13. Masih adakah ruang di hatimu untukku?

Selamat sore. Semoga chapter ini lebih menghibur lagi buat kalian semua. Happy reading!

.

.

.

Kang Hyewon hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di tempat Kim Yohan berada. Ternyata gadis itu menyewa sebuah apartemen di Seoul. Katakan saja itu suatu kebetulan—aku benci mengakuinya sebagai takdir—kala dia kembali berjumpa dengan Yohan di Busan. Dua orang itu menyingkir untuk bisa lebih leluasa mengobrol (sebenarnya aku yang memilih pergi dengan alasan membeli minuman, terlebih karena aku benci jadi orang ketiga). Sementara aku memencet-mencet tombol mesin minuman dengan asal, mungkin mereka berdua sedang haha hihi bernostalgia tentang masa lalu.

Ibu bilang aku gadis paling cantik yang pernah dilihatnya di dunia ini. Ibu bahkan pernah bilang kalau kecantikanku mengalahkan Audrey Hepburn, sang idola pujaan hatinya. Tapi melihat Kang Hyewon, aku jadi ragu apakah ibuku jujur. Walau benci, kuakui kalau Kang Hyewon itu cantik sekali. Kurasa lebih baik dia debut jadi idola saja daripada berkeliaran di sekitar Yohan.

Aku mendongakkan wajah, lantas mendesah panjang. Ternyata cemburu sesakit ini rasanya. Selama hampir tiga bulan aku bersama dengan Jihoon, aku tidak pernah merasa sefrustasi ini. Itu juga mungkin karena Jihoon tipikal orang yang agak tertutup, terutama dengan lawan jenis.

Seseorang menepuk bahuku dengan tidak sabaran. Aku membalikkan badan risih dan melihat laki-laki tampan dengan mimik panik mengarahkan satu jempolnya ke belakang. "Anu, maaf, tapi kau menghalangi antrean."

Panik, aku buru-buru mengambil minumanku. "Ah maafkan aku." Aku membungkuk berulang kali dan segera berlari pergi tanpa memedulikan laki-laki yang terus memanggilku itu.

Tuh kan, aku juga jadi tidak fokus.

"Nona tunggu!"

Astaga, kenapa dia masih mengikutiku?

Aku berhenti, berdeham-deham, sebelum membalikkan badanku dengan ekspresi se-normal mungkin. "Ya?"

Sembari tersenyum, laki-laki itu menyodorkan sesuatu padaku. "Ini ponselmu?" Mataku membelalak bersamaan dengan tanganku yang meraih cepat ponsel dalam genggaman tangannya. Yena bodoh, rutukku dalam hati. "Tadi kau meninggalkannya di kursi dekat mesin minuman."

"Terimakasih," ujarku seelegan mungkin.

"Baiklah kalau begitu. Hati-hati lain kali." Laki-laki itu membungkukkan sedikit badannya dan berbalik pergi meninggalkanku. Senyumku hanya bertahan sampai eksistensinya tak terlihat lagi. Selesai itu aku sibuk memukuli kepalaku dengan ponsel.

Bodoh. Benar-benar bodoh. Pertama, aku melamun dan membuat beberapa orang yang mengantre beli minum menatapku dengan kesal. Kedua, aku meninggalkan benda paling berhargaku di sembarangan tempat. Ketiga, sumpah aku terlihat bodoh sekali di depan laki-laki tampan. Tunggu, sejak kapan aku jadi seperti ini? Ke mana Choi Yena yang selalu merasa masa bodoh? Kenapa aku jadi aneh begini?

Apa jatuh cinta pada Yohan membuatku jadi aneh? Huwaaa!

***

Awalnya aku sengaja tidur larut malam agar bisa bangun siang. Mumpung hari ini hari libur pertama, jadi aku bisa berlama-lama bermesraan dengan kasur tercintaku. Namun sepertinya rencana yang sudah kususun jauh-jauh hari tersebut harus rela digagalkan dengan suara-suara rumah yang mirip suara karnaval. Menyembunyikan mukaku di bawah bantal bahkan tidak membantu meminimalisir suara-suara itu sama sekali.

