09. Maka aku juga tidak

Aku terjaga hingga pukul tiga dini hari. Berulang kali aku mencoba memejamkan mata, realita tidak menghempaskanku ke alam mimpi, tapi justru menghempaskanku ke kenangan yang terjadi pagi hari yang lalu ketika aku membolos. Ketika itu aku tidak ada pikiran harus berbuat apa selain menemani Yohan yang terlihat seperti mayat hidup. Tapi Yohan seolah memberiku ide setelah dia...

Aku menyentuh bibirku ketika sensasi itu tiba-tiba datang. Bagaimana tatapan matanya yang indah menatapku teduh. Bagaimana tangannya yang besar merengkuh lembut wajahku. Bagaimana bibirnya...

Rasanya aneh dan menggelikan. Dan aku bersumbah setiap kali mengingatnya, jantungku seakan-akan ingin melompat keluar.

Dan jantungku mungkin benar-benar sudah keluar dari tempatnya saat getaran ponsel mengembalikanku pada kenyataan bahwa ternyata otot-otot pipiku yang terus berkontraksi untuk tersenyum rasanya pegal. Aku meraih ponsel dan tidak mengizinkan waktu menelan habis momen ini, aku mengangkatnya.

Tidak terdengar sapaan secerah mentari pagi seperti biasanya. Mengingat wajahnya yang terluka, aku jadi bisa memaklumi. "Kukira kau sudah tidur."

Kau mengharapkanku tidur setelah apa yang kau lakukan padaku?

Berbanding terbalik dengan isi protes dalam hati, aku justru tersenyum lebar tanpa merasa khawatir bibirku akan robek. "Kau sendiri?"

Hening mendominasi selama beberapa saat, sampai aku mengira sambungan terputus, namun suaranya terdengar kembali membuatku lega. "Aku merindukanmu."

Aku merasa seperti dihempaskan tinggi-tinggi ke langit, dan terbang bersama burung-burung.

"Aku juga merindukanmu," kataku spontan. Dan aku terkejut setelah tiga detik. "ah maksudku aku... aku—"

Tawa kecil Yohan membuatku merutuki diri sendiri. Bodoh. "Bagaimana caramu merindukanku?"

Aku mengernyitkan dahi. "Memangnya perlu cara untuk itu?"

"Tentu saja."

"Lalu kau sendiri? Bagaiamana caramu merindukanku?" tantangku.

Yohan terdiam selama beberapa saat lamanya. Aku salah mengira lagi kalau sambungan telepon terputus, tapi tak lama kemudian suaranya kudengar, "Aku membayangkan matamu yang cantik."

Baiklah Kim Yohan, kau pintar sekali membuat perut anak gadis orang terasa mulas.

Aku mulas karena aku merasa sangat tersanjung.

Dan tiba-tiba aku merasa sangat bangga dengan mataku.

"Bagaimana denganmu?"

Aku menggigit bibir, sembar memutar otak untuk mencari cara menjawabnya. Hal apa yang kurindukan dari Yohan? Tampang gantengnya? Bukankah itu alasan yang sama sekali tidak kreatif? Bagaimana kalau aku bilang ciumannya membuatku rindu? Mungkin dia akan menganggapku gadis cabul.

"Es krim?" alih-alih menjawab, jawabanku malah cenderung terdengar seperti pertanyaan yang tidak meyakinkan.

Yohan terkekeh. "Karena aku manis ya?"

Iya.

"Ngayal saja kau ini," decihku, tapi tidak membuat senyumanku luntur. "Bantu aku mencari cara untuk merindukanmu."

"Hm...," gumamnya terdengar berpikir.

Tanpa sadar aku menunggu jawabannya sambil meremas selimut. Kira-kira apa yang akan dikatakannya?

"Bintang."

"Apa?" aku merasa salah dengar.

"Bintang." Ia mengulang. "Kalau kau merindukanku, pandangi saja bintang di langit."

Pada akhirnya aku hanya ingin meremehkan pernyataan konyolnya, kurasa. Bagaimana mungkin aku bisa melihat bintang di angkasa pada abad ini? Katakan padaku bagaimana caranya aku bisa melihat bintang-bintang yang cantik bertebaran di langit dengan mata telanjang alias tanpa bantuan teropong atau sejenisnya? Toh pada akhirnya kakiku juga melangkah menuju ke jendela, membuka tirai dan pintunya, serta menatap langit kota Seoul yang terlihat hampa.

Lupakan saja bintang, kecual bulan besar yang terlihat dengan jelas di atas sana.

"Tidak ada bintang di langit."

"Kau serius melihatnya? Sekarang?" tanya Yohan dengan nada terkejut tidak percaya.

"Cih," desisku. Aku menarik diri, menutup jendela dan tirainya, lalu kembali menghempaskan punggungku pada kasur empuk. "Menyebalkan."

Aku tidak dapat mendengar apa-apa kecuali keheningan. Tapi aku tidak akan tertipu lagi. Telepon masih tersambung dan sudah pasti Yohan tertawa tanpa suara di seberang sana. Pasti dia sedang tertawa atas kebodohanku.

