14. Definisi seorang penjaga

Part ini sedikiiiiiitttt lebih panjang dari sebelum-sebelumnya (kayanya lho, wkwkwkwk). Disarankan membacanya serileks mungkin. Sambil tiduran (jangan sih, bisa ngerusak mata, tapi nyaman banget posisi ini hahaha), sambil nyender di kursi, atau sambil apa aja deh terserah (yang penting jangan sambil makan dulu ya, belum buka).

Hehehe, enjoy teman-teman~

.

.

.

Satu hal yang membuat seorang Choi Yena berubah dari gadis realistis menjadi gadis sarkastis tidak lain dan tidak bukan adalah laki-laki dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter lebih sekian, Kim Yohan.

Kim Yohan memang luar biasa, si pembawa perubahan besar dalam diriku. Jika itu Jihoon, aku tidak akan menunjuk secara terang-terangan bahwa aku merasa cemburu, karena aku tahu Jihoon punya poin plus dibanding Yohan—aku tidak ingin membandingkan mereka berdua, aku hanya ingin membuat diriku sendiri merasa lebih baik—dalam hal kepekaan. Kurasa tidak ada salahnya jika aku ngegas, berkata terang-terangan. Meski pada akhirnya aku tertunduk malu, seperti harga diriku ikut menguap bersama embun pagi.

Omong-omong soal si-gadis-cantik-cinta-pertama-Yohan, Kang Hyewon, gadis itu meneleponku tepat setelah bus mini keluarga kami terpakir dengan rapi di halaman rumah nenek. Karena layar ponselku hanya memberitahu deretan nomor tak dikenal, jadi aku mengangkatnya begitu saja (kalau aku tahu Kang Hyewon yang menelepon, sudah pasti aku tidak akan berpikir dua kali untuk menolaknya—yang lebih heran lagi, dia dapat nomorku dari mana?). Usai berpamitan pada orang-orang bahwa aku akan membeli sesuatu di luar, kini aku berakhir duduk di depan restoran yang tempo lalu kami bertiga datangi.

"Ada apa?" tanyaku, tidak ingin berbasa-basi.

Hyewon datang lebih dulu ditemani tiga botol soju yang segelnya belum terbuka. Aku tidak punya ide tentang apa yang akan gadis itu lakukan dengan botol-botol itu kecuali fakta bahwa dia bisa kuat minum di usianya yang terbilang masih di bawah umur.

Hyewon membuka segel soju, menuangkan isinya ke gelas kecil, dan mendorongnya padaku. "Bujuk Yohan agar mau ikut denganku ke Inggris."

Aku terhenyak memandang gelas itu, sama sekali tidak berminat memandang wajahnya. "Kau pikir aku ibunya? Dan juga, kau ini stalker-nya atau bagaimana, selalu ada di manapun dia berada?"

Gadis itu memilih tidak menjawab pertanyaan balikku, dan lebih memilih meminum gelas yang diisinya sendiri, sementara milikku masih penuh. Cih, milikku. Kalau ketauan ayah, aku mungkin harus tidur di luar rumah selama seharian. "Kalau tidak tahu apa-apa sebaiknya diam dan turuti saja kemauanku. Ini juga demi kebaikannya." Gadis itu meletakkan gelas kosongnya dengan anggun.

Benar. Aku tidak tahu apapun tentang kalian berdua, jadi untuk apa aku berpikir yang tidak-tidak? Tapi jangan lupa kalau aku tidak tahu apapun tentang kalian berdua, jadi aku tidak perlu repot-repot ikut campur masalah ini.

"Oh iya, Choi Yena-ssi, aku akan memberitahukanmu satu hal ini sebelum kau melangkah lebih jauh lagi," nada suaranya berubah setajam matanya memandangku saat dia menjeda, "jangan pernah jatuh cinta padanya."

Kedua tanganku terkepal erat di atas paha, sedemikian rupa aku menahan diri untuk tidak menyiramkan soju ke wajahnya yang—katanya—cantik itu. "Kau tidak bisa mengatur apapun yang ingin—dan akan kulakukan."

Hyewon melipat tangannya di depan dada dengan punggung menegak. "Juga jauhi Kim Yohan."

"Kenapa aku harus melakukan itu?"

