10. Laki-laki rapuh yang tangguh
Pertama, aku mau mnta maaf kalau di cerita yang sebelumnya terkesan membosankan atau apa. Aku juga masih perlu belajar lebih banyak. Aku akan mencoba belajar menyeimbangkan narasi dan dialog. Dan buat kalian yang masih bertahan mengikuti cerita ini, terimakasih banyak~
Enjoy.
.
.
.
Gadis cantik dengan rambut sepunggung itu membungkukkan badan padaku. Sebenarnya aku lebih suka dia bersikap dengan gaya kebarat-baratannya daripada memaksakan sopan santun yang terkesan dibuat-buat. Kalau Yohan tidak memaksa, mungkin gadis itu tetap akan mengabaikanku sampai kami bertiga duduk di rumah makan kecil. Baiklah, terimakasih pada Kim Yohan.
"Namaku Kang Hyewon. Aku teman masa kecil Yohan. Salam kenal," katanya datar usai membungkukkan badan.
Aku merasa tidak perlu membalasnya, namun aku tidak enak hati dengan keberadaan Yohan di antara kami. Mungkin jika tidak ada Yohan, aku sudah menyiram muka cantik Kang Hyewon dengan sup kimchi[14]. "Salam kenal. Namaku Choi Yena."
Selanjutnya gadis itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, seolah tidak ada diriku—lagi. Karena dia sekarang tengah menumpukan dagunya pada dua tangan, menatap Yohan dengan bola mata berkilauan. Mungkin jika kami hidup di dunia dua dimenensi, tatapan matanya benar-benar mengeluarkan bintang-bintang. "Kau mau makan apa? Biar aku yang bayar."
Yohan melirikku sekilas. "Sebenarnya aku datang kemari tidak untuk makan. Aku hanya rindu Panti Kasih."
Panti Kasih? Otakku memutar kejadian beberapa jam yang lalu dan menemukan Panti Kasih yang dimaksudnya adalah panti asuhan. Tunggu, tebakanku tidak benar, 'kan?
Gadis itu memanggil seorang pelayan, lalu memesan sesuatu—kurasa sejenis rasa minuman yang aku tidak mengerti. Namun pelayan itu menggeleng (yang kuterjemahkan bahwa tidak ada jenis minuman yang dimaksud oleh Kang Hyewon di sini). Gadis itu berdecak kesal, kemudian mengganti pesanannya, "Dua botol soju[15]."
Aku tersedak ludahku sendiri. Apa?
Sepertinya aku telah menyuarakan pikiran terkejutku tanpa sadar karena Yohan dan Hyewon kini tengah menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
Hyewon tertawa kecil, sedikit menyindir, "Kau belum pernah minum soju?"
"Tidak—maksudku, belum," ralatku. Aku menatap Yohan dan Hyewon bergantian. "Bukankah kita semua belum cukup umur?"
Atau aku salah? Atau jangan-jangan dibalik wajah cantik itu, tersimpan rahasia bahwa sebenarnya usianya sudah menginjak kepala tiga—atau minimal dua.
Hyewon mengendikkan bahu acuh, lalu mendorong gelas kecil yang baru dituanginya dengan soju ke depan Yohan. "Siapa yang peduli aturan kalau usia tidak menentukan apakah kau kuat mnum atau tidak."
Kupikir awalnya Yohan akan mengabaikannya, atau bahkan mungkin menolaknya. Tapi aku harus membiarkan mulutku menganga lebar begitu kulihat tangannya meraih gelas itu tanpa perlu berpikir, kemudian meminum isinya dalam sekali teguk. Hebatnya, ekspresinya datar, berbeda dengan Hyewon yang menampakkan ekspresi seolah terbakar ketika soju mengaliri kerongkongannya.
"Kau tidak mau mencoba?" tanya Hyewon. Lagi-lagi kudengar nadanya penuh sindiran.
Aku perlu berterimakasih pada ponselku yang berbunyi karena membuatku tak perlu menjawab pertanyaan retoris itu. Sebuah pesan masuk dari Yoojung mengalihkan perhatianku.