Namun bukannya ejekan, aku justru mendengar nada suaranya yang tiba-tiba berubah menjadi tajam dan serius. "Aku besok tidak akan pergi ke sekolah."

Aku menelan ludah. "Kenapa?"

Aku tidak mendapatkan jawaban yang kuinginkan. "Aku akan pergi ke Busan."

"Untuk apa?"

"Kau mau ikut?"

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"

"Aku bukan pegawai tetap." Aku tidak punya ide untuk membalasnya, tapi kudengar suaranya kembali bertanya, "Kau mau ikut?"

***

Aku menyetujuinya.

Yeonjun terkejut mengetahui keberadaanku di dapur pagi-pagi buta sudah lengkap memakai seragam. Awalnya aku juga terkejut dengan dirinya yang tiba-tiba mengendap-endap ke dapur dengan seragam lengkap sudah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Rambutnya diberi minyak yang baunya nyaris membuatku muntah. Tapi keterkejutanku tidak berlangsung lama karena aku sudah kembali sibuk dengan roti dan kotak bekal.

"Kau mau sekolah di pagi-pagi buta begini? Tumben kau bangun pagi." Yeonjun mencuri satu roti yang hendak kumasukkan dalam kotak bekal. Aku sempat memukul kecil tangannya tapi tidak membuat rotiku yang sudah dikunyahnya kembali.

Dan omong-omong, aku ingin mengoreksinya. Aku tidak tumben bangun pagi. Nyatanya aku tidak tidur sama sekali.

Aku segera menutup bekal dan memasukannya ke dalam tas sebelum Yeonjun mencurinya lagi. "Kau sendiri?"

"Tunggu, ada apa dengan kantong matamu?"

Aku mendesah panjang dan menyampirkan tasku ke punggung dengan gerakan malas. "Mataku ini cantik!" seruku meniru pendapat Yohan.

Yeonjun mendesis dengan panik, mendorong bibirku dengan telunjuknya yang berbau minyak rambut. "Ssshhtt! Nanti Appa dan Eomma bangun!"

Aku mendorong tangannya keras tanpa peduli dia menahan sakit karena tangannya membentur tembok, sebelum minyak rambut yang wanginya seperti pewangi mayat berhasil masuk ke celah bibirku. "Kau mau membolos lagi, ya?"

"Tidak. Aku harus mampir ke suatu tempat dulu. Kau sendiri ngapain sekolah jam segini? Mau belajar bersama hantu penunggu sekolah?"

"Hantu kepalamu licin." Aku mendorong pundaknya. "Minggir, aku mau pergi."

"Sekolah?"

Aku berhenti, membalikkan badan hanya untuk memeletkan lidah.

***

Jadwal kereta bawah tanah yang akan membawaku dan Yohan ke Busan adalah pada pukul enam pagi. Setelah mengganti pakaianku di toilet dan menghabiskan sarapan yang sudah kubuat, kami akhirnya duduk di dalam kereta yang tidak terlalu ramai hari ini. Aku lega, karena setidaknya kami tidak berdiri, melainkan bisa duduk dengan nyaman. Hitung-hitung aku bisa tidur. Sumpah rasanya aku mengantuk sekali.

Ini sudah ketiga kalinya kepalaku hampir terjatuh ke lantai dan telapak tangan Yohan menahannya. Pada akhirnya laki-laki meletakkan kepalaku di pundaknya.

"Aku akan membangunkanmu kalau kita sudah sampai."

Aku mengangguk cepat-cepat karena sudah tidak tahan untuk tidur.

Kira-kira kurang lebih dua jam, Yohan menggoyang-goyangkan pundakku. Aku mengerjap-erjap kecil untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Ah, aku begitu merasa puas sudah bisa menidurkan diri. Namun saat aku ingin meregangkan otot, pergerakanku terhenti karena Yohan menggenggam tanganku kuat. Yohan tersentak dan buru-buru melepaskannya.

"Maaf, tadi kau sempat bergerak-gerak dan setelah kugenggam kau bisa tidur tenang."

Aku mengalihkan pandangan supaya dia tidak melihat pipiku yang mungkin sudah semerah apel. "Tidak apa-apa. Omong-omong, kita sudah sampai?"

Yohan memandang ke sekitar. Entah apa yang dia pandang toh kita berada di kereta bawah tanah. "Sebentar lagi."

Tepat setelah dia berkata seperti itu, terdengar pengumuman yang mengatakan bahwa sebentar lagi kami akan sampai di stasiun tujuan.

Busan. Aku begitu rindu aroma laut kota ini. Nenekku tinggal di sini dan keluargaku sering mengunjunginya. Pengecualian, hanya pada hari libur. Kenyataannya kedua orangtuaku nyaris kemari selama seminggu sekali.

Saat tengah asyik-asyiknya menghirup udara, Yohan menarik tanganku tiba-tiba dan membuat kami berlari cepat menembus kerumunan orang-orang.

