07. Segalanya untukku
Terakhir kali insting bahagiaku membuncah saat duduk di dekat Park Jihoon adalah... entahlah... satu bulan yang lalu? Apakah terlalu lama? Aku tidak ingat. Aku hanya bisa merekam memori ketika Jihoon melengos meninggalkanku setelah mendesis penuh kekesalan akibat aku bertanya kira-kira apa kesalahan yang telah kuperbuat padanya, "Pikir saja sendiri."
Jihoon memang manusia yang tidak bisa ditebak. Oke, pertama kali aku melihatnya di perpustakaan kota adalah saat di mana aku begitu terpukau dengan anak laki-laki kalem—first impression-ku padanya ialah dia begitu cantik—yang sedang membetulkan letak kacamatanya yang melorot saat membaca buku. Kemudian singkat waktu kami berkenalan dan menjalin hubungan layaknya orang-orang kasmaran lainnya.
Hanya saja akhir-akhir ini—atau mungkin lama kelamaan aku jadi tahu kalau di balik sosok lemah lembut nan jantan itu tersembunyi jiwa yang sensitif dan over-protective. Bagaimana caranya dia menatap mataku dan mengganggam tangan dinginku, aku tahu dia begitu takut kehilangan. Benar, ini adalah sisi positif dalam berpacaran, mengenal sampai ke dalam-dalamnya.
"Aku minta maaf. Maafkan aku."
Entah sudah berapa kali dia mengucapkannya, yang jelas lebih daru satu tambah satu kali dua.
"Mm."
Dan entah sudah berapa kali aku menjawabnya.
Jihoon menghela napas panjang. "Aku hanya kesal waktu itu."
"Karena?"
"Karena..." bola matanya menatapku gamang. "Haruskah aku mengatakannya?"
"Kalau tidak ingin dikatakan tidak usah dikatakan," ketusku. "Saat itu aku bertanya hal yang sama dan kau justru memberikan respon tidak bersahabat."
"Kau masih kesal, 'kan?"
"Menurutmu?"
Lagi-lagi, Jihoon mendesah."Kau mau aku bagaimana?"
Aku menatap matanya dalam.
"Kau mau aku bersujud di depan kakimu memohon ampun? Sekarang? Bahkan mencium ujung-ujung kuku jari kakimu sekalipun?"
Tidak. Itu keterlaluan.
"Aku mau..."
Jihoon menaikkan kedua alisnya penuh harap. Pandanganku tiba-tiba menangkap sosok Yeonjun yang diam-diam mengintip di balik pintu kamar kedua orangtuaku. Yeonjun menggeleng pelan. Aku menelan ludah. Aku tahu yang dia takutkan.
Aku mau...
"Yena-ya?" Jihoon menyenggol lenganku, membuat pandanganku kembali terarah padanya. Laki-laki itu membalikkan badan ke belakang, memeriksa sesuatu yang berhasil merenggut fokusku darinya. Tapi Yeonjun yang super peka langsung menyembunyikan diri secepat kilat menyambar. Laki-laki itu lantas kembali menghadapku. "Kau mau apa? Aku akan melakukannya untukmu."
...putus.
"Kau harus tahu kalau es krim adalah satu-satunya makanan yang bisa melawan rasa sedih."
"Aku mau es krim," ucapku yakin.
Jihoon menatapku bengong selama beberapa detik, lantas berkedip-kedip. "Es krim?"
Aku mengangguk cepat. "Katamu akan melakukan semuanya untukku."
"Tentu saja!" katanya cepat. Senyumnya mengembang seperti adonan donat kelebihan ragi sampai-sampai pipinya ikut mengembung. "Kau adalah segalanya untukku." Jihoon beringsut mendekat, menarik tengkuk belakangku dan menyapukan bibirnya kilat pada dahiku. "Aku menyayangimu."
Tubuhku membeku, tidak memberikan respon. Tidak bisa tersenyum, tidak bisa merengut. Aku hanya bisa memandangnya tanpa ekspresi, laki-laki yang tersenyum di hadapanku ini.
