itu kalau Yohan membunuh—tidak, Yohan bukan pembunuh. "Jika dia memang melakukannya, bukankah seharusnya hukum yang memproses?"
"Kau tidak mengerti juga?" Hyewon tergelak sinis. "Yohan butuh perawatan jiwa."
"Kau tahu dia sakit jiwa?" ganti aku yang tergelak sinis. "Kau menyebut dirimu penolongnya tapi saat dia mengalami masa-masa sulit kau bahkan tidak ada?"
"Kau pikir mudah untuk sampai di tempat ini? Aku harus memohon di bawah kaki kedua orangtuaku supaya bisa membawa Yohan ke Inggris. Memelekkan mata orang-orang buta itu susah, Choi Yena. Mereka tidak akan paham sampai kapanpun bahwa Kim Yohan hanya butuh penolong, bukan kurungan besi."
Napasku tercekat. Fakta yang akan terjadi sebentar lagi membuatku tidak bisa berpikir logis. Aku hanya ingin Yohan tetap ada di sini, tapi aku tidak ingin melihatnya kedinginan di balik jeruji besi. "Yohan... tidak melakukannya, 'kan?"
Gadis di hadapanku tidak merespon balik. Dia hanya menundukkan kepalanya, menatap cangkir beruap di meja dengan pandangan kosong. Hal itu membuat hatiku bagai diremas dan disiram cuka.
"Untuk saat ini, Kim Yohan akan ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan dari Ji Sunhee. Terimakasih sudah bersedia menjadi saksi."
"Kim Yohan bukan pembunuh."
Apakah secara tidak langsung Hyewon mengakui bahwa Yohan-lah pelakunya? Dia tidak bisa menyangkal semua itu.
Aku hendak menggelengkan kepala, mencoba mengusir semua pikiran seram yang muncul di kepalaku, saat tahu-tahu Hyewon mengangkat wajahnya dan berkata pelan, "Benar atau tidaknya, hanya Yohan yang tahu."
"Lakukan sesuatu, Kang Hyewon!"
"Aku sedang melakukan sesuatu, Choi Yena."
"Bukankah orangtuamu kaya? Buat mereka melakukan apapun asalkan Kim Yohan terbebas dari tuduhan!"
Gertakan Hyewon seketika membungkamku, "Aku tidak bisa mengatakan apakah Yohan yang melakukannya atau tidak. Aku hanya perlu membawanya ke Inggris untuk disembuhkan. Tapi satu hal yang harus kau tahu," katanya menjeda."Yohan bukan seorang pembunuh."
Untuk satu hal yang baru dikatakannya, aku setuju. Untuk kali ini, kurasa kami ada di pihak yang sama.
"Bagaimana caranya dia lolos dari hukum?"
Ekspresnya mulai terlihat santai kembali. Gadis itu menegakkan punggung dengan pelan lantas meraih kembali cangkir kopinya dengan gerakan anggun. "Dia pasti akan lolos dari hukum. Bagaimanapun juga, Yohan bukan orang seperti itu."
Benar. Seratus persen aku setuju dengan apa yang Kang Hyewon katakan. Kim Yohan bukan pembunuh. Aku yakin, kematian Ji Sunhee bukanlah sesuatu yang dikendalikan oleh Yohan. Jika ibu angkat Yohan mati terbunuh, pasti ada alasannya. Jika memang alasannya Kim Yohan, bukan berarti hal itu membuatnya menjadi tersangka.
"Bagaimanapun juga, Yohan bukan orang seperti itu."
Kim Yohan bukan pembunuh.
"Matamu cantik, membuatku teringat pada laki-laki itu."
Tapi ternyata, Kim Yohan orang yang seperti itu.
"Laki-laki yang kucintai."
Sekarang aku mengerti, kenapa dia begitu dekat denganku. Dia bisa memelukku dengan bebas, memperlakukanku dengan baik, tidak pernah menunjukkan emosi yang berlebihan. Aku tidak pernah melihat Yohan berkelahi kecuali menggertak, yang mana aku juga bisa melakukannya. Sekalipun, aku tidak pernah melihatnya menunjukkan tanda-tanda gugup berada di dekatku.
Dia membuat kami dekat dan membuatku mencintainya secara sepihak, sedangkan dia tidak.
