08. Jika kau tidak memercayai takdir

Pagi hari ini, aku merasa luar biasa. Karena takdir masih mengizinkanku untuk menghirup oksigen dan melepaskan karbondioksida.

Aku bangun tidur pada pukul lima, kemudian segera bergegas mandi sembari menyenandungkan lagu Kiss and Make Up. Setelah mandi aku berpakaian sambil melompat-lompat kecil, memoleskan bedak dan lipstick merah muda dengan gaya ala YoonA SNSD di iklan kosmetik, kemudian terakhir aku menjepit rambutku dengan jepitan kupu-kupu berwarna biru. Selanjutnya aku menyampirkan tas di bahu dan dengan langkah enteng menuruni tangga menuju ruang makan. Ayah dan ibuku berpandangan sesaat kemudian kudengar ibu terkekeh sembari menggelengkan kepalanya pelan.

Sementara aku baru mendudukkan diri di kursi, Yeonjun datang dengan langkah terseret-seret. Kantung matanya menghitam seperti habis kena tonjok Jackie Chan. Ayah dan ibu berpandangan kembali, namun kali ini ganti ayah yang merespon. Ayah berdeham singkat, "Kalian aman kan selama Appa dan Eomma tidak ada?"

Jariku mencolek selai nanas dari toplesnya langsung. "Mm. Aku melaksanakan tugas sebagai seorang kakak yang baik. Begitu juga dia." Kusenggol lengan Yeonjun pelan. "Iya, 'kan?"

Yeonjun hanya merespon dengan gumaman tidak jelas. Respon yang cukup menyebalkan hingga membuatku memajukan bibir bawah meledek. Tapi alih-alih memelototkan mata atau apa, Yeonjun berlaku seolah tidak terjadi apa-apa dan meraih roti dengan gerakan pelan. Kenapa dia jadi pendiam seperti ini?

"Kalian berangkat bersama?" Ibu bertanya, membuatku beralih menatapnya.

Biasanya aku akan berkata, "Tidak, aku akan berangkat bersama teman." Tentu saja teman yang kumaksud tiada lain adalah Park Jihoon. Sampai sekarang ayah dan ibuku tidak tahu fakta bahwa Jihoon adalah kekasih—mantan kekasihku. Tapi kali ini aku tersenyum senang sambil mengangguk-angguk sumringah. Tapi senyumku keburu luntur saat tiba-tiba wajah cantik Hwang Yeji terbayang di benakku. Aku menggeleng pelan, meralat. "Tidak, aku akan berangkat bersama teman."

"Kenapa? Bukankah Yeonjun sendirian?"

"Dia harus berangkat dengan Yeji."

"Yeji? Siapa Yeji?"

Astaga, aku kelepasan berbicara. Aku dan Yeonjun sudah saling sepakat bahwa kami tidak akan memberitahu secara langsung pada ayah maupun ibu jika kami berpacaran, bahkan memberi kode saja tidak boleh. Hal itu juga semata-mata kami lakukan karena ayah pernah bilang bahwa kami dilarang berpacaran sampai kami lulus sekolah. Kolot sekali. Tapi kemudian pada akhirnya kami berdua juga setuju.

Saat aku hendak berkilah, atau sekadar mengalihkan pembicaraan, tiba-tiba terdengar suara garpu dijatuhkan dengan sengaja ke atas piring, kemudian disusul suara kursi didorong. Aku mendongak, menatap Yeonjun yang berdiri dengan pandangan kosong.

"Aku berangkat."

Pandanganku turun ke arah piringnya. Rotinya belum terjamah. "Hei, rotimu—hei Choi Yeonjun!" Yeonjun mengabaikanku dan pergi meninggalkan meja makan. Aku mendesis kesal dan segera menyambar tasku. Baiklah, dia harus mentraktirku makan di kantin karena membuatku ikut-ikutan tidak sarapan. Teriakan ayah dan ibu terdengar mengecil seiring entitasku yang semakin menjauh dari ruang makan.

Kulihat Yeonjun sudah duduk di atas motornya dan hendak memakai helm. Aku menghentikan lengannya. "Maaf, aku tidak bermaksud..."