From: Yoojung
Demi Tuhan, kau ada di mana sekarang? Yeonjun tidak berani pulang ke rumah karena merasa tidak bisa beralasan pada kedua orangtuamu tentang kronologis menghilangnya anak perempuan semata wayang mereka.
Jemariku menar-nari di atas layar ponsel untuk mengetikkan pesan balasan
To: Yoojung
Aku ada di Busan.
Aku perlu memuji kecepatan tangan Yoojung. Baru saja pesan terkirim, gadis itu sudah memberikanku balasan—lebih tepatnya panggilan. Ponselku menjerit-jerit minta di angkat. Aku permisi keluar untuk menerima telepon pada dua orang yang aku tidak peduli apakah mereka setuju atau tidak.
Angin malam Busan membuatku bergidik, lantas kurapatkan jaketku erat-erat sembari mengangkat panggilan.
"Yoojung-a, aku—"
"Nuna, kau serius ada di Busan? Sekarang?"
Suara yang begitu kukenal keluar dari kontak Yoojung. Dahiku mengernyit. "Yeonjun-a?"
"Iya, ini aku, adikmu yang jauh lebih pintar sepertinya," katanya cepat. Aku bisa membayangkan dia tengah merotaskan bola mata sebal. "gagasan bodoh apa yang membawamu sampai ke Busan? Kau gila, ya? Bagaimana bisa kau ke Busan saat kita sedang tidak libur sekolah?"
"Aku sedang—" kalimatku terhenti. Aku merasa sebaiknya tidak perlu membawa-bawa Yohan dalam hal ini (meski seratus persen dia adalah biang keroknya). "—mencari udara segar. Katakan saja pada Appa dan Eomma kalau aku menginap di rumah Yoojung."
Terdengar suara ribut-ribut di seberang, seperti suara orang berebut sesuatu. Berkutnya aku mendengar suara Yoojung ganti memenuhi gendang telingaku, "Kau gila. Bagaimana kalau orangtuamu menelepon orangtuaku dan kejadan yang tidak-ku-inginkan terjadi?"
Aku terkekeh pelan. "Itu tidak akan terjadi."
"Benar, katakan saja itu tidak akan terjadi. Lalu bagaimana jika aku kena sial karena berdosa telah ikut dalam skenario kebohongan ini?"
Bibirku sudah membuka untuk memberikan alasan, tapi suara ribut-ribut kudengar lagi. Lalu suara Yeonjun terdengar kembali (demi Tuhan mereka ini apa, anak kecil berebut mainan?). "Kuberi waktu hingga besok siang. Kalau kau tidak kunjung menampakkan batang hidungmu, aku akan menyeretmu pulang."
"Hei—"
Pip.
Yeonjun adik kembar sialan. Aku nyaris membanting ponsel ke lantai, tapi mengingat bagaimana jerih payahku memohon pada ayah agar dibelikan ponsel, aku mengurungkan niatku dan lebih memilih untuk meremasnya kuat-kuat. Aku menarik pasokan oksigen banyak-banyak, kemudian berbalik untuk kembali ke dalam. Lupakan Yeonjun dulu, nanti aku akan memukul kepalanya kalau sudah pulang.
Langkahku terhenti di dekat pintu. Aku tidak percaya apa yang terjadi di sana, tapi mataku menyaksikan semuanya. Bagaimana Kang Hyewon menatap Yohan dengan tatapan terluka dan berlinangan air mata. Aku mengurungkan niatku untuk masuk dan mengacaukan suasana.
"Maafkan aku." Kudengar Yohan mengucapkannya dengan nada datar, sebelum menuang soju ke dalam gelas dan menenggak isinya habis-habis.
Hyewon menengadah, seolah berusaha membendung kuat-kuat air matanya—yang kurasa percuma karena dia terlihat terlampau penuh luka. "Aku mencarimu selama bertahun-tahun, ke ujung dunia, dan kau mengatakannya semudah itu?"
Yohan bergeming, tapi tangannya memegang botol soju.
Hyewon merebut botol dari tangan Yohan dengan kasar dan meminum isinya langsung dari botol. Jujur, mereka berdua terlihat berantakan. "Aku tidak akan menyerah," katanya usai meletakkan botol soju kosong—nyaris membantingya—ke atas meja. "Daddy dan Mommy mengizinkanku di Korea hanya sampai bulan depan. Aku akan menunggumu sampai saat itu."