"Kau benar-benar tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti?" Hyewon tertawa mengejek. "Kim Yohan sakit, Choi Yena!"

Aku tidak mengerti dengan kata 'sakit' yang Hyewon katakan, tapi yang jelas aku tahu bahwa hatiku sakit mendengarnya. "Apa katamu?"

"Dia sakit," ulangnya dengan enteng. "dan hanya aku yang bisa menyembuhkannya."

Karena kau adalah bagian dari masa lalunya yang pernah hilang? "Kenapa hanya kau yang bisa menyembuhkannya?"

Hyewon diam, tidak menjawabku. Gadis itu mengisi kembali gelasnya yang kosong dan menenggak isinya dengan cepat. Saat menaruh gelas kosongnya ke atas meja, baru dia berkata dengan nada final, "Aku mengenalnya luar dalam, lebih lama darimu. Aku tahu apa yang dilakukannya setelah makan, juga rutinitasnya sebelum tidur. Aku tahu tepat pukul berapa dia akan memeluk dirinya sendiri. Aku sangat tahu dia akan menangis kapan."

Rentetan kalimat yang menghujani telingaku entah kenapa seolah mendorong nyaliku yang tersembunyi untuk keluar. Tanganku bergerak sendiri, terangkat untuk meraih gelas soju. Sumpah ini kali pertama—dan mungkin terakhir kali—aku meminumnya. Saat rasa pahit menyapu lidahku dan aliran panas serasa membakar kerongkonganku, aku mengerang. Hyewon tersenyum miring, seolah berhasil memancingku. Gadis itu kembali memberiku soju. Dan aku dengan bodohnya kembali menerimanya meski sensasi yang pertama kali kurasakan serasa mencekikku kuat-kuat.

Hingga tak terasa kira-kira sudah lima kali aku memasukkan cairan itu ke dalam tubuh, barulah aku merasa dunia di sekitarku berputar. Hyewon tersalin jadi dua orang. Dua-duanya sama-sama tersenyum mengerikan menatapku. Saat pandanganku mulai memburam, aku mencoba memejamkan mata kuat-kuat agar bisa kembali fokus.

Aku menudingkan jari telunjuk di antara dua Kang Hyewon itu. "Kau... gadis... SIALAN!"

"Ya, terserah," lirihnya kembali mengisi gelasku yang kosong. Tak perlu takut dibayang-bayangi kemarahan ayah untuk perlu kembali menenggak isinya.

"Seharusnya Yohan tahu sifat aslimu seperti ini hehehe." Aku mendengar tawaku sendiri. "Iblis!"

"Ya, biarkan Iblis ini membawa kawanannya pergi."

"Apa?" aku kembali tertawa, kali ini lebih keras. Lantas dengan kekuatan ekstra aku menggebrak meja. "Kim Yohan itu malaikat! Iblis apanya, hah?! Kau pulang sendiri sana!"

"Hah," Hyewon mendengus. "kau memang tidak mengenalnya ya?"

"Katakan lagi! Ayo akan kusiram kau, ayo katakan lagi!" aku sudah siap menyiramnya dengan soju, tapi tangan seseorang menahan botol dalam tanganku. Aku mendongak dan menemukan Kim Yohan berdiri dengan wajah pias menatap Hyewon.

"Mau sampai kapan kau bertindak lebih jauh?"

"Y-Yohan-a," Hyewon sungguh-sungguh terkejut, karena gadis itu seketika berdiri dari duduknya dengan ekspresi maling ketahuan mencuri.

"Aku akan mempertimbangkannya, kau paham, 'kan?"

"Minggu depan aku akan kembali ke Inggris, aku tidak punya banyak waktu."

"Beri aku satu minggu itu untuk berpikir setidaknya."

"Kim Yohan, aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Tinggalkan Korea Selatan dan kita hanya perlu memulai lembaran hidup baru di Inggris supaya kau—"

"Tidak dengan melibatkan Yena, bisa?"

Seketika tatapan mata Hyewon berubah terluka, seolah ada orang yang membunuh kedua orangtuanya sekaligus di hadapan gadis itu. Dia mendongakkan kepala, menghalau air matanya yang mendesak keluar. "Aku tidak akan menyerah," katanya tegas usai mengembalikan pandangannya kepada Yohan, membuatku deja vu.