"Arrghh!" aku mendudukkan diri dengan geram. Terimakasih pada orang-orang di bawah sana karena telah mengusik mimpiku yang indah. Serius, aku mimpi bertemu Harry Styles dan nyaris berciuman di tengah pesta dansa kalau suara-suara jahanam itu tidak ada. Aku menyeret kakiku ke depan cermin dan harus mendesah lebih keras lagi saat melihat lingkaran hitam memenuhi kantung mataku. Aku mirip panda betulan.

Begitu membuka pintu kamar, mataku langsung melek seratus perseen. Kim Yohan berdiri dengan gestur hendak mengetuk pintu. Sepertinya tadi dia hendak mengetuk dan tiba-tiba aku membuka pintu, jadi dia ikut terkejut.

Serius dia muncul di depan kamarku saat penampilanku begini?!

Mulutku menganga hampir melayangkan pertanyaan serupa saat tiba-tiba Yeonjun muncul dengan topi pantai, memeluk leher Yohan dengan gerakan sok akrab. "Kau sudah membawa kacamata hitam?"

Yohan mengangguk.

"Bagus. Yoojung-a, jangan lupa masukkan semangkanya ke dalam mobil."

Yoojung yang juga entah muncul dari mana lewat begitu saja dan menyahut mengiyakan.

"Apa yang kalian lakukan di rumahku?" aku bertanya lamat-lamat, masih mencerna situasi macam apa yang ada di sekitarku. Apakah aku masih bermimpi? Apakah saat aku terpeleset pesta dansa bersama Harry Style tadi aku tidak terbangun, melainkan berganti mimpi?

Yeonjun terlihat rapi dengan setelan pantai. Yohan hanya mengenakan celana training hitam dan kaos putih polos (damn, he is so good looking). Sementara Yoojung kalau tidak salah terlihat nyaman dengan celana pendeknya. Sementara aku dengan piyama bergambar Spongebob hanya berdiri seperti bocah baru puber yang bodoh.

"Sebenarnya ini juga rumahku kalau kau lupa," sahut Yeonjun tidak penting. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya padaku, membuatku nyaris memukulnya. "Nuna, belekmu kelihatan tuh."

Dan aku serius memukulnya keras-keras sampai ayah dan ibuku bertanya dengan nyaring ada keributan apa di lantai dua

"CHOI YEONJUN MATI SANA!"

***

"Mumpung hari libur, Ayah dan Pamanmu punya ide bagus. Kita akan mengunjungi nenek di Busan dan menginap selama dua hari."

Itu kata Ibu saat aku ditarik paksa ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dan kalau boleh kukoreksi, Ayahku dan Paman Shinjun tidak menuangkan ide bagus, tapi ide mainstream. Dua tanganku saja tidak cukup untuk menghitung sudah berapa kali selama setahun kami mengunjungi nenek di Busan, di tambah saat aku membolos bersama Yohan tempo lalu.

"Sepertinya kau akan semangat ikut kalau Yohan juga ikut. Jadi sekalian kuajak dia."

Itu kata Yeonjun, usai aku menjambak rambutnya karena mempermalukanku di hadapan Yohan. Memang ada benarnya sih, karena aku sekarang sudah bersemangat duduk di dalam mobil (sebenarnya ini bus kecil) yang disewa oleh Paman Shinjun. Transportasi yang cukup besar dan asyik. Yoojung tak henti-hentinya memuji bus mini dari luar dan dalam sampai aku harus menyumpal mulutnya dengan sepotong semangka.

"Kau mau?" aku menawarkan sepotong lagi pada Yohan. Laki-laki itu mengangguk pelan dan mengambil potongan semangka dari tanganku.

Semua orang memakan semangkanya dengan anggun, kecuali Yeonjun yang menjejalkan banyak-banyak potongan semangka ke dalam mulut hingga penuh. Dia seperti terkena busung lapar. Padahal, please, itu hanya semangka bukan daging sapi korea.

