12. Namaku Choi Yena
Aku menggeleng pelan dengan wajah sembab, membuat bahu Yoojung dan Yeonjun merosot drastis bersamaan.
"Serius?" Yoojung adalah satu-satunya manusia yang tidak memercayainya. Sebenarnya aku pun tidak percaya pada apa yang kualami. Gadis itu mengelus pundakku lantas meremasnya pelan, seolah memberi kekuatan, yang sebenarnya tidak berhasil menguapkan barang 0,1% kesedihanku. "Kau harus kuat, Yena. Hah, kupikir Yohan benar-benar punya perasaan untukmu. Laki-laki brengsek."
Mendengar namanya saja seperti menggelitik tempat paling dalam di relung hatiku, tempat yang jika kau sentil saja aku bisa meraun-raung seperti kucing betina baru pertama kali kawin. Aku menangis sesenggukan, menarik paksa tisu terakhir yang disodorkan Yeonjun. Untuk seukuran gadis yang baru putus dengan tatapan datar dan gadis yang baru ditolak cintanya dengan tragis, aku cukup kasihan dengan diriku sendiri.
Katakan saja Kim Yohan laki-laki brengsek yang tega-teganya menolak pernyataan cinta tulus dari seorang gadis lemah—aku. Tapi tetap saja laki-laki itu jauh lebih aneh daripada brengsek. Masih sempat-sempatnya dia memberiku jaket dan mengantarkanku pulang. Dia bahkan membiarkan angin malam menusuk kulitnya, tapi tak membiarkan angin malam meraba kulitku.
Jika ada satu orang saja di muka bumi ini yang bisa memahami sifatnya, orang itu hebat.
"Serius, dia memang aneh," ucap Yeonjun, nyaris menarik jaket denim Yohan yang kupeluk, tapi pelukanku terlalu kuat sehingga dia menyerah. "yang benar saja, kau seperti bayi ditelantarkan di dalam kardus. Lihat wajahmu di cermin saja!"
Aku menangis semakin keras. Yoojung memukul kepala Yeonjun keras. Yeonjun mengaduh sembari mengelus-elus kepalanya pelan.
"Besok jangan menemui dia lagi, ya?" Yoojung menghapus air mata di kedua pipiku. "Ssshhh. Masih banyak laki-laki yang mau menerimamu. Kau cantik, dan jangan pernah berpikir hidupku sudah berakhir hanya karena cintamu ditolak, oke? Itu menjijikkan." Dia beringsut merengkuh tubuhku.
Ini memang menjijikkan. Aku bahkan tidak mengeluarkan air mata satu tetes pun ketika memutuskan Park Jihoon, tapi aku justru menangis layaknya bayi yang dibuang di dalam kardus seperti kata Yeonjun. Aku ingin berhenti menangis, tapi aku tidak bisa melakukannya. Semakin aku ingin berhenti, semakin kencang pula tangisanku.
Dan apa tadi kata Yoojung? Besok jangan menemui dia lagi? Yang benar saja.
***
Selamat pagi, namaku Choi Yena. Aku punya ayah yang luar biasa hebat bernama Choi Dalbong. Ayahku seorang pekerja keras, murah senyum, dan selalu menebarkan energi positif di sekitarnya. Kemudian aku juga punya ibu yang super pemaaf—sampai kadang aku lupa kalau sebenarnya ibu hanyalah manusia biasa, bukannya malaikat. Ibu lahir di keluarga sederhana dan diberi nama secantik parasnya, Lim Sooah. Lihat, betapa perfect-nya kedua orangtuaku. Dan seharusnya itu menurun padaku.
Setidaknya jika aku tidak punya semua turunan sifat mereka, aku hanya tidak perlu menyangkalnya, melainkan memenuhinya. Seperti yang Yohan bilang, bahwa aku memang harus terjatuh supaya berhasil. Jika aku gagal sekali, maka aku harus mencobanya lagi. Jika gagal lagi, akan kucoba lagi. Tidak peduli butuh berapa lama, aku hanya perlu menunggu sampai waktu memberiku keberhasilan.
Yeonjun terkejut saat melihatku sudah keluar kamar dengan pakaian rapi bersiap ke sekolah, sementara laki-laki itu menguap lebar-lebar dan menggaruk ketiaknya khas bangun tidur. Dia bertanya kenapa aku serajin ini berangkat sekolah pasca ditolak dengan mata terpejam, tapi aku malah mendengus cuek melewatinya. Menjawab pertanyaan tidak penting akan membuang-buang waktu.
Sengaja memang aku berangkat pagi-pagi, supaya aku bisa berdiri selama tiga puluh menit menunggu kedatangan Yohan di depan gerbang sekolah seperti orang bodoh. Terkutuklah orang-orang yang terkikik sembari menudingku dengan jahil. Terserah mereka mau menganggapku apa, akutidak peduli. Aku hanya peduli pada laki-laki yang tengah berjalan ke arahku dengan langkah terburu-buru.
"Yeonjun bilang kau sudah berangkat lebih dulu, jadi aku memilih untuk menyusulmu naik bus saja. Kau baik-baik saja, 'kan?"
