06. Ibu dan kakakku

Tatapan tajam ingin tahu Yeonjun membuat Yohan terpaksa menurunkan diriku dengan gugup. Dengan gestur posesif Yeonjun menarik lenganku dan menyembunyikanku di belakang tubuhnya, seolah melindungiku dari bahaya. Baiklah, dia terlihat seperti saudara bertanggung jawab jika seperti ini.

"Ini Yohan," kataku, mencoba mencairkan suasana. Aku hanya khawatir tatapan mata Yeonjun bisa membelah Yohan jadi berkeping-keping.

"Aku tahu," jawab Yeonjun ketus. "Kau apakan Nuna-ku?"

Yohan melirikku sekilas, lalu mengelus tengkuknya kikuk. "Maaf, sepertinya ada kesalahan di sini. Kaki Yena terkilir jadi aku mengantarnya pulang—"

"Kau salah paham," aku menyela, menatap punggung Yeonjun dengan tatapan ayolah-bersahabatlah-denganku-kali-ini. "Yohan tidak bermaksud jahat."

Yeonjun memutar badannya, menatapku singkat, sebelum pandangannya turun pada kaki kananku yang terangkat. Dia menunduk dan menekan pergelangan kakiku kuat, membuatku memekik seketika. "Sesakit itukah?'

Aku memukul kepalanya keras. "Tentu saja, bodoh!"

Yeonjun meringis mengelus kepalanya. Dia bangkit berdiri dengan tatapan bingung. "Apa perlu pergi ke rumah sakit? Aku tidak tahu bagaimana cara mengatasi kaki terkilir."

Bibirku sudah membuka untuk menyela, tapi Yohan mendahuluinya, "Permisi." Membuatku dan Yeonjun menatapnya ingin tahu. Yohan menatap kami berdua bergantian, lalu seolah meyakinkan dirinya sendiri, dia berkata mantap, "Aku bisa membantunya menangani kaki terkilir. Kalian punya kotak obat, 'kan?"

***

"Hei, dengar, maafkan aku."

Aku memerhatikan Yohan yang tengah membalutkan perban ke pergelangan kakiku. Laki-laki itu menarik sudut-sudut bibirnya, tersenyum mendengar permohonan maaf Yeonjun.

Tidak mendengar jawaban Yohan, Yeonjun lantas menatapku. Aku mengangguk kecil seolah mewakili Yohan untuk menerima permintaan maafnya. Tunggu, kenapa aku berlagak seperti ahli terjemahannya begini?

"Selesai." Yohan mengembuskan napas lega. "Lebih baik jangan terlalu sering bergerak berlebihan dulu."

Saat kulihat dirinya bangkit berdiri, aku tidak tahu bahwa refleksku terlalu cepat bahkan sebelum aku bisa mengendalikannya karena aku mendengar diriku sendiri menghentikan pergerakan Yohan yang hendak berbalik. "Tunggu!"

Yohan mengurungkan niatnya untuk berbalik, dan menatapku dengan dua alis naik.

Aku menjilat bibir, memutar mataku ke seluruh penjuru ruangan. "Aku..." tatapan mataku kembali padanya. Ekspresi Yohan tidak berubah. Aku hampir merasa mati kutu, tapi tiba-tiba sekelibat mangkok nasi lewat dalam benakku. "...mau nasi?" cicitku, nyaris seperti bisikan hantu.

"Hah?" itu respon Yeonjun.

Yohan mengerutkan dahi. "Maaf?"

"Maksudku," ralatku segera. "Mau sarapan bersama?"

"Serius kau mau masak dengan keadaan seperti itu?" protes Yeonjun. Dia berdiri dan membusungkan dada bangga. "Biar aku saja yang masak."

Aku menatapnya dengan pandangan tidak yakin. "Kau?"

"Aku bisa masak ramen."

"Kau mau membuat ususku keriting?"

"Kita baru makan ramen sekali setelah seminggu tadi malam."

"Dan aku sudah bosan makan ramen."

