11. Aku mencintaimu

Hari itu, aku melihat Kim Yohan versi zombie untuk yang terakhir kalinya.

Keesokan harinya setelah kepulangan kami kembali ke Seoul, laki-laki itu muncul secerah mentari pagi di depan rumahku. Sembari mengucapkan sapaan selamat pagi, dia menyerahkan helm tanpa kuminta, seolah itu seperti rutinitas pasangan kekasih yang sering dilakukan oleh orang-orang—termasuk Jihoon padaku dulu. Hari-hari kami lewati seperti biasa, penuh cerita, penuh canda tawa, penuh kesenangan.

Seratus persen aku benar-benar lupa pada apa yang terjadi padaku di masa lalu—yang omong-omong sebenarnya waktu memutuskannya saja aku tidak menangis—bersama Jihoon, juga perihal apa yang terjadi pada Yohan di Busan. Intinya, dia sama sekali seperti lupa, dan aku sama sekali tidak ingin menyinggungnya (kecuali aku ingin menghancurkan momen-momen indah ini).

Kira-kira rutinitas kami sebagai teman dekat tidak kurang tidak lebih hanya pulang-pergi sekolah bersama, bermain bersama, menonton festival kembang api bersama—kadang aku juga mengajak Yoojung dan Yeonjun. Pernah sekali aku menemaninya bekerja di minimarket hingga selesai dan aku bersumpah tidak akan mengulanginya lagi. Well, iya melelahkan, tapi setidaknya aku senang hati melakukannya.

Di malam minggu, Yeonjun ikut dengan orangtuaku ke Busan untuk menjenguk nenek—LAGI (omong-omong, aku sudah mengancamnya kalau sampai berani memberitahu ayah dan ibu bahwa aku pernah kabur ke Busan, aku akan mencukur habis seluruh bulu yang ada di sekujur tubuhnya). Karena aku sedang tidak ingin ikut, akhirnya aku meminta Yoojung untuk menginap. Dan omong-omong itu bukan ide bagus.

Demi Tuhan gadis itu selalu merecokiku tentang Yohan, Yohan, dan Yohan, seolah ada sesuatu di antara kami. Dan memangnya jika ada sesuatu di antara kami, dia mau apa? Mau mengumumkannya ke seluruh penjuru dunia atau dijadikan inspirasi untuk menulis buku?

"Aku-tidak-ada-hubungan-apa-apa-dengannya, PAHAM?" aku meremas kesal sendok dalam tanganku, tapi sepertinya pelototan mataku sama sekali tidak diindahkannya.

Ini sudah malam dan aku tidak ingin membuat tetanggaku terbangun karena berteriak.

Yoojung hanya mencebik. Tangannya menyendok yoghurt dengan cuek. "Tidak usah sampai marah begitu juga."

Astaga, aku benar-benar ingin menyumbat bibir kecil itu dengan kaos kaki bekas Yeonjun. Tidak usah sampai marah? Lihat sapa yang tiba-tiba berubah jadi tersangka di sini.

Berikutnya gadis itu mendelik jahil dan kembali merapatkan tubuhnya padaku, sedikit menggoyang-goyangkannya. "Ayolah, tidak mungkin laki-laki dan perempuan hanya berteman. Kau tahu maksudku, 'kan? Yohan sepertinya tidak akan senang kalau tahu kau hanya menyebutnya teman."

Kesabaranku sudah habis. Aku menyendok besar yoghurt rasa manggaku dan menjejalkannya ke dalam mulut dengan paksa. Sengaja aku membuang napas keras supaya dia peka betapa menyebalkannya seorang Choi Yoojung. Aku bangkit berdiri—selain kesal berada di dekat Yoojung, karena memang yoghurt-ku sudah habis. Dan lihat, gadis itu mengekoriku seperti anak ayam mengekori induknya.

"Yena-ya, Yohan kan ganteng. Sudah benar sih keputusanmu memutuskan Jihoon demi Yohan. Betul betul betul," dia mengangguk-angguk dengan gaya dramats. "omong-omong kau sudah mengakui perasaanmu?"

Aku mencubit pipinya keras-keras. "Ini mulut kecil tapi punya bisa mematikan."

Bibir Yoojung bergerak-gerak minta dibebaskan. Gadis itu menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, jadi aku melepaskan cubitanku. Dia sempat mengelus pipinya sebentar, tapi lagi-lagi suaranya kembali meracuni pendengaranku, "Kurasa kau harus mengakui perasaanmu sebelum terlambat."

Aku ingin melemparinya dengan panci, tapi perkataannya kini berhasil membuatku berpkir. "Terlambat?"