Brengsek. Dia berlaku seolah-olah kejadian kemarin tidak pernah ada.
Aku berdeham keras, menyodorkan tangan kananku dengan tatapan angkuh. "Selamat pagi, namaku Choi Yena. Mau berteman denganku?"
Yohan tidak segera menyambut uluran tanganku. Laki-laki itu menatapku lekat-lekat, seolah hendak berusaha membaca raut wajahku. Ekspresinya seolah bertanya, apa maksudnya aku melakukan ini semua. Dan aku hanya ingin dia tahu, bahwa aku juga tidak punya ide.
Tapi yang pasti, aku tidak mau jauh darinya.
Dan laki-laki itu pun menyambut uluran tanganku, meremasnya pelan. "Selamat pagi, namaku Kim Yohan. Mari berteman."
***
Satu hari berlalu, kami masih berteman.
Dua hari berlalu, kami masih menjadi teman.
Satu minggu kemudian, dan mungkin selamanya kami akan menjadi teman, tidak lebih.
Yohan memutar-mutar badannya. Sesekali laki-laki itu melompat. Tak jarang dia sedikit menarikan beberapa gerakan dari boygroup idola Korea yang populer. Saat akhirnya laki-laki itu terjatuh, aku tertawa sampai perutku terasa sakit.
Yohan hendak mendudukkan dirinya di sebelahku saat permintaanku menghentikan pergerakannya, "Boleh aku memotretmu?"
Kupikir dia akan menolak atau semacamnya, tapi laki-laki itu mengangguk sumringah dan kembali ke tempatnya menari-nari semula, berpose seunik mungkin. Aku tidak bisa menghentikan tawaku saat berulang kali memotretnya, hingga beberapa foto yang kuambil justru buram. Salahkan Yohan yang berpose aneh-aneh terus atau memang dia tidak tahu cara berpose yang keren.
"Kenapa tidak ada yang bagus," protesnya saat kami melihat-lihat hasil jepretanku.
"Salahkan dirimu sendiri yang berpose seperti kakek-kakek sakit pinggang."
Yohan tertawa menanggapinya.
"Yohan-a," panggilku, saat akhirnya kami menyudahi acara melihat-lihat foto. Ditemani pemandangan air tenang Sungai Han, serta angin yang menerbangkan helaian rambutnya, aku bersumpah tidak akan melewatkan kesempatan untuk merekamnya sebaik mungkin dalam memoriku.
Yohan bergumam pelan menyahut panggilanku. Tapi laki-laki itu tak kunjung mendengar suaraku kembali, jadi dia terkekeh pelan dan balik memanggilku, "Choi Yena."
Ganti aku yang menyahut.
"Sepi sekali. Kau punya cerita?"
"Tidak ada cerita bagus. Bukankah kau yang biasanya punya banyak cerita? Bagaimana dengan cinta pertamamu itu?" pada akhirnya aku memberanikan diri. Yoojung sering berkata kepadaku bahwa kunci sukses dalam menulis adalah punya banyak pengalaman. Jika pengalaman diri sendiri sudah habis alias mentok, tidak ada pilihan lain lagi selain meminjam pengalaman orang lain. Tapi dari pengalamanku—seperti pengalaman Yeonjun mencakar pipiku saat kami masih berusia lima tahun—yang sering dicurinya, kurasa meminta izin adalah ide paling bagus.
Aku bukan penulis. Aku juga bukan tipe orang yang suka menulis atau semacamnya. Aku bukan Choi Yoojung yang rela melek di depan layar komputer selama berjam-jam demi memuaskan hasratnya untuk bercerita lewat tulisan. Aku juga bukan Choi Yeonjun yang akhir-akhir ini baru kuketahui—dengan tidak sengaja mengintip ponselnya—ternyata gemar bermain roleplay dan membuat semacam quotes-quotes di media sosial. Aku bukan tipikal orang semacam itu.
Terkadang aku iri dengan mereka, setidaknya mereka punya obyek untuk dijadikan pelampiasan (curhat misalnya). Diary saja aku tidak punya. Lebih baik aku memilih tidur sepanjang hari untuk melampiaskan semuanya. Dan kurasa ini saat yang tepat untuk mengubahnya—ke arah yang lebih baik, daripada tidur, kenapa tidak?
"Aku ingin menulis tentang dirimu," kataku selancar aliran sungai di hadapan kami. Aku sendiri terkejut menyadarinya, lantas buru-buru meralat, "hanya untuk kusimpan sendiri. Untuk mengenangmu, misalnya. Boleh?"
Yohan hanya memandang diam aliran sungai di hadapannya, tanpa memperlihatkan wajahnya padaku. "Aku tidak punya sesuatu yang spesial untuk dijadikan inspirasi." Kulihat dengan jelas dia tersenyum miring.
Kau punya. Aku mengalihkan pandanganku darinya, ikut menonton air. "Yah, kita tidak selamanya seperti ini. Suatu saat nanti kita pasti berpisah. Benar, 'kan?" saat kupandang kembali wajahnya, aku tersentak karena ternyata dia lebih dulu menatapku. "K-kenapa menatapku seperti itu?"
