04. Pahlawanku
Aku berdiri kaku di depan sebuah rumah minimalis yang memiliki kolam ikan koi. Berulang kali telunjukku menekan bel sampai rasa-rasanya telingaku sendiri bosan mendengar suaranya yang nyaring hingga keluar. Dan aku bertanya-tanya apakah penghuni rumah di dalam sana tidak merasakan hal yang sama denganku.
Kalau tidak salah menghitung, tepat saat aku hendak menekan bel kembali untuk yang ke-empat belas kalinya, barulah terdengar suara pagar dibuka. Kepala wanita yang umurnya sekitar setengah abad lebih menyembul keluar. "Jihoon tidak ada di dalam."
"Bohong," desisku lirih. "Ahjumma[10], katakan padanya kalau tidak segera keluar aku benar-benar tidak akan pernah mau menemuinya lagi."
Baiklah, sudah kuputuskan. Jika Jihoon tetap ingin melanjutkan hubungan ini, maka aku akan tetap berjuang sampai kulihat sendiri batang hidungnya. Harus dia sendiri yang mengatakan ingin mengakhiri semuanya. Atau jika sebaliknya, aku juga tetap akan berjuang. Kalau sampai tidak berhasil, aku mungkin akan mempertimbangkan saran Yoojung untuk pergi ke paranormal.
"Tapi Jihoon memang benar-benar tidak ada di dalam, Nona." Bibi itu terlihat bingung bagaimana lagi untuk meyakinkanku. "Dia pergi sekitar dua jam yang lalu dan belum kembali."
Tidak ada kata menyerah dalam kamus seorang Choi Yena. Perkataan Bibi itu hanya sekadar teori tidak berguna kalau tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Aku merogoh tas selempangku dengan dongkol untuk meraih ponsel. Jempolku menekan angka empat lama sampai tersambung menelepon kontak Jihoonie.
Namun betapa terkejutnya aku saat mendengar nada dering ponsel dengan suara nyaring dari arah belakang. Bibi pembantu rumah Jihoon terlihat terkejut menatap ke arah belakangku yang tidak bertahan lama. Bibi itu kembali menatapku dengan tatapan lihat-kan-aku-bilang-apa sebelum berbalik untuk masuk kembali ke dalam rumah keluarga Park. Aku berbalik dan melebarkan kedua mataku melihat Jihoon berdiri di hadapanku dengan tatapan datar.
Aku mematikan sambungan telepon. Bersamaan dengan itu suara nada dering ponsel Jihoon ikut berhenti. Dengan cepat aku memasukkan kembali ponsel ke dalam tas dan berdeham. "Ke mana saja kau mengabaikan pesanku selama ini?"
Jihoon menatap ke arah belakangku saat menjawab, "Kau tahu kan aku ketua klub musikalisasi di sekolah. Aku sibuk mempersiapkan lomba sampai tidak ada waktu untuk makan dengan teratur."
Dia mengatakan 'makan dengan teratur' dengan nada seolah hal itu adalah satu-satunya prioritas dalam hidupnya. Oleh akibat kesibukannya sebagai ketua klub musikalisasi dia sampai menyepelekan prioritasnya sendiri. Dan satu poin penting yang membuat kepalaku rasanya seperti dipukul dengan palu godam adalah: dia bahkan tidak menyebutku sama sekali—atau tidak ingin melakukannya.
Aku tersenyum kecut. "Bahkan sampai mengabaikan pesanku?"
"Aku sibuk."
"Kau hanya perlu mengabariku sekali."
"Kubilang aku sibuk, kau tidak paham juga?"
"Kalaupun kau mengatakannya sejak awal aku pasti tidak akan merasa gila seperti ini," kataku cepat, lalu mengangguk-angguk paham. "Baiklah kalau begitu."
Tatapan mata Jihoon yang semula fokus ke tembok di belakangku, beralih menatap mataku. Tatapan mata yang begitu kurindukan. Sayangnya tak lagi sama. Rasanya aku seperti kehilangan satu entitas penting dalam hidupku. Tanpa sadar aku mengepalkan kedua tanganku kuat-kuat.
Laki-laki itu mendesah panjang. Terbesit rasa lelah dalam desahan putus asanya. "Maafkan aku," suaranya melembut. "Aku benar-benar sibuk."
Tidak ada ide bagaimana harus merespon permintaan maafnya yang justru lebih terdengar terpaksa diucapkan. Jadi aku memilih untuk berjalan lurus melewatinya. "Aku pulang. Terima kasih sudah memberiku waktu di tengah-tengah kesibukanmu, setidaknya aku masih bisa melihat wajahmu sebelum melupakannya."
"Kau mau kemana?" pertanyaan Jihoon menghentikan langkah kakiku.
Aku menolehkan kepala ke samping, namun tidak menatap langsung ke arahnya. "Kubilang aku mau pulang, kau tidak paham?"
"Aku antar—"
"Aku tidak mau menganggu waktu berharga orang sibuk."