"Kau bercanda? Aku hanya bisa masak air dan ramen."

"Aku bisa masak," sela Yohan. Melihat pertengkaranku dan Yeonjun di pagi hari sepertinya membuat kepalanya pusing. Aku memakluminya. Yohan kan baru mengenal kami. Dia belum melihat yang jauh lebih parah dari ini.

Kelopak mataku berkedip-kedip. Yeonjun tidak bereaksi karena dia menjelma menjadi manusia batu. Dan Yohan kembali membuka suara, "Di mana dapurnya?"

***

Tidak ada yang bisa kulakukan selain duduk di kursi meja makan sambil menunggu masakan ala Kim Yohan jadi. Yeonjun bersikeras menawarkan bantuan padanya. Meski Yohan berulang kali menolak dengan alasan dia bisa melakukannya sendiri (halah, memang Yeonjunnya saja yang tidak meyakinkan), Yeonjun terus memaksa hingga sekarang dia berhasil mengeluarkan suara-suara pekikan aneh dari arah dapur.

"Kim Yohan! Jamurnya melompat-lompat tidak mau kupotong!"

Aku memutar kedua bola mataku. Dasar payah.

Aku mendengar jawaban sabar dari mulut Yohan. Aku bisa membayangkan laki-laki itu sekarang menggantikan posisi Yeonjun memotong jamur. "Kau harus melakukannya dengan dua tangan. Satu tanganmu memegangi ujung lain, dan satu tanganmu memotongnya dengan pelan. Seperti ini."

"Wow, ternyata mudah ya," celetuk Yeonjun sok.

Desahan putus asa tak bisa kutahan lama-lama. Daripada aku menahan malu punya saudara kembar macam Choi Yeonjun yang menyusahkan (yang omong-omong daripada membantu malah terkesan seperti dia sedang meminta Yohan untuk menjadi mentornya), aku berjalan dengan langkah pincang ke arah dapur. Yeonjun dan Yohan terkejut melihatku mendesak dan berdiri di antara mereka berdua.

"Nuna, kau harus istirahat!" Yeonjun melebarkan kedua bola matanya.

Aku meliriknya tajam. "Kau saja sana istirahat," desisku. Aku meraih pisau dari tangan Yohan—merebutnya. "Yeonjun kau bersihkan saja meja makan dan siapkan air minum. Biar aku yang membantunya."

Yohan menyingkir dan kembali sibuk dengan teflon dan entah apa yang sedang ditumisnya. Baunya seperti sawi.

Kudengar Yeonjun mendesah sebal, tapi tetap menyeret kakinya keluar dapur. Aku melanjutkan kegiatanku memotong jamur, kemudian setelah selesai, aku beralih memotong wortel yang sudah disiapkan dengan apik di atas piring. Tidak ada tebakan ide apa yang akan dimasak oleh Yohan. Yang penting ini semua harus segera berakhir daripada aku terkena asam lambung karena telat makan.

"Kau baik-baik saja?" Yohan angkat suara.

Tidak perlu berpikir dua kali dengan apa yang dimaksudkan olehnya. "Aku hanya terkilir, bukan lumpuh."

Yohan terkekeh. "Semerepotkan itu punya saudara?"

Aku berhenti memotong dan menatap sisi samping wajahnya. Sinar matahari yang masuk lewat celah jendela membuat Yohan terlihat bersinar. Sejenak aku terpukau salah mengiranya seperti pangeran dari negeri dongeng, namun segera kugelengkan kepalaku kuat-kuat untuk menepis pemikiran itu. Aku berdeham dan kembali memotong wortel.

"Tapi Yeonjun orangnya menyenangkan. Seru."

"Mungkin karena aku lahir lima menit lebih dulu darinya, jadi aku merasa terbebani dengan tanggung jawab seorang kakak," jelasku. Aku mengangkat bahu. "Seperti yang kau lihat sekarang ini. Dia tidak bisa memasak—tidak," aku meletakkan pisau, nyaris membantingnya. "Dia tidak bisa melakukan apa-apa, kurasa."

