16. Sang pemilik rahasia

Hujan tidak memberi ampun. Bersama petir, dia mencabik-cabik bumi, menebas mayoritas tumbuh-tumbuhan besar, membangunkan beberapa anjing peliharan, membuat tubuh kami bergetar ketakutan.

Pohon beringin yang ditanam di dekat lapangan basket itu roboh setelah disambar petir. Gonggongan anjing milik beberapa tuan rumah menambah kesan mencekam. Tangan Yohan yang kugenggam serat terasa semakin dingin. Aku sendiri takut, tapi aku harus melindunginya.

Sewaktu masih kecil, Yeonjun pernah tidak sengaja melukai anak satu kompleks. Pengakuannya pada kedua orangtuaku saat itu ketika mereka bermain basket bersama, anak laki-laki gempal yang kalau tidak salah bernama Joo Haknyeon berlaku kasar padanya. Karena Yeonjun habis kesabaran, akhirnya dia memilih melayangkan tinjunya hingga membuat dua gigi Haknyeon copot. Haknyeon berlari pulang dengan tangisan kencang. Yeonjun yang ketakutan akhirnya bersembunyi di gudang kecil tempat penyimpanan bola-bola basket. Beruntungnya hingga kini tidak ada satu orang pun yang menyentuh atau bahkan merombak tempat ini. Tempat ini masih sama, hanya saja jumlah bola basketnya sudah tiga kali lipat lebih banyak daripada zaman Yeonjun kelas lima Sekolah Dasar.

Pintu yang terbuat dari seng bergetar saat langit kembali murka. Tubuh Yohan semakin bergetar dan dapat kurasakan tangannya mencengkeram tanganku semakin erat. Aku beringsut mendekat dan mendekapnya.

Aku tidak ingin bertanya apapun lagi. Aku hanya ingin ada di sisinya saat dia butuh seseorang. Di saat dunia bahkan meninggalkannya, aku harus tetap bersamanya.

Aku hanya ingin terlelap dengan bersandar pada tembok, tapi tahu-tahu Yohan mengangkat kepalanya dan berbisik pelan dengan suara serak, "Post traumatic stress disorder."

Aku tidak mengerti. "Apa?"

Yohan terdiam. Genggaman tangan kami terlepas. Laki-laki itu memutar tubuhnya menghadapku. Kini kami berdua saling berhadapan. Dalam jarak kurang dari satu meter, aku bisa mendengar deru napasnya dengan jelas. "Orang itu bilang begitu padaku."

"S-siapa?" aku merasa tenggorokanku tercekat.

"Orang berpakaian serba putih yang selalu mengatakan bahwa dia akan membantuku," Yohan terkekeh sarkastis, "nyatanya dia malah membuatku terpenjara dalam ruangan persegi apek, memberiku suntikan dan obat-obatan, padahal aku hanya ingin bebas."

Aku membisu, mencoba mencerna apa yang berusaha Yohan sampaikan kepadaku. Mungkinkah apa yang barusan dia katakan merupakan potongan dari seperempat teka-teki yang selama ini ingin kutanyakan? Tentang apa yang sebenarnya laki-laki itu sembunyikan di balik senyuman dan tingkah konyolnya.

Aku yakin pasti. Yohan boleh bertingkah baik-baik saja, tapi sorot matanya tidak akan pernah bisa membohongiku.

Tangannya yang berbau amis merangkum dua pipiku. Aku tidak mengharapkan kecupan, atau bahkan ciuman. Lebih daripada apapun, aku hanya ingin tahu apa yang membuat jiwanya begitu menderita. Aku hanya ingin tahu... apa obatnya.

"Matamu cantik," lirihnya."membuatku teringat pada laki-laki itu."

Laki-laki?

Sepertinya tanpa sadar aku telah menyuarakan pertanyaan dalam benakku, karena kulihat kepala Yohan mengangguk. Matanya berair, dan air itu hampir terjatuh dari tempatnya.

Aku menelan ludah. "A-ayahmu?"