Perkataan Hyewon cukup tegas dan final. Jika aku berada di posisi Yohan, aku tidak akan menolaknya mentah-mentah, walau aku tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka berdua. Semuanya terlalu campur aduk untuk sekadar bisa ditebak. Bagaimana ketika gadis itu memeluk Yohan, tersenyum padanya, dan kemudian menangis karenanya.
Tapi sekali lagi, Yohan tidak mengatakan sesuatu seperti yang gadis itu harapkan. Saat dia menolehkan kepalanya ke arahku dan tatapan mata kami bertemu, Yohan mengatakannya lagi dengan tegas, "Maafkan aku."
Hatiku mencelos mendapat tatapan itu.
Hyewon menyadari kehadiranku. Gadis itu cepat-cepat menghapus air mata di pipinya, sebelum mengangkat kakinya keluar dari rumah makan dengan langkah cepat. Sesaat dia melempar tatapan tajam padaku, tapi aku tidak peduli. Aku lebih peduli pada Yohan yang menatapku dengan mata merah.
Aku tidak mengatakan apa-apa, bahkan setelah aku berdiri di hadapannya.
Yohan beringsut mendekat, lalu melingkarkan tangannya di pinggangku. Dan tanpa diminta, aku meneteskan air mata. Kuulurkan tanganku untuk mengusap kepalanya. Yohan terdiam lama, sebelum suaranya yang serak mengalun pedih, "Aku ingin melarikan diri."
***
Untuk seukuran orang mabuk, Yohan kunilai cukup kuat. Laki-laki itu terlihat sedikit linglung jika di ajak berbicara. Muka dan telinganya memerah, pun matanya demikian. Namun dia masih bisa berjalan dengan tegap mengikutiku untuk sampai di sebuah rumah tradisional yang sangat jauh dari kata modern.
Nenek terkejut melihatku berdiri di depan pintu rumahnya. Dan dia lebih terkejut lagi saat melihatku membawa laki-laki mabuk. Aku tahu ada seribu satu macam pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya, tapi nenek mendahulukan keselamatanku dan Yohan dari angin malam Busan. Nenek membawa kami duduk di ruang tamu dan memberikan kami selimut.
"Ceritanya panjang," kataku sebelum nenek sempat bertanya. Nenek menaruh dua gelas air hangat di depan kami, lalu ikut mendudukkan diri di kursi.
"Kalian menginap saja di sini. Sudah malam. Orangtua kalian tahu?"
Aku menggeleng pelan, dan segera memejamkan mata, bersiap kalau-kalau nenek menghantamkan nampan ke atas kepalaku. Biasanya kalau Yeonjun membuatnya kesal, nenek tidak akan segan-segan melakukannya. Tapi lama aku menanti, tidak terjadi apa-apa, malah yang kudengar desahan panjang. Aku membuka satu mataku dan melihat nenek menatapku dengan tatapan yang sulit kupahami.
"Bersihkan bekas kamar ayahmu. Malam ini kau tidur di kamar Halmeoni[16]. Besok pagi kalian harus kembali ke Seoul."
Aku menurut dan bergerak untuk menuruti perintah nenek. Sementara aku sibuk membereskan kamar ayah—kamar masa kecil ayah, pikiranku melayang-layang ke kejadian beberapa jam yang lalu.
"Aku ingin melarikan diri."
***
Aku duduk di samping nenek yang saat itu sibuk mendorongi kayu bakar. Dari baunya mirip seperti singkong manis yang dikukus. Sepertinya tebakanku memang benar, karena nenek sangat suka makanan itu.
"Kau mau?" tawarnya kubalas dengan gelengan. Aku tidak lapar. Aku hanya butuh menghangatkan diri.
Nenek membuka sebuah pembicaraan setelah keheningan menyapu atmosfer di antara kami, "Dulu Halmeoni pernah membawa laki-laki mabuk juga pulang ke rumah."
Pikiranku melayang pada Yohan yang mungkin sudah menjelajahi alam mimpi saat ini. "Dia tampan?"