"Dengarkan aku—"
"Sampai jumpa."
Aku melangkah meninggalkannya.
"Choi Yena!"
Semoga tidak benar-benar meninggalkannya.
***
Si gadis non-single yang begitu menyedihkan ini berakhir duduk di dalam bus sambil menyandarkan kepalanya ke kaca, menatap jalanan kota Seoul yang ramai seperti biasanya. Tidak ada yang menarik. Selain penjual jajanan, artis jalanan, juga beberapa pasangan yang tengah menikmati romantisme mereka, tidak ada hal lain yang menarik lagi. Demi apapun aku butuh hiburan!
Aku merogoh tas, mengambil ponsel, dan hendak menelepon nomor Yoojung saat yang ingin ditelepon tiba-tiba mengirimkan pesan. Aku sedikit terkejut, tanpa sadar mengedarkan pandangan ke sekeliling bus yang sepi. Apa ada mata-mata Choi Yoojung di dalam sini?
From: Yoojung
Yena-ya, kirimkan foto catatan matematikamu dong. Aku tiba-tiba diajak Appa dan Eomma ke Busan tanpa alasan. Eh ada sih, katanya mau main ke pantai sekalian main ke rumah Halmeoni. Tapi tetap saja kan aku harus belajar untuk ulangan besok. Kutunggu ya. Saranghae[11]!
Bahuku merosot turun. Mengecewakan. Padahal tadinya aku ingin mengajaknya untuk nonton film atau semacamnya, pokoknya apapun yang membuatku melupakan ekspresi menakutkan Park Jihoon tadi. Sumpah demi apapun aku butuh seseorang untuk membantuku mengusir bayang-bayang menyebalkan Jihoon. Aku benci galau seperti ini.
Usai mengetikkan balasan pada Yoojung, aku mencari daftar nama di kontakku. Siapa tahu melihat nama seseorang aku jadi ada ide untuk mengajaknya bermain.
"Ahn Yujin... Jo Yuri... Eomma... Eunbi Eonni... Jungkook Oppa... Choi Yeonjun—ah! Yeonjun!" tanpa pikir panjang aku segera memanggil nomornya. Kenapa aku bodoh sekali saat punya adik kembar yang selalu bisa diandalkan?
Telepon diangkat kurang dari tiga detik. "Halo—"
"Nuna kau di luar ya? Belikan tteokbokki dong."
Aku memejamkan mata, menahan emosi. "Hei, kau pikir aku pesuruhmu apa?"
"Kau kan Nuna-ku yang paling cantik."
Aku tertawa sarkastis, "Hohoho tentu saja, karena kau tidak punya saudara perempuan lain."
"Serius kau lebih cantik dari Yoojung." Suaranya mulai terdengar panik.
"Aku tidak akan membelikanmu tteokbokki."
"Aku baru sadar kalau kau ternyata lebih cantik dari Yeji!"
"Kututup."
"Nun—"
Pip.
Jika ada nominasi saudara kembar paling kurang ajar sedunia, sudah pasti Choi Yeonjun akan memenangkan medalinya. Dan aku akan menarik kalimatku tadi. Tentu saja, adik kembarku ini memang tidak bisa diandalkan sama sekali. Tanpa sadar aku meremas ponsel terlalu kuat.
"Kalian berdua menyebalkan, kalian tahu?" aku melotot pada ponsel, membayangkan cengiran menyebalkan Yoojung dan Yeonjun di hadapanku. "Ish!"
"Kau pernah dengar istilah bahwa pahlawan selalu siap dalam segala keadaan?"
Aku memekik, nyaris melempar ponselku pada sosok manusia yang entah sejak kapan berdiri di samping kursiku sambil berpegangan pada handle grip bus. Begitu tatapan kami bertemu, dia tersenyum. Otomatis aku bergeser lebih rapat pada jendela, membuatnya duduk di sampingku seolah disilakan. Tapi sepertinya memang iya sudah kusilakan tanpa sadar.
Kenapa dia selalu ada di manapun aku ada?
Pertanyaan itu hampir keluar namun keduluan oleh satu bungkus es krim yang sepertinya setengah meleleh. Setelah kuterima dia beralih membuka miliknya sendiri.
Alih-alih bertanya kenapa dia selalu ada di sekitarku, aku justru penasaran apa yang tengah dilakukannya dengan seragam minimarket dua puluh empat jam di dalam bus. "Apa yang kau lakukan?"
"Makan es krim." Aku melongo selama beberapa saat. Laki-laki itu terkekeh pelan. "Tiba-tiba ada urusan mendadak jadi aku meminta temanku untuk menggantikanku hari ini."
Tanpa berganti pakaian? "Kau bekerja di minimarket dua puluh empat jam?"
Dia mengangguk. "Mm. Tapi aku tidak bekerja setiap hari. Saat waktu senggang saja. Aku hanya seorang freelance."
"Kau bekerja untuk apa?"