***
Tik-tok-tik-tok
Suara detak jarum jam dinding berpacu bersamaan dengan detak jantungku yang hidup. Aku membanting punggung ke sandaran sofa di depan televisi. Tanganku memegang erat remote, tapi tidak memencet tombol on. Pikiranku melayang menatap langit-langit. Lantas aku memejamkan mata dan mendesah berat, saat tahu-tahu aku terkejut karena seseorang merebut remote dari tanganku.
Yeonjun mendudukkan diri di sampingku dan menghidupkan layar televisi. Layar besar itu langsung menampilkan spons kuning hidup yang tengah tertawa dengan teman bintang lautnya. Melihat keakraban mereka berdua aku jadi ingat betapa tidak akrabnya aku dengan Yeonjun, kecuali dalam kondisi tertentu. Mungkin dalam kondisi seperti ini.
"Kau tahu? Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku," kataku membuka pembicaraan.
Kedua fokusnya mengarah pada televisi, namun dia menjawab kata-kataku dengan tepat, "Kau hanya bingung."
"Bingung?"
Yeonjun mengangguk. "Jika kukatakan sekarang kalau kau mulai tidak menyukai Jihoon dan mulai menyukai Yohan, apakah kau percaya padaku?"
Leherku menoleh ke arahnya secepat lampu flash kamera hingga berkemelutuk. "Apa?" apa yang lebih terdengar seperti tuntutan daripada pertanyaan.
"Kau harus memikirkannya matang-matang. Kau harus tahu bahwa anggota tubuh yang paling sering berkhianat adalah hatimu." Yeonjun terkekeh kecil, seolah menertawai kata-kata bijak yang meluncur lancar dari belah bibirnya barusan.
Aku terpana selama sesaat. "Karena dia bisa merubah-ubah perasaan sesukanya?"
"Dan kau tidak bisa memerintahkannya sesuai keinginanmu." Yeonjun menatapku dengan tatapan jahil. "Benar kan, Nuna?"
Sesaat aku ingin menggetok kepalanya, tapi aku mengurungkan niatku dan kembali menyamankan punggungku pada sandaran sofa. "Ya... mungkin."
Kami berdua kembali terdiam, menonton kekonyolan Patrick dan Spongebob. Sekali-kali kami berdua tertawa karena merasa tingkah dua sahabat itu sungguh konyol. Tapi tidak jarang kami mendesah protes atau bahkan mengumpat saat adegan yang tengah seru-serunya terpaksa terpotong iklan.
"Omong-omong, bagaimana kabar Yeji? Aku kok jarang melihatmu keluar rumah lagi. Biasanya kan sering tuh kau main keluar bersamanya. Aku juga tidak melihatmu meneleponnya lagi tiap malam dengan tawa menjijikkan. Aku pernah salah mengira suaramu dengan hantu, kau tahu?"
Yeonjun tertawa kecil. "Hanya ada sedikit masalah. Kau pikir hanya kau yang bermasalah?"
"Kenapa? Dia selingkuh?"
Adik kecilku mengendikkan bahu. Nadanya terdengar malas membicarakan hal ini. "Entahlah. Tiba-tiba saja setelah dia memuji anak teman ayahnya yang bernama Soobin itu aku jadi malas untuk berurusan lagi dengannya."
Aku memberinya tatapan kau-sedang-bercanda-kan? "Kau cemburu hanya gara-gara itu?" lalu kemudian aku baru menyadari ada kesalahan dalam pertanyaanku. Bukankah Jihoon kesal padaku karena saat itu kepalaku dipenuhi oleh tatapan mata Yohan sehingga... yah... begitu...
Tunggu, apa semua laki-laki seperti ini saat merajuk?
"Menurutku, aku tidak punya hak untuk cemburu."
Aku menaikkan alis sebelah kiri. "Kenapa? Kau kan pacarnya."
"Yah, aku hanya pacarnya. Lagipula pacar bisa putus sewaktu-waktu."
Ttak!