Yoojung terlihat senang akhirnya mendapat perhatianku. Gadis itu mengangguk-angguk cepat. "Mm. Orang-orang tampan seperti Yohan, pasti banyak yang suka."

"Sia—" kata-kataku terhenti saat teringat gadis cantik dengan western style yang menangis karena Yohan. Kang Hyewon. Aku berdeham salah tingkah. "kami tidak sepert itu."

"Coba kau pikirkan, ada momen tidak masuk akal apa yang sekiranya bisa kau jadikan alasan untuk menyangkal status hanya teman antara dirimu dan Yohan?"

Aku termakan kata-katanya karena aku langsung berpikir saat itu. Dan pikiranku langsung tertuju saat aku membolos menemaninya. Waktu itu, dia menciumku. Ciuman pertama kami—atau mungkin ciuman pertamaku, karena itu bisa saja bukan ciuman pertamanya. Siapa tahu ciuman pertamanya dengan si Hyewon Hyewon itu. Memikirkannya saja membuatku sebal.

"Entahlah," ketusku, entah pada siapa. "sepertinya tidak ada momen seperti itu."

***

Aku memandang langit-langit kamarku yang dipenuhi bintang. Demi mendengarkan perkataan Yohan, aku sampai rela hampir terjatuh dari tangga saat memasangnya. Tapi memang benar kuakui, memandang bintang membuatku jadi teringat padanya. Dan kalau boleh jujur dari lubuk hatiku yang paling dalam, itu malah menyedihkan. Bukannya terobati, aku malah kepikiran.

Kupikir Yoojung sudah tidur dan sedang ngelindur saat tiba-tiba dia memelukku seolah aku ini guling. Namun bisikannya mengagetkanku dan membuatku nyaris menendangnya hingga terjatuh dari kasur. "Kau sedang merindukannya, 'kan?"

"Darimana kau tahu?"

Tatapan jahil Yoojung membuatku merutuki diri sendiri.

"Akui saja atau semuanya akan terlambat."

Aku menelan ludahku yang tiba-tiba terasa begitu kental. "Tidak semudah kau bicara."

"Katakan saja, aku menyukaimu, apa susahnya?"

Aku membiarkan hening menjawab pertanyaan Yoojung, namun pada akhirnya aku ikut menambahi, "Aku takut."

Yoojung memukul kepalaku lumayan keras. Aku balas melakukannya. Saat aku hendak protes, kata-katanya menghentikanku. "Coba dulu kenapa? Aku paling benci orang sudah mengaku kalah padahal belum bertanding," katanya menampar telak diriku. Yoojung menjauhkan tubuhnya dariku, berbaring telentang sembari ikut memandangi bintang di langit-langit kamar. "Aku pernah menonton film. Seingatku ada satu tokoh laki-laki mengatakan ini pada lawan mainnya: jika seorang laki-laki membuatmu tertawa, berarti kau menyukainya," ia menjeda, menarik napas panjang dan membuangnya, "tapi jika seorang laki-laki membuatmu menangis, itu artinya kau mencintainya."

Kata-kata Yoojung bagai peluru yang menancap erat ke dadaku hingga membuatnya nyeri. Bagaimana bisa jika ada laki-laki yang membuatku menangis berarti aku mencintainya? Bukankah laki-laki itu brengsek?

Tapi menelusuri apa yang terjadi padaku selama ini, mau tidak mau aku menyetujuinya.

Malam itu aku terlelap, setelah mengambil keputusan. Baiklah, katakan atau aku akan menyesal, seperti yang Yoojung bilang.

***

From: Jihoonie

Kau tahu? Kau bisa kembali padaku kapanpun kau mau.

Sial, aku belum mengganti nama kontaknya. Ini menggelikan. Buru-buru aku mengganti nama kontaknya menjadi nama resmi seperti yang kulakukan saat menyimpan nomor teman-temanku yang lain tanpa perlu membalas pesannya. Begini lebih baik.

Yohan datang tidak lama kemudian. Laki-laki itu menyodorkan helm padaku yang kusambut dengan senyuman lebar. Agaknya dia terheran dengan perilakuku—padahal apa yang aneh? Bukankah tersenyum adalah hal yang lumrah?—tapi kemudian dia mengabaikannya sampai kami tiba di tempat tujuan.

Hari ini Yohan mengajakku bermain sepatu roda. Untung aku punya uang tabungan untuk membelinya. Kami membeli sepatu roda kemarin lusa bersama-sama, tentu saja dengan perdebatan kecil semacam warna mana yang lebih bagus dan membuat pelayan toko menatap kami dengan pandangan malas ingin cepat-cepat mengusir. Usai memakai sepatu, laki-laki itu berdiri dan mengulurkan tangan.