"Nuna, aku tidak akan ke sekolah."

"...untuk—apa?" aku menatapnya selama beberapa saat. Diperhatikan lamat-lamat, wajahnya seperti wajah kuli yang habis disuruh membangun menara setinggi awan. Nada suaraku berubah serius, "Ada masalah apa denganmu dan Yeji?"

"Aku sedang tidak ingin membahasnya."

Saat dia hendak menarik tangannya, aku menahannya kembali. "Aku kakakmu. Aku perlu tahu. Jika gadis itu menyakitimu, setidaknya aku harus—"

"Harus apa?" Yeonjun mendesah. Tatapannya terlihat memohon "Nuna, tolong. Aku hanya ingin sendiri dulu."

Choi Yeonjun. Aku masih ingat bagaimana anak kecil dengan gigi ompong satu yang selalu merusak mainanku. Bagaimana anak kecil menyebalkan yang selalu menendangku saat tidur hingga aku terjatuh dari kasur dan berakhir menangis keras hingga membangunkan Reon (nama anjingku dulu, sekarang dia sudah tiada. Kuharap aku tidak akan pernah membicarakannya kecuali aku ingin berakhir menangis tersedu-sedu lagi). Anak kecil mirip titisan iblis yang jahatnya minta ampun.

Tapi melihatnya seperti ini, aku tidak bisa untuk tidak peduli. Bagaimanapun, aku sudah memutuskan untuk peduli padanya. Dia tetap adik kecilku.

Aku menarik tangan, lalu mengangguk pelan. "Aku janji tidak akan memberitahu siapapun. Tapi kau juga harus berjanji untuk tidak melakukan hal yang aneh-aneh."

Terbesit senyum—walau sangat tipis—di bibir Yeonjun, disusul anggukan kepala. "Mm. Aku janji." Dan senyumnya kian melebar saat melihatku menyodorkan jari kelingking.

Dia menyambutnya dengan jari kelingingnya yang lebih besar.

Yeonjun memakai helm dan menghidupkan mesin motor. Aku melambai pelan sambil mengucapkan kata hati-hati. Meski terhalang oleh kaca hitam helmnya, aku tahu Yeonjun tengah tersenyum. Dia memutar motornya berlawanan arah dari sekolah dan pergi. Ketika aku melihatnya sudah menghilang di antara banyak kendaraan yang berlalu lalang, aku memutuskan untuk berjalan menuju halte bus.

Dan tepat saat aku hendak mengambil satu langkah, aku melihatnya. Berdiri dua meter di depanku. Menatapku dengan tajam dan dalam. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan. Tapi setitik fokusku tertuju pada sudut bibirnya yang lebam. Dadaku bergemuruh hebat. Aku belari menerjangnya dengan semua yang kubisa.

"Kim Yohan, kau habis berkelahi?" aku memutar badannya ke segala arah, mencari luka lain yang mungkin ada. Namun pergerakanku terhenti saat menyadari pakaiannya tak lebih hanya kaos putih oblong dan celana jeans hitam. Aku kembali menegakkan badan. "Kau tidak pergi ke sekolah?"

Yohan hanya menatapku, tak lebih.

"Kau terlihat pucat. Kau sudah makan?"

Yohan seolah membisu.

"Apakah ini sakit?" aku hampir menyentuh sudut bibirnya, namun laki-laki ini keburu menarik tanganku lebih dulu dan menarikku ke dalam pelukannya. Kurasakan tangannya mengerat melingkari tubuhku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku tidak bisa membuatnya bicara. Dan aku tidak tahu apa yang dipikirkan olehnya. Tapi tubuhnya bergetar. Aku bisa merasakannya. Meski dia tidak mau mengatakan apa-apa, aku tahu laki-laki ini sedang menangis.

***

Aku membuka penutup cone es krim, lalu menyerahkannya ke hadapan seorang laki-laki yang terus tertunduk lesu. Dia hanya menatap tanganku dan tidak bertindak apa-apa. Saat kesabaranku sudah di ambang batas—dan omong-omong tanganku juga bisa pegal kalau berdiam dalam posisi begini terus, aku meraih tangannya dan memaksanya untuk menerima.