Ibu mencairkan suasana dengan melontarkan pertanyaan pada Yohan, "Ah, kau yang baru pindah rumah di kompleks perumahan? Kalian satu sekolah?"

"Iya, kami satu sekolah," jawabku, padahal yang ditanya Yohan.

Ibu menatapku dengan mata menyipit, sebelum kembali bertanya pada Yohan, "Kami sekompleks ada rapat bulanan. Bulan lalu aku tidak lihat ada anggota yang baru. Apa kau tinggal sendiri?"

Aku menatap Yohan penasaran. Laki-laki itu terlihat sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan ibuku, tapi demi kesopan-santunan, dia menjawab ramah, "Tidak. Aku tinggal bersama Ibuku."

Yeonjun dengan suara yang kurang jelas ikut bertanya, "Ayahmu? Apa dia bekerja di luar kota atau semacamnya?"

Ekspresi Yohan semakin merasa tidak nyaman. Lantas aku memukul belakang kepala Yeonjun lumayan keras. "Telan semangkamu dan bicara yang benar."

Yeonjun hanya mendesis dan kembali memakan semangkanya.

Sementara Yohan sudah terlanjur tidak nyaman. Dan mungkin mengajaknya bersama ke Busan bukan ide yang bagus.

***

Kami tidak memilih untuk pergi ke rumah nenek langsung, melainkan mampir dulu ke pantai untuk bersenang-senang. Yoojung dan Yeonjun sibuk mengambil foto di depan sana, sesekali mereka bermain air. Tadinya aku ingin menyusul, tapi melihat Yohan hanya dudu termenung di atas pasir membuatku mengurungkan diri. Aku mendudukkan diriku di sampingnya.

Yohan menyadari kehadiranku karena laki-laki itu langsung berkata, "Ini adalah kali pertamanya aku pergi ke pantai."

Aku tertawa mau tidak mau. "Kau pembohong yang hebat."

"Aku serius."

Kini aku menatap Yohan dengan pandangan kau yakin?

Yohan terkekeh kecil. "Sedikit. Terakhir kali aku bermain di pantai adalah saat sebelum Hyewon dibawa pergi ke luar negeri oleh orangtua angkatnya."

Hyewon lagi. Aku benci mendengarnya, tapi aku tidak tuli. Jadi aku hanya mendengus sebagai respon dan memilih memandang ke arah ombak yang tenang. Di depan sana, Yoojung memekik protes saat Yeonjun menyiraminya dengan banyak air. Mereka berdua sibuk perang percikan air. Gadis itu melihatku dan melambaikan tangannya, menyuruhku untuk ikut bergabung, namun aku menggeleng pelan.

"Setelah Hyewon pergi, aku hanya mengurung diri di kamar untuk hiburan. Aku hanya melakukan jadwal-jadwal di panti dengan patuh, dan sisanya," Yohan menjeda sejenak. "aku sendirian."

"Sekarang kau tidak lagi sendirian," ucapku membuatnya tertawa kecil.

"Ya, kau benar," Yohan menghela napas. "meski kadang aku masih sering berpikir bahwa sebenarnya aku masih sendiri."

"Karena gadis itu kan?"

"Apa?"

Aku menelan ludah. "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian berdua di masa lalu, tapi sekadar informasi, aku... cemburu."

Karena tidak lagi kudengar suara Yohan menyahut, aku memberanikan diri menatap kedua bola matanya. "Masih adakah ruang dihatimu untukku?"

.

.

.

Huwa apa-apaan ini T^T

Aduh aku dikejar waktu. Banyak tugas jadi aku bisa bikinnya juga agak ngebut. Maaf kalau mengecewakan. Aku bakal berusaha di chapter berikutnya untuk lebih baik lagi.

Terimakasih untuk kalian yang masih setia hingga chapter ini~

Sampai bertemu lagi~

-Milleny Aprilia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top