Yohan dekat denganku bukan karena dia mencintaiku. Melainkan karena dia merasa sama sepertiku.
Dia merasa sama seperti seorang perempuan yang mencintai seorang laki-laki.
***
01 Januari 2023
"Kau tidak meneleponnya?" Yoojung mendudukkan diri di sampingku. Rambutnya acak-acakan, bajunya lusuh, dan kantung matanya menghitam. Aku meringis prihatin, tapi gadis itu malah mendengus keras, "Hah! Lihat gara-gara Do Kyungsoo sialan itu. Si pendek itu membuatku lembur semalaman menyelesaikan materi sebanyak seratus halaman. Kau dengar itu, seratus!" dia mengacungkan sepuluh jarinya ke hadapanku.
"Do Kyungsoo kyosunim[17]." Aku meralat. "Dan omong-omong, dia sudah memberikan kita tugas sejak dua bulan yang lalu."
Yoojung tetap tidak mau kalah, "Aku ini ikut organisasi! Hei, memangnya aku ini dirimu yang sibuk berpacaran haha hihi dengan—"
"Choi Yoojung!" aku melotot. "Kau tidak mau bertobat jadi orang cerewet?"
"Mulutku yang menghantarkanku ke klub pidato."
Aku memutar bola mata. "Setidaknya mereka tahu harus merekrut siapa."
"Kau tidak meneleponnya?" Yoojung seketika melupakan adegan pembulian tak beralasan pada dosen kami dan segera merapatkan diri dengan kedipan jahil. Matanya sudah menyeramkan dan tambah menyeramkan kalau dia melakukan itu. "Kau tidak merindukannya?"
"Sia—"
"Kami sudah bertelepon selama delapan jam kemarin."
Seseorang menaruh tas laptop di atas meja dan mendudukkan dirinya di sisi tubuhku yang lain. Yoojung melongokkan kepala dan seketika terkikik geli. Tidak menyia-nyiakan hal itu, segera kuambil buku tebal di atas meja dan memukulkannya ke kepala Yoojung. Sayang, dia terlalu gesit menghindar untuk seukuran orang yang tidak tidur semalaman.
"Haruskah kau membocorkannya pada Choi Yoojung?" protesku sembari melirik Yoojung tajam. Yoojung memeletkan lidah.
Laki-laki itu mengeluarkan laptop dari dalam tas. "Dia akan cari tahu sendiri kalau tidak diberi tahu. Hanya perlu waktu."
Yes, itulah Choi Yoojung. Dia mirip tikus sok tahu yang berkeliaran di mana saja. Masuk ke organisasi debat kampus serta menjadi pegawai freelance di sebuah kantor berita membuatnya memiliki banyak akses lancar untuk semakin ceriwis.
Yah setidaknya dia aktif dan punya penghasilan yang tetap, sementara aku hanya sebatas mahasiswa normal yang menyibukkan diri dengan tugas dan telepon dari laki-laki yang—kata anak sekelas—super tampan itu. Padahal aku tidak ke dukun untuk memikatnya, tapi dia sendiri yang datang padaku. Well, sebenarnya daya tarikku memang sekuat itu.
Berikutnya kelas yang semula gaduh tiba-tiba hening. Laki-laki berusia pertengahan tiga puluhan dengan rambut klimis masuk ke dalam kelas dan langsung menyalakan LCD proyektor. Aku melirik Yoojung dan gadis itu hanya menumpukkan lengan dengan tidak bersemangat. Kalau berbicara panjang lebar saja semangat tapi menghadapi Do Kyungsoo kyosunim seketika semangatnya patah.
Kuakui Do Kyungsoo kyosunim bukan tipe orang yang suka mengamuk pada muridnya yang lelet seperti yang dilakukan Kim Namjoon seonsaengnim, guru fisikaku saat sekolah menengah atas. Tapi orang itu kelewat perfeksionis, membuat mahasiswanya kocar-kacir kalau beliau sudah memutuskan memberi tugas hingga beratus-ratus lembar.
Sepuluh menit berlalu tapi layar besar itu hanya menunjukkan logo merk tanpa materi yang memuakkan seperti biasanya. Dapat kudengar Kyungsoo kyosunim berdecak kecil sembari berkata pada dirinya sendiri, "Apa mereka belum membetulkannya?" lantas dia mengangkat wajah dan memutari pandangan ke seluruh isi kelas. Pandangannya berhenti di tempatku duduk. "Lee Hangyul!"