Sementara Yohan tidak mengatakan apapun lagi, hingga Hyewon pergi meninggalkan kami.

***

Argh, aku merasa gerah. Berulang kali aku mengipas-ipaskan telapak tangan ke wajah, tetap saja rasanya seperti terbakar. Aku tidak peduli Yohan merasa tidak nyaman atau bagaimana denganku yang bergerak-gerak ekstrem di punggungnya. Laki-laki itu hanya diam menatap lurus ke jalanan, sementara dua tangannya menahan kakiku agar tidak jatuh dari gendongannya.

Menyerah, tanganku terkulai lemas di sisi-sisi tubuhnya. Kutempelkan pipiku pada rambut beraroma lavender, bau yang sangat kusuka, bau khas Kim Yohan.

"Yohaaaaaannnn~" Yohan menggumam kecil menyahutku, tapi aku tahu dia tengah tersenyum. Aku terisak-isak kecil. Tanganku bergerak memeluknya lebih erat. "Iblis itu bilang dia akan membawamu pergi. Huwaaaaa, jangan pergi! Jangan!"

Yohan berhenti melangkah, menolehkan kepalanya padaku. "Kau mabuk parah."

"Mabuk apanya," dengusku, disusul tawa. "Aku sadar seratus—ah tidak, satu juta persen!" telunjukku sebagai simbol angka satu kulayangkan tepat di depan wajahnya.

Laki-laki itu menghela napas panjang. "Di sana ada toko kecil. Aku akan membeli air."

Aku tidak menyahut. Saat itu aku sibuk menggumamkan sesuatu yang sama sekali tidak kupahami. Kepalaku rasanya berat dan pandanganku mengabur, namun aku tahu Yohan tengah menurunkan tubuhku di kursi kayu panjang. Aku langsung tidur telentang di atasnya. Saat bayangan Yohan terlihat akan pergi, dengan sigap aku menahan tangannya, "Kubilang jangan pergi!"

Yohan terkekeh kecil. "Aku hanya masuk sebentar untuk membeli air minum. Tunggu ya." Laki-laki itu melepaskan tanganku dan pergi masuk ke dalam toko.

Tak lama kemudian dia kembali, berjongkok di dekatku kemudian membuka tutup botol. "Minum dulu." Dia membantuku duduk dan minum air, lalu mendudukkan dirinya sendiri di sebelahku. "Bagaimana aku harus membawamu pulang dalam keadaan begini?" gumamnya pelan kedengaran olehku.

Tiba-tiba bayangan ayah murka membuatku seketika melebarkan mata. "Tidak mau pulang!" aku memeluk Yohan erat. "Yena takut dimarahi Appa! Huwa, nanti Yena dijewer! Yena takuuuuttt!"

Malam itu selain suara jangkrik, aku bisa mendengar suara tawanya memecah angin malam. "Astaga lucunya!" pipiku rasanya agak ngilu saat dicubit sedemikian rupa. "Iya, iya, aku akan memikirkan caranya agar Yena bisa pulang dengan selamat."

Sementara aku tidak ada niatan untuk melonggarkan pelukan sama sekali.

"Mau sampai kapan kau memelukku, hm?"

"Sampai Iblis itu pulang sendiri ke asalnya."

Lagi-lagi dia tertawa. Aku semakin mengeratkan pelukanku. Yohan memprotes di tengah-tengah gelak tawa, "Hei, aku susah bernapas. Aaaa seseorang tolong aku dicekik!" aktingnya seolah-olah menderita.

Aku mendorong tubuhnya menjauh. Rasa panas itu kembali merambat di sekujur tubuhku, menyentuh titik sensitif dalam otakku, membuat mataku berair. Aku mulai sesenggukan. "Kenapa kau tidak pernah bilang padaku kalau kau sakit?"

Seketika tawanya memudar. Yohan terdiam.

Aku melanjutkan, memukuli tubuhnya sekuat yang kubisa. "Pembohong! Mana ada kau sakit, hah?! Yang ada aku yang sakit! Kau kuat begini, di mana letak sakitnya?! Iblis sialan! Kim Yohan sialan!"

Yohan menangkap tanganku. "Yena-ya."