"Itu karena kau mengambil semua perannya," celetuk Yohan. Laki-laki itu mematikan kompor dan menaruh tumis sawinya ke dalam piring. "Yeonjun punya tanggung jawab yang besar. Dia punya niat, tapi mungkin kau tidak membiarkannya melakukannya karena kau sudah menganggapnya terlalu payah."

"Dia hanya mau bertanggung jawab dalam keadaan tertentu, seperti sekarang ini." Aku beralasan. Dan sepertinya aku yakin alasanku benar.

Yohan mengangkat bahu. "Yang penting tetap punya niat." Laki-laki itu mengambil potongan wortel dan jamur karyaku dan merebusnya ke dalam panci. "Kau harus menjaganya—"

"Tunggu," potongku. Aku terkekeh geli menyadari sesuatu. "Kau benar-benar mirip ayahku kalau bilang begitu."

Yohan menatapku dengan senyum jahil. "Aku juga bisa jadi ibumu kalau kau mau."

Dan aku benar-benar tertawa membayangkan Yohan berkeliaran memakai rok dan wig. "Bagaimana bisa? Kau tidak berpayudara untuk menyusuiku."

"Usiamu sudah terlalu tua untuk minum ASI."

Aku tertawa semakin nyaring. Yohan ikut tertawa walau tidak senyaring diriku. Menyadari pembicaraan yang semakin mengarah ke hal-hal aneh, Yohan menambahkan, "Bukankah ibumu selalu melakukan ini? Menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Lihat, aku berperan seperti ibumu sekarang."

"Ya, ya, ya, aku mendengarmu, Ibu."

"Aku juga bisa jadi siapapun yang kau mau. Misalnya, jadi kakakmu. Kau tidak punya kakak, 'kan?"

"Semakin mengenalmu, aku semakin tahu kau ini orangnya kreatif dan banyak bicara."

"Aku juga bisa bernyanyi dan menari."

Kedua mataku membulat, takjub. "Serius?"

Yohan mengangguk yakin.

"Aku mau lihat!"

Laki-laki itu tersenyum. Dia memutar badan menghadapku sambil berkacak pinggang. "Aku berjanji. Tapi sekarang kita makan dulu, anakku. Kasihan adikmu menunggu dengan kelaparan di meja makan, tuh."

Dan aku kembali tertawa nyaring oleh karena perkataannya.

***

Acara sarapan bersama sudah selesai. Usai membereskan peralatan makan, Yohan pamit pulang. Aku dan Yeonjun mengantarnya keluar rumah. Dalam perjalanan, Yeonjun tak henti-hentinya mengacungkan jempol sambil memuji masakan Yohan yang begitu enak. Aku juga tak henti-hentinya menyetujui hal itu. Luar biasa. Masakannya enak, mirip seperti masakan ibuku.

Namun saat membuka pintu pagar, aku dan Yeonjun dikejutkan oleh sosok Park Jihoon yang berdiri dengan tatapan ingin tahu—terutama ketika melihat adanya Yohan hadir di tengah-tengah kami. Laki-laki itu seakan ingin memencet bel, namun begitu melihat kami, dia menarik tangannya dan tersenyum.

Tawaku berhenti. Tiba-tiba perasaan aneh menyelimuti hatiku. Perasaan campur aduk antara rindu dan kesal.

Yeonjun berdeham untuk mencairkan suasana. "Oh kau, Jihoon-a."

Orang normal saat hendak bertamu seharusnya menanyakan kabar atau sekadar menyapa untuk basa-basi. Aku sangat kenal seorang Park Jihoon yang murah senyum. Tetapi aku juga sangat kenal dengan seorang Park Jihoon yang memiliki seribu arti di balik senyum yang selalu tercipta di wajahnya.

Dia menatap Yohan ingin tahu. "Ini siapa?"

Pertanyaan itu ditujukan untukku dan Yeonjun, meski senyum dan tatapannya mengarah pada Kim Yohan.