"Ya, kyosunim?" Hangyul, laki-laki yang duduk di sebelahku seketika berdiri dengan sikap sempurna, seolah yang memanggilnya adalah komandan di militer.
"Coba kemari dan lihat ada kesalahan apa."
Semua orang memang tahu kalau Lee Hangyul sangatlah tampan. Poin plus, dia ahli di bidang seperti itu, bikin para gadis klepek-klepek.
Tapi sayangnya aku tidak.
***
Hangyul tidak menemaniku pulang seperti biasa. Laki-laki itu pamit untuk urusan mendadak yang kalau tidak salah dia bilang urusan rumah. Jadi sekarang aku sedang duduk di halte bus yang panas bersama si cerewet Yoojung.
"Kau tahu," Yoojung membuka pembicaraan setelah hening berlalu lama. Beberapa orang seketika menoleh ke arah kami karena volume suara Yoojung yang kurang bisa dikontrol. "pertanyaanku tadi bukan untuk Lee Hangyul."
Aku memberikan isyarat agar gadis itu menurunkan volume suaranya, tapi yang kudapat hanya kerutan dahi. Aku mendesah dan menyibak rambutnya ke belakang telinga. Ah earphone. Pantas saja dia berlagak seperti orang tuli.
"Maaf." Yoojung segera melepas earphone-nya.
"Aku tahu." Aku kembali menghadapkan wajahku ke depan, melihat transportasi berlalu lalang memadati kota Seoul. "Jawabannya, ya, aku merindukannya."
"Kau harus menghubunginya." Yoojung menyenggol lenganku pelan. "Kau tidak penasaran bagaimana kabarnya?"
Sangat. Aku sangat ingin tahu bagaimana kabarnya, apakah dia makan dengan baik, apakah dia suka berada di sana. Aku ingin tahu semuanya, tapi aku tidak lebih dari seorang pengecut. "Nanti."
"Nanti kapan?" Yoojung bertanya dengan nada mendesak. "Tiga tahun sudah berlalu. Kau saja tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak."
Kedua mataku melebar menatapnya. "Apa katamu?"
"Itulah gunanya menghubunginya, Choi Yena-ku sayang. Kau harus tahu bagaimana kabarnya supaya kau lega dari rasa rindumu itu." Yoojung membuat ekspresi ingin muntah di kalimat terakhir.
Aku mengalihkan pandangan darinya, "Tidak semudah yang kau katakan."
"Apa?" Yoojung mengorek telinga.
"Tidak apa-apa. Lupakan saja."
Bus yang kami tunggu tiba. Begitu pintu membuka, aku segera menarik tangan Yoojung untuk masuk dan mendapatkan kursi. Aku tidak peduli beberapa orang protes karena aksiku menabraki bahu mereka terlalu bar-bar. Pulang kuliah itu melelahkan, bisa-bisa betisku membesar kalau disuruh berdiri selama bermenit-menit di dalam bus.
Sembari menunggu bus mengantarkan kami pulang, aku kembali teringat pada kata-kata Yoojung. Menghubunginya untuk menanyakan kabar? Apakah aku bisa?
Aku hanya tidak siap pada segala kemungkinan yang terjadi. Aku tidak siap mendengar suaranya. Aku tidak siap untuk menangis karena merindukannya. Aku tidak siap... untuk semuanya.
Tolong katakan padaku, aku harus bagaimana?
.
.
.
[17] kyosunim = dosen
.
.
.
Ada kabar baik dan ada kabar buruk. Mau baca yang mana dulu?
Oke deh kabar buruk aja ya biar endingnya bisa enakan, hahaha.
Kabar buruknya: cerita ini akan segera tamat, kira-kira dua sampai tiga chapter lagi. Huhuhu...
Kabar baiknya: kemungkinan bakal ada buku kedua, YEYYYY
Udah gitu aja.
Btw, aku excited banget loh kalau ada yang komen, kayak semacam pemberi suntikan semangat gitu (': komen dong huhuhu
See you in the next chapter~
-Milleny Aprilia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top