"Kau sakit apa, hah?!" aku berseru keras. "Lalu kenapa hanya dia yang bisa menyembuhkanmu?! Kau pikir aku tidak bisa?! KATAKAN RAHASIA OBATNYA, KIM YOHAN!"

"Yena-ya..."

Tubuhku hampir terjatuh kalau Yohan tidak dengan sigap menangkapnya. Kugunakan kesempatan itu untuk merengkuhnya erat, sesenggukan di balik tubuh kuatnya. Cih, dia terlalu kuat untuk sakit. Kang Hyewon pembual sialan.

Kurasakan tangannya mengelus punggungku dengan gerakan naik turun. "Jangan mabuk lagi. Aku saja menjaga dirimu, kenapa kau malah merusaknya?"

Malam itu, aku tidak bisa ingat apa-apa lagi selain suaraku membisik di telinganya, "Jaga aku terus."

***

Definisi seorang penjaga dalam kamus Kim Yohan mungkin seputar membuatku tertawa dengan tingkah konyolnya, membuatku tersentuh dengan cerita-ceritanya, serta memastikan diriku aman dari bahaya. Singkatnya, membuatku aman dan nyaman dari segala hal, mulai dari hal minor hingga ke mayor.

Saat aku bersedih, dia akan membuatku tersenyum, walau dia harus meliuk-liukkan pinggang seperti anggota Twice dengan lagu TT. Saat aku merasa bosan, dia punya banyak cerita sampai aku nyaris bosan mendengarnya. Saat aku berada dalam bahaya—seperti digoda oleh anak-anak nakal kelas lain—dengan gestur prokektifnya, dia akan menyembunyikan tubuhku di belakang tubuhnya sehingga aku merasa aman. Itu adalah definisi seorang penjaga versi Yohan dalam mataku.

Namun apabila dibalik, apakah aku bisa menjaganya juga? Apa dia mengizinkanku untuk menjaganya juga? Apa aku bisa menjadi penjaganya juga?

Itu ada kali terakhir aku melihatnya tersenyum. Setelah kami menghabiskan hari-hari kami di Busan bersama keluargaku, Yohan berubah.

Niatku pada awalnya hanya ingin memberinya kejutan dengan datang ke minimarket tempatnya bekerja, kemudian kami akan menghabiskan sisa waktu bersama. Tapi dia menghancurkan ekspektasiku dengan tatapan tajam. Aku terhenyak, lebih ingin percaya kalau dia kerasukan setan penunggu minimarket, tapi kata-katanya terngiang jelas di telingaku, "Pulanglah, Choi Yena."

"Pulanglah, Choi Yena."

Ya, pada akhirnya aku pulang, alias duduk di halte seorang diri. Dan lebih bodohnya lagi, aku menangis dengan gestur seperti anak kecil yang baru putus cinta. Meski tidak terang-terangan mengusirku dengan kasar, tapi kata-katanya cukup membuat hatiku sakit.

Sore hari itu, aku melewatkan sekitar tiga bus yang berhenti di halte. Aku tidak peduli dengan pandangan iba orang-orang karena aku merasa sudah cukup untuk mengasihani diriku sendiri saat tahu-tahu seseorang menyodorkan sapu tangan putih ke depan wajahku. Aku meraihnya dan mataku langsung tertuju pada ukiran huruf dari benang di pojoknya. LHG.

Aku menoleh dan terkejut mendapati laki-laki yang terlihat begitu familiar. "Oh?"

Dia tersenyum lebar. "Kita bertemu lagi."

"Baiklah kalau begitu. Hati-hati lain kali."

Laki-laki yang kutemui di Sungai Han. Aku masih bengong menatapnya, lebih terkejut lagi dia mengenakan seragam yang sama dengan Jihoon. Tapi sebenarnya itu bukan intinya yang membuatku terkejut, tentu saja. Hanya saja apakah ini kebetulan? Atau... takdir?

Dia menyodorkan tangannya padaku, "Namaku Lee Hangyul. Senang bertemu denganmu lagi."

"Namaku Kim Yohan. Senang bertemu denganmu."

Aku menyambut uluran tangannya, "Namaku Choi Yena."

.

.

.

07. Lee Hangyul

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top