"Serius kau bertanya alasannya?" laki-laki itu menatapku heran, ekspresinya kentara sekali menahan tawa. "Tentu saja mencari uang untuk membiayai hidupku."
"Bukankah orangtuamu masih mampu melakukannya?"
Pergerakannya memakan es krim terhenti. Air mukanya berubah. Tiba-tiba saja perasaan tidak enak merambat ke seluruh tubuhku tanpa bersisa. Tunggu, apa aku sudah kelewatan di sini?
"Kim Yohan-ssi, aku—"
"Hei, es krimmu meleleh tuh," tanpa permisi laki-laki bernama lengkap Kim Yohan itu meraih es krim dalam tanganku, membuka isinya dan kembali menyerahkannya padaku. "Nah, kau minum saja seperti minum jus," Dia tertawa sebentar, lalu, "Omong-omong apa tadi? Kim Yohan-ssi? Kau membuatku terlihat seperti orang asing yang terlalu formal."
Aku menatap bungkus es krim dalam tanganku lama. "Maaf, aku tadi—"
"Kau mau membuat es krim yang sudah mencair ini menguap?"
Tersentak, aku buru-buru menelan cairan es krimnya sampai habis.
Lagi-lagi dia tertawa. Kali ini lebih pelan. "Santai saja tidak usah salah tingkah begitu. Kau harus tahu kalau es krim adalah satu-satunya makanan yang bisa melawan rasa sedih."
"Bukannya cokelat?"
Yohan berpikir sejenak. "Itu juga bisa. Tapi aku kurang suka cokelat. Terlalu manis."
Aku mengangguk menyetujuinya. Lalu sesuatu menyadarkanku. "Darimana kau tahu aku sedang sedih?"
"Semut yang ada di kaca dekatmu saja tahu kau sedang sedih."
"Bagaimana kau bisa ada di sini? Maksudku, kok kita bisa betemu lagi?"
Entahlah. Apakah aku berharap dia mengatakan takdir atau semacamnya. Karena ibuku selalu bilang kalau takdir sudah ditentukan oleh Tuhan, jadi hal ajaib pun bisa terjadi. Dan hal ajaib yang terpikirkan olehku adalah keberadaan Kim Yohan yang omong-omong selalu saja ada di sekitarku.
Tunggu, dia bukan penguntit, 'kan?
"Kau tahu 'kan kalau pahlawan selalu siap dalam segala keadaan?"
"Kau menyebut dirimu sendiri Spider-Man?"
"Itu juga bisa. Sayangnya jaringku sedang tidak berfungsi hari ini."
Kami berdua tertawa bersama.
"Oh iya, dengar-dengar akan ada festival air mancur hari ini. Mau lihat?" Yohan menoleh menatapku. Tatapan mata kami bertemu. Kami berdua berpandangan selama beberapa saat, sampai aku menyadari ada yang tidak beres dalam diriku, sehingga aku cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah depan. "Choi Yena?"
"Aku baik-baik saja—ah maksudku, baiklah. Iya, eum, aku mau." Aku mengusap tengkuk, dalam hati merutuki kebodohanku.
Dari sudut mataku aku dapat melihatnya tersenyum puas. "Asik. Kujamin kau akan melupakan kesedihanmu."
"Bagaimana kau bisa seyakin itu?"
Pandangan matanya lurus ke arah depan ketika menjawab, "Karena aku adalah seorang penyelamat?" yang justru lebih terdengar seperti pertanyaan, atau pernyataan yang sarat akan keraguan.
Aku tertawa.
Yohan menolehkan kepala cepat, tanpa aba-aba hingga aku tak punya kesempatan untuk bersiap-siap mengalihkan tatapanku. Tatapan kami berdua bertemu. Tatapan matanya sendu, menusuk ke dalam netraku. Aku menelan ludah gugup. Saat aku hendak menatap ke arah lain, laki-laki itu menangkap pipiku dengan kedua tangannya yang hangat.
Aku seperti terbang ke angkasa. Perutku mulas. Dan aku bisa merasakan jantungku bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya.
"Bagaimana denganmu? Apakah menurutmu aku bisa menjadi pahlawanmu?"
Kata pahlawan mungkin terlalu berlebihan untuk seorang yang terlihat sederhana dengan seragam minimarket dua puluh empat jam sepertinya. Kata pahlawan mungkin terlalu berlebihan untuk seorang pemilik gigi kelinci yang justru image-nya lebih mengarah kepada lucu daripada sangar. Kata pahlawan mungkin terlalu berlebihan untuk seseorang yang nyaris selalu berada di sekitarku seperti penguntit.
Ya, kau adalah penguntit Kim Yohan. Kau selalu menguntitku, ku rasa.
Dan kau selalu menguntitku di saat aku membutuhkan seseorang yang bisa menghiburku.
Maka, kau adalah penyelamatku.
Kau adalah pahlawanku.
.
.
.
[10] Ahjumma = bibi (panggilan kepada orang asing)
[11] Saranghae = aku mencintaimu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top