Aku tidak sempat bertanya dia akan membawaku ke mana karena dia membuatku hampir terjatuh berulang kali. Nyaris aku mengumpat karena kesal, tapi pada akhirnya umpatanku terbungkam saat tahu Yohan membawaku ke mana.

Pantai.

"Woah!" aku terpana memandang ombak. Ini bukan kali pertama aku melihat laut, tapi aku tetap terpesona. "Laut!"

"Kau senang?"

Aku mengangguk-angguk cepat.

"Tapi aku tidak mengajakmu kemari untuk bermain air dan pasir."

Aku menatapnya secepat angin tornado. Bahuku merosot karena kecewa. "Apa?"

Telunjuk Yohan mengarah ke suatu bangunan. Kedua mataku menyipit untuk memfokuskan pandangan. Aku tidak yakin bangunan mana yang dia maksud, tapi kemudian aku mendengarnya berbicara, "Kita akan berjalan ke sana. Agak jauh memang, tapi kalau kita bisa berbagi cerita, kurasa akan membantu menghilangkan kecapekan."

"Apa?"

Pada saat aku bertanya demikian, kedua kakiku sudah melangkah beriringan dengannya. Embusan angin menerbangkan helaian rambutku. Aku menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga.

"Aku ingin melarikan diri," dia menjeda sebentar, "dari semuanya."

Aku meninju pelan lengannya. "Eiy, mana bisa? Kalau kau ingin melarikan diri dari semuanya, berarti kau juga harus melarikan diri dariku." Kuharap aku bisa menghiburnya, tapi kekehan yang keluar dari mulutnya tedengar miris, membuatku nyaris putus asa. Tapi aku tidak akan menyerah. "Kau tahu daun semanggi?"

Yohan mengangguk.

"Pernah menemukan yang berdaun empat?"

Yohan menggeleng.

Aku tersenyum, puas. "Aku pernah mati-matian mencarinya, dan akhirnya kudapatkan. Kemudian aku mengucapkan permohonan dan terkabul."

"Apa permohonanmu?" Dia bertanya.

Aku terdiam sebentar. "Agar Yeonjun bangun dari koma." Aku melihat bibirnya membuka, tapi tidak bersuara, sehingga aku menambahkan, "Kuharap kau juga menemukannya dan bisa memohon. Tapi kuharap sih, permohonanmu yang itu."

Dahinya mengernyit. "Itu yang mana?"

"Takdir." Aku tersenyum simpul. "Kau harus memercayainya."

Kesimpulanku adalah, Yohan memang benar-benar tidak percaya akan takdir. Memang, percaya pada takdir adalah hal yang sulit terutama untuk orang-orang terpuruk, menurutku—dan dengan terpaksa aku menyetujui opini Yohan. Aku pernah ada di posisinya, saat aku begitu membenci adikku sendiri, meski pada akhirnya aku menemukan jalan keluar sehingga aku percaya.

Bahkan hingga detik ini aku percaya bahwa takdir mempertemukan aku dan dia. Kim Yohan.

Tahu-tahu dia bertanya, "Kau punya cinta pertama?"

"Cinta pertama anak gadis adalah ayahnya."

Entah perasaanku atau Yohan terlihat terhenyak, namun pada akhirnya dia bisa mengendalikannya. "Cinta pertamaku pergi meninggalkanku."

"Sepertinya dia gadis yang cantik."

"Mm," Yohan mengangguk. "sangat."

"Dia ada di mana sekarang?"

Yohan berhenti berjalan. Otomatis, aku juga berhenti. Laki-laki itu terkejut memandang ke depan. Aku baru menyadari bahwa bangunan yang tadi ditunjuknya adalah sebuah panti asuhan.

PANTI KASIH

Dicat dengan tebal, namun karena sudah termakan tahun catnya memudar. Saat aku hendak bertanya mengapa laki-laki ini membawaku kemari, pekikan seorang gadis menyebut nama Yohan merenggut perhatianku. Gadis yang sangat cantik berlari ke arah kami—maksudku Yohan. Aku melihatnya nyaris melompat saat mendekap erat-erat tubuh Yohan.

Sementara Yohan terdiam mematung.

Dan sementara aku, merasakan diriku tercabik-cabik.

"Aku mencarimu lama sekali!" Aku melihatnya menangis, gadis itu. Tangisan bahagia. "Aku sangat merindukanmu."

Aku percaya bahwa takdir sudah ditentukan oleh Tuhan. Tapi aku tidak akan mengelak bahwa aku lebih menyetujui perkataan Yohan. Entah kapan. Mungkin baru saja saat melihat dua manusia itu saling merapatkan tubuh satu sama yang lain hingga membuat dadaku rasanya tercabik-cabik.

"Takdir hanya berpihak pada orang-orang yang beruntung. Kepada orang yang menderita, dia memiliki kesan lemah."

Apa aku baru saja menyebut diriku orang menderita karena sakit melihat pemandangan ini?

Kim Yohan, jika kau tidak memercayai takdir...

...maka aku juga tidak.

Mungkin. Setelah melihat semuanya membuatku sesak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top