Dan kali ini aku benar-benar menggetok kepalanya, membuatnya memekik keras sampai hampir terjungkal jatuh dari sofa. "Sakit Nuna!"
"Bagaimana bisa kau mengatakannya dengan begitu mudah?" aku hendak memberikan getokan berikutnya, namun dengan gesit dia menghindar. Dia berlari menaiki tangga. Aku sempat ingin cuek, tapi dengan kurang ajarnya dia malah memeletkan lidah, membuatku tergoda sehingga aku benar-benar mengejarnya. "Kemari kau Choi Yeonjun!"
***
Malam Senin itu aku merasa haus, jadi aku keluar untuk pergi ke minimarket dekat rumah dan membeli dua botol besar jus jeruk. Usai membayar, aku bergegas keluar. Namun betapa terkejutnya aku. Tepat saat aku membuka pintu, Yohan tiba-tiba melambai dari arah luar.
"Selamat malam."
Senyumku membuncah. "Selamat malam," balasku. "Oh kau mau masuk?"
"Ah..." Yohan menggaruk telinga. "Nanti saja. Mau kuantar pulang?"
Aku mengembungkan pipi, kemudian mengangguk mengiyakan.
Kami berdua berjalan bersama sepelan mungkin. Sepanjang perjalanan Yohan dengan penuh semangat menceritakan bagaimana awal mulanya dia bisa masuk ke klub taekwondo dan memenangkan banyak medali. Katanya dia hanya berdiri di depan sebuah gedung latihan dan penasaran dengan suara-suara pukulan dan teriakan dari dalam gedung, namun tak berani masuk. Sampai akhirnya seseorang memergokinya dan mengajaknya masuk. Orang baik itu ternyata salah seorang pelatih juga. Dia melatih Yohan taekwondo dan ternyata Yohan sangat berbakat dalam bidang itu.
Saat aku hendak menyela dengan sebuah pertanyaan kenapa dia tidak melanjutkan bakatnya itu lagi, tiba-tiba aku teringat ekspresi sedihnya tempo lalu, lantas aku meneguk ludah seolah ikut menelan mentah-mentah rasa penasaranku yang bahkan belum—atau mungkin tidak perlu dijawab.
"Saranghae Oppa[13]!"
Hell, what? Harus banget di jam malam seperti ini? Pemandangan menjijikkan apa itu? Mana ada gadis yang rela membuang harga dirinya hanya demi bergelayut manja di lengan laki-laki yang bahkan tidak peduli dengan eksistensinya. Laki-laki yang diberi pernyataan cinta tengah menggumamkan sesuatu yang tak dapat kutangkap dari jarak sekitar lima meter. Tapi jelas hubungan mereka berdua terlihat tidak sehat. Melakukan hal tak senonoh (ya, bagiku itu hal tak senonoh karena si gadis berjinjit dan mengecup pipi pasangannya). Aku hampir mendengus geli saat tahu-tahu laki-laki itu menatapku.
Seketika napasku tercekat.
"P-Park Jihoon..."
Jihoon, laki-laki yang susah payah membebaskan lengannya dari pelukan manja si gadis antah berantah menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia hendak berjalan ke arahku dan Yohan. Tapi pergerakannya terhenti karena aku lebih dulu berjalan mendekat kepada mereka.
Lampu remang-remang tidak akan mampu menyembunyikan ciri-ciri Park Jihoon yang begitu kukenal. Aku berdiri tepat di depannya dengan pandangan kosong. Tatapan Jihoon bergetar. Gadis di sebelahnya menatapku ingin tahu, tapi aku terlalu sibuk untuk menatapnya.
Aku bisa merasakan kehadiran Kim Yohan di belakangku.
Jihoon maju selangkah, tangannya hendak meraih tanganku, namun dengan cepat aku menghindar. Dia menatapku tidak percaya. "Yena-ya... kenapa kau—"
PLAK!
Kepalanya tertoleh ke samping. Gadis di sebelahnya memekik terkejut. Aku bisa merasakan aura marahnya saat dia hendak memberiku tamparan juga, tapi tangan Jihoon menghentikannya.