Pertanyaanku mengundang tawa dari nenek. "Dia bukan pemabuk, tapi saat itu dia harus mabuk karena ditantang." Kernyitan di dahiku membuat nenek terus bercerita, "Sewaktu Halmeoni masih muda, banyak laki-laki yang datang melamarku. Mereka semua datang dari berbagai kalangan, mulai dari anak orang kaya, sampai nelayan yang nyaris tidak pernah pulang ke rumah karena sibuk di lautan. Ayahku orang yang sangat keras, bisa dibilang sedikit gila harta dan martabat. Sangat sulit untuk mendekatiku, kecuali bagi orang-orang berada.
"Kemudian aku tidak sengaja mengenalnya. Dia nelayan, suka membantu ayahnya mencari ikan. Aku jatuh cinta dengannya dan begitulah, ayahku marah."
"Dia laki-laki mabuk yang Halmeoni bawa pulang?"
Nenek mengangguk, "Waktu itu dia seperti ditantang menunjukkan sesuatu yang layak untuk bisa meminangku. Orang-orang kurang ajar itu yang melakukannya. Mereka semua pamer harta, tapi laki-laki itu tidak punya apa-apa untuk ditunjukkan. Dia hanya punya kapal sewaan dan ikan. Tapi tentu saja dia tidak ingin berakhir ditertawakan dan di hina."
"Lalu?" Aku hanyut dalam cerita nenek, membayangkan laki-laki yang penuh perjuangan demi mendapatkan gadis pujaannya, nenekku.
"Yah begitulah. Dia menantang mereka—tidak, dirinya sendiri. Dia minum banyak, mabuk, dan aku tidak bisa membawanya pulang ke rumahnya. Kedua orangtuanya akan sedih."
"Jadi Halmeoni membawanya pulang ke rumah Halmeoni?"
"Dulu sulit mencari hotel seperti sekarang, dan aku tidak punya uang. Aku hanya berniat menyembunyikannya di gudang rumah, tapi ayahku tahu. Dia marah besar dan kemudian—" nenek terhenti. Aku melihat sudut-sudut matanya berair. "—pokoknya semuanya terasa seperti kiamat. Dia dan keluarganya pindah. Sampai sekarang aku tidak tahu di mana dia dan apakah dia masih hidup."
Aku tidak pernah membayangkan bahwa masa lalu nenek sangatlah kelam. Dia punya seseorang yang dicintai dan mencintainya. Tapi sepertnya keadaan waktu itu sangat merugikan. Dari raut wajahnya, aku masih bisa membaca kalau sebenarnya nenek masih sangat mencintai laki-laki itu.
Padahal selama ini aku mengira nenek cinta mati dengan kakek. Kakekku orang yang gagah perkasa. Dia bekerja sebagai tentara, tapi naasnya dia tewas tertembak saat ayah masih kecil.
"Ayah tahu cerita ini?"
Nenek menggeleng. "Dia sangat menyukai figur ayahnya, meski ayahnya meninggalkannya saat dia masih bayi."
Berikutnya, aku hanya mampu mendengar suara arang dan api yang saling berbaur menjadi satu, ditemani suara jangkrik malam yang bernyanyi untuk menghalau kesunyian. Uap panas dari panci menjadi satu-satunya hal yang bisa kupandang. Sementara nenek sibuk menjaga agar apinya tidak padam.
Malam itu aku belajar banyak hal dari Yohan dan nenek.
Jiwa manusia itu misteri, seperti Yohan. Dari awal aku melihatnya, dia seperti menyimpan sesuatu yang aku tidak tahu itu apa, tapi aku bisa merasakan bahwa dia terbelenggu begitu kuat. Seorang laki-laki yang tidak memercayai takdir.
Kalau dipikir-pikir, alasan orang-orang membenci takdir cukup masuk akal. Meski aku tidak yakin apakah nenek juga salah satu dari orang-orang itu, namun raut wajahnya tidak bisa membohongiku. Jelas nenek merindukan laki-laki itu dan mencintainya
Dan mungkin saja nenek juga membenci takdir.
.
.
.
[14] kimchi = asinan sayur fermentasi pedas
[15] soju = minuman distilasi yang berasal dari Korea
[16] Halmeoni = nenek
.
.
.
06. Kang Hyewon
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top