Sial, jantungku bermaraton.
"Kang Hyewon."
Kepalaku rasanya seperti dipukul menggunakan palu Thor begitu mendengar Yohan menyebut nama gadis itu.
"Cinta pertamaku."
"Aku tahu," menyadari jawabanku yang terlampau cepat, aku buru-buru menambahi, takut dia berpikir yang tidak-tidak, "terlalu kelihatan."
"Benarkah?" Yohan terkekeh. "Toh itu hanya masa lalu. Sekarang sudah tidak lagi."
Dan aku tidak akan berbohong kalau aku lega mendengarnya. Walau hanya sesaat.
"Melihat dia muncul di hadapanku lagi setelah sekian lamanya, aku... sakit—entahlah, lebih ke marah?" Yohan mengendikkan bahu. "Kupikir dia meninggalkanku setelah berjanji bahwa kita akan pergi bersama-sama. Tahu-tahu dia muncul delapan tahun kemudian dengan senyum lebar seolah tidak terjadi apa-apa."
"Apa yang terjadi di antara kalian berdua?" aku memberanikan diri bertanya.
Yohan menundukkan kepala. Dua jemari tangannya saling bermain satu sama lain. Laki-laki itu terlihat menimang-nimang sesuatu. Kemudian kata-kata yang selanjutnya kudengar sukses membuat napasku tercekat, "Dia diadopsi dan pergi ke luar negeri, meninggalkanku seorang diri."
Dua mataku melebar. Jadi Panti Kasih adalah panti asuhan tempat Kim Yohan dan Kang Hyewon menghabiskan masa kecil? Apa Yohan hidup sendirian di Seoul—maksudku, dia bekerja di minimarket untuk membiayai seluruh biaya hidupnya. Apakah dia...?
Seolah menjawab pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranku, Yohan meneruskan, "Aku juga diadopsi tak lama setelah itu."
Aku memandang lekat-lekat wajahnya dari samping. Garis wajah yang tegas, hidung yang mancung, bibir yang penuh, serta tatapan yang memukau. Sulit menerima kenyataan jika Yohan berasal dari panti asuhan. Meski lebih sulit lagi menerima kenyataan bahwa cinta pertamanya adalah Kang Hyewon, si gadis sok itu. Aku jadi menduga-duga alasan dia menolakku adalah karena Kang Hyewon. Memikirkannya saja mood-ku tiba-tiba memburuk.
Dari semua gadis di dunia ini, kenapa harus Kang Hyewon? Aku tidak suka dengan gaya gadis itu. Dia benar-benar punya sisi antagonis yang mutlak. Membayangkan gadis seperti itu berkeliaran di sekitar Yohan, rasa-rasanya aku tidak ikhlas.
"Apa yang kalian lakukan semasa kecil?" leherku rasanya seperti dililit ular saat menanyakannya. "Sepertinya kalian berdua punya masa kecil yang indah."
"Kami hanya melakukan hal-hal yang biasa dilakukan anak kecil seusia kami waktu itu terlepas dari jadwal panti asuhan. Setidaknya kami makan di tempat yang sama, mandi di tempat yang sama, dan menghabiskan waktu di tempat yang sama."
Saat aku hendak kembali bertanya, tahu-tahu terdengar nada dering ponsel. Kami berdua sama-sama mengambil milik kami dan ternyata yang berdering adalah milik Yohan. Aku juga baru sadar dia memiliki nada dering yang sama denganku. Raut wajahnya berubah masam saat melihat layar ponsel.
"Kang Hyewon?"
Tebakanku sepertinya benar, karena Yohan lekas mengembuskan napas panang-panjang.
Aku menggigit bibir. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku benci melihat Kang Hyewon sangat berpengaruh dalam hidup seorang Kim Yohan. Seolah-olah hanya Kang Hyewon satu-satunya gadis yang berhasil memporak-porandakan mood-nya.
Apakah itu berarti Kim Yohan masih mencintainya?
.
.
.
Selamat sore.
Pertama-tama aku mau mengucapkan terimakasih banyak untuk para pembaca baru maupun pembaca lama yang mampir ke work ini. Aku benar-benar terharu! Kupikir cerita ini bakal berakhir terlantar wkwkwk.
Aku bukan tipe orang yang suka mencantumkan author note sebenarnya (akhir-akhir ini aja sih, karena kupikir toh menganggu). Tapi akhirnya aku rasa kali ini perlu mencatumkannya, ya kembali lagi aku mau berterimakasih pada kalian semua, akhirnya work ini mencapai 500++ dibaca yeeayyyy *joged
Oh iya teman-teman, apakah kalian sama berantusiasnya sepertiku? Jika berkenan, kalian bisa meninggalkan vote supaya mungkin aku lebih bergairah lagi untuk menulis kisah Yohan 2020 hehehe.
Eum... jika ada komentar, juga sangat boleh~ walau mungkin aku bingung mau balesnya, tapi aku seneng banget kalo ada yang komen huhu T^T.
Akhir kata, TERIMA KASIH BANYAKKK
See you in the next chapter~
-Milleny Aprilia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top