Jihoon menatapku nanar, kemudian pandangannya beralih ke belakangku. "Berduaan dengan kakak sepupumu, eh?"
Aku mendengus jijik. "Dia bukan sepupuku."
Tatapan Jihoon serasa membakar kulitku di malam hari yang dingin. "Aku tahu."
"Bagus. Kalau begitu aku pamit. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, 'kan?" aku membalikkan badan, tersenyum pada Yohan. "Ayo, Yohan-a."
Jihoon menahan tanganku. Aku segera menepisnya. Saat dia kembali ingin menarikku, Yohan mencekal tangannya.
"Lepaskan," ketus Jihoon menatap nyalang Yohan.
"Jauhkan tanganmu darinya." Aku menatap Yohan. Kumohon. Lalu tangan Yohan pelan-pelan melepaskan tangan Jihoon. Pandanganku beralih kembali pada Jihoon. Dan kuharap itu terakhir kalinya aku melihat seorang Park Jihoon. "Aku ingin mengakhiri semuanya."
***
Yohan membisu sepanjang perjalanan. Yohan yang banyak bicara tiba-tiba seperti ikut terbang bersama angin sepoi-sepoi. Aku berdeham pelan, berusaha memancing, tapi Yohan tak kunjung bereaksi. Tidak kehabisan ide, aku meraih satu botol jus jerukku yang suhunya sudah turun dan melemparkannya pada Yohan. Laki-laki itu dengan sigap menangkapnya.
"Untukmu."
Ada jeda sesaat, sebelum aku mendengar gumamannya, "Terimakasih."
"Aku yang putus kenapa kau yang murung." Aku menatap Yohan kemudian mencibir. "Cih."
"Kau tidak mau menangis?" Yohan berhenti melangkah, membuatnya tertinggal beberapa langkah di belakangku. "Bukankah seharusnya kau menangis saat ini?"
Kakiku berhenti. Aku mengedip lumayan lama sekali. Benar. Bukankah normal jika seharusnya aku menangis dramatis sambil berguling-guling di aspal jalanan yang dingin? Bukankah seharusnya aku kembali ke minimarket untuk membeli satu pak tisu dan menghabiskannya untuk air mata dan ingis? Bukankah aku harusnya bersikap senormal mungkin?
Tahu-tahu Yohan sudah berdiri di depanku dan menepuk-nepuk bahunya. "Menangislah."
Tidak ada yang kulakukan dalam beberapa saat. Yohan terlalu menyita seluruh perhatianku. Bagaimana senyumannya dan tatapan matanya. Serta bagaimana ketika dia sedih dan aku tidak, seolah dia menyedot semua rasa sedihku dan menggantikannya.
Dua alisnya naik, menunggu responku. Aku tersenyum tips, lantas mendekat dan berjinjit, mengalungkan tanganku ke lehernya. Memeluknya erat. Memejamkan mata. Menikmati kenyamanan ini.
Yohan merengkuh pinggangku erat. Kami berdua saling berbagi kehangatan di tengah-tengah kedinginan. Kemudian kudengar suara beratnya serasa menggelitik pendengaranku, "Menangislah."
Namun aku justru tersenyum. Aku tidak ingin menangis. Aku tidak ingin menangis. Aku hanya ingin memeluknya dan membisikkan kalimat yang tak pernah terpikirkan sekalipun akan kuucapkan, terlebih pada seorang Kim Yohan.
Aku tidak suka menangis. Aku tidak suka menjadi lemah. Aku benci menjadi lemah.
Jika aku hanya seorang diri, mungkin statement-ku sudah mentah-mentah kupatahkan. Mungkin aku akan menangis seorang diri dengan begitu memilukan. Tapi kenyataannya tidak. Aku punya Yohan untuk kudekap erat-erat.
"Kau segalanya untukku."
.
.
.
[13] Oppa = kakak, diucapkan oleh perempuan kepada laki-laki yang lebih tua.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top