Sebelum semua orang begitu salah paham dengan Park Jihoon, aku perlu mengklarifikasikan beberapa hal.

Jihoon adalah orang yang pintar dan tampan. Dia juga sangat baik hati dan perhatian padaku. Tapi di balik semua itu, Jihoon punya jiwa protektif yang berlebihan. Dia bahkan pernah cemburu pada Yeonjun sebelum mengetahui kebenaran bahwa Yeonjun hanyalah adikku.

Dan lantas sekarang bagaimana aku harus menjelaskan padanya?

Tahu-tahu Yohan mengulurkan tangan, "Kim Yohan..."

Aku menahan napas.

"...kakak mereka."

"Aku juga bisa jadi siapapun yang kau mau. Misalnya, jadi kakakmu. Kau tidak punya kakak, 'kan?"

Aku menatap Yohan takjub.

"Kakak?" Jihoon menatapku dan Yeonjun kurang yakin, lalu kembali menatap Yohan. "Kenapa marganya berbeda?"

Sial. Dia memojokkan.

"Sepupu jauh," celetuk Yeonjun. "Ah hyung[12], kau bilang kau harus bekerja sehabis ini." Dia mendorong bahu Yohan dengan gestur sok akrab. "Hei, Park Jihoon, kau tidak capek berdiri terus? Ayo masuk ke dalam."

"Tapi aku—"

Yeonjun keburu menyeret lengan Jihoon masuk. Sebelumnya dia menatap Yohan, memberinya isyarat untuk segera pergi. Yohan mengangguk paham, namun aku menahan lengannya.

"Yohan."

Laki-laki itu tersenyum. "Lihat, aku bisa jadi siapapun, 'kan?" tangannya terulur untuk menjamah puncak kepalaku saat perkataanku menghentikan pergerakannya.

"Dia pacarku."

Yohan mematung. Senyumnya luntur. Detik berikutnya tangannya menjauh. "Apa?"

Aku tersenyum sedih. "Maaf baru memberitahumu, aku—"

"Kenapa kau sedih begitu?" aku terkejut dengan pergerakannya yang tiba-tiba menarik dua pipiku. Aku lebih terkejut lagi dengan pergubahan mimik wajahnya yang secepat kilat menyambar. "Senyum. Dia juga akan sedih melihatmu sedih begini."

Aku mengerjap. Sekali. Dua kali.

"Kalau dia pacarmu, kenapa?" Yohan menaikkan dua alisnya, seolah menantang. Dan saat itulah aku merasakan pertahanan dalam diriku runtuh. "Bukankah aku adalah pahlawanmu, ayahmu, ibumu, bahkan kakakmu?"

"Bagaimana denganmu? Apakah menurutmu aku bisa menjadi pahlawanmu?"

"Apakah aku berperan seperti ayahmu sekarang?"

"Aku juga bisa jadi ibumu kalau kau mau."

"Kim Yohan. Kakak mereka."

Satu tetes air mataku jatuh membasahi tangannya tanpa kuprogram. Yohan membiarkannya. Laki-laki itu terus tersenyum, seolah dia tidak memiliki beban berat di dunia ini.

"Aku bisa jadi siapapun yang kau mau. Katakan saja kau mau aku jadi apa, maka akan kulakukan untukmu."

.

.

.

[12] hyung = kakak, diucapkan oleh laki-laki kepada laki-laki yang lebih tua

.

.

.

Buat pembaca baru yang mungkin kurang sreg atau tidak kenal tokoh-tokohnya. Kalian boleh ganti visualnya sesuka hati kalian kok^^

Oh iya, aku kasih visual mereka di bawah ya (dan aku tahu ini telat banget wkwkwk)

1. Kim Yohan

2. Choi Yena

3. Park Jihoon

4. Choi Yeonjun

5. Choi Yoojung

Sisanya, nanti ya hehehe, biar nggak pusing.

Jangan lupa tinggalkan jejak^^

-Milleny Aprilia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top