Yohan menggeleng pelan. Dia menjatuhkan kepalanya di pundakku. Bahunya bergetar. "Laki-laki yang kucintai."

***

Pagi hari tiba. Sinar matahari yang menembus celah kecil jendela menusuk wajahku, hingga mau tak mau aku membuka mata. Aku mendudukkan diri, dan pemandangan pertama yang membuatku terpukau adalah Yohan tertidur dengan posisi duduk. Air yang membasahi bajunya sudah mengering, namun bercak-bercak darah masih terlihat begitu kentara. Aku berdiri dan membawa tungkaiku kepadanya.

Aku berjongkok di sampingnya dengan gerakan pelan, takut membuatnya terkejut. Tapi niatku yang sedari awal ingin membangunkannya malah luntur. Jemariku justru kubawa untuk menyibak pelan rambutnya yang sudah agak panjang ke belakang, supaya aku dengan jelas bisa memandang wajahnya di pagi hari.

Darah di pelipisnya sudah mengering, tapi aku tetap meringis kecil—membayangkan aku berada di posisinya dan merasakan perih. Kemudian pandanganku jatuh di sudut bibirnya yang terluka. Ketika hendak menjamahnya, tahu-tahu Yohan membuka mata. Aku segera menarik tanganku ke belakang. Karena terkejut dan tak tahu bahwa di belakangku ada bola basket, aku terpeleset dengan bunyi gedebuk seperti sekarung beras jatuh.

"Akh!" pekikanku berhasil membawa Yohan seratus persen kembali dari alam mimpi.

"Kau baik-baik saja?" laki-laki itu membantuku berdiri.

Aku tidak baik-baik saja. Pinggangku sakit. "Ya, aku baik-baik saja." Aku menepuk-nepuk pantatku yang terkena debu. "Kau tunggu di sini. Jangan kemana-mana." Aku berdeham salah tingkah, lantas berbalik.

"Kau mau kemana?" pertanyaan Yohan menghentikanku.

Kutolehkan kepalaku ke samping untuk menatap bayangannya di lantai. Aku tersenyum tipis. "Aku akan pulang dan mengambil beberapa makanan."

"Kembalilah. Aku menunggumu."

Aku mengangguk. "Mm. Aku pasti akan kembali."

***

Dahiku berkerut semakin dalam saat melihat keramaian di depan sana. Banyak warga dengan ekspresi penuh emosi menunjuk-nunjuk ke suatu arah. Belum lagi aku memandang ke arah mana yang dimaksudkan mereka, suara sirine ambulan mengalihkan perhatianku. Aku segera mempercepat langkah untuk pulang.

Hal pertama yang kulihat adalah sosok adik kembarku yang tengah berkacak pinggang sembari memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri, seakan mencari sesuatu. Berulang kali dia menatap jam tangan, lalu berdecak kesal. Saat pandangan mata kami bertemu, laki-laki itu melotot terkejut dan seketika berlari menghampiriku.

"Nuna kupikir kau diculik!" Yeonjun menerjang bahuku, memutar tubuhku ke kanan dan ke kiri. "Nuna, kupikir laki-laki brengsek itu melukaimu!"

"Laki-laki brengsek—" kemudian aku teringat Kim Yohan. Tidak mungkin...? "Apa maksudmu?"

"Mereka sudah kembali dari Busan. Appa mencarimu."

Aku benar-benar tidak mengerti. "Tunggu, jelaskan padaku ada apa ini. Dan itu kenapa ada garis polisi—"

"Pembunuhan."

"Apa?" seketika aku menatapnya.

"Pembunuhan," ulang Yeonjun. Dia menatapku dalam, sebelum kembali berkata pelan, "Appa menunggumu."

***

Ayah dan ibuku adalah dua sosok manusia yang begitu sempurna jika dijadikan satu dan diberikan tugas untuk menjadi orangtua. Mereka mendidikku dan Yeonjun dengan baik. Memberiku makan tepat waktu, uang yang cukup, dan pendidikan yang bagus. Bahkan untuk seukuran orangtua yang punya anak menyebalkan seperti Yeonjun dan agak bandel sepertiku, mereka tetap sabar.