"Kau harus tahu kalau es krim adalah satu-satunya makanan yang bisa melawan rasa sedih," kataku berhasil membuatnya mengangkat kepala. Aku tersenyum puas.

Yohan terdiam selama beberapa saat. Jasmaninya ada di dekatku tapi angannya seperti melayang ke dimensi lain. Tak selang lama, laki-laki itu mulai membuka mulutnya untuk memakan es krim. Senyumanku semakin lebar.

"Haaahhhh," desahku panjang sembari membanting pelan punggungku ke sandaran kursi kayu. Bebanku serasa menguap setelah berhasil membuat Yohan terlihat lebih hidup. Serius, dia tadi mirip zombie. "Akhirnya Kim Yohan membuatku bolos juga," lanjutku, sembari terkekeh geli.

Aku membayangkan wajah panik Choi Yoojung saat tidak menemukanku maupun Yeonjun di sekolah. Aku tidak bisa untuk tidak tertawa. Omong-omong, Yeonjun bolos kemana ya kira-kira? Sungai Han? Gwangju? Atau... Busan? Atau jangan-jangan ke Mars?

Entahlah. Yang pasti dia sudah berjanji tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh. Aku hanya merasa khawatir kalau Yeonjun akan berakhir seperti tokoh-tokoh laki-laki muda yang putus cinta di serial drama televisi. Para laki-laki itu berakhir mabuk, merokok, pergi dugem, dan main wanita. Awas saja sampai Yeonjun begitu, aku tidak akan segan-segan menendang pantatnya sampai masuk ke dalam got.

Awan-awan yang berjalan tanpa lelah di langit menyita perhatianku. "Kau percaya takdir?" Yohan tetap diam. Aku meneruskan, "Dulu setiap habis bertengkar dengan Yeonjun dan menyumpahi takdir, aku selalu berakhir memandang ke langit. Tidak ada yang spesial, tapi seolah membuat bebanku terangkat."

Usai mengatakannya, aku menoleh dan melihat Yohan tengah menengadahkan kepala, memandang ke arah langit. Es krimnya sudah habis. Dan laki-laki itu kini mengangkat tangan saat matahari yang tadinya bersembunyi di balik awan mulai muncul, menyilaukan pandangannya.

"Kau percaya takdir?" tanyaku lagi.

Aku mungkin hampir merasa putus asa saat Yohan tak kunjung angkat suara. Namun laki-laki itu menurunkan pelan tangannya dan berkata dengan suara serak, nyaris seperti bisikan angin, "Tidak."

"Kenapa?"

Yohan menolehkan kepalanya berlawanan arah dariku, membuatku menebak-nebak apa yang tengah dipikirkannya.

Aku percaya takdir mempertemukan aku...

Yohan memutar wajahnya ke arahku. Dunia serasa berhenti berputar.

...dan kau.

"Takdir hanya berpihak pada orang-orang yang beruntung. Kepada orang yang menderita, dia memiliki kesan lemah." Yohan beringsut mendekat. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat luka robek di sudut bibirnya. "Takdir itu terkesan lemah. Jika bisa berjuang sampai berhasil, kenapa tidak?"

Seumur hidupku, aku belum pernah minum darah secara langsung—karena aku bukan keturunan Edward Cullen atau semacamnya. Aku hanya pernah mendapati gusiku terluka, dan aku berkumur untuk mengeluarkan darahnya dari mulutku. Jatuh dan berdarah, aku pernah. Mencium aroma darah, aku pernah. Tapi aku tidak pernah berekspektasi jika darah yang pertama kali kucecap dan kutelan akan terasa semanis gulali. Darah yang lidahku rasakan, luar biasa.

Laki-laki itu membagi darahnya denganku. Menyapukan bibirnya pada bibirku, hingga membuatku mau tak mau ikut menyecap rasa yang semanis gulali ini.

Rasa yang diberikan pada laki-laki yang tidak memercayai takdir.

Kim Yohan, jika kau tidak memercayai takdir, apa yang harus kulakukan agar membuatmu menjadi percaya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top