Aku menatap tangannya sejenak sebelum menyambutnya. Tangannya hangat saat menggenggamku, memberikan perasaan nyaman.

"Kau belum pernah bermain sepatu roda?"

Aku menggeleng. Yohan menarikku pelan. Dia benar-benar atletis, keseimbangan tubuhnya luar biasa stabil. "Aku bisa membantumu."

Kepalaku terangguk otomatis seperti robot mainan.

Yohan kembal berkata, "Aku akan terus memegangimu. Jika aku melepasmu, berarti kuanggap kau memang sudah bisa dilepaskan."

Entah kenapa kata-kata dilepaskan tidak tercerna dengan bagus dalam otakku, sehingga aku menggeleng. Tidak, aku tidak mau dilepaskan. Jangan lepaskan aku. Tapi Yohan tak menyadarinya, karena laki-laki itu terus menarikku dan terus mengajariku. Bagaimana pandangan matanya yang mengawasi keseimbangan tubuhku, dan tawanya yang mengalun indah di telingaku ketika melihat pergerakan tubuhku yang konyol.

"Kurasa kau harus mengakui perasaanmu sebelum terlambat."

"Aku akan melepaskanmu," katanya, mulai melepaskan tanganku pelan-pelan. Waktu bahkan berlalu begitu cepat.

Aku belum menyadari apa yang terjadi. Aku bahkan tidak menyadari kalau genggaman tangannya benar-benar melepaskanku, sehingga yang tersisa hanya aku yang berdiri seorang diri, menatapnya sendu. Yohan berdiri dua meter di depan sana, mengayun-ayunkan tangannya padaku.

"Ayo kemari, pelan-pelan saja."

Yohan menyuruhku datang padanya.

Aku mengambil satu langkah.

Yohan tersenyum.

BRUK!

Dan aku terjatuh.

"Akh!" pekikku saat kulitku yang menggores lantai terasa perih. Yohan datang dengan wajah sedikit panik dan memeriksa lututku. Aku meringis saat laki-laki itu meniupkan udara ke lututku yang berdarah.

"Kau tidak berkonsentrasi, ya?"

Sepertinya iya. Aku lebih berkonsentrasi pada ekspresi khawtirmu sekarang. Tiba-tiba aku merasa lebih percaya diri. Bibirku mengulas senyum.

"Kenapa kau senyam-senyum begitu?" Yohan mengerutkan dahinya curiga.

Aku buru-buru mengibaskan tangan. "Tidak, tidak ada apa-apa."

Yohan bangkit berdiri, kemudian berkacak pinggang. "Kau memang harus terjatuh supaya berhasil," kulihat satu tangannya terulur padaku. "ayo kita coba lagi."

"Akui saja atau semuanya akan terlambat."

Aku menatap tangan yang mengambang di udara itu, membiarkannya tanpa kusambut. Alih-alih menyambutnya, aku justru sekuat mungkin mengumpulkan segala keberanianku untuk memanggil namanya, "Kim Yohan."

Aku mendongak menatapnya. Yohan menatapku dengan pandangan bertanya-tanya.

"Aku menyukaimu."

Dunia seolah berhenti berputar di sekitarku. Yohan terdiam, membuat dadaku bergemuruh hebat. Aku menebak-nebak apa yang akan dilakukannya setelah ini. Dan laki-laki itu menarik kembali tangannya. Punggungnya kembali menegak. Ekspresinya... aku tidak tahu.

Tapi laki-laki itu terlihat... tidak senang?

Tapi kenapa?

Yohan berbalik, berjongkok dan melepas sepatu rodanya. "Aku akan mengantarmu pulang."

"Aku menyukaimu!" teriakku, kelepasan.

Pergerakan Yohan terhenti. Aku menggigit bibir. Aku tidak mengharapkan ini. Ini tidak seperti apa yang kubayangkan.

"Yena-ya—"

"Artinya apa?" tenggorokanku tercekat rasanya. "Apakah semua yang terjadi di antara kita tidak berarti apa-apa untukmu?"

Yohan tidak menjawabku.

"Jawab aku, Kim Yohan."

Laki-laki itu mengatupkan bibirnya rapat, bahkan tidak membiarkanku melihat wajahnya.

"Yohan-a—"

"Aku tidak bisa."

Air mataku terjatuh.

...jika seorang laki-laki membuatmu menangis, itu artinya kau mencintainya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top