Ingat ketika aku pernah mendorong Yeonjun dari lantai dua hingga koma di rumah sakit? Kupikir mereka berdua akan membuangku ke panti asuhan, atau lebih parah dari itu akan mengusirku secara terang-terangan keluar rumah. Tapi nyatanya ibu malah memelukku dan memaafkanku. Begitu juga dengan ayahku, dia hanya mengatakan, "Tidak apa-apa. Dari pengalaman itu kalian akan jadi akur dan saling mencintai."

Dan kupikir akan selamanya tetap seperti itu. Tapi sekarang aku terpaksa menundukkan kepala dalam, sementara di sisi kanan dan kiriku ada ibu dan Yoojung yang mencoba menguatkanku. Ayah mondar-mandir di hadapan kami. Sementara Yeonjun, Bibi, dan Paman memilih diam di sudut ruangan.

"Dia seperti anak baik," Ayah berhenti di hadapanku. "untung Appa masih bisa melihatmu hidup, Yena."

Kedua tanganku terkepal hebat hingga bergetar. Buku-buku jariku memucat. Aku menggigit bibir dalam, mencoba tidak meneriakkan segala umpatan di hadapan orang-orang, terlebih di hadapan orangtuaku.

Paman yang sedari tadi memilih diam akhirnya angkat bicara, "Panti Kasih bilang dia anak yang pintar. Dia hanya diadopsi oleh keluarga yang salah."

"Mereka bahkan tidak bisa menerimanya kembali," dengusku kasar. "Mereka bodoh, Panti Kasih itu." Aku mendongakkan wajah, menatap langsung ke dalam mata Paman Shinjun.

"Yena-ya, biarkan dia mendapatkan hukuman yang setimpal."

"Kim Yohan bukan pembunuh!"

Ibu memelukku erat. Aku mendengarnya berbisik pelan, "Yena-ya, kami semua menyayangimu."

Aku berdiri, menyentak tangan ibu dan Yoojung. "Jangan pernah menyentuhnya, kalian semua."

Darahku mendidih. Aku muak berada di atmosfer ini. Melihat orang-orang dengan tatapan benci itu, aku benar-benar muak. Aku tidak suka bagaimana cara mereka berkata tentang Yohan padaku.

Aku berjalan ke pintu, namun teriakan ayah menghentikanku, "Kembali Choi Yena! Kami keluargamu!"

Aku mendengus kasar, membalikkan tubuhku, menatap nyalang ke arah mereka semua satu per satu. "Keluarga?"

Mereka semua terdiam.

Pandanganku beralih pada Paman Shinjun. "Bukankah mereka keluarga, panti asuhan sialan itu?! Kenapa mereka tidak mau menerimanya kembali?!"

"Yena-ya..."

"Jika tidak ada satu orang pun yang sudi menerimanya," aku mengepalkan dua tanganku kuat-kuat. "maka aku akan menerimanya."

Aku kembali membalikkan badan dan membulatkan tekad untuk kembali ke tempat di mana Yohan berada. Namun langkahku terhenti kembali. Tepat di hadapanku, berdiri dua orang tinggi tegap berpakaian serba hitam. Salah satu di antara mereka maju selangkah ke arahku, "Choi Yena-ssi?"

Dua alisku bertaut menjadi satu. Mereka ini siapa?

Seolah mengerti kebingunganku, laki-laki itu mengeluarkan sebuah benda yang dikalungkan di lehernya. Sebuah kartu identitas yang ditunjukkan tepat di depan mukaku. "Kami detektif yang bertugas menyelidiki kematian Ji Sunhee, ibu angkat dari Kim Yohan."

.

.

.

Bersambung...

Mau tau seberapa orang yang suka baca cerita ini, boleh tinggalkan komentar?

See you in the next chapter~

-